"Sori, Ray. Jalanan macet benar tadi," ucap Lenvy, gadis di belakang kemudi, pada Ray yang sibuk menyeka wajahnya dengan tissue.
Ray masih juga tersenyum-senyum, "Ah, ngga apa-apa."
"Kenapa? Kamu nampak senang?"
"Tidak. Malah kecewa, soalnya aku ingin memamerkan kamu pada rekan-rekanku."
Gadis itu tertawa dan berkata, "Konyol benar kamu."
"Biar saja. Kan asik, ngenalin cewek cakep."
Lenvy tak menyahut ucapan Ray. Saat itu jalanan memang lebih padat dari biasanya.
"Jadi, bagaimana kerjaanmu hari ini?" tanya Lenvy, memecah keheningan.
"Ah, baik-baik saja. Kamu?"
"Aku? Parah. Orderan begitu banyak, sementara anak-anak maunya menikmati liburan," dan Lenvy mulai bercerita tentang agen modelling yang dikelolanya bersama sang kakak. Ray mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Lalu, kamu saja yang turun," ucap Ray kemudian. Lenvy tertawa.
"Aku? Ngga ah. Aku lebih suka menikmati liburan."
"Nah loh?"
"Iya. Sama kamu," ucap Lenvy, sembari matanya melirik ke arah Ray.
Pemuda itu hanya tersenyum dan berkata, "Jangan begitu. Aku tahu kamu orang sibuk. Aku ngga mau jadi pengganggu."
"Pengganggu? Siapa bilang kamu mengganggu?"
Ray tertawa, memilih untuk tidak meneruskan perbincangan itu.
"Jadi, Ray. Kemana kita sekarang? Ke rumahmu atau ke rumahku?"
"Wah? Aku menangkap nada yang bandel di sana."
Lenvy terkekeh. Saat itu lalu lintas sedang macet total. Lenvy memalingkan wajahnya pada Ray, menatap mata pemuda itu sambil tersenyum. Sesaat kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya.
"Kiss me?" bisiknya lirih. Ray menggerakkan kepalanya, menemukan kelembutan bibir gadis itu tak berapa lama kemudian. Bahkan Ray bisa merasakan Lenvy lebih bergairah daripada biasanya. Gadis itu melumat bibir Ray, sambil sesekali memasukkan lidahnya ke dalam mulut si pemuda.
Tet-teett!!
Lenvy menarik bibirnya dan tertawa. Ray memandang ke arah jalanan yang lengang di depan mereka, dan kepalan tangan yang keluar dari dalam mobil di belakang mereka, lalu ikut tertawa.
"Ke rumahku ya, Ray?" bisik Lenvy tanpa menoleh.
Ray tak menyahut. Ia memang sedang jenuh setelah bekerja seharian. Dan seks sudah pasti merupakan obat yang mujarab untuk mengusir kejenuhan, seperti yang Ray yakin benar sama dengan yang ada di pikiran Lenvy.
"Kamu yakin?"
"Sini, kamu yang nyetir," Lenvy berkata, membelokkan mobilnya ke salah satu gang pinggir jalan dan menghentikannya. Ray tertawa, membuka pintu mobil dan bergegas menuju sisi mobil yang lain.
Selalu saja begitu, Ray menyetir sampai ke rumah, sementara Lenvy memuaskan hobi seksualnya. Foreplay, begitu Ray dan Lenvy menyebutnya, dan tentu saja orang-orang yang lain juga.
Ray dan Lenvy pertama kali berjumpa di sebuah seminar, tepat sebulan yang lalu. Waktu itu Ray ditugaskan untuk mewakili kantornya, mendengarkan semua omong kosong para pakar periklanan ibukota. Ray yang memang tak pernah ambil pusing dengan ide-ide brilian orang lain, lebih suka menghabiskan waktunya dengan melirik gadis-gadis eksekutif yang banyak berseliweran selama seminar berlangsung. Satu lirikannya menemukan sosok Lenvy, dengan bibir bawah si gadis yang tergigit saat beradu pandang dengannya. Beberapa lirikan lagi, dan sebuah senyum menggoda, gadis itu tak menolak saat Ray melangkah mendekatinya.
Lenvy, sosok wanita karir jaman millenium. Muda, cantik, dan penuh gairah. Usianya yang sebaya dengan Ray, membuat semua perbincangan terasa lebih menyenangkan. Gayung bersambut saat Ray menyinggung masalah sex after lunch, euforia kalangan eksekutif muda yang workaholic. Bahkan Lenvy, yang semula mengatakan bahwa ia 'tidak terlalu' menyukai hal itu, bukan 'tidak pernah' melakukannya, terpaksa mengakui bahwa Ray membuatnya ketagihan, setelah pemuda itu menyetubuhinya seharian suntuk di sebuah kamar hotel.
