Somewhere in Bogor, 1992
Senin pagi yang panas menerpa kota Bogor. Terdengar tawa canda riang sekelompok anak muda yang turun dari bis kota. Mereka terlihat begitu riang padahal untuk mencapai sekolahnya mereka masih harus berjalan kurang lebih 15 menit lagi. Namun, beberapa langkah di belakang kelompok tersebut melangkah seorang pemuda sendirian. Ia tidak bergabung dengan rekan-rekannya. Kedua tangannya diselipkan di kantung celananya, memainkan koin-koin logam yang selau berbunyi di setiap langkahnya. Ia tertunduk, melangkah sambil memandangi jalanan yang sedikit lembab. Tidak diperhatikannya kemilau embun pagi di helai-helai rerumputan, atau kicau burung yang dengan riang menanyakan kabarnya. Ia mendesah dan mengangkat wajahnya. Kelompok teman-temannya telah cukup jauh di depannya. Gelak tawa mereka masih terdengar di telinganya. Mendadak ia terhenti. Sebuah pikiran nakal terlintas di benaknya, dan ia tersenyum. Tak lama kemudian ia berbalik dan melangkah ke arah yang berlawanan dengan tujuannya. Beberapa ratus meter sebelum persimpangan yang menghubungkan jalan sekolah dan dunia luar sang pemuda kembali berhenti. Ia memalingkan wajahnya sejenak ke dunia yang akan ditinggalkannya seakan mengucapkan selamat berpisah dan melanjutkan langkahnya.
Terminal bus Baranang Siang tidak nampak begitu padat hari itu. Beberapa gelintir manusia nampak hilir mudik, sibuk dengan berbagai kegiatannya. Sang pemuda memicingkan matanya. Mengapa matahari begitu terik hari ini, pikirnya. Ia berjalan agak cepat menuju halte bus dan dengan setengah memaksa berusaha naik ke dalam bus kota yang telah penuh sesak. Berjejalan di antara penumpang dan hembusan asap rokok, ia akhirnya menghempaskan dirinya di atas kap mesin di dekat supir sambil matanya menatap berkeliling memperhatikan suasana sekitarnya. Seorang kakek tua dengan kemeja hitam yang lusuh lengkap dengan kopiah bututnya tengah tertidur lelap. Mulutnya setengah terbuka, sementara di sebelahnya seorang ibu muda tengah berusaha mendiamkan bayinya yang terus menangis karena panas yang melekap. Sang pemuda menyeka keningnya dari keringat yang mengalir turun.
Bus kota mulai melaju. Berjalan mengikuti trayek yang telah ditentukan. Sang pemuda tertunduk, memejamkan matanya dan terlelap dalam kesendiriannya.
Jakarta. Kota tujuan dari bus yang ditumpangi seorang pemuda berpakaian seragam sebuah SMU yang cukup terkenal di kota hujan kini telah berada di ambang mata. Sang pemuda terbangun matanya menatap kosong. Untuk beberapa saat ia tidak tahu sedang berada dimana. Namun, sejenak kemudian ia sadar dan teringat akan tujuannya. Sebuah rumah kecil di daerah Kelapa Gading, tempat dimana ia melarikan diri bila merasa hampa. Tempat dimana ia terbiasa untuk mentransmutasikan emosi jiwa menjadi suatu karya. Tempat dimana ia merasa diterima sebagai dirinya sendiri. Tempat dimana ia tidak dibenci hanya karena ia berbeda. Tempat dimana perbedaan kultur, ras, dan agama bukanlah suatu hal yang perlu dipersoalkan. Sebuah Sanctuary bagi manusia yang terbuang dari kalangannya.
Terdengar suara kondektur menandakan bahwa bus akan memasuki terminal. Terminal. Pikir sang pemuda. Sebuah tujuan akhir, yang akhirnya justru hanya menjadi tempat singgah. Just like me. Seulas senyum sinis terlukis di bibirnya yang tipis. Ia melompat turun dari bus yang tengah melaju pelan. Tujuan dihatinya telah ditetapkan dan ia kini semakin mendekatinya.
