Keesokan paginya aku bangun agak telat, mungkin karena masih syok. Lalu aku segera mandi tanpa sarapan terlebih dahulu karena memang hari sudah agak siang. Kupikir lebih baik makan di kampus saja tokh kalau tidak ada dosen aku bisa makan pagi di kantin. Sampai di kampus, aku segera masuk mengikuti kuliah Matematika IV yang merupakan salah satu mata kuliah utama di Fakultas Arsitektur. Sambil mencatat segala jenis teori matematika tersebut pikiranku melayang sejenak pada kejadian semalam.
Hmm.. Apakah kejadian tersebut pantasku ceritakan selengkapnya pada Hera atau tidak, karena menurutku meskipun aku tidak melakukan perbuatan apapun pada Lie Chun namun sedikit banyak itu bisa membuat gadis seperti Hera mengalami syok. Akhirnya kuputuskan siang nanti untuk menemui Hera sambil menceritakan garis besarnya saja kupikir tokh sepanjang Hera tidak menanyakan detilnya ia pasti masih bisa terima sikap Lie Chun.
Tak terasa dua setengah jam kuliah matematika yang menjemukan itu berakhir juga. Akhirnya aku keluar sembari melihat keadaan sekitar mencari keberadaan Hera yang kemarin sore telah berjanji untuk menemuiku. Karena sampai sekitar setengah jam belum ada juga akhirnya kuputuskan untuk mencarinya di kantin utama kampusku. Namun anehnya di sana sosok Hera tidak juga bisa kujumpai. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan untuk mencarinya karena Hera biasanya sering pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan kuliah ataupun sekedar meminjam novel-novel favoritnya.
Nyaris lima belas menit aku mencari keberadaan dirinya di dalam perpustakaan tersebut namun anehnya aku tetap tidak berjumpa juga. Akhirnya aku keluar dari perpustakaan dengan langkah gontai. Pikirku ada apa pula begitu sulit bagiku untuk bertemu dengannya. Apakah karena tadi malam aku tidak segera melaporkan misiku. Namun saat hendak keluar dari gerbang kampus aku bertemu dengan Meme (Mei-Mei) salah seorang mahasiswi FISIP teman kuliah Hera. Ketika kutanyakan pada Meme ia hanya menyatakan bahwa tadi seusai kuliah Antropologi, Hera langsung pulang bersama dengan Lie Chun, setelah saat keluar dari ruang kuliah ia ditemui oleh Lie Chun. Tentu saja mendengar hal itu aku sangatlah keheranan.
"Koq bisa-bisanya hal itu terjadi dan mengapa pula ia mau pulang bersama dengan perempuan binal itu?" pikirku.
Akhirnya kuputuskan untuk pergi menyusul ke kediaman Hera. Selain untuk mengetahui apa sebenarnya yang tengah terjadi juga untuk menjelaskan pada Hera mengenai peristiwa semalam. Setiba di tempat Hera kulihat keadaan di luar sepi. Saat kupencet bel akhirnya keluar Surti yang sehari-hari bekerja sebagai pembantu di rumah tantenya Hera.
"Ehh.. Mas Handy, ayo masuk. Nak Hera ada di dalam tuh sama temannya. Masuk aja Mas", ujarnya mempersilakan diriku untuk masuk. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam saja, karena tokh pembantu tantenya Hera mempersilakan diriku untuk langsung saja ke dalam.
Setiba di dalam, aku tertegun saat menyaksikan Hera dan Lie Chun sedang berbicara serius sambil.. Astaga memegang sapu tanganku. Ya Tuhan ternyata semalam sapu tanganku tertinggal saat menghapus air mata Lie Chun. Betapa bodohnya aku. Bisa saja dengan benda itu ia bercerita macam-macam. Dan apa yang kutakutkan ternyata benar-benar terjadi, saat menyadari kedatanganku mereka berdua menatapku. Lie Chun terlihat agak sedikit kaget namun yang membuat tubuhku sejenak terasa dingin adalah tatapan Hera. Ya ia menatapku sangat tajam dan dingin seolah menyimpan dendam padaku.
"Hera.. Aku.." belum selesai aku berkata-kata, Hera sudah menyela perkataanku sambil menatap tajam dan bersuara dingin.
"Handy, tidak kusangka engkau benar-benar lelaki bajingan, tega-teganya kau berniat memperkosa sahabatku sendiri. Kau benar-benar lelaki brengsek, mencoba membius temanku dengan sapu tanganmu ini. Kau kira aku tidak tahu ini milik siapa?!!"
Terus terang aku terkejut. Namun aku mencoba membela diri.
"Dengar Hera, beri aku kesempatan untuk menjelaskan. Aku tidak membius.."
Belum pula aku selesai berbicara kembali Hera memutus perkataanku.
"Jangan berdusta Handy.. Cukup sudah aku kau bohongi, kau kira ini bau apaan hah!!" sambil berkata demikian Hera melempar sapu tanganku ke wajahku.
Sesaat tercium bau Khlorofom yang sangat keras pada sapu tanganku. Astaga.. Darimana bau ini berasal? Seingatku semalam aku tidak menaruh apa-apa pada sapu tangan itu lantas bagaimana bisa begini, hmm.. Pastilah ini perbuatan keji Lie Chun pikirku.
"Demi Tuhan, Hera, aku tidak menaruh apa-apa pada sapu tangan ini lagipula aku.."
