Sesampai di rumah aku segera masuk ke kamar mandi dan membasuh muka yang terasa sangat kotor dan lengket terutama karena tadi bersama dengan Bram aku kebagian helm yang tidak ada kaca penutupnya (helm chips) seperti yang dipakai polantas. Jadi maklum aja kalau keringat bercampur debu di jalan harus segera dibasuh bersih kalau tidak bisa tambah hancur aja penampilanku terkena jerawat akibat debu dan kotoran yang menyumbat pori-pori muka. Selagi asyik membasuh wajah mendadak telfon dari ruang tengah berdering. Sambil agak sedikit mengomel aku berjalan menghampiri masih dengan waslap (lap pembersih untuk mandi) di tangan aku mengangkat gagang telfon.
"Ya hallo, selamat sore," ujarku.
"Sore, maaf bisa bicara dengan Handy, Mas?" ujar suara lembut dan empuk yang tidak asing lagi di telingaku.
"Ya saya sendiri," ujarku dengan nada riang karena mengetahui Hera menelefonku.
"Ohh.. Ini kamu ya And? Tumben koq suaranya agak lain?"
"Iya nih Ra.. Abis sambil bersihin muka sih," ujarku.
"Ohh sorry baru pulang ya. Gini And, tadi siang si Lie Chun nelfon. Dia bilang kamu ngikutin dia pulang ya, katanya dia takut sekali. Sepertinya kamu hendak berbuat sesuatu kepadanya. Katanya dia sampai berlari melompat ke dalam angkot yang sedang melaju?".
Nah loh apa-apaan lagi nih.. Skenario macam apa yang tengah digarap oleh Lie Chun pikirku. Wah jangan-jangan dia bermaksud membuat hubunganku dengan Hera bubar pikirku.
"Hah? Memangnya dia ngomong begitu ya Ra?" ujarku dengan agak jengkel.
Namun tak urung aku agak khawatir juga takut-takut Hera sampai percaya dengan omongan Lie Chun. Maklumlah hubunganku dengan Hera belum lama masih terhitung baru sedangkan Hera dan Lie Chun telah kenal lumayan lama semenjak di bangku SMP sih kalau tidak salah.
"Iya sih, maka dari itu aku nelfon ke kamu, soalnya aku tidak percaya. Lagipula buat apa kamu ngejar-ngejar dia iya nggak? Lagian dia khan tidak ikut aktif di senat jadi ada keperluan apa kamu ngejar dia. Begitu pikiranku Ndy. Jadi aku konfirm ke kamu takutnya kamu tidak tahu omongan apa yang terjadi di belakang," ujar Hera.
"Syukurlah Tuhan, Hera tidak terpengaruh," ucapku dalam hati.
Puji syukur juga punya pacar yang baik dan pengertian seperti Hera ini yach; mana cantik and sexy lagi. Wah kupikir tak akan kulepas deh, semoga jadi istri nantinya harapku dalam hati.
"Ra, aku juga terus terang tidak mengerti kenapa dia ngomong begitu sama kamu. Terus terang tadi di kelas aku cuman menyapanya dan kulihat ia malah menghindar dan bergegas pergi. Kupikir ada masalah apa. Tapi waktu kudekati ia malah semakin cepat melangkah dan malah sampai separuh berlari. Terus terang aku nggak enak ia bersikap demikian. Kamu kan sendiri tahu sikap dia belakangan terhadap kita bagaimana. Jadi aku menegur dia ya untuk mengetahui duduk permasalahannya," ujarku berusaha meyakinkan Hera.
"Iya sih. Maka dari itu aku nelfon kamu salah satunya juga untuk minta tolong agar kamu berusaha meluruskan masalah ini. Soalnya aku jadi nggak enak masa hanya karena kita jadian sampai harus kehilangan teman lama. Tolong deh kamu ke kostnya kalau sempat. Oke deh aku mau mandi dulu ya, bye Andy", ujar Hera mengakhiri topik pembicaraan, lalu setelah saling mengecup mesra lewat telfon kami pun segera mengakhiri pembicaraan.
Akhirnya sore itu setelah beristirahat sejenak dan seusai mandi sore akupun berangkat ke tempat kost Lie Chun selepas magrib.
Setibanya aku di tempat Lie Chun hari telah mulai gelap (benarnya sih dah gelap banget), tapi berhubung sudah di niatin ya tetap saja aku nekat bertandang. Aku turun dari MB Brabus S73 (CL600 Body) milik pamanku (karena aku kost di rumahnya). Padahal amit-amit seumur hidup aku belum pernah naik mobil setan itu (karena larinya seperti setan dan harganya mungkin cuman untuk orang yang sekaya setan). Lagipula aku terbiasa berangkat kuliah naik angkot jadi rada kagok juga. Tapi berhubung udah malam dan mulai jarang ada angkot yang lewat serta kebetulan mobil yang ada cuman itu jadi kupinjam saja dengan alasan isi bensin.
Perlahan kubuka pagar pekarangan tempat kostnya yang terletak di kawasan elit kota Bandung.
"Hmm nampaknya tidak di kunci nih" pikirku, lalu perlahan aku berjalan masuk.
Sebenarnya sih rada ragu-ragu juga apalagi di pintu pagar depan di tempel tulisan "Awas Anjing Galak" lengkap dengan gambar herder yang lidahnya menjulur seperti kena rabies. Tapi kupikir masuk sajalah tokh pengalamanku bertandang ke rumah Hera yang pagar depannya ada gambar serupa juga ternyata cuman bohong-bohongan belaka. Akan tetapi kalau Hera sih memang si Blecky udah mati di culik sama orang Lapo Tuak dekat rumahnya.. Kemana lagi kalau nggak udah jadi ampasnya orang Batak, he.. he.. he.. (sorry buat yang Batak aku masih ada keturunan Batak juga koq).