Angkutan yang membawa sang pemuda berhenti tempat di depan jalan kecil pintu rumah itu. Sebuah rumah berwarna putih berpagar hitam. Biasanya dari luar tempatnya berdiri, dapat terdengar suara riang penuh canda yang kadang diselingi dengan bunyi hentakan alat musik elektrik. Namun hari ini semuanya begitu sunyi. Senyap, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Hening. Sang pemuda mengulurkan tangan untuk membuka pagar besi tersebut, namun beberapa senti sebelum jemarinya sempat menyentuh, ia berhenti. Ada ragu di hatinya. Sejenak ia berfikir, seakan mengulur waktu sebelum ia melakukan sebuah kesalahan yang lebih fatal. Akan tetapi, kebutuhan untuk menyalurkan rasa itu lebih kuat daripada nalarnya dan ia melangkah memasuki pekarangan rumah putih berpagar hitam.
Hening. Sang pemuda melangkah di atas lantai teras dan mengetuk pintu kayu yang memisahkan penghuninya dari dunia luar. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Kembali tangannya terulur mengetuk dan ia menunggu. Tanpa disadarinya dua pasang mata mengawasi dari balik pepohonan pagar yang tumbuh cukup lebat di pekarangan rumah. Beberapa pasang mata yang menatap nanar penuh nafsu. Sang pemuda tak sempat berteriak saat beberapa tangan meringkusnya. Ia berusaha melawan namun sebuah pukulan keras di kepalanya membuatnya kehilangan kesadaran dan semuanya menjadi gelap.
Rintihan. Ya, ada suara rintihan wanita. Sang pemuda mulai tersadar dari kegelapan. Ada sakit yang teramat di bagian pelipisnya dan sedikit rasa basah yang lengket pada rambutnya. Ada rintihan. Suara wanita yang merintih kesakitan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ruangan itu gelap. Cahaya matahari hanya dapat meremangi kamar dari balik gorden tebal yang menutupi kaca jendela. Ada suara tawa lelaki. No, a couple of them. Ia memeriksa sekelilingnya. Hening. Sepertinya ia ditinggalkan sendiri sementara para penyerangnya sibuk dengan diri masing-masing.
Perlahan sang pemuda bangkit berdiri. Ada noda merah di pakaian seragam putihnya. Blood, pikirnya. It's my blood. Ada sesuatu yang gawat tengah berlangsung di rumah ini. Saat itu tidak ada terpikir olehnya bahwa ia harus berlindung. Nalurinya mengatakan ada wanita yang tengah disakiti dan membutuhkan pertolongan. Dan ia akan menjawab panggilan itu. Perlahan-lahan sang pemuda melangkah, mengikuti arah suara wanita yang kini memelas memohon belas kasihan. Permohonan yang ditanggapi dengan gelak tawa dan ancaman bengis. Tiga orang. Pikir sang pemuda. Paling tidak ada tiga orang. Perlahan disibakannya pintu kamar tidur utama sumber dari suara-suara itu. Dan sejenak ia terpana. Tiga orang pria dengan pakaian yang awut-awutan tengah tertawa-tawa sementara di lantai teronggok sesosok tubuh dengan busana yang compang-camping. Sosok tubuh di lantai itu jelas tubuh wanita. Seorang wanita yang menangis dan berusaha menutupi ketelanjangannya. Sosok yang amat dikenalnya. Ketiga lelaki itu tertawa melihat sang wanita tanpa daya berusaha melindungi dirinya, kehormatannya. Mereka kemudian berunding sambil tetap bercanda siapa yang akan mendapatkan giliran pertama menikmati tubuh indah itu.
Si pemuda merasakan darahnya bagai mendidih. Bergolak panas mengalirkan amarah ke sekujur tubuhnya. Memacu kelenjar-kelenjar penghasil adrenalin bekerja menghasilkan tenaga baru di dirinya. Ingin rasanya ia menerjang masuk dan menghajar ketiga lelaki bangsat tersebut, namun nalarnya mengatakan bahwa ia justru akan membahayakan jiwa orang yang ingin dilindunginya. Orang yang harus diselamatkan jiwa dan kehormatannya. Have to come out with some distraction pikirnya. Akhirnya ia melangkah menjauh dari kamar tersebut. Keuntungan ada dipihaknya bahwa kondisi rumah itu cukup gelap. Dan ia membuat sedikit keributan.
