Namun aku tetap nekad. Biar bagaimanapun aku harus bisa meraih kembali cinta kami yang terputus oleh ulah Lie Chun.
"Ra, maafkan aku kalau aku telah menyakiti hatimu, tapi aku sungguh tidak pernah ada maksud apalagi sampai berbuat yang menyakiti hatimu. Terus terang ini hanya salah paham belaka. Tolong berikan aku kesempatan untuk menjelaskannya. Biar bagaimanapun aku ingin masalah ini jelas, Hera. Terserah bagaimana keputusanmu nanti, tapi berikanlah aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya kepada dirimu," sahutku panjang lebar sambil agak panas dingin menunggu reaksinya.
Lama diam tidak ada suara di antara kami berdua, akhirnya setelah sekian lama menunggu akhirnya Hera terdengar bergumam tanpa menoleh ke belakang, "Tunggu aku di Taman "S" Minggu Pagi besok," lalu ia bergegas bangkit dan pergi meninggalkan diriku yang masih terbengong-bengong. Namun sejenak aku sadar bahwa aku masih memiliki kesempatan. Lantas, tanpa menunggu acara selesai aku pun bergegas pulang. Yang ada di benakku adalah secercah harap dan rencana untuk menyusun rencana sebaik mungkin agar dapat menjumpai Hera dan bertemu dengannya.
Pagi itu suasana Taman S yang sejuk dan asri karena dikelilingi pemukiman mewah agak sedikit ramai. Mungkin berhubung hari minggu pagi jadi dimanfaatkan oleh warga sekitar maupun penduduk dari daerah lain untuk berolah raga sekaligus berekreasi. Aku sengaja menunggu dengan pakaian yang biasa kukenakan yakni celana Jeans dan kaos Polo berkerah. Itu memang pakaian favorit yang selalu kukenakan dipadu dengan sepatu kets berkulit hitam (Adidas Stansmith), jadi tetap resmi untuk dipakai ke gereja namun nyaman untuk berjalan-jalan sepulang dari sana.
Biasanya Hera mengimbangi dengan juga berpakaian celana Jeans namun dipadu dengan kemeja bermotif lengan pendek. Namun entahlah apakah Hera kali ini akan mengenakan pakaian yang sama dengan yang kukenakan atau tidak, aku tidak tahu. Namun yang jelas jika ia datang dengan mengenakan pakaian kebangsaan kami berdua berarti aku punya harapan positif. Namun bukan berarti jika ia berpakaian beda berarti aku tidak punya peluang.
Lama aku menunggu di bangku taman yang berada di pinggir kolam besar di tengah taman. Terus terang agak gelisah juga, apalagi hari minggu itu banyak pasangan muda-mudi yang saling bermesraan membuat orang yang lagi patah hati jadi merasa sirik. Sedang asik-asiknya menunggu dan melihat bebek-bebek yang berenang di tengah kolam, akhirnya aku mendengar suara lembut yang telah lama kunantikan.
"Handy.."
Lantas aku menoleh ke belakang. Ternyata aku lihat Hera sedang berdiri di belakangku dengan gaun putih yang indah seperti yang dikenakan pada malam Valentine beberapa waktu yang lalu.
"Ahh, betapa cantiknya dia," gumamku dalam hati.
Di sinilah baru terlihat bahwa Hera benar-benar cantik seperti bidadari, apalagi dia juga mengenakan sepatu putih seperti sepatunya cinderella. Benar-benar wanita impian. Namun yang membuatku benar-benar kagum adalah Hera tidak seperti biasanya. Jika tidak berdandan kali ini ia memakai lipstik merah dengan sapuan tipis ditambah sapuan bedak yang sangat tipis dan halus, sehingga memancarkan aura kecantikannya yang tiada tara. Rasanya semua model-model bugil Jepang maupun Korea dan Chinese dari halaman website yang sering kukunjungi tidak ada satupun yang secantik dia.
