Markas Kelompok Mafia Naga Hijau
"Benar-benar goblok kamu!", maki seseorang berbadan gendut.
Siapa lagi kalau bukan A Hong, konglomerat kaya sekaligus bos mafia Naga Hijau tingkat nasional. Obat bius, perek, dan judi, semua dikuasainya. Tangan kanannya memegang sebuah rotan panjang.
"Ampun Bos", teriak seorang pria yang terduduk di lantai ketakutan.
Pria tersebut adalah pria yang mengenakan sepatu lars tadi. Kedua tangan dan lengannya membiru memar bekas pukulan. Dari hidungnya menetes darah segar.
"Bukan salah saya, Bos", katanya kesakitan.
"Sudahlah Bos", kata seorang pria yang lain.
Pak Tom panggilannya. Dia adalah si sopir mobil merah metalik.
"Ini adalah konspirasi tingkat tinggi", katanya membela temannya.
"Maksudmu, si bangsat jenderal pensiunan itu?", tukas si Bos dengan nada tinggi.
"Siapa lagi Bos, kalau bukan dia?", jawab si sopir sambil menolong temannya berdiri.
"Ada satu orang lagi", kata seorang pria tua yang berdiri di sudut.
"Teratai Biru", jawab si engkong kalem.
"Aku barusaja dapet info, itu tuh dari temenmu si polisi. Ini mafia dari daerah segitiga emas yang terkenal dengan transaksi gelap barang-barang berharga", katanya sambil menghisap cerutu mahal buatan Kuba.
"Ini memang spesialisasi mereka", tambahnya lagi.
"Begini teoriku..", katanya lagi sambil berdiri.
"Si jenderal nyuruh seseorang buat ngambil berlian waktu alarm udah mati. Itu waktu Bejo ada di kamar mandi", katanya sambil melotot ke arah pria bersepatu lars bernama Bejo yang nampak bersalah.
"Naa, Teratai Biru juga punya orang suruhan yang nunggu Bejo di luar. Ndak dapet juga dia, soalnya kan Bejo ndak punya berliannya. Si maling yang beneran, masih nunggu dalem gedung dan baru keluar setelah semuanya aman"
Semua orang yang ada di ruangan itu benar-benar kagum dengan ketajaman otak si engkong yang telah berumur sembilan puluh tahun itu.
"Mungkin juga bisa kebalik skenarionya", jelasnya lagi.
"Orangnya Teratai Biru yang ngambil, satunya lagi orangnya jenderal. Pokoknya ini permainan segitiga. Aku ndak bisa lihat siapa lagi yang berani dan mampu ikut-ikutan selain kelompok kita, jenderal, dan Teratai Biru. Ini pencurian tingkat tinggi. Liat, koneksinya ke pihak kepolisian. Belum lagi resikonya. Lagian, liat itu timingnya, gimana mereka bisa tahu? Yang jelas, kita sudah berada di pihak yang kalah", katanya sambil melemparkan sisa cerutunya ke lantai.
"Terus kita harus gimana Kong", tanya si Bos.
"Ada dua hal", kata si engkong tegas.
"Periksa semua jalur telepon dan sistem telekom punya kita. Aku pengin tau apa ada yang menyadap. Aku percaya orang-orang kita semua setia. Kecuali kalo ada yang mulai berani macam-macam", katanya pasti.
"Kedua, telepon cepat itu polisi, bilang aja apa adanya. Kita atur rencana selanjutnya nanti saja", kata sang godfather tegas.
"Baik Kong", jawab A Hong dan segera keluar dari ruangan.
Si engkong duduk di kursi sambil mengambil dan menyalakan sebuah cerutu yang baru.
*****
Markas Polisi Pusat, Jalan Tanah Abang 13
Rapat bersama jarak jauh (conference call) baru saja selesai. Inspektur Ahmad menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Baru saja dia mendapat teguran dari Ibu Negara, gubernur, berikut walikota sekaligus. Dia adalah polisi teladan pemegang tujuh penghargaan propinsi dan nasional. Dialah yang seharusnya bertanggungjawab atas pengamanan museum nasional.
"Dua minggu harus sudah beres, atau pensiun dipercepat"
Masih terngiang kata-kata itu di telinganya.
"Bukan salah mereka", katanya dalam hati.
Raja Nepal bahkan sudah mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik plus ganti rugi sekian persen dari anggaran belanja negara.
