Museum Nasional Tommy Soeharto, Selasa 16.55
Museum nampak lengang. Sepeda motor bebek hitam milik satpam yang bertugas siang hari baru saja meninggalkan kompleks museum. Satpam pengganti nampak hendak menutup pintu gerbang, ketika entah dari mana asalnya, muncul dua orang gadis cantik.
"Bisa pinjam teleponnya Pak? Mobil kami mogok..", tanya gadis yang berambut ikal.
Satpam yang berbadan pendek itu tampak bengong. Perasaannya mengatakan bahwa tidak ada mobil mogok di dekat daerah ini.
"Bisa nggak Pak?", tanya gadis itu lagi.
"Iya, iya Non", jawabnya tanpa mampu berkonsentrasi.
Maklumlah, keduanya benar-benar mirip bintang film hongkong yang sering dilihatnya di bioskop murahan Pasar Senin.
Pintu depan gedung museum sudah tertutup rapat. Mereka bertiga menuju ke bagian samping gedung.
"Mogoknya di mana Non?", tanya si satpam sambil melirik ke dada montok berlapis baju kaos tersebut.
Rok ketat di atas lututnya membungkus pinggul yang bundar serta menampakkan belahan betisnya yang putih mulus. "Sebelah sana", jawab gadis yang satunya lagi dengan sembarangan.
Gadis berambut lurus itu mengenakan baju tanpa lengan dan celana panjang ketat. Tidak terlalu tinggi posturnya namun langsing badannya. Satpam yang rambutnya sudah mulai memutih itu menelan ludah.
"Kagak montok sih, tapi buah dada sama pinggulnya lumayan padet", pikirnya.
Walaupun umurnya sudah cukup tua, tapi masih suka barang jorok juga dia rupanya.
Dalam ruang petugas keamanan, dua orang petugas satpam yang lain tampak terkejut dan segera bangkit dari kursinya melihat kedatangan dua orang gadis cantik itu. Sementara gadis yang berambut ikal sedang sibuk memakai telepon, Alfon, satpam asal Irian yang berambut keriting memperkenalkan diri. Badannya kekar, berumur sekitar empat puluhan. Rupanya dia adalah satpam kepala. Gadis yang berambut lurus tersebut mengaku mahasiswi Fakultas Ekonomi di sebuah universitas swasta.
"Kalau temen saya itu di fakultas sospol", ujarnya memperkenalkan temannya.
Dengan pandangan mata yang menelanjangi, Alfon pun memperkenalkan kedua satpam temannya. Slamet yang berumur sembilan belas tahun dan bertampang cukup tampan, Bambang yang bertubuh pendek dan berambut ubanan.
"Eh, maap keliru, kebalik", katanya konyol.
"Ini Slamet, yang ini Bambang", koreksinya.
Tak bisa berkonsentrasi dia rupanya. Maklumlah, gadis yang berdiri di depannya benar-benar mirip bintang film Hongkong yang sering dilihatnya di bioskop murahan Pasar Senin itu.
Sementara itu, seseorang bersepatu lars berjalan mengendap-endap memasuki balairung (ruang utama) museum. Diarahkannya pandangan matanya ke jendela besar ruang petugas keamanan yang menghadap ke ruang utama. Rupanya pria tersebut bermata elang. Jarak dari tempatnya berdiri hingga ke ruang petugas keamanan ada berjarak sekitar dua puluh meteran. Tak ada halangan baginya untuk memastikan bahwa kedua gadis cantik dan ketiga satpam tersebut sedang berbincang-bincang. Cukup terang memang, lampu dalam ruang tersebut.
Sekali-sekali terdengar tawa mereka.
"Ini bentar lagi mau kawin Non", ujar Alfon dengan suara lantang memegangi bahu satpam Bambang.
Satpam muda itu nampak malu-malu.
"Lho, belum pacaran kok udah mau langsung kawin?", goda si gadis berambut lurus.
