Namun tangis Lie Chun tetap keras terdengar sehingga semakin menambah kepanikan dan kebingunganku saja. Akhirnya sembari membelai lembut rambut Lie Chun akupun mati-matian menenangkannya.
"Lie Chun.. Diam dong.. Kamu koq nangis sih.. Memang ada masalah apa.. Aku terus terang minta maaf kalau seandainya menyakitimu," ujarku sembari berusaha menenangkannya.
Kata-kata itu dan beberapa kata-kata lainnyaku ucapkan berulang kali agar ia tenang dan mau meredakan tangisnya. Syukurlah perlahan-lahan tangis Lie Chun pun mereda. Akhirnya ia hanya terisak-isak perlahan saja dengan wajah yang masih dibenamkan di dalam bantal. Aku hanya diam sambil terus membelai rambutnya agar ia semakin tenang.
Setelah beberapa menit kemudian, nampaknya Lie Chun sudah bisa tenang. Hanya sesekali ia sesungukan. Akan tetapi wajahnya masih belum di angkat. Kupikir ia pasti merasa malu. Namun agar tidak menjatuhkan mentalnya aku tetap diam duduk di sisi ranjang sembari terus mengelus rambutnya yang wangi itu.
Cukup lama juga kami dalam posisi seperti itu di mana kami berdua saling diam-diaman sembari aku tetap mengelus rambutnya dan ia tetap membenamkan wajahnya di bantal yang sudah basah oleh air matanya. Sampai akhirnya tangisnya berhenti dan ia perlahan mulai mengangkat wajahnya.
Saat Lie Chun sudah mulai tenang dan menatap wajahku, kulihat mukanya yang agak kemerahan karena habis menangis dengan mata masih berkaca-kaca. Ia menatapku lama sekali dan agak dalam. Terus terang aku lama-kelamaan menjadi jengah ditatap seperti itu. Agar suasana cair akupun berusaha mengajaknya berbicara.
"Lie Chun, aku terus terang tidak mengerti atas apa yang baru saja terjadi, dan aku meminta maaf kalau telah menyebabkan kamu menangis", ujarku sambil menatapnya lembut.
"Sstt.. Kamu tidak salah Ndy, aku yang salah telah berharap banyak dari kamu. Semestinya dari pertama aku menyadari tidak akan mungkin bisa bersaing dengan Hera, karena kulihat tatapan matamu kepadanya lebih dari sekedar teman biasa", ujar Lie Chun sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibirku.
Lalu tanpaku sadari perlahan Lie Chun mengecup lembut bibirku. Mendapat perlakuan seperti itu aku awalnya hanya mendiamkan saja karena kupikir kalau aku langsung melakukan penolakan suasana pasti akan menjadi lebih buruk lagi. Namun kenyataannya Lie Chun justru seperti mendapat angin segar, dan ia semakin menjadi-jadi dengan mulai melakukan "French Kiss" dan mencium wajah serta leherku.
"Ohh Handy, kalau aku tidak bisa memilikimu tolong berikan kepadaku kesempatan malam ini saja. Tolong jangan kecewakan aku, aku sungguh sangat mencintaimu", ujar Lie Chun dengan semakin gencar menciumi diriku dan mulai membuka paksa pakaianku.
Aku terus terang mulai terdesak apalagi aku datang ke sana justru dengan misi damai bukannya dengan maksud untuk melakukan perbuatan laknat. Aku berusaha mendorong dirinya agar menjauhiku.
"Stop Lie Chun, tolong jangan paksa aku. Aku masih mencintai Hera. Tolong jangan kau rusak hubungan kami berdua" ujarku sambil bangkit dari ranjang dan menjauhinya.
"Handy, please.. Jangan begitu. Aku tidak bermaksud merusak hubungan kalian berdua, tapi please berikan kepadaku kesempatan sekali saja untuk bisa mencintaimu. Aku sungguh mencintaimu dan sulit bagiku untuk melupakanmu. Tolonglah Han, sekali saja malam ini. Aku janji tidak akan menceritakan apa yang terjadi malam ini kepada siapapun", ujar Lie Chun sambil menatap dengan tatapan memelas ke arahku.
Sebetulnya Lie Chun tidaklah jelek, bahkan untuk ukuran cewek dari Jakarta dia masih sangat cantik. Menurutku wajahnya lebih mirip perpaduan bintang film Hongkong dengan bintang film Jepang sehingga sangatlah menarik jika menatapku dengan wajah memelas begitu. Mungkin seperti perpaduan Vivian Chow dengan Madoka Ozawa barangkali. Namun tatapan memelas yang jelas-jelas dengan tujuan sex seperti ini menurutku harus dihindari karena selain aku tidak yakin mampu bertahan terhadap godaan yang ada, juga karena tidak sesuai dengan tujuanku kemari. Oleh karena itu aku merapatkan tubuh ke arah pintu masuk dengan tujuan untuk menghindari hal-hal tidak terduga.
Namun Lie Chun bukanlah tipe wanita yang mudah menyerah. Ia justru menyeringai tajam dan menatapku dalam-dalam sambil berkata, "Handy, kalau kamu tidak bersedia menemaniku malam ini aku akan berteriak bahwa kamu mencoba memperkosaku, apalagi kamu ada di dalam kamarku bukan?"
Terus terang aku agak panik dalam menghadapi serangan seperti ini. Namun aku berusaha tetap tenang.