"Ada berita tentang dua gadis cantik itu?", tanyanya ke ajudan di sebelahnya.
"Belum Pak", jawab kapten Anton.
"Masih buron. Kita telah menyebarkan orang ke semua universitas, akademi, klub malam, dan berbagai tempat. Ciri-cirinya cukup jelas. Ini menurut deskripsi ketiga satpam itu", tambahnya.
"Jangan lupa dengan si pegawai kafetaria. Dia juga masih buron kan?", tanyanya.
"Betul Pak. Keluarganya di desa bilang tidak tau apa-apa. Sudah lima tahun tidak pulang", jawab bawahannya.
"Ada berita baru dari satpam-satpam itu?", tanya Pak Ahmad lagi.
"Tidak Pak, pernyataan mereka belum berubah", jawab si kapten.
"Kedua gadis itu sudah kabur sebelum ketiga satpam itu sadarkan diri dari tidur. Kasihan satpam Bambang Pak, keluarga dan calon istrinya bahkan sempat datang ke sel", katanya lagi.
Inspektur Ahmad hanya mempu menghela napas panjang.
"Orang jujur dan tak tahu apa-apa memang yang biasanya selalu menjadi korban", katanya sambil masuk ke kantornya dan mengunci pintu dari dalam.
*****
Sementara itu, seorang polisi lain nampak bergegas masuk ke kantor wakil inspektur Budi.
"Ada kabar buruk Pak", katanya sambil menutup pintu.
Dari luar kantor, nampak keduanya bersitegang. Wakil inspektur Budi nampak marah.
"Kurang ajar, jenderal bangsat", makinya.
"Kata A Hong, Teratai Biru juga ikutan Pak", ujar kopral Triman.
"Aku sih yang bilang ke engkong tentang info Teratai Biru. Aku sendiri dengar kabar itu dari Pak Ahmad", kata si wakil inspektur dengan nada hati-hati.
"Ini top secret", bisiknya.
"A Hong bilang meetingnya besok, jam sembilan di Hotel Mutiara Pak", kata bawahannya lagi.
Atasannya mengangguk-angguk setuju.
"Ada kabar dari dua perek yang kita sewa itu?", tanyanya.
"Tidak Pak. Orang saya sempat ke tempat mereka, tapi pembantunya bilang sedang pergi luar kota. Dua cewek itu memang laris Pak, banyak pejabat yang suka. Tapi jangan kuatir Pak, tidak ada yang tau kalau kita yang nyewa. Kan kita pakai orang ketiga", kata si kopral.
Kembali atasannya manggut-manggut.
"Itu yang paling penting. Keterlibatan kita dan kelompok Naga Hijau harus dirahasiakan", katanya pelan.
"Pak, nanti kalo Bapak jadi inspektur kepala, jangan lupa sama saya ya", bisik si kopral korup.
Senyum lebar mengembang di wajah atasannya.
"Ah, gagal dapat berlian, tapi gua masih dapat posisi kepala", katanya dalam hati.
"Tapi kalau kedua-duanya bisa dapet, lebih baik lagi", pikirnya agak menyesal.
*****
Vila Mewah di Puncak
Ini adalah villa milik seorang pensiunan jenderal angkatan darat. Sukimin, jenderal berbintang empat, teman baik pejabat-pejabat orde baru maupun orde reformasi. Dia punya bisnis perkebunan, tanaman keras, dan pertambangan yang luar biasa sukses. Kabarnya dia mulai tertarik dengan bisnis kotor batu-batu mulia, penyelundupan maksudnya.
Suasana pagi nampak sedikit terganggu dengan suara-suara kecil di kamar tidur. Seorang Bapak tua sedang menelungkup di atas ranjang dengan dipijit oleh dua orang gadis cantik.
"Jangan malu-malu, apa kamu belum pernah ngeliat orang telanjang", katanya tertawa-tawa.
Gadis manis bertubuh kecil berisi itu menjawab dengan malu-malu, "Belum tuch Pak".
Tangannya kuning langsat tipe orang sunda. Pijatannya ke punggung si bapak nampak canggung. Gadis yang lain nampak sudah terbiasa dengan aktifitasnya. Badannya lebih tinggi dengan warna kulit sawo matang. Wajahnya juga cantik dan berambut sedikit ikal.
"Sini, sini", kata si bapak sambil membalikkan badan dan menarik kaki gadis itu.
Si gadis nampak ketakutan melihat kepunyaan sang jenderal yang hitam.