Lama aku terbengong-bengong menatap kecantikan Hera sampai akhirnya aku dikejutkan oleh dehemannya. Wajahku langsung terasa panas, mungkin sudah terlihat memerah kali ya? Akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara dengannya.
"Duduklah dulu di sini Hera, ada yang inginku bicarakan dengan mu," ujarku sambil memutar posisi duduk sehingga jadi berhadapan dengannya.
Akhirnya Hera melangkah dengan anggun dan duduk di sisiku. Lama kami terdiam sejenak lalu aku membuka pembicaraan.
"Hera, sebenarnya aku ingin menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi pada malam itu. Tapi apakah kamu mau mendengarkan alasanku atau tidak, itu tergantung dari dirimu. Jika tidak, aku tidak akan menjelaskannya karena pasti apapun alasanku kau tidak akan menerima. Sekarang maukah kamu mendengarkan alasanku?"
Lama suasana hening, hanya terdengar sayup-sayup suara canda tawa muda-mudi yang sedang asyik memadu kasih, sampai akhirnya terdengar suara dari Hera, "Handy, bukankah aku sudah ada di sini? Tunggu apalagi? Jika aku tidak ingin mendengarkan alasanmu, untuk apa aku datang ke sini."
Sejenak aku tergagap, namun aku mampu menguasai diri, dan mulailah mengalir kisah kejadian yang sebenarnya dari mulai malam itu hingga keesokan harinya, di mana pada akhirnya Lie Chun berhasil menghasut Hera. Sepanjang cerita Hera hanya terdiam saja, namun dengan serius memperhatikan penjelasan dari diriku. Akhirnya cerita itupun berakhir, dan Hera hanya menatapku lama sekali. Lantas..
"Handy, maafkan aku. Terus terang akupun sudah sempat salah menilai dirimu. Biar bagaimanapun aku juga ikut khilaf. Aku ikut terbawa emosi dan aku terlalu percaya kepada Lie Chun. Memang ia sahabat baikku ketika kami sekolah dulu, tapi terus terang aku tidak menyangka kalau ia akan tega berbuat hal itu terhadap dirimu maupun diriku untuk memisahkan cinta kita berdua."
Lantas suasana kembali hening namun dari sudut-sudut mata Hera tampak mengalir air mata. Akupun tanpa disuruh dua kali lantas segera merangkul dirinya dan membelai rambutnya. Lama kami saling berangkulan tanpa kata-kata hingga akhirnya..
"Handy, kupikir lebih baik kita melupakan apa yang telah terjadi. Aku menyesal telah khilaf menuduhmu yang tidak-tidak. Maafkan aku jika telah menyakiti hatimu. Terus terang aku tidak menyangka bahwa Lie Chun yang telah lama menjadi sahabatku sejak di bangku sekolah dulu telah tega merusak hubungan kita," ujar Hera dengan mata masih basah.
Aku pun berkata, "Sudahlah Hera. Yang sudah terjadi biarkanlah terjadi. Yang penting ini menjadi pelajaran bagi kita berdua agar tidak mudah mempercayai suatu berita tanpa disertai fakta yang kuat. Lagipula aku sendiri kan masih terhitung orang baru dalam hidupmu. Jadi sudah sewajarnya jika engkau lebih mempercayai Lie Chun."
Aku mengatakan itu dengan nada sedikit di wibawa-wibawakan karena kupikir kapan lagi menumbuhkan rasa cintanya agar semakin dalam menyayangiku. Bukankah begitu pembaca?
Akhirnya kami berjalan pulang dari taman itu, dengan tangan saling berpegangan layaknya orang yang baru jadian. Tapi begitulah memang cinta, penuh dengan suka duka dan jatuh bangun. Namun belum lama kami berjalan mendadak terdengar suara ban berdecit dan raungan keras suara mesin mobil. Dan tiba-tiba di hadapan kami tepat di pinggir taman tersebut berhenti sebuah mobil sedan Great Corolla merah berplat nomor daerah kami.
