Malam sebelum ia berencana meninggalkanku, aku tidak dapat tidur sama sekali. Malam itu aku bersamanya, aku di sampingnya. Merenung dan membelai rambut ikalnya.
"Aku begitu mencintaimu," begitu bisikku padanya.
Seolah mendengar, senyuman tersungging di bibirnya. Dengan hati-hati kutundukkan kepalaku dan mengecupnya. Ia menggeliat. Dan aku terkejut saat melihat sebutir air mata keluar dan mengalir menelusuri pipinya.
Dalam terkejutku, kudengar ia merintih. Senyuman itu hilang sama sekali.
"Jangan pergi kalau begitu.. jangan pergi.. please..!"
Aku tertegun. Siapa yang pergi? Lalu kusadari bahwa ternyata aku bukanlah 'dia' baginya. Hatiku terasa demikian pilu. Pria ini menangis sekarang. Dan bukan aku yang ditangisinya. Tapi seorang gadis lain. Bahkan saat ia bermimpi.
"Siapa yang pergi? Siapa?" bisikku saat itu.
Dan ia menggeliat gelisah, keringat mengucur di pelipisnya, "Enni.. Enni.. hh.. hh..!"
Aku terhenyak seketika. Nama seorang gadis yang tidak pernah kutahu. Kutatap wajahnya yang berkerut itu. Ia tampak begitu menderita, mirip seorang pecandu narkotik. Ah, Sayang, bisikku pilu, apa yang sudah kau alami. Siapa yang membuatmu seperti ini? Dalam sedihku, kutarik lehernya dan mendekapnya di dadaku. Bahunya berguncang seketika, ia membasahi dadaku dengan air mata yang membanjir. Kusisir rambutnya dan kucium ubun-ubun kepalanya.
"Aku di sini, Sayang. Kasihku. Aku di sini. Kalau ia tidak, maka aku akan.." dan aku menangis bersamanya, hingga ia tenang.
Itulah cerita mengapa aku tidak dapat menahan kepergiannya. Bahkan untuk menangis pun aku tidak kuasa. Kejarlah, Sayangku, kejar apa yang kau cari. Anggaplah aku sebagai salah satu dari warung minum saat kau lelah. Dan aku akan tetap di sini, menatapmu dari jauh, dan menanti sampai kau kembali mengisi relung yang kian hampa. Tapi aku masih belum dapat mengerti. Derita apa di hatinya.
***
Pemuda itu datang kembali beberapa minggu setelahnya. Datang bukan dalam arti fana, seperti kedatangannya di kompartemenku setiap hari kerja, bukan itu. Ia datang kembali dalam kehidupanku. Menemuiku dengan senyum di bibir.
Satu hal yang ia katakan di depan pagar rumahku. "Aku merindukanmu." Dan itu lebih dari cukup untuk membuat air mata bahagia ini menetes. Saat ia merentangkan kedua lengannya, pilihanku hanya satu. Yaitu menghambur ke dalam pelukannya. Kami bercinta semalam suntuk di rumahnya setelah itu.
Pada saat aku mulai merasa akan kehilangannya
Ia kembali, beserta sejuta kebahagiaan yang sempat terenggut
Malam itu, ia bercerita banyak padaku. Saat itu ia memintaku terlebih dahulu untuk mendekapnya erat. Lalu ceritanya mengalir bagai air. Membuatku mendesah, mengerang dalam hati. Ia bercerita tentang satu rasa cintanya pada seorang wanita. Seorang wanita yang telah tujuh tahun bersamanya, mengarungi segala macam kejahatan pemikiran kolot manusia. Seorang wanita yang telah empat kali (aku membayangkan betapa sakitnya seandainya itu adalah aku sendiri) menyelewenginya untuk berlari jauh-jauh, tapi untuk kemudian kembali dan merusak segala pondasi baru yang telah dibangun pemuda itu.
Dan satu pertanyaan bodohku, kenapa ia tidak menolaknya?
Hal itu terjawab setelah ia berkata, "Aku tak bisa menolak, karena aku begitu mencintainya."