Ray tahu, penilaian Lenvy padanya tak jauh berbeda dengan penilaiannya sendiri. Khusus kalangan orang muda, Ray adalah sosok yang didambakan semua gadis. Mapan, mempesona, dan memabukkan. Hubungan mereka pun berkembang menjadi mutualisme, saat Lenvy menyanggupi untuk menyediakan models agency-nya sebagai partner bayangan biro periklanan tempat Ray bekerja.
Semua senang, tak ada yang merasa dirugikan.
Anik hanya melongo, seperti biasa, saat menyaksikan majikannya masuk ke dalam rumah dengan menggandeng lengan Ray.
"Ayo, Ray," desis Lenvy tak memperdulikan tatapan bertanya dari Anik. Nafasnya terengah. Ray menurut saat gadis itu menariknya menuju kamar tidur. Lenvy punya hasrat yang besar, bahkan terkadang Ray merasa gadis itu mengerikan di tempat tidur. Lima menit yang lalu, Lenvy masih mengulum penisnya dengan ganas di dalam mobil, dengan sentuhan luar biasa yang nyaris saja membuatnya ejakulasi di dalam mulut si gadis. Sekarang pun Ray harus mempertahankan nafsunya yang bergolak hebat, saat Lenvy menciumi seluruh bagian tubuhnya sambil melucuti pakaian yang melekat di tubuh mereka berdua.
Tak berapa lama kemudian, hanya erangan Lenvy yang terdengar di dalam kamar.
Ray terbangun, mendapati suasana kamar yang remang-remang. Pemuda itu mengeluh dalam hati, saat merasakan sekujur tubuhnya yang penat. Matanya lalu memandang ke sekeliling kamar. Tak ada sosok Lenvy dimanapun. Bangkit dari tempat tidur, Ray menyambar celana panjangnya di lantai. Sedikit terkejut juga ia melihat arloji di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Belum pernah ia berada di rumah Lenvy sampai selama itu.
Ray memandang kemeja yang tersampir di meja dekat pintu. Pemuda itu tersenyum geli. Lenvy nyaris saja membuat kemeja Kenzo kesayangannya sobek tadi. Gadis yang luar biasa, pikir Ray lalu melangkah mendekati pintu. Baru saja hendak meraih kemejanya, mendadak pemuda itu menangkap suara-suara ganjil dari luar kamar. Ray mendekatkan telinganya pada daun pintu. Alisnya berkerenyit.
"Kamu!! Jangan!!"
PRANG!!
Nyaris saja Ray melompat saking terkejutnya. Apa yang tengah terjadi? pikir pemuda itu dalam hatinya. Sedikit curiga, Ray memutar gagang pintu. Pintu membuka sedikit, tapi Ray hanya bisa melihat ruang tamu.
"Beb. Jangan, Beb. Aku mohon. Jangan," terdengar suara seorang gadis. Ray yakin seratus persen kalau itu adalah suara Lenvy.
"Apanya yang jangan-jangan?" Kali ini suara seorang pria, berat dan kasar. Tanpa sadar Ray mengulurkan tangannya ke samping, meraba permukaan meja, sedikit kecewa saat hanya menemukan sebuah vas bunga.
"Aku cinta kamu, Beb. Hanya kamu. Sumpah! Sumpah!"
Ray menunggu, melacak lagi dengan matanya sosok-sosok yang mungkin terlihat dari tempat di mana ia berada.
"Cinta! Cinta! Lalu siapa yang sama-sama dengan kamu siang tadi? Setan?"
Ray terperangah. Rupanya Lenvy dan orang itu tengah membicarakan dirinya. Dan Ray tak bisa memperkirakan kalau pria itu tahu bahwa ia masih ada di dalam rumah Lenvy. Bagus, pikir Ray dalam hati, sekarang ia dalam kesulitan. Ray menoleh dan menatap jendela kamar. Ia menggerutu dalam hati, seandainya saja ia masih remaja, jendela dan pagar setinggi apapun bukan halangan baginya. Sekarang? Saat rokok dan seks sudah meracuninya terlalu banyak?
Tapi, Ray, bisik hatinya lagi. Kamu akan lari dari masalah?
"Aku cek kamarmu!" Ray mendengar pria itu berkata-kata lagi. Ray menggenggam vas bunga erat-erat di tangannya dan merapatkan pintu kamar.
"Beb! Kamu kok ngga percaya sih? Beb!! Beb!!"