"Hmm.. Terus terang perkarangan rumahnya terlihat sepi, waduhh kacau juga nih.. Nggak ada orang entar dikirain rampok lagi," runtuk diriku.
Tapi karena ada cahaya yang lumayan benderang dari dalam rumah berarsitektur Belanda tersebut jadi ya aku terus saja berjalan masuk. Pintu masuk yang terbuat dari kayu kuno yang sangat besar tersebut tampak kokoh dan terkunci rapat. Perlahan kuketok..
"Waduh keras juga nih, dari kayu jati rupanya", pikirku.
Lama tak ada tanggapan. Lalu perlahanku dengar langkah kaki setengah agak di seret seperti orang malas berjalan ke arah pintu.. Lalu dengan suara agak berderit pintu di tarik terbuka.. Dan alangkah terkejutnya orang tersebut karena melihat yang datang adalah aku. Akupun tidak kalah terkejut karena yang membuka ternyata adalah Lie Chun sendiri.
Sejenak kami saling terlongo dan terdiam tidak tahu harus berkata apa. Mungkin lebih kayak dua orang yang sama-sama naksir dan nggak nyangka ketemuan. Tapi terus terang ini keadaannya beda karena aku dan Lie Chun bukan sepasang kekasih ataupun orang yang diam-diam sedang kasmaran tapi malu-malu meskipun di salah satu pihak ada rasa cinta.
Lantas aku berinisiatif terlebih dahulu membuka suara. Kupikir tokh mendingan ngomong duluan daripada dianya keburu banting pintu. Apalagi dalam pikiranku Lie Chun belum cukup dewasa terutama dalam menerima kenyataan hidup.
"Lie.. Aku datang ke sini untuk.."
Lalu "Plakk.." belum sempat kata-kataku selesai kurasakan pipiku panas dan pedas di iringi kata-kata "Bangsat.." Dari bibir mungil milik Lie Chun yang langsung berlari masuk ke dalam tanpa sempat menutup pintu lagi.
Terus terang aku sempat terlongo-longo mendapat perlakuan seperti itu. Belum pernah ada yang memaki aku seperti itu apalagi sampai menampar segala, perempuan lagi. Namun kesadaranku segera pulih terutama karena mengingat misiku ke tempat ini adalah untuk meluruskan persoalan sekaligus memenuhi mandat dari Hera kekasihku yang menginginkan agar hubungan kami bertiga pulih kembali seperti dulu saat aku belum jadian dengan Hera. Aku segera mengejar masuk ke dalam sembari menutup pintu agar tidak terlalu mencolok terlihat ke luar kalau-kalau kebetulan ada yang melihat. Namun Lie Chun terus berlari ke tangga utama dan naik ke atas.
"Rupa-rupanya kamarnya di atas nih," pikirku sambil berjalan cepat mengikutinya.
Namun ketika Lie Chun masuk ke dalam kamarnya ia segera membanting pintu kamar tersebut sehingga langsung tertutup. Dalam hati aku menjadi ragu.
"Di terusin nggak ya? Kalau di terusin terus entar teman-teman kostnya teriak rampok bisa celaka aku, tapi kalau entar masalahnya tambah kacau gimana?" pikirku dalam hati.
Sedang ragu berfikir demikian tiba-tiba aku mendengar isak tangis dari dalam kamar Lie Chun.
"Waduh celaka deh nih anak sudah pakai acara nangis segala," umpatku kesal dalam hati.
Lalu aku segera membuka pintu kamarnya secara perlahan-lahan agar tidak terdengar dan kututup secara perlahan juga. Kulihat Lie Chun sedang berlutut di tepi ranjang dengan kepala yang di benamkan ke dalam bantal. Perlahan dengan tangan agak bergetar dan juga rasa ragu-ragu kusentuh pundak Lie Chun. Namun ia malah semakin membenamkan wajahnya dalam bantal dan menangis sekeras-kerasnya.
"Wah kalau sudah begini mampus deh", pikirku dalam hati.
Terus terang aku tidak punya pengalaman meredakan tangis wanita terutama karena ibuku sendiri jarang menangis ataupun terlihat menangis. Juga karena aku sebagai seorang anak lelaki pertama yang memiliki jarak kelahiran yang cukup jauh dari adik-adikku. Jadi sebelum mereka menjadi remaja aku sudah keburu merantau ikut paman sejak SMA.
Jujur saja aku sebenarnya sudah bingung sekali menghadapi ulah Lie Chun apalagi di tambah pakai acara nangis bombay kayak gini. Mending nonton film "Salam Bombay" daripada liat orang nangis bombay begini. Di antara kebingunganku akhirnya kunekatkan untuk membelai rambut Lie Chun yang kala itu sedang tidak di ikat atau di gulung ke atas seperti biasanya. Rambut yang halus panjang terurai sebahu ituku belai-belai dengan lembut. Tercium olehku semerbak harum rambutnya.
"Wahh koq malah jadi kayak begini sih" pikirku menyadari apa yang sedang kuperbuat.
Namun kurasa apa yang kuperbuat belum bisa di kategorikan sebagai bentuk penyelewangan ataupun ngelaba, karena niatku benar-benar tulus untuk meredakan tangisnya. Karena meskipun gahar dan macho begini aku terus terang paling tidak kuat mendengar tangis perempuan. Rasanya seperti mendengar ibu sendiri yang sedang menangis. Oke lanjut ke cerita semula.
Bersambung . . . .