Aku menangis diam-diam saat ia berkata demikian.
"Stop! Aku tak mau mendengar," bisikku di telinganya sesaat sebelum ia mencapai klimaks ceritanya.
Tapi ia menyentuh pipiku lembut, dan berbisik, "Tapi aku mau kamu mendengar tentangku."
Aku tidak kuasa menahan bibirnya untuk terus bercerita.
Ia menunggu dan terus menunggu. Tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dengan kehidupannya. Ia takut mendekati gadis-gadis dan menjalin suatu hubungan yang serius dengan mereka. Ia takut gadis-gadis itu akan terluka saat cintanya muncul dan menuntut kembalinya. Orang-orang mengutuknya, karena terlalu sering membuat gadis-gadis menangis. Dan ia hanya tertawa saat mendengarnya. Tawa yang renyah, namun hatinya teriris. Ia begitu membutuhkan belaian kasih sayang dan sandaran dalam hidupnya. Tapi tidak satupun yang permanen. Semua penuh ketakutan.
Satu hal yang membuatku tersenyum, saat ia mengatakan, "Tapi aku selalu berusaha supaya gadis-gadis itu tak membenciku. Apa yang kulakukan terhadap mereka, selalu kurangkai hingga menjadi sebuah mimpi yang indah. Dan selalu akan tetap demikian adanya."
Ia benar. Aku sama sekali tidak merasakan kebencian itu padanya, walaupun ia meninggalkanku begitu saja. Aku tidak mengerti mengapa, selain pertimbangan seperti apa yang disebutkannya tadi. Ia seperti sebuah mimpi yang indah. Seseorang yang mendadak muncul dan membuat hariku berseri, untuk kemudian pergi dengan kesan yang manis. Bukan mimpi buruk dengan kenangan yang buruk.
Sampai di situ ceritanya, aku mengecup keningnya. Ia memejamkan mata dan tersenyum. Pemuda itu menyesakkan kepalanya.
Sambil tetap memejamkan mata, ia berkata, "Aku mau tidur. Besok ceritanya akan berlanjut. Aku capai."
Lalu aku mendekapnya seperti layaknya seorang ibu mendekap anaknya. Ia mendengkur lembut, dan saat itu kurasakan betapa aku benar-benar menyayanginya.
Pagi itu aku merasakan saat ia bergerak dari sisiku. Aku membuka mata, dan melihatnya tersenyum di depan jendela. Sinar matahari pagi membuat wajahnya berseri. Rambut panjangnya bergelombang di bahunya. Sesaat aku seolah melihat seorang malaikat. Aku merasa geli saat itu, dan aku tersenyum.
Ia berdiri di depan jendela itu beberapa menit lamanya. Dadanya bergerak dengan irama yang lembut. Lalu aku melihatnya memejamkan mata. Sebuah tarikan napas yang dalam, dan ia menoleh. Aku cepat-cepat menutup mataku. Ia menghampiriku, menidurkan tubuhnya di sisiku. Kurasakan jemarinya membelai lembut rambutku, menyisirinya, lalu mengelus pipiku. Kemudian kurasakan ia mengecup bibirku.
"Aku mencintaimu," kata-kata itu terdengar di telingaku.
Aku tidak dapat menahan diriku untuk tersenyum. Jantungku berdegup kencang. Akhirnya ia mengatakannya! Aku membuka mata dan menatapnya. Ia juga menatapku, dan ia tersenyum tipis. Sebuah senyuman yang tidak pernah kulihat selama ini. Sebuah senyuman yang begitu lepas, begitu tenang. Tanpa ada sesuatu yang disembunyikan.
"Kamu gila," itu responsku yang pertama. Tapi aku sadar wajahku memanas.
Ia mengerling geli, tapi alisnya terangkat seolah bertanya.
"Aku juga," kataku sambil berbisik.
Dan pagi itu menjadi pagi yang terindah dalam hidupku.
