"Je's ngga peduli. Itu pacar kamu, shit..!" aku mendengar Jessica mengumpat kalang kabut dengan logatnya daerahnya.
Upay sudah pamit pulang sejak tadi. Aku merasa benar-benar sendirian. Aku hanya diam saat Jessica masih terus memaki. Akhirnya gadis pirang itu mengambil semua bajunya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia sudah keluar, dan langsung menuju ke pintu apartemen.
"Ray..," kudengar ia hendak mengatakan sesuatu.
Tapi ia tidak meneruskan, hanya mendengus, lalu keluar dan membanting pintu. Aku tidak perduli sama sekali. Aku hanya merasa benar-benar sendiri.
Dalam kesepian yang kurasakan, mendadak mataku menatap ke arah kantung plastik di atas meja. Tadi aku menaruhnya di situ, sesaat sebelum mengambil jaket. Kuulurkan tanganku meraihnya, dan dengan hati-hati membuka kotak makanan di dalamnya. Bau rendang dan hawa nasi yang masih hangat menyapu penciumanku. Entah mengapa aku menjadi sangat lapar. Kubawa kotak nasi itu ke dapur, mengambil sendok, lalu menyuapkannya ke mulutku. Dua sendok kemudian aku mulai makan sambil menangis. Makanan ini enak sekali. Kenapa? Karena dibuat dengan bumbu rahasia.
*****
Leherku benar-benar sakit malam itu. Kepalaku juga. Dan dua butir 'pain killer' belum dapat menyeretku ke tempat tidur. Aku mengerang di depan monitor. Perutku melilit kelaparan. Tapi percuma mengais-ngais kotak makanan yang sudah kosong itu. Aku harus menemuinya, pikirku. Tapi benakku yang terdalam meragukannya. Aku tidak bisa, tidak setelah aku meninggalkannya. Ayo, Ray. Gadismu bukan hanya satu bukan? Kamu bisa dapatkan Jessica dalam tiga hari. Dan kamu bisa cari yang lainnya. Dan sebaiknya cepat-cepat, sebelum kamu mati kering di sini.
Saat kalut, mendadak telepon berbunyi.
"Halo? Kok ada orang? Siapa itu? Ray?"
"Ya, ini aku," sahutku.
"Kok lesu? Kamu tidak apa-apa?" kudengar Chin, kakakku, bertanya.
"It's okay. Bagaimana di sana?"
"Baik-baik saja. Dingin. Pingin pulang," katanya dengan suara merengek.
Lalu aku mendengar ia tertawa. Aku juga ikut tertawa.
"Kamu yakin tidak apa-apa?" Chin bertanya sekali lagi.
Chin memang tahu bagaimana nada suaraku kalau sedang susah. Dan itu membuatku menyayanginya, tidak perduli bahwa keluargaku membencinya karena ia seorang lesbian.
"Entahlah," bisikku, "Hanya sedikit kesepian."
"Loh? Mana anak pendek yang tempo hari?"
Aku tertawa kecut, "Dia sudah jauh di sana."
Kudengar Chin mendesah, "Kamu itu ya," katanya, lalu ia berhenti sejenak.
"Kenapa denganku?" tanyaku kemudian.
"Nggak apa-apa. Eh, hemat kartu. Sudah dulu ya? Jangan lupa kunci pintu dan nyalakan alarm kalau mau pulang. Oh, ya..! Waktu si pendek itu datang tempo hari, dia mengatakan satu kata yang membuatku memberinya nilai sepuluh. Dia bilang, 'Kak, bagaimanapun jahatnya Ray. Saya percaya kalau dia seorang yang baik. Karena matanya mengatakan demikian.' Jadi menurutku, ya.. wah.. sudah dulu. Dadah, Dedek sayang. Love you."
Aku masih terdiam. Gagang telepon masih kugenggam, walau sudah terdengar bunyi 'tit' yang panjang. Moogie menyukaiku, walaupun aku jahat padanya. Padahal saat itu aku belum meninggalkannya. Ia berarti sudah menduganya. Sudah menduga bahwa aku akan meninggalkannya. Seolah tersadar dari sebuah mimpi buruk, aku menekan tombol 'flash' dan memencet beberapa nomor. Belum terlalu malam. Masih jam setengah sepuluh. Semoga saja..