Sebuah kepala melongok dari pintu kamar tidur yang terbuka mencoba memastikan apa yang membuat suara tersebut. Dan saat mata di kepala tersebut terhenti pada pintu kamar yang terbuka, pintu kamar dimana sang pemuda tadi terkulai layu tak berdaya, ekspresi di wajah lelaki itu dipenuhi rasa kaget dan takut. Sejenak kepala itu menghilang dan beberapa saat kemudian dua orang lelaki muncul dari kamar. Salah satu diantaranya memegang belati. Sepucuk belati yang biasa digunakan oleh tentara dalam perang. A commando blade. Si pemuda mengintip dari persembunyiannya. Ia tidak takut menghadapi mereka. Ia tahu bahwa ia mungkin akan menghadapi kematiannya saat itu, tapi ia tidak peduli. Mereka orang-orang yang terlatih. Matanya mengawasi kedua orang tersebut berjalan perlahan mencari sumber suara yang mengusik kesenangan mereka. Terlatih untuk membunuh. Saat kedua orang lelaki itu melewati tempat persembunyiannya, sang pemuda melemparkan bola karet yang telah disiapkan ke arah yang berlawanan dari dirinya. Kedua lelaki itu terhenyak. Dengan isyarat tubuh, salah seorang dari mereka, lelaki yang bersenjatakan belati, bergerak ke arah suara, memeriksa. Good, they're separated. Suara rintihan di kamar tidur yang terdengar sayup-sayup semakin mengusik amarahnya. Have to act fast. Or it'll be too late. Perlahan sang pemuda keluar dari persembunyiannya. Mangsanya telah ditentukan. Mangsa yang lengah. Dalam kegelapan dan kesunyian sang pemburu mengintai mangsanya.
Sebuah pukulan karate di bagian leher dengan telak merubuhkan tubuh tegap lelaki itu. Ia jatuh tanpa suara, kecuali suara crack yang menandakan keretakan tengkorak. Sang pemburu tersenyum puas. Two more to go. Ia beranjak menuju mangsa berikutnya.
Diluar dugaannya, ternyata lelaki tegap berpisau itu kembali lebih cepat dan mereka berdua sempat terkejut saat berhadapan untuk beberapa saat. Mangsa kali ini lebih terlatih dan dengan cepat tersadar. Lengannya mengayun menebaskan senjata ke arah perut sang pemburu yang terbuka. Ia mengelak. Melompat ke belakang. Keduanya terdiam. Saling menatap. Mencoba mengantisipasi gerakan lawan. Namun, suara-suara erangan di kamar tidur itu mengganggu konsentrasinya dan sang pemburu menjadi lengah. Ia tak sempat menghindar ketika serangan kedua datang dan semburan cairan merah terpancar dari perutnya. Sang pemburu terhuyung. Goyah sudah keseimbangannya. Mangsa yang seharusnya diburu kini berubah posisi. Ada hawa kematian yang terpancar dari bayangan musuhnya. I won't last long. Have to make it quick. And deadly.
Sang pemburu kembali terhuyung. Sebelah tangannya mendekap luka untuk menghentikan pendarahan. Mencoba menipu musuhnya. Kali ini ia berhasil. Saat serangan itu datang ia telah siap. Sebuah kejutan di selangkangan memaksa mangsanya untuk berhenti yang dilanjutan dengan serangan mematikan ke arah dagu. Ada semburan merah dari mulut mangsanya. Semburan yang semakin membasahi pakaian si pemburu yang telah basah. Kemarahan dan kebencian semakin terpancar di wajah dan sorot mata sang pemburu. Tidak dipedulikannya tatapan memohon ampunan dari mangsanya. Dalam serangkaian gerak indah yang mematikan terdengar suara crack yang kedua. Suara yang menandakan kehidupan telah berakhir. Suara yang menandakan datangnya kelumpuhan total bagi siapa pun yang terkena. Suara yang menandakan patahnya tulang belakang mahluk yang bernama manusia.
Suara rintihan itu kini berubah menjadi isak tangis tertahan. Sang pemburu yang terluka melangkah perlahan memasuki ruangan. Belati tajam terhunus di tangannya. Adegan yang terlihat di matanya menambah beban amarah dan rasa benci yang kian merasuki otaknya. Menghilangkan nalarnya. Tanpa pikir panjang, tangannya terayun dan sekelebat terlihat pantulan cahaya dari mata belati yang dilemparkannya sebelum senjata itu menghilang, tenggelam di kepala mangsa terakhirnya. Jasad itu rubuh menimpa sosok yang tengah merintih di bawahnya. Rubuh tak bernyawa. Si pemuda melangkah dan