"Lie Chun, apakah kamu tega berbuat seperti itu? Kalau kamu memang sungguh mencintaiku, kamu akan membiarkanku pulang dan merestui hubungan kami berdua. Bukankah cinta sejati adalah cinta yang mampu memberikan kebahagiaan kepada orang yang dicintainya?" ujarku setengah berfilsafat setengah memberikan nasehat.
"Persetan kamu Ndy!!", ujar Lie Chun setengah berteriak, "Kamu jangan munafik. Aku tahu kamu bukan lelaki alim. Kamu kira aku tidak tahu lelaki macam apa kamu, berani-beraninya menasehatiku seperti itu!!"
Sambil berkata begitu Lie Chun nekat membuka bajunya, dan ternyata di balik kimono yang di kenakannya ia tidak mengenakan apa-apa lagi. Terlihat jelas bentuk tubuhnya yang indah dengan kulitnya yang putih susu khas wanita tionghoa.
Sejenak aku terlongo mendapat pemandangan indah dan gratis seperti itu. Well harusku akui naluriku sebagai lelaki tidak dapat dikelabui bahwa aku sebenarnya agak terangsang juga, namun aku tetap bersikukuh untuk tidak melakukan affair dengannya. Lie Chun lalu dengan cepat mendekatiku dan menempelkan tubuhnya yang wangi dan tanpa busana itu ke arahku.
"Handy sayang, tolonglah Han, aku ingin malam ini menjadi malam yang terindah bagiku. Biarlah selanjutnya aku menderita dan merana karena tidak bisa memilikimu, namun bahagiakanlah aku malam ini Han", ujar Lie Chun sembari tubuhnya menempel di busanaku dan tangannya sibuk bergerak mengelus-elus selangkanganku, tepatnya di atas permukaan celana tempat batanganku tersimpan.
Terus terang logikaku mulai agak kacau. Nafasku pun mulai memburu. Tapi aku berusaha tetap tenang walaupun mendapat serangan-serangan semacam itu, walaupun harus diakui wangi rambut dan tubuh Lie Chun mulai membutakan mata hatiku. Sembari tanganku kiriku mencari-cari pegangan pintu agar dapat segera kabur tangan kananku sibuk menahan tubuh Lie Chun yang semakin mendesakku ke pintu kamar.
"Lie Chun, tolong.. Jangan Lie, aku khan pacar sahabatmu", ujarku menenangkannya.
"Tidak Ndy, aku tidak peduli. Aku ingin malam ini bersama denganmu, dan kamu jangan coba-coba kabur!" ancam Lie Chun sambil merangkul leherku dan memepetkan tubuh kami berdua ke dinding pintu kamar.
Hal ini tentu saja menyulitkan diriku untuk segera kabur. Namun puji syukur aku segera menemukan gagang pintu yang aku cari. Segera aku putar dan aku langsung memutar badan sekaligus melepaskan diri dari rangkulan Lie Chun. Namun ia masih sempat memegang bajuku. Untung bagiku dan sial baginya karena pintu kamar yang di buka ke arah dalam membentur jidatnya sampai ia mengaduh keras sehingga langkahnya tertahan dan aku dapat segera kabur. Untuk menghindari hal-hal lebih parah lagi, aku langsung loncat dari tengah tangga ke bawah setelah sebelumnya melompati setiap dua anak tangga sekaligus. Untunglah ilmu bela diri yang kupelajari dari salah seorang pimpinan agama di desa kelahiranku banyak membantu dalam situasi seperti ini sehingga aku dapat mendarat di lantai bawah tanpa cidera.
Begitupula di depan pintu depan langsung aku buka dan segera kabur semberi menutupnya dengan agak membanting, lalu sembari merapal ajian ringan tubuh aku melompat salto melewati pagar depan dan mendarat tepat di samping kanan Mercy Sport Brabus S73 CL600 milik pamanku. Seandainya ada yang melihat pasti aku langsung diteriaki maling tanpa tanya terlebih dahulu, apalagi gayaku melompat tadi mirip seperti ninja di film-film laga. Syukurlah malam itu angin sangat kencang dan gerimis rintik-rintik di sertai halilintar menyebabkan daerah sekitar lokasi tersebut sangat sepi. Tanpa banyak cincong aku langsung memutar badan dan membuka alarm pintu dan masuk ke dalam. Segera kunyalakan mesin dan langsung terdengar deruman penuh tenaga akibat aku menggasnya agak dalam dan sembari diiringi suara decitan panjang aku langsung ngebut melaju membelah malam.
Terus terang hatiku masih agak berdebar. Selain karena memang jantung dan nafasku yang memang ngos-ngosan karena habis melakukan aktifitas gila-gilaan seperti itu, juga karena aku sama sekali tidak menyangka bahwa Lie Chun bisa segila itu. Aku lalu mencoba menyusun kronologi jalan cerita yang tidak terlalu heboh agar sekiranya esok Hera meminta kabar dariku ia tidak begitu syok mendengarnya. Lalu sambil memperlambat laju kendaraan aku masuk ke arah tempat tinggal pamanku yang terletak di pinggiran kota Bandung.
Setiba di rumah pamanku aku segera masuk kamar dan tidur sembari berharap semoga dapat melupakan peristiwa heboh yang baru saja terjadi. Untung saja beliau sudah tidur kalau tidak aku harus menjelaskan kepergianku "mengisi bensin" yang lumayan lama itu.
Bersambung . . . .