"Mirip dodol garut yang dijual sama Ibumu di desa ya?", kata si bapak sambil tertawa-tawa.
Dibukanya kedua belah kaki gadis yang mungil itu. Dibaliknya roknya hingga nampak sepasang paha mulus dan celana dalam warna krem di pangkalnya. Pak Jenderal mulai menggosokkan mukanya ke paha sebelah dalam yang halus itu. Rontaan gadis itu tak banyak berguna karena gadis yang lain ikut menelentangkan badannya serta memegangi tangannya.
"Ampun, ampun", teriak gadis itu bertambah ketakutan.
"Pegangi terus", perintah si bandot tua kepada gadis satunya sambil melolosi celana dalam si gadis malang.
Tampak rambut kewanitaannya yang tak terlalu lebat namun halus.
"Aah, ini baru namanya perawan desa", katanya sambil mulai menjilati bibir kelamin si gadis yang masih tertutup.
"Enak", katanya lagi sambil memainkan si daging mungil dengan lidah dan jarinya.
Lalu, sang jenderal bangkit dan merentangkan kedua kaki si perawan desa lebar-lebar. Rontaannya bertambah kuat, namun apa daya, tenaga tak ada.
"Tenang aja", kata gadis satunya yang berkulit sawo matang.
"Entar kalo udah biasa enak kok", katanya santai sambil memegangi kedua pergelangan tangan rekannya erat-erat.
Sementara itu, di ruang tamu villa.
"Tunggu sebentar, Bapak lagi sibuk", kata seseorang berbadan kekar kepada kedua tamunya.
Tamu itu, si pria bersepatu cats tadi malam dan seseorang lagi bertopi pet mengangguk paham.
"Pak Jenderal memang terkenal dengan kesukaannya 'makan' perawan desa yang dipilihnya sendiri dari para pekerja perkebunan teh di sekitar villanya"
Keduanya duduk di kamar tamu yang berkarpet merah dari Itali.
"Biar aku saja yang bicara", bisik si pria bertopi pet.
"Pak Jenderal kenal baik sama aku. Kalem aja", katanya menenangkan temannya yang nampak cemas sekali.
Kembali dengan sang jenderal dengan gula-gulanya.
"Aah", puas wajah Pak Jenderal ketika kelelakiannya berhasil menerobos sampai setengahnya. Tarik lagi, dorong lagi, baru akhirnya masuk semua. Segera ditindihnya badan mungil di bawahnya itu. Kedua tangannya menyingkap kain rok tersebut sampai ke atas dada, kemudian direnggutnya bra penutup kedua belah dada yang padat dan ranum itu.
"Aah", katanya lagi karena puas sambil meremasi kedua benda kenyal itu.
Mulutnya menghisap dan menjilati puting merah muda serta mungil itu. Sementara pinggulnya terus memompa keluar masuk. Wajahnya nampak kegirangan melihat noda darah di sepreinya.
"Aah", katanya lagi seperti kesurupan.
Setengah jam kemudian, Pak Jenderal nampak menjamu kedua tamunya di dalam kamar tidurnya. Badannya masih terbalut handuk di bagian bawah.
"Gampang Pak, kalo cuma ngakalin gerombolannya A Hong. Saya udah dapet semua rekaman teleponnya. Tau persis waktu sama modus operandinya. Tapi saya tidak tau Pak, kalo sampai ada pihak ketiga", kata pria bertopi pet memecah kesunyian.
Pria bersepatu cats sempat melirik ke sepasang gadis cantik yang hendak meninggalkan kamar, ketika Pak Jenderal mulai angkat bicara.
"Setahumu, teman-temanmu tidak ada yang terlibat kan?", tanyanya dengan suara bariton.
Pria bersepatu cats, yang tak lain adalah satpam museum yang bertugas di siang harinya, menjawabnya dengan ketakutan.
"Alfon sama Slamet pasti tidak tau Pak. Saya berani jamin. Apalagi Bambang, kan dia orang baru. Baru dua minggu kerja. Naa, kalo Mamat itu, saya tidak tau Pak. Orangnya misterius, tidak suka ngobrol sama kita-kita", tambahnya.
Pak Jenderal tak menjawab, diam seribu bahasa. Rupanya dia masih belum mengetahui keberadaan kelompok Teratai Biru. Itu adalah informasi baru dari pihak kepolisian yang masih top secret, rupanya.