Lalu sebuah pemikiran lain melintas di benak Ray. Kalau ia melibatkan dirinya dalam masalah ini, lalu masalah apa lagi yang akan menantinya? Siapa orang itu saja ia tak tahu. Lenvy juga bukan gadis yang layak untuk ia bela dengan mempertaruhkan nyawa. Berpikir demikian, Ray mengambil keputusan bulat. Ia harus cepat! Pemuda itu meletakkan vas bunga kembali ke atas meja, lalu dengan secepat kilat ia menyambar pakaian, dasi, dan sepatunya.
Ray merinding saat mendapati semak-semak di bawah jendela. Nyaris saja ia menjerit saat salah satu ranting tanaman menusuk telapak kakinya.
"Busyet," desis pemuda itu, lalu terpaksa menundukkan tubuhnya saat terdengar pintu kamar membuka.
"Kan? Aku sudah bilang kalau tak ada siapa-siapa?" Ray mendengar suara Lenvy, tertangkap nada lega di sana. Ray merasa gusar dalam hati, coba saja ia tidak terbangun tadi.
"Tapi mereka semua bilang kalau mereka melihat ka.."
Kata-kata pria itu terhenti. Ray tak bergerak sedikitpun. Beberapa saat lamanya, tak terdengar suara apapun. Lalu lamat-lamat Ray mendengar suara retsleting ditarik. Pemuda itu tersenyum seketika.
Ray menunggu beberapa menit, sebelum akhirnya memastikan bahwa situasi cukup aman baginya untuk berlalu dari tempat itu. Masih sempat Ray mendengar suara desahan nafas dari dalam kamar, sebelum kakinya melangkah. Mereka pasti sudah terlalu sibuk untuk mendengarku, pikir Ray geli. Pemuda itu melangkah menuju teras. Kurang beberapa langkah, di sudut yang tak terkena lampu, Ray mengenakan kembali pakaiannya.
Ray tak terkejut mendapati Anik di depan pintu. Gadis itu menatapnya dengan mata membelalak. Ray mengedipkan matanya dan menghampiri pembantu rumah tangga yang tampak gugup itu.
"Tolong, bilang Nona kalau tas saya masih di mobilnya," ucap Ray sambil tersenyum. Pembantu itu hanya mengangguk.
"Lalu, tolong bukakan pagar?"
Sebelum berlalu dari rumah Lenvy, Ray masih sempat melirik plat dua digit di bumper Jaguar yang diparkir di depan pagar. Melihat ke dalam mobil, Ray tak menemukan siapapun. Ray tersenyum getir. Dari pergaulannya yang luas, ia bisa menebak siapa kira-kira yang berada di dalam rumah Lenvy saat itu. Ray bersyukur ia tak melibatkan dirinya dalam masalah yang lebih besar daripada sekedar bercinta dengan WIL konglomerat metropolis.
"Edan," gumam Ray, lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celana, dan mulai melangkahkan kakinya menelusuri trotoar yang belum kering. Entah ia harus merasa bangga, atau merasa bodoh, atau bahkan kecewa. Ray tak tahu. Yang ia tahu ia harus menyiapkan rencana untuk kelangsungan hubungannya dengan Lenvy. Bukan hanya seks, tapi juga urusan kantor.
Reni, girl with flower
Semalaman tidur nyenyak tanpa gangguan, dan hari yang menyenangkan di kantor. Tak heran raut Ray tampak cerah sore itu. Saat ia melangkah keluar dari lift, seorang pemuda menghampirinya, memberikannya keceriaan tambahan dengan mengatakan,
"Mas, mobilnya sudah selesai. Sudah saya ambilkan. Ini kuncinya."
Ray menyeringai. Akhirnya, pikir pemuda itu dalam hati, setelah selama seminggu ia menggantungkan dirinya dengan pertolongan orang lain. Ray menepuk pundak office-boy itu dan berkata, "Yos, kamu adalah berkat hari ini."
Usai berkata demikian, Ray meninggalkan Yossi, si office-boy, yang termangu-mangu. Jemari Ray memainkan gantungan kunci sambil kakinya melangkah.
Di basement, Ray melepaskan ikat rambut dan dasinya. Matanya segera menangkap sosok kesayangannya diparkir tak jauh dari pintu keluar. Wardoyo, Satpam empat puluhan tahun yang juga merupakan teman setia Ray saat lembur, berdiri di dekat mobilnya. Wardoyo mengangkat sedikit ujung topinya saat Ray tiba.
"Wah, Mas Ray. Akhirnya si kuda balik juga."
Ray tertawa dan berkata, "Iya, Pak. Masa kesatria ngga punya kuda."
