Mendung masih menggayut di luar sana, saat kualihkan pandangan dari mikroskop keluar menembus jendela kaca besar yang tertutup dengan rapat dan gedung-gedung tinggi di kejauhan tampak samar-samar. Mungkin sudah turun hujan di daerah sana. Masih terasa dingin juga, walaupun di luar belum turun hujan. Jam dinding di depan sana baru menunjukkan pukul 13:45, berarti masih ada sekitar 15 menit lagi sebelum jam praktikum ini selesai. Seluruh slide preparat sudah kupelajari dan rasanya tidak ada masalah. Seluruh jenis kuman yang ada sudah kukenal. Hanya memang ada 1 preparat yang mungkin sudah tua sehingga agak sulit untuk dilihat, namun akhirnya dapat juga, walaupun membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mencarinya.
Tiba-tiba timbul rasa isengku untuk minta bantuan Caroline melihat preparat itu, soalnya pikiranku juga lagi suntuk, sekalian ingin memantapkan keyakinanku.
"Carol, bantu gue dong. Ini preparat apaan sih? Gue susah nih ngeliatnya," begitu pintaku pada doi.
Caroline nama lengkapnya. Biasanya kupanggil Carol saja. Doi ini anak Surabaya asli. Tubuhnya lumayan besar tetapi cukup proporsional menurutku. Tinggi badannya sekitar 170 cm. Sangat tinggi untuk cewek Indonesia dan yang pasti doi ini punya buah dada yang sangat besar menurutku, seperti buah kelapa mendekati pepaya. Nah, bingung kan anda membayangkannya? Otak doi cukup lumayan berdasarkan pengamatan 2 tahun ini terhadapnya, soalnya dari angka-angka yang diumumkan pada tiap kali kami ujian, doi berada di ranking atas kalau tidak A, ya B.
Oh ya, sistem ujian kami adalah kenaikan tingkat, jadi tidak ada yang namanya SKS. Pokoknya pegang saja mata kuliah pokok dan lulus, maka kami dapat naik tingkat. Asal yang minornya tidak jeblok banget. Terus ada enaknya lagi kalau sudah lulus tingkat 2 pasti jadi, maksudnya jadi dokter. Tidak ada lagi DO (drop out). Mau kuliah 10 tahun, lima belas tahun atau sampai bosan. Tetapi sekarang sudah diganti kurikulumnya menjadi sistem SKS yang membuat semakin susah kali ya?
"Apaan sich.. sini!" pinta doi menanggapi permintaanku.
Terus doi putar mikroskopku ke arahnya, soalnya doi duduknya di depanku, jadi kalau doi mau membantuku tinggal putar badan terus berhadapan. Hanya terhalang oleh ujung meja yang sedikit dibuat tinggi untuk meletakkan stop kontak dan reagen pewarnaan saja. Jadi doi membantuku memperlihatkan mikroskop itu sambil nungging.
"Busyet..," tuch toket sekarang pas sekali bisa kulihat dari atas bajunya, soalnya doi memakai baju yang agak longgar terus nungging, jadi bisa terlihat dari ketinggian dengan leluasa. Tetapi kuperhatikan tidak ada bra-nya, terus turun ke bawah tetap tidak kelihatan ada bra-nya. Tetapi pentil susunya juga tidak keliatan. Membuat penasaran saja. Kalau bisa kuremas mau aku melakukannya, apalagi kalau diberikan gratis, betul tidak? Jadi semakin penasaran. Doi ini memakai bra, apa tidak ya? Tetapi kulihat samping kanan dan kirinya juga tidak terlihat ada tali bra-nya. Anehnya, kalau doi tidak pakai, masa doi berani? pikirku. Otak memang mikir tetapi adikku yang di bawah tidak mikir lagi kali ya? Soalnya langsung kencang saja minta perhatian yang lebih. Eh, lama-lama sakit juga. Salah setel kali ya? Jadi ya gitu, dengan gaya seadanya tetapi tanpa menarik perhatian publik tentunya, kukemudikan dulu ke jalur yang benar sehingga tidak mengganggu konsentrasi.
Kira-kira 7-8 menit, akhirnya, "Fran, ini kayanya BTA? Tapi gue ngga yakin betul, eloe liat deh nih, gue udah passin," begitu lapor doi.