*****
Hotel Mandarin, Bundaran Ibu Kota, Kamar 77, Pukul 11.00
Seorang pria berbadan hitam kurus tak terawat sedang menyetubuhi seorang gadis cantik bertubuh tinggi montok dan berkulit putih. Si pria bernafsu sekali dengan gerakan maju mundur pinggulnya. Mulutnya yang tonggos menghisapi dada montok gadis itu. Kedua tangannya menahan kaki gadis yang mulus itu ke ke samping badan, sehingga penetrasinya bisa maksimal. Gerakan pantatnya tiba-tiba terhenti. Pilar kejantanannya menghunjam dalam-dalam. Kepalanya terangkat ke atas, dan dari mulutnya keluar kata-kata yang tak jelas. Entah itu sumpah serapah ke pemerintah daerah ataupun pujian ke surga. Kemudian ambruklah dia karena kelelahan dan penuh kepuasan. Maklum, gadis itu benar-benar mirip bintang film hongkong yang sering dia lihat di bioskop murahan Pasar Senin karena dia cuma buruh kelas rendahan.
Belum lima menit rebahan di atas tubuh yang putih montok itu, pria tersebut mengangkat kepalanya dengan terkejut. Demikian pula dengan gadis itu, terhenyak bangun sambil berusaha menutup tubuhnya yang masih telanjang.
"Lho kamu", ujarnya terkejut sekaligus ketakutan melihat seorang pria yang telah berdiri di samping ranjang.
Maklumlah, pria itu memegang sebuah pistol dengan peredam suara.
"Jubb.., jubb.., jubb..".
Tiga peluru menembus tubuhnya yang telanjang. Satu di kepala, dua di punggung.
"Jubb..", satu peluru lagi menghantam si gadis di bagian kepala.
"Jubb", satu lagi di leher.
Keduanya tewas seketika dengan bermandikan darah dan keringat.
Sepuluh menit kemudian, pria misterius itu nampak meninggalkan kamar dan berlari ke arah tangga darurat. Tangan kirinya menenteng sebuah tas kulit hitam. Dengan telepon genggamnya, dihubunginya sebuah nomor.
"Halo Pak Jenderal, Berhasil Pak", katanya.
"Bagus, kamu pagi-pagi ke tempatku", perintah suara di telepon.
Pria tersebut menutup teleponnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Anak buahnya sendiri aja sampai kagak tau kalau dia punya rencana cadangan. Bekas orang intelijen sih", pikirnya dalam hati.
"Aku hebat juga, Pak Bos sama Engkong aja nggak kepikiran, ha.., ha..", pikirnya bangga.
"Goblok juga si Bejo, kagak periksa ruang kafetaria tempat si Mamat ngumpet. Malah kesenengan ngintip, ha.., ha.., Hebat Pak Jenderal, semuanya sampai udah diperhitungkan", katanya dalam hati dengan penuh takjub.
Segera dinyalakannya mesin dan dikemudikannya mobilnya ke arah Pelabuhan Ratu.
*****
Villa Mewah Di Pelabuhan Ratu
Seorang gadis berbadan putih telanjang sedang bersetubuh dengan posisi di atas membelakangi pasangannya. Kedua belah pahanya yang mulus bersimpuh di atas badan telanjang seorang pria setengah baya. Kedua tangannya memegang erat lutut di depannya untuk memudahkan goyangan pinggulnya. Pria yang berada di bawah, meletakkan telepon genggamnya di atas meja samping. Diremasnya kedua belah dada yang tak terlalu montok namun padat itu dari belakang. Kemudian dibelainya kedua belah lengan dan tubuh gadis yang tak terlalu tinggi tapi langsing itu.
"Ha.., ha.., aku memang jenderal terhebat di seluruh dunia", tawanya keras.
Si gadis nampak tak peduli dan tetap meneruskan goyangannya. Sudah terlalu sering dia mendengarkan bualan dan khayalan para pejabat di atas tempat tidur.
*****
Tampaknya semuanya sudah tersingkap, siapa saja para pelaku dan dalang pencurian berlian Kohinoor. Tapi jangan senang dulu, bagian ketiga pada sequel cerita berikutnya (Sang Dalang) bakal membuktikan bahwa anda semua keliru, pihak yang anda sangka sebagai dalang, sebenarnya masih sekedar 'pion'. Akhir cerita akan benar-benar di luar dugaan, dimana si dalang sesungguhnya, benar-benar sangat professional dalam mempermainkan semua lawannya.
Bersambung . . .