Lantas mendadak dari dalamnya turun Lie Chun. Astaga, terus terang aku tidak pernah menyangka akan bertemu Lie Chun dalam keadaan seperti itu. Raut mukanya terlihat aneh dan matanya menatap nanar ke arah kami. Lantas mendadak terdengar suaranya sangat keras.
"Handy! Hera! Ternyata kalian semua pengkhianat. Kalian cuman bisa menyakiti hatiku saja! Rasakan pembalasanku!" sambil berkata demikian Lie Chun mengambil sesuatu dari tas kecilnya yang sedari tadi ditentengnya. Lantas jelaslah semuanya bagiku. Ternyata Lie Chun membawa sebuah pistol genggam semiotomatik. Mungkin dari tipe FN45 dan segera membidikannya ke arah kami berdua.
"Lie Chun, tunggu dulu..!" seru Hera.
Namun terlambat, kekasihku itu tidak memperhitungkan kenekatan temannya tersebut. Aku pun tidak sempat merapal ajian Tudung Dewa yang bisa dipergunakan untuk melindungi diriku maupun Hera. Yang terjadi hanyalah suara letupan halus dari pistol Lie Chun yang dilengkapi dengan perendam suara dan erangan suara Hera yang tertahan. Selanjutnya segalanya berlalu begitu cepat, aku secara refleks segera berkelit dan melancarkan jurus aikidoku untuk memiting dan mengunci Lie Chun, sehingga ia tidak sempat lagi untuk mengarahkan senjatanya kepadaku. Dan untunglah orang-orang di sekitar taman bergerak menghampiriku dan membantuku membekuk Lie Chun. Namun kulihat Hera nampak mengerang tak berdaya.
"Handy.. Ohh, tolong aku," ujar Hera dengan suara yang sangat lemah.
"Hera, tenanglah sayang. Sebentar lagi ambulans akan datang."
"Sshh, sudahlah Han. Aku merasa waktuku sudah dekat. Berjanjilah padaku sayang. Berjanjilah, bahwa engkau mau mengampuni Lie Chun dan menikahinya. Aku merelakan ia untukmu," ujar Hera dengan nafas tersengal-sengal.
"Tapi.. Hera, aku tidak mencintainya," sahutku ragu.
"Tidak. Berjanjilah padaku Handy. Berjanjilah, agar aku bisa meninggal dengan tenang,"
Suara Hera semakin lama semakin lemah dan parau, sementara darah semakin mengental di perutnya dan di pangkuanku.
"Baiklah Hera.." sahutku lemah.
"Terima kasih Han. Kamu memang kekasihku yang paling baik dalam hidupku. Ya Bapa Ke Dalam Tangan Muku serahkan Jiwaku," ujar Hera terbata-bata dan terdengar sangat lamat-lamat.
Akhirnya Hera menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuanku, dalam dekapanku, dengan penuh berlumuran darah. Aku yang biasanya begitu tegar saat itu terasa sangat rapuh dan air mataku jatuh satu persatu di atas wajah Hera yang tersenyum manis.
Penutup:
Tanah kuburan itu masih basah sehabis hujan di Minggu Pagi Paskah. Cindy anakku meletakkan karangan bunganya di atas tanah kuburan Hera. Sementara Lie Chun melihat dari kejauhan sambil bersender di sisi mobil kami.
"Pa, tante Hera dulu pasti teman baik Papa dan mama. Kelihatannya Papa dan mama tiap paskah selalu rajin mengunjungi kuburannya," ujar anakku dengan lancar. Maklum ia sudah kelas 6 SD.
"Tentu ia orangnya sangat baik ya Pa?" ujarnya lagi menambahkan.
Sementara aku hanya bisa membelai rambutnya dan menghela nafas perlahan, "Ya sayang, ia memang sangat baik."
Lantas kami berjalan menuju Lie Chun dan masuk ke dalam mobil.
Tamat