"Moogie?" tanyaku.
"Ray? Ada apa?" kudengar suaranya bergetar saat menyebut namaku.
"Moogie..! Aku mencintaimu..! Demi Tuhan. Aku mencintaimu..!"
Lama tidak terdengar suara apapun. Lalu kudengar isaknya.
"Moogie? Moogie..?" aku memanggil-manggil namanya.
"Aku ke sana, ya?" seruku.
"Jangan..!" mendadak kudengar ia berkata.
"Jangan?" tanyaku dengan ketakutan. Apakah aku akan kehilangan dia?
"Jangan kemana-mana. Kamu di apartemen Chin? Aku ke sana sekarang. Kamu sudah minum obat? Aku nggak mau kamu sakit. Kamu sudah makan?"
Aku menangis saat mendengarnya berkata demikian.
"Aku menunggumu. Aku sayang kamu. Dan aku belum makan."
"Hahaha. Aku tahu. Aku juga. Bye Ray."
Aku meletakkan gagang telepon dengan hati berbunga. Aku memejamkan mata dan membuka kedua telapak tanganku ke atas. Bersyukur pada-Nya, untuk sesuatu yang akhirnya kusadari dalam kehidupanku. Aku terisak. Tapi bukan karena sedih. Aku merasa benar-benar utuh saat itu.
Ya. Aku mencintainya. Benar-benar mencintainya. Dan aku begitu bodoh untuk merekayasa segala sesuatu, hanya untuk sesuatu yang aku sendiri tidak menginginkannya. Betapa bodohnya. Aku berusaha meninggalkannya. Persetan dengan segala evils. Aku ingin jadi manusia utuh. Ingin jadi orang yang dibelai dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Aku bergegas menuju ruang tamu, dan merapikan segalanya. Mulai dari koran dan majalah yang berserakan, sampai karpet yang tertekuk sedikit. Senyum menghiasi bibirku. Ia akan datang! Ia akan kembali padaku..!
Dua puluh menit kemudian suara bel pintu terdengar. Aku mengerutkan alis.
"Cepat sekali..?" pikirku. Tapi hatiku girang juga.
Cepat-cepat aku berlari ke pintu dan membuka.
"Shit..!" aku menjerit saat Jessica mendorong tubuhku hingga terjatuh ke sofa.
Gadis itu menciumiku dengan liar. Memaguti bibir dan daguku.
"Je's rindu kamu," desisnya.
Ia lalu mengangkat kaos luarnya ke atas. Gadis itu menempelkan buah dada telanjangnya ke mulutku. Napasnya memburu. Aku mencoba meronta tapi ia malah mencakari dadaku dan menindih tubuhku dengan seluruh bobot tubuhnya.
"Jess..! Damn it..!" aku memaki. Tapi ia membekap mulutku dengan bibirnya.
Aku mendorong pundaknya hingga ia terguling dari atasku. Dengan terengah-engah aku menatapnya. Gadis itu tersenyum geli, seolah aku sedang bermain-main dengannya.
"Tidak, Jess.." ucapku tegas, "Please, pergi sekarang..!"
Jessica memandangku dengan alis terangkat. Senyumannya hilang.
"Ray..?" desisnya.
Tapi ia lalu tersenyum simpul dan meraih pengait celananya. Aku memejamkan mata dan menggeleng.
"Pergi, Jess. Tolong dengar saya. Plea..!"
Saat itulah naluriku merasakan seseorang tengah memandangi punggungku.
Aku berpaling dan melihat Moogie di ambang pintu. Matanya menatapku. Bertanya. Keringat membuat lehernya berkilat. Napasnya masih memburu. Ia menatapku beberapa saat lamanya. Lalu melirik ke arah Jessica yang setengah telanjang. Bibirnya mulai bergetar. Kotak di tangannya terjatuh. Aku hanya terpaku menyaksikan ia membalikkan tubuh dan berlari.