Dalam hati aku, "Memang betul BTA," jadi ternyata benar keyakinanku. Apalagi dari 32 preparat yang ada memang kuman itu yang tidak ada di sediaan lainnya. Tetapi untuk menghormati doi, sekaligus menutup rasa dosaku, sudah melihat pemandangan indah dengan gratis, kemudian aku bangun dan memutari meja untuk melihat hasil pemeriksaan yang ditunjukkan oleh doi. Benar, seperti dugaanku. Ya sudah. Tidak lama terus bel bunyi. Kemudian, aku dan teman-teman lainnya mulai membereskan peralatannya dan memasukkannya ke lemari masing-masing, sebab baru dipertanggungjawabkan nanti di akhir semester untuk serah terima ke dosen pengajar labnya. Tidak lama kemudian kami keluar ruangan lab praktikum.
Eh, ketika aku sudah di dalam lift untuk turun ke bawah. Sandro, temanku menegurku.
"Fran, jadi ngga?" tanya Sandro. Bertanya apa memaksa, aku jadi bingung.
"Jadi Dro," seruku setelah sempat termenung sejenak.
"Tolong bilangin ke temen-temen," lanjutku kemudian sebelum pintu lift itu tertutup dan masih sempat kulihat Sandro mengacungkan ibu jarinya ke atas yang berarti dia mengerti dan menangkap pesanku.
Sampai di bawah, wuiih ramai sekali. Semua anak-anak berkumpul. Biasa, jam-jam seperti ini anak FE, FIA dan FH baru saja mau masuk kuliah. Biasanya anak FKIP, khususnya yang Psikologi lebih sore lagi. Gedung FK ini tepat di tengah-tengah, jadi anak-anak dari Fakultas lain suka berkumpul di bawah, mereka sedang duduk-duduk. Setelah memesan makanan kesukaanku, yaitu satekambing untuk mengisi perut yang hanya sempat diisi pagi tadi dengan semangkok soto Madura, kucari tempat duduk dan kulihat ada Sandra sedang makan sendirian.
"San, kosong nich?" tanyaku padanya seraya duduk persis di depannya.
Sebenarnya meja ini cukup untuk berempat, tetapi doi hanya sendirian.
"He eh," jawabnya singkat dan cukup judes menurut ukuranku.
Anak itu boleh dibilang cantik. Tidak terlalu tinggi, sekitar 165 cm dengan tubuh sedang ideal. Kulitnya putih dengan rambut yang selalu dipotong sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara tenang, seakan memberikan kesan sabar, tetapi yang sering dibicarakan teman-teman adalah judesnya itu yang membuatku juga kadang-kadang tidak betah. Untungnya, aku tipe orang yang easy going, jadi jarang dimasukkan ke hati. Percuma buat kepala pusing. Tetapi yang aku harus angkat topi sama doi, otaknya, sangat encer. Sebetulnya doi masih muda, tetapi katanya waktu SD sempat loncat kelas, jadi saat ini doi masih berusia 17 tahun. Bayangkan, umur 17 tahun sudah tingkat II FK. Aje gilee!
"Kok manyun San?" tanyaku basa-basi sedikit sebelum mulai makan, sebab kulihat juga raut wajah doi agak sepet.
"Ngapain tadi eloe tanya-tanya ke Carol, apa eloe sendiri ngga bisa liat?" tanyanya ketus sekali.
Kaget juga aku, aku di ketusin seperti ini. Tetapi memang benar feelingku, anak ini rasanya agak menaruh hati padaku. Tetapi bagaimana ya? Masalahnya aku belum ingin, paling tidak untuk saat ini. Masalahnya konsentrasiku saat ini adalah ingin jadi dokter dulu. Apalagi aku masih ingin happy-happy saja dulu. Jadi aku tidak tanggapin serius pertanyaan doi.
Tetapi kujawab, "Oh.. bener San, soalnya tuh preparat udah lama kali yah, jadi kaga bagus lagi dan susah bener ngeliatnya. Tapi udah gue tandain kok. Pokoknya ada bunderan kecil di kanan bawah pake tinta hitam, itu adalah BTA (Basil Tahan Asam, biangnya penyakit TBC). Ingat lho di kanan bawah ada bunderan kecilnya. Terus.." Belum sempat kujelaskan semua, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dan bilang, "Jam berapa?"
"Eh.. eloe Ky, bentar yah, abis gue makan nih," jawabku dengan penuh rasa syukur karena jadi sekarang kami tidak berdua saja dengan Sandra. Minimal ada pihak ketiga.
"Ngga.. ngga.. ngga..," tiba-tiba Sandra nyeletuk dengan nada tinggi dan cukup keras mengatasi kebisingan yang ada di kantin ini, saat Ricky hendak duduk di sampingku.