Tak ada yang lebih kuharapkan daripada cintanya
Nebula-nebula syurga menimangku saat ia menyatakannya
Tapi ia tidak bercerita lagi setelahnya. Aku tidak sempat mengerti, mengapa ia memutuskan untuk kembali padaku.
TENTANG DIA, BAGIAN KEDUA.
Tidak ada seorang pun yang dapat menduga apa yang ada di balik senyumnya. Begitu pula aku. Pada awal hubungan kami yang kedua, segalanya terasa begitu istimewa. Ia tidak pernah sekalipun membiarkanku sendiri. Sendiri bukan dalam arti ia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Tapi bahwa ia tidak pernah 'tidak ada' saat aku benar-benar membutuhkannya. Yang harus kulakukan hanyalah 'meminta', maka ia akan segera muncul dengan, ada apa Sayang? Bila dibandingkan dengan yang pertama, jauh sekali. Waktu itu ia terkesan 'aku terlalu sibuk untuk urusan tetek bengek'.
Ia membuat hari-hariku penuh dengan senyum dan tawa. Satu hal yang kusuka, ia begitu pandai membuatku terbahak-bahak, dengan segala lelucon yang keluar dari bibirnya. Dan tentu saja, masih lelucon-lelucon mesum. Yang paling penting dari semua itu.., ia dapat membuatku percaya padanya.
Semula aku ragu-ragu, untuk dapat menerimanya kembali dalam kehidupanku. Sebuah keragu-raguan yang wajar muncul dalam benak seorang 'eks'. Aku acap kali berpikir, apakah ia akan meninggalkanku lagi seperti dulu? Apakah ia akan mencampakkanku lagi? Apakah.. dan apakah-apakah lainnya. Namun seperti yang telah kukatakan sebelumnya, bahwa saat itu pilihanku hanya satu, yaitu menghambur ke dalam pelukannya. Karena aku mencintainya.
Hari-hari berikutnya, aku semakin percaya dan percaya. Ia tidak pernah sekalipun terlihat berbeda di hadapanku. Tatapannya selalu dipenuhi kasih sayang dan kehangatan. Ia tidak pernah lupa membukakan pintu mobilnya untukku, tidak pernah lupa memberikan kecupan selamat pagi, malam, dan 'good bye, honey', bahkan saat di kantor. Ia tidak pernah lupa untuk memarahiku saat aku lupa, mengenakan baju yang dianggapnya 'terlalu seksi' atau 'terlalu tomboy'. Dan keberadaannya setiap saat (manakala aku butuh), membuatku terkadang tertegun, bertanya dalam hati, ia tidak punya pekerjaan lain? Tapi ia tidak pernah mengeluh sedikitpun. Senyum itu selalu ada.
Wanita mana yang tak ingin dimanja setiap saat?
Wanita mana yang tak ingin menjadi nomor satu di benak kekasihnya?
Malam itu hujan pertama turun di akhir Oktober. Aku dan dia bercinta seharian. Dan ia membuatku benar-benar takluk kali ini. Bagaimana tidak? Ia melakukan semua yang tidak pernah dilakukannya padaku. Mulai dari menelusuri sekujur tubuhku dengan lidahnya, mengelus dadaku lembut dengan tarian jemari-jemari panjangnya, bukannya meremas dan menggigit.
Ia mencumbuku habis-habisan setelah berkata, "Jangan bergerak!"
Lalu kami bercinta sampai kelelahan.
Bunyi guntur di kejauhan membangunkanku. Saat pertama kali aku membuka mata, yang kujumpai hanya kegelapan. Kesunyian menyusul, setelah aku menyadari bahwa ia tidak ada di sampingku. Dalam gelisahku, kupanggil namanya. Tapi tidak ada jawaban. Aku melilit tubuh telanjangku dengan selimut, lalu bangkit dari tempat tidur dan meraba-raba sakelar lampu. Suasana terang melegakanku sejenak. Kulirik jam di dinding yang menunjukkan pukul setengah empat. Lalu kulihat sesuatu di atas meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah termos air panas, sebuah cangkir, dan.. secarik kertas di bawah cangkir.
Bersambung . . . .