"Rugi kamu 'mBang", tambahnya.
Di sudut ruangan, kelihatan gadis yang ber-rok mini sedang duduk santai menikmati teh kotak. Satpam Slamet berdiri di belakangnya memijati lehernya yang putih mulus.
"Pindah sini dong", perintah gadis itu dengan sembarangan sambil menunjuk ke pundak sebelah kirinya.
"Iya, iya non", satpam Slamet menurut saja bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya.
Matanya terus melotot ke belahan montok di bawahnya. tampaknya ketiga satpam tersebut tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Bagus, semuanya berjalan sesuai dengan rencana", pikir pria bersepatu lars itu.
Dialihkan pandangannya ke sebuah kotak kaca berukuran satu kali satu meter di tengah ruang utama museum. Penerangan remang-remang dalam ruang tersebut tidak menghalangi pandangannya. Sebuah berlian sebesar bola baseball tersimpan dengan aman. Berlian dua puluh empat karat milik raja Nepal yang sedang dipinjamkan kepada pemerintah Indonesia untuk dipamerkan. Berlian Kohinoor. Semua orang tahu itu. Rupanya pria tersebut memiliki maksud buruk. Pandangan matanya beralih ke kafetaria kecil yang terletak persis di samping ruang petugas keamanan.
"Tumben pulang awal si Mamat hari ini. Lagi males buat bersih-bersih kali", pikirnya tanpa ada rasa curiga sedikitpun.
Dengan gesit, pria tersebut berlari kecil ke ruang perkakas di sebelah belakang gedung museum. Rupanya pintunya tak terkunci. Rupanya pria tersebut bersembunyi dalam ruang tersebut dan baru muncul setelah museum tutup. Ahli kunci palsu dia rupanya, atau jangan-jangan ada koneksi dengan orang dalam? Diambilnya sebuah tangga lipat. Persis di muka pintu darurat di samping kamar perkakas, dibukanya tangga itu. Sambil berdiri di puncak tangga, diraihnya sepasang kabel yang menuju ke alarm pintu darurat. Dengan menggunakan sebuah tang kecil, dikupasnya kabel warna merah. Dari saku bajunya, dikeluarkannya sebuah perkakas kecil, sebuah pembangkit tenaga listrik mini dengan tenaga baterai kecil. Disambungkannya alat tersebut ke kabel yang telah terkelupas.
Diarahkan tang kecilnya ke kabel warna merah di antara kawat yang telah terkupas dan alarm pintu. Tangan sebelahnya siap menekan tombol 'on' pada perkakas kecilnya. Dengan cekatan, dipotongnya kabel warna merah, dan pada saat yang sama dioperasikannya perkakas mini itu. Sinyal lampu alarm di ruang penjaga keamanan sempat berkedip sepersekian detik, namun itu belum cukup lama untuk dapat membangkitkan sistem alarm. Semua pintu dan jendela, kecuali pada ruang penjaga keamanan, disambungkan ke sebuah sistem alarm dengan sumber arus listrik DC. Alarm akan berbunyi jika aliran listrik menuju sistem sentral alarm terputus, entah karena pintu atau jendela terbuka, maupun karena kabel diputuskan. Namun semua orang tahu, semua sistem memiliki kelemahan, bahkan untuk yang tercanggih sekalipun. Benar-benar professional pria tersebut rupanya. Dikembalikannya tangga lipat ke dalam kamar perkakas. Dengan mengendap-endap, pria tersebut melintasi ruang utama museum menuju ruang petugas keamanan. Sama-sekali tak terdeteksi gerakannya. Maklum, ruang utama museum boleh dikatakan sangat gelap.
tampak satpam Slamet sedang duduk di lantai melotot ke pangkal paha gadis ber-rok mini yang duduk persis di mukanya. Kedua belah tangannya sibuk meraba dan memijiti kakinya yang putih.
"Gatel nih jempolku", kata gadis tersebut manja sambil menikmati teh kotaknya.