"Sudah, aku tidak mau lagi mendengar apapun alasanmu, sebaiknya kau segera pergi sebelum aku berteriak," nada suara Hera terdengar sangat emosional saat mengusir diriku.
Akhirnya aku melangkah pergi dengan lemas namun sebelum aku memutar badan sempat kulihat tatapan dan senyuman sinis dari Lie Chun dan terus terang aku agak ngeri melihat sinar matanya yang terlihat sangat jahat itu. Namun aku berfikir untuk mengalah karena tokh tidak ada gunanya berdebat dengan wanita, lebih baik menunggu suasana cooling down dulu. (sorry loh ya buat yang wanita).
Waktu: Pukul 14.30 Siang, sepeninggal diriku
Lokasi: Kediaman tantenya Hera
"Sudahlah Hera, tidak perlu menangis. Aku mengerti ini pertama kalinya engkau pacaran lagi. Kadang kita bisa saja salah menilai orang apalagi setelah lama tidak berpacaran," ujar Lie Chun sambil mengelus rambut Hera yang menangis di pangkuannya.
"Tapi aku terus terang tidak menyangka ia bisa begitu. Sungguh aku tidak mengira ia jahanam yang tega berbuat itu terhadap temanku sendiri, padahal dulu aku begitu kagum atas sikap coolnya dan okhh.. Aku benci sekali Lie.. Benci..," tangis Hera semakin hebat.
"Udah dong Hera.. Masa nangis terus sih.. Makanya dari dulu khan aku bilang jangan pacaran sama cowok Tiko, kamu sih.. Khan masih banyak cowok tajir dan keren di Jakarta, masa sama cowok gembel kayak githu kamu mau aja sichh.." ujar Lie Chun sambil tangannya mengusap-usap punggung dan rambut Hera.
Akhirnya tangis Hera mulai mereda.
"Iya ya Lie, barangkali aku sebaiknya nurut saja sama papaku, aku menyesal Lie tertipu olehnya"
"Nahh githu dong, udah deh nanti aku carikan cowok yang lain ya?" ujar Lie Chun sambil memeluk Hera.
Sepulang dari tempat Hera hati dan pikiranku terasa sangat suntuk. Mau belajar susah, mau makan susah, bahkan mau bermasturbasi pun tidak bisa. Begitulah nasib orang yang sedang patah hati. Serba salah. Namun aku bertekad untuk memperjuangkan cinta Hera. Bukan kenapa, tapi bagiku Hera adalah wanita yang mampu mengisi hari-hariku dengan penuh gelora dan semangat. Mungkin hanya Hera lah wanita yang mampu mengisi segala anganku tentang wanita ideal, terlebih ia adalah tipe wanita dengan pribadi yang ideal.
Namun rupanya Dewi Fortuna (bukan Fortuna Anwar loh) sedang berpihak kepadaku. Kebetulan sebulan semenjak kejadian itu kampusku mengadakan graduation night yang merupakan malam perpisahan dengan para wisudawan yang biasa acaranya di isi oleh para adik-adik kelas untuk menghibur para lulusan yang baru saja meraih gelar kesarjanaannya. Memang bisa dikatakan inilah kesempatanku untuk meraih kembali cinta Hera yang hilang karena sudah sebulan lamanya Hera selalu saja menolak telefon dariku, bahkan cenderung menghindar berpapasan denganku. Bahkan jika berpapasan saja ia selalu bersikap seolah-olah tidak melihat kehadiranku. Hal ini tentu saja membuatku dongkol. Tapi apa mau dikata, memang begitulah yang aku alami.
Namun bukan cowok Flores namanya jika belum apa-apa kita sudah menyerah, apalagi dari pihak ayahku aku masih memiliki sedikit campuran darah batak (nenekku batak sedangkan ayah Flores campur Irian dan ibu berdarah Timor campur Portugal). Jadi aku berusaha memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya, apalagi aku tahu bahwa Hera tergolong senang dengan berbagai acara kegiatan kampus. Mungkin karena anak perantauan dan jauh dari keluarga sehingga daripada tidak ada kesibukan lebih baik ikut kegiatan kampus yang positif.
Kenyataan memang sesuai dengan harapanku. Malam itu sehabis aku membacakan kata sambutan pihak senat aku melihat Hera sedang berada di pojokan belakang kampus, duduk bersama dengan Lie Chun. Saat turun dari podium aku berjalan memutar bagian dalam lorong koridior auditorium dan menuju ke arah belakang tempat Hera sedang duduk mengamati acara bersama dengan Lie Chun. Namun untungnya tiba-tiba kulihat diam-diam dari balik celah-celah koridor ternyata Lie Chun pergi meninggalkan Hera, mungkin ke toilet, entahlah aku tidak tahu. Yang aku tahu bahwa aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Perlahan aku pergi menghampiri dirinya.
"Hera, apa khabar?" sahutku agak sedikit dekat di belakangnya.
Kulihat ekspresi Hera tetap tenang melihat acara pagelaran paduan suara kampus kami yang terkenal karena selalu menang di berbagai kejuaraan di luar negeri. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Hera agak sedikit tegang, terlihat dari leher dan bahunya sedikit mengejang walaupun ia tetap cuek melihat acara yang tengah berlangsung. Terus terang lidahku terasa agak kelu untuk menyapanya karena kami sudah lama tidak berkomunikasi. Bukan karena tidak sempat namun karena Hera selalu menolak untuk berkomunikasi denganku.
Bersambung . . . .