*****
Hari itu adalah hari kedua sejak kejadian tempo hari, saat Moogie melarikan diri. Mungkin banyak orang menanyakan, mengapa aku tidak mengejarnya saat itu. Tapi bagaimana lagi? Aku sudah pernah melakukannya sebelumnya, mengejar Moogie sampai ke lobi. Dan kurasa aku, yah, terlalu pathetic untuk mengejarnya yang kedua kali. Kurasa saat itu gadis itu membenciku. Dan aku tidak mau lagi dipandangi oleh seluruh orang di lobi. Cukup sudah, pikirku.
Hari itu diawali dengan sesuatu yang jauh dari perkiraanku. Semula aku mengira akan melihat wajah murung di gadis itu saat aku berjumpa dengannya di kantor, hari itu. Tapi yang kutemui pertama kali adalah senyuman di wajahnya. Ia kelihatan begitu cerah, dengan setelan jas dan rok merah tua, serta baju dalam putih. Ia hanya mengangguk saat aku lewat. Sepatah kata yang kuucapkan, "Hai" tidak mendapat sahutan.
Ya sudah, pikirku. Mungkin aku tidak sepenting itu untuk direnungkan dan ditangisi. Lagipula sejak kejadian malam itu, aku menyadari lagi bahwa aku memang terlalu impulsif untuk mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku mencintainya. Kesimpulan setelah makan nasi rendang. Konyol benar. Jadi kucoba untuk bersikap biasa hari itu, tertawa dan bercanda bersama rekan-rekanku.
Suatu ketika, ia datang ke ruangku untuk menyerahkan setumpuk arsip.
"Thanks," kataku menganggukkan kepala.
Moogie membalas dengan senyuman. Tapi hanya itu. Lalu ia bergegas membalikkan tubuh.
"Moogie..," aku memanggilnya. Sedikit heran pada diriku sendiri, untuk apa?
Gadis itu menoleh dengan wajah bertanya, "Ya..?"
"Eh," kataku, lalu terdiam beberapa saat. Bingung harus mulai dari mana.
Lama menunggu, akhirnya kulihat Moogie tersenyum, "Aku keluar, ya?" ia berkata.
Aku menganggukkan kepala, "Sori," bisikku sebelum ia menutup pintu, tapi kurasa ia tidak mendengarnya.
Aku benar-benar dibuat heran oleh perasaanku sendiri. Aku tidak tahu, kenapa kali ini benar-benar ruwet dalam menghadapi seorang Moogie. Mungkin hanya karena ia satu kantor denganku, jadi segalanya lebih susah. Atau karena memang aku masih mencintainya? Pertanyaan yang terakhir kubuang jauh-jauh. Akhirnya aku kembali disibukkan oleh keyboard.
"Sebut saja namaku Ima, usiaku 27 tahun.."
*****
Secangkir kalosi Toraja dan sepiring tuna sandwich. Aku terkadang merasa berdosa, ketika teman-temanku menahan lapar di kantor, aku malah asyik-asyikan di cofee shop. Tapi aku menyukai gaya atheis ini. Menyenangkan menjadi orang bebas. Aku memandangi orang-orang yang hilir mudik di depanku. Beberapa orang wanita berpakaian eksekutif, melirikku saat melintas, dan membalas senyumanku. Mungkin mereka sedang mencari SAL, pikirku geli. Aku tidak tertarik, pikirku kemudian, mungkin lain kali. Tapi saat ini aku sedang menunggu seseorang.
Aku tengah mengunyah sebongkah besar potongan sandwich saat Krista menepuk pundakku dari belakang.
"Hayoh..! Makan terus..!" aku mendengarnya berseru sambil tertawa.
Gadis itu lalu menarik kursi di sebelahku dan mendudukkan tubuhnya. Blazer abu-abunya tampak sedikit berdebu.
"Dari mana saja?" tanyaku.
Krista itu merapikan rambutnya. Gerakannya membuatku sedikit terpesona.
"Bayangkan," ia lalu berkata, "Macet di jalan. Akhirnya aku turun dari taksi dan berjalan lima puluh meter dari pertigaan ke sini."
Aku tertawa terbahak-bahak, "Lha, kenapa buru-buru. Kan aku bisa menunggu."
"Kukira tidak," sahutnya tersenyum, "Buktinya kamu memakan sandwicmu."
Aku melirik ke arah sandwich yang tinggal seperempat. Lalu kami tertawa.
"Sini..! Aku mau itu," mendadak kudengar Krista berkata seraya menunjuk sisa sandwich.
Sambil tersenyum kusodorkan potongan sandwich itu ke mulutnya. Ia lalu mengunyah sambil tersenyum.
"Tetap hangat seperti biasanya," ia berkata.
Beberapa orang menatap ke arah kami dengan pandangan iri.
"Jadi ada apa, Ray..? Kok repot-repot ingin ketemu aku. Kukira kamu sudah lupa."
Aku merasa wajahku memanas. "Tidak," sahutku, "Hanya sekedar butuh teman buat berbincang."
Krista tertawa renyah. Seorang pelayan cafe datang dan meletakkan cofee float ke atas meja.
"Aku tak mengira sih, kalau kamu yang telepon tadi. Kupikir siapa. Eh, ternyata ada hidung belang minta janjian. Kamu sakit ya?"
Aku tertawa mendengarnya.
"Aku memang sakit, faringitis. Susah."
Krista melongo menatapku, "Lha kamu sakit tenggorokan kok masih..," ia berhenti lalu memandang rokok di jemariku. Aku terkekeh.
"Kapan sih ada orang yang bisa menyuruhku melakukan sesuatu..?" Ganti Krista yang terkekeh.
"Aku tahu itu sejak dulu. Waktu pertama kali kenal denganmu. Orang yang tak tahu aturan. Oh, tahu sih. Tapi aturan kasur."
Rombongan cukong di belakang Krista menoleh dan memandang ingin tahu. Aku tertawa melihatnya.
Terus terang saja. Aku pernah tidur dengan Krista. Kami menghabiskan lima malam bersama-sama, waktu kami duduk di semester tiga bangku kuliah. Namun hanya itu. Tidak ada rasa apapun di antara kami. Just sex. Setelahnya, kami kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Dia dengan cowoknya, dan aku dengan gadis-gadisku.
"Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Kris," aku membuka topik yang memang ingin kubicarakan padanya.
Krista mengangguk, menyedot minuman dari gelas, lalu memandangku dengan tatapan menunggu.
"Aku mau bertanya," ucapku, lalu berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Apakah aku memang tidak bisa mencintai?"
Krista menatapku dalam-dalam, sementara mulutnya menganga.
"Kenapa..?" tanyaku geli.
"Hanya itu..? Aduh. Aku pulang, ah. Masih banyak kerjaan."
"Lho..?" seruku, lalu tertawa terbahak-bahak.
Krista menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu itu ya..? Jangan mengajukan pertanyaan yang bodoh seperti itu. Kenapa? Kamu baru jatuh cinta ya? Atau gadis mana lagi yang sekarang menangis tersedu-sedu setelah kau permainkan?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang bertubi-tubi.
"Nggak sih," ucapku.
"Aku kenal dengan seorang gadis. Gadis ini lain dari gadis-gadis yang biasanya. Tahu kenapa? Ia tidak menjerit saat aku meninggalkannya. Ia tidak menunjukkan sifat memohon. Dan satu lagi, ia begitu mudah melepaskanku pergi. Itu membuatku sedikit risau."
"Kenapa? Kamu merasa tidak berarti buat dia ya?"
Aku mengangguk. "Mungkin," sahutku.
Krista mengangguk-angguk sambil memutar sendok di gelas minumannya. "Kamu itu over confidence, Ray."
Kami terdiam beberapa saat lamanya.
"Tapi tidak juga sih," Krista berkata, "Mungkin gadis itu sudah terlalu paham dengan dirimu. Dan, yah, mungkin dia sudah siap-siap ketika kamu mulai merasa terikat dan ingin bebas."
Aku menatap gadis itu dalam-dalam. Ucapannya persis seperti ucapan yang dikatakan Chin tiga hari yang lalu.
"Begitu, ya?" desahku. "Kamu tahu..," kataku, lalu menceritakan tentang Moogie dan kejadian dua hari yang lalu.
Krista mendengarkan dengan seksama, sesekali kudengar desahan keluar dari bibirnya.
Bersambung . . . .