"Iya, iya Non", jawab Slamet menelan ludah.
Dipindahkan tangannya ke telaPak dan jari-jari kaki yang teramat sempurna itu.
"Duh, jadi malah tambah gatel", protes gadis itu lagi sambil mengangkat kaki dan memasukkan jempolnya ke mulut Slamet.
Kurang ajar sekali, mentang-mentang mahasiswi fakultas sospol. Tetapi konyolnya Slamet menurut saja, malah menikmatinya mungkin. Dihisap dan dijilatinya jempol, jari kaki, dan kaki bagian bawah gadis itu degan penus nafsu.
Gadis yang lain nampak duduk di pangkuan satpam Alfon. Dia tak peduli dengan tangan si Irian yang membelai-belai lengan putih mulusnya.
"Kamu ganteng-ganteng gitu, belum pernah ngerasain punya cewek ya 'mBang?", tanyanya menantang.
Satpam muda yang duduk di mukanya itu jadi bertambah gerah. Maklum, calon istrinya, si Murni, adalah gadis polos dengan sopan-santun desanya.
"Sini saya ajarin", kata gadis bercelana ketat itu sambil melompat turun.
Dengan santainya dibukanya celana biru satpam muda itu. Berikut celana dalamnya.
"Masih perjaka ni yee", ujar gadis tersebut sambil mengurut-urut benda hitam di depannya yang mulai mengeras.
"Belum pernah diPakai ya?", katanya sambil memasukkan benda itu ke mulutnya.
Mulutnya naik-turun dengan mata menatap ke wajah Bambang yang meringis-ringis merasakan kenikmatan.
"Pelan-pelan, nanti keluar", kata gadis yang satunya lagi sambil bangkit dari kursi.
Satpam Slamet sempat terjengkang ke belakang. Satpam Alfon tertawa-tawa melihat tingkah konyol kedua anak buahnya itu.
"Aku pengin nyicipin punya perjaka cakep", ujarnya sambil membungkuk.
Gadis berambut lurus itu 'menyerahterimakan' benda keramat itu kepada rekannya.
"Enak mana sama ini?", tanyanya menantang.
Berbeda dengan gerakan temannya, gadis itu menjilat di bagian ujung penis hingga semakin lama semakin membesar diameternya.
"Semakin mesum semakin bagus", ujar pria bersepatu lars tersebut dalam hati.
Dengan merangkak di bawah jendela besar ruang petugas keamanan, pria tersebut berjalan ke kamar mandi. Dia berjalan ke lorong sempit antara kamar mandi dan sebuah ruangan yang lain. Lorong tersebut lebarnya sekitar satu setengah meteran. Ember pel dan perlengkapan pembersih lantai lainnya biasanya diletakkan di situ. Dengan cekatan, direntangkannya kedua belah kakinya ke kedua tembok di samping kiri dan kanan. Dipanjatnya lorong tersebut dengan lincah. Tidak keliru dia memilih untuk mengenakan sepatu lars.
Di bagian atas, terletak sebuah kabel yang bagi orang awam mungkin tak ada artinya sama sekali. Dengan cara yang sama seperti sebelumnya, diaktifkannya alat pembangkit tenaga listrik DC di situ. Pria tersebut tahu persis kalau kabel tersebut menghubungkan alarm pada penutup kaca berlian Kohinoor ke ruang petugas keamanan, sekaligus ke kantor polisi yang terletak sekitar enam blok dari situ. Sekali lagi, benar-benar professional pria itu. Dengan cekatan, pria itu menuruni tembok dan kembali merangkak melintasi dapur, ruang petugas keamanan, dan ke ruang utama. Namun, tiba-tiba pria tersebut berubah pikiran. Keningnya sedikit mengkerut. Wajahnya mendadak berubah menjadi mesum. Dia merangkak kembali ke bawah jendela petugas keamanan.