Wardoyo tertawa. Ray memang sosok yang paling ramah yang pernah ia temui selama ia bekerja sebagai satpam di gedung itu. Saat semua orang hanya memandang kepadanya dengan ujung mata, pemuda itu muncul di basement pada hari pertamanya bekerja sambil membawa dua cangkir Nescafe panas. Saat semua sosok yang dilihat Wardoyo mengingatkannya pada orang-orang yang telah berandil merusakan negeri Indonesia tercinta, Ray malah mengingatkannya pada Cak Giyanto, gerilyawan pembela Kota Pahlawan, idolanya saat masih kanak-kanak. Gondrong dan penuh semangat hidup.
Ray berdiri di samping Wardoyo, menatap mobilnya dengan bangga. Ia masih ingat pada kejadian minggu lalu, saat sahabatnya Hendro meminjam mobilnya dengan alasan menjemput ibunya yang datang dari Lampung.
"Yakin, Ray. Aku pasti pelan-pelan."
Semula Ray tak percaya, mengingat Hendro bukan tipikal orang yang bisa menghargai suatu barang. Tapi melihat wajah Hendro, pemuda yang sudah menipu ibunya dengan berkata bahwa ia sukses di Surabaya itu, Ray akhirnya tak tega dan melepaskan mobilnya dibawa Hendro dengan sejuta wanti-wanti.
Toh akhirnya ia terpaksa membayar mahal kepercayaannya, dengan meringis saat Hendro memberikan kwitansi perbaikan mobilnya. Ray tak perduli darimana Hendro dapat uang, Ray juga tak perduli bagaimana sahabatnya itu memberikan segudang alasan untuk mengatakan bahwa dirinya tak bersalah. Yang ia tahu, ia harus menjalani hidupnya tanpa mobil kesayangannya. Itu sudah cukup untuk membuat hidupnya tambah susah. Jadi bisa dibayangkan bagaimana girangnya perasaan Ray saat menatap mobilnya.
"Bisa kencan lagi nih, Mas Ray?" celetuk Wardoyo. Ray menoleh dan meleletkan lidah, "Kok bisa bilang begitu, Pak?"
Wardoyo menepuk bahu pemuda itu dan tertawa, "Mas Ray, kayak Bapak ngga tahu sampeyan saja."
Ray terkekeh dan berpikir dalam hati, seandainya saja Wardoyo tahu bahwa ia tak selalu membutuhkan mobil untuk memperoleh teman kencan.
Tapi bicara tentang kencan, hari itu memang Ray ada acara. Dan itu salah satu penyebab juga mengapa ia sangat bersyukur mobilnya kembali. Mungkin Reni sudah menawarkan untuk menjemputnya malam itu, tapi Ray tentu saja lebih suka pergi sendiri.
Ray tiba di rumah Reni tepat pukul setengah delapan malam. Tersenyum pemuda itu saat melihat si gadis sudah menunggu di teras rumah. Ray melangkah turun dari mobilnya.
"Hai," sapa Reni, gadis mungil berambut sebahu itu dari balik terali pagar.
Ray mengangguk, menolehkan kepalanya ke arah kanan. Ia tahu, lima rumah dari tempatnya berdiri saat itu, sahabat karibnya Jay pasti sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan kantornya.
"Kenapa? Takut dilihat temanmu?" tanya Reni, membuat Ray merasa kikuk.
"Ah, ngga kok," sahut pemuda itu, menggaruk-garuk kepala, "aku cuman pingin mampir sebentar nanti sebelum pulang."
"Pulang? Apa yang ngebikin kamu berpikir kalau aku bakal ngasi kamu pulang?"
Ray tertawa. Saat itu Reni sudah membuka gerbang pagar. Satu genggaman erat di pergelangan tangan, Reni menyeret Ray masuk ke pekarangan.
"Jadi, ada yang ingin kamu katakan?" tanya Reni, berhenti melangkah dan memutar tubuhnya menghadap Ray. Saat itu jarak mereka hanya satu meter. Ray bisa menghirup aroma melati yang keluar dari tubuh si gadis.
"Apa ya?" Ray terlihat berpikir sejenak, lalu sambil menjentikkan jari ia berkata, "Oh iya, mobilku sudah kembali. Itu
berita yang menyenangkan."
Reni meruncingkan bibirnya, "Bukan itu."
"Lalu?" gumam Ray, sementara matanya menatap langit.
"Sayang, memang jawabannya ada di atas?" ucap Reni, menirukan gaya iklan shampoo. Ray menyeringai. Satu gerakan, pemuda itu meraih dagu gadis di depannya dan melayangkan sebuah kecupan lembut.
"Selamat ulang tahun, maaf terlambat dua hari. Tapi aku kan sudah telepon," bisik Ray di bibir si gadis.
Reni membuka matanya yang sempat terpejam dan tersenyum.
"Not as I expected. But it's alright. It's sweet."
Bersambung . . .