"San, sebentar..," pinta Ricky sejurus kemudian, karena doi juga terkejut dengan ucapan Sandra yang demikian tajam dengan nada tinggi.
"Ngga.. ngga.. eloe ngerokok," sahutnya ketus.
Ricky memandangku meminta persetujuan, tetapi aku sedang malas berdebat, jadi aku hanya angkat bahu dan melanjutkan makan siangku secepatnya, biar tidak terlalu lama.
Selesai makan, aku cepat-cepat pergi. Peduli amat, walaupun Sandra sepertinya masih sangat kesal, doi pikir aku tolol sekali ya. Tetapi tidak peduli, yang penting aku selamat. Betul, tidak? Di lapangan basket tempat biasa geng aku berkumpul, sudah kulihat cukup lengkap juga anggotanya. Siang hari yang mendung ini masih sempat kulihat si Paul melakukan lay-up terakhirnya sebelum kuberteriak untuk berangkat.
Kami berenam, Sandro, Ricky, Paul, Hengky, Mardi yang sudah punya kerja sambilan. Saat ini kami menuju tempat kostnya Mardi dan terus ke kostku sendiri. Kami berjalan menyusuri gang-gang sempit di sekitar kampus ini. Kemudian, tidak lama kami sampai dan langsung naik ke atas, kamarnya Mardi ada di lantai dua. Di atas sini, seluruhnya ada 12 kamar. Maksudnya, 6-6 saling berhadapan. Umumnya satu kamar untuk berdua, tetapi Mardi mengambil 1 kamar untuk dia sendiri. Katanya dia tidak bisa belajar serius kalau ada teman sekamar, apalagi kalau dari lain jurusan, begitu alasannya. Bener apa tidak, silakan perkirakan sendiri. Sebelum masuk ke kamar Mardi, aku masih sempat memperhatikan kamar di sebelah Mardi. Masih gelap dan sepi, barangkali mereka belum pada pulang.
Di kamar Mardi, wuuiih.. hampir seluruh dinding kamarnya penuh dengan poster dari ukuran yang kecil sampai sebesar meja belajar. Gambarnya memang tidak terlalu seru, seadanya. Kesanku sih begitu, berantakan tidak karuan. Yang penting menempel. Di situ ada gambar Madonna, Prince, Michael Jackson, terus artis-artis dari yang tidak terkenal dari Hong Kong dan juga Indonesia seperti: Yatti Octavia dan beberapa gambar pemain sepakbola yang aku tidak ketahui namanya. Maklum, aku bukan penggemar bola. Setelah kamar dikunci, Mardi memberikan contoh dengan mengupas perlahan gambar poster tadi di dinding yang terbuat dari kayu itu, dan segera menempelkan matanya pada lubang yang ada di balik poster itu. Ya sudah, kami berebutan mencari poster yang tentunya sesuai dengan ukuran tinggi tubuh kami. Dan, Ya ampun. Hampir di balik seluruh poster yang tertempel di dinding itu kebanyakan ada lubang untuk mengintip ke kamar sebelah. Aku sendiri memilih-milih lubang, satu cukup tinggi dan satunya lagi di bawah, yang kalau kami lihat harus berjongkok atau setengah tiduran.
Yang lain juga sudah mendapatkan posisinya masing-masing. Dari balik lubang tempatku melihat tampak kamar di sebelah tertata dengan apik. Di seberang sana menempel ke dinding kanan ada ranjang, kemudian di sampingnya ada meja komputer, sedangkan yang di sebelah kiri ada pintu lagi, kamar mandi. Dari lubang di bawah, aku tidak dapat melihat banyak. Mungkin tepat di kolong meja. Meja belajar maksudnya.
"Mar, jam berapa?" tanyaku, "ngga sabar nich." sambil tiduran di lantai, sementara lampu di kamar tetap padam dan suasananya hening sekali.
"Sebentar lagi, biasanya sich jam-jam segini," sahutnya bingung.
Eh, benar. Tidak lama terdengar pintu kamar ruang sebelah di buka dan setelah kami menunggu agak lama sedikit, perlahan-lahan kami mulai beraksi dengan membuka poster-poster sesuai pilihan kami masing-masing. Di kamar sebelah, kulihat ada cewek yang lagi minum langsung dari botolnya, dan tampak lehernya yang putih mulus dengan gerakan halus dari jakun yang sedang bekerja melancarkan air tersebut masuk ke tenggorokannya.
Bersambung . . . .
Posted by Bokep
Posted on 5:13 PM