Sementara itu, satpam Bambang bertambah ngos-ngosan ketika kedua gadis cantik itu telah melahap kelelakiannya secara bergantian.
"Kuat juga nih, si perjaka", kata si gadis berbadan langsing.
"Nggak keluar-keluar", ujarnya penasaran.
"Kalo Pake yang ini pasti keluar Non", ujar satpam Alfon yang dengan kurangajarnya meremas pantat gadis itu dari belakang.
Bukannya marah, si gadis dengan gerakan kakinya, malah membantu Alfon melepaskan celana panjang ketat sekaligus celana dalamnya. Si satpam Irian itu bertambah mesum mukanya memandangi badan setengah telanjang dan putih mulus di depannya.
"Lepasin ya Pak", kata gadis yang berambut ikal itu tak mau kalah.
"Iya, iya Non", jawab satpam Slamet sambil merogohkan tangannya ke pangkal paha gadis itu.
Si gadis dengan santainya berjalan ke arah si satpam tampan. Satpam Slamet masih bengong memegangi sebuah celana dalam perempuan di tangan kirinya.
"Aku duluan ya", ujar gadis itu sambil mengangkat rok ketatnya.
Sambil duduk berjongkok di atas badan satpam Bambang, dimasukkannya benda hitam mengkilat tersebut di antara selangkangannya yang putih. Kontras benar dengan badan Bambang yang coklat hitam.
"Enak nggak?", katanya sambil menggerakan pinggulnya ke atas bawah.
Hangat dan erat terasa di dalamnya. Halus dan lebat terasa rambut kelaminnya di sebelah luar.
"Gantian dong", kata gadis yang lain sambil menepis tangan Alfon yang dari tadi sibuk masih meremasi pantat dan pahanya.
Kembali satpam Bambang menahan napas, menyaksikan gadis itu menjepit kelelakiannya dengan lubang surgawi yang terletak di pangkal dua paha yang mulus. Bulunya tidak selebat rekannya, namun gosokan pangkal pahanya terasa bak sutera. Goyangan maju mundurnya membuat Bambang tak berdaya lagi. Pijitan-pijitan kuat disertai rasa licin yang menggelikan melebihi kekuatan keperjakaannya.
Pria bersepatu lars itu hanya mampu menelan ludahnya menyaksikan kedua gadis itu sedang merenggut keperjakaan si satpam muda yang sebentar lagi mengakhiri masa lajangnya itu. Keduanya berjongkok di lantai dengan tangan mengurut batang kelelakian si satpam. Mereka berebutan melahap cairan keperjakaan yang menurut orang berkhasiat untuk obat awet muda. Satpam Alfon tertawa-tawa sambil melepas semua Pakaiannya. tampak badannya yang hitam dan berbulu lebat. Satpam Slamet yang dari tadi hanya bengong akhirnya ikut-ikutan telanjang.
"Perintah dari atas sudah turun ini", pikirnya.
Sampai di situ, si pria bersepatu lars ini akhirnya tak mampu menahan hasratnya lagi. Bergegas dia menuju ke kamar mandi untuk menunaikan hasrat kelelakiannya.
Lima menit kemudian, si pria bersepatu lars itu nampak baru keluar dari kamar mandi. Mukanya berkeringat.
"Kurangajar cewek-cewek itu, bikin gua jadi kayak amatiran aja", makinya dalam hati.
Kembali dia merangkak ke ruang utama museum. Masih saja sempat dia melirik ke belakang. tampak satpam Timbul yang telanjang di bagian bawah tubuhnya, masih tergolek bengong di kursi. Tak ada yang mempedulikannya lagi karena kedua satpam yang lain tengah sibuk dengan urusannya masing-masing.
Si satpam 'gorilla' yang berbadan hitam dan berbulu itu nampak sedang menggendong si gadis yang berambut lurus. Kedua kaki gadis yang mulus itu mengapitnya ke pinggang, sementara tangannya berpegangan ke leher. Satpam kekar itu cukup menggunakan sebelah tangannya untuk menopang pantat padat si gadis. Sambil berjalan kesana kemari, dipastikannya bahwa batang prianya telah menancap sedalam-dalamnya ke dalam liang surgawi gadis tersebut. Tangannya yang lain meremas-remas tubuh putih di depannya. Mulut dengan bibir tebalnya mengigit dan menjilati dada padat gadis itu. tampaknya gadis bertubuh langsing itu juga menikmatinya hingga mulutnya terbuka dan menengadah ke atas. Maklumlah, ukuran Irian, siapa yang tidak akan puas?
Lain halnya dengan gadis berbadan montok yang berambut ikal itu. Sambil berdiri dengan kaki mengangkang, dibiarkannya badan Slamet yang pendek dan kumal itu menempel ketat ke tubuhnya yang mulus. Satpam Slamet memaju-mundurkan pinggulnya dengan penuh semangat, sementara kedua tangannya meremasi pantat dan pinggul montok gadis itu. Namun, si gadis tampak tak menikmati sama sekali. Kedua tangannya tak memeluk tubuh lawan mainnya, melainkan memegangi kaosnya ke atas. Branya menggantung dan terbuka di bagian depan. Mulut si satpam nampak rakus melahap kedua belah dada yang montok dan putih itu secara bergantian.
Pada saat yang bersamaan, pria bersepatu lars tersebut berlari ke pintu belakang gedung museum. Wajahnya nampak lebih cemas daripada sebelumnya. Belum ada tiga langkah pria tersebut melangkah keluar dari pintu belakang, sudut matanya menangkap gerakan cepat di samping kirinya. Terlambat sudah. Sebuah pukulan telak mendarat di tengkuknya. Seorang pria lain, yang mengenakan sepatu cats, dengan gesit memeriksa semua saku korbannya yang tergeletak pingsan. Kemudian dengan tangkas, dipanjatnya pohon mangga yang bersebelahan dengan tembok luar halaman museum. Dengan sekali lompat, mendaratlah dia di seberang luar kompleks museum.
Entah beberapa lama kemudian, si pria bersepatu lars nampak tertatih-tatih melintasi halaman samping kompleks museum. Dari jendela ruang petugas keamanan, dia masih sempat melihat satpam Alfon sedang menyetubuhi kedua gadis itu. Keduanya telanjang bulat dan menungging bersebelahan. Lima goyangan di sini, lima goyangan di situ. Bergantian dan agar adil maksudnya. Tangannya meraba-raba kedua tubuh gadis itu secara bersamaan. Satu tangan buat yang ini, satu tangan yang lain buat yang itu, dengan dada dan pantat menjadi sasaran utama. Adapun kedua satpam yang lain terlihat sudah tergolek tak berdaya.
Pria bersepatu lars tersebut segera meninggalkan kompleks museum melalui pintu gerbang utama yang terlupa belum dikunci. Sebuah mobil warna merah metalik sudah menunggu di sana.
"Cepat masuk", perintah si pengemudi mobil.
Kemudian dengan cepat mobil itu menghilang di kegelapan malam Jalan Sukamiskin.
Sambil berjalan dengan cepat, pria bersepatu cats tadi mengeluarkan sebuah telepon genggam. Wajahnya tegang menunggu respons.
"Halo", terdengar suara di telepon.
"Halo, gagal Bos, nanti saja saya ceritakan di kantor", katanya singkat.
Dimatikan teleponnya, dan segera ia berjalan ke belakang sebuah gardu listrik. Rupanya ini adalah tempat dia menyembunyikan sepeda motornya. Sebuah sepeda motor bebek warna hitam.
*****
Siapakah kedua gadis cantik itu? Siapakah sebenarnya pencuri berlian Kohinoor? Nantikan kelanjutannya dalam sequel berikutnya (Para Pion). Yang pasti, dugaan anda semua dijamin pasti keliru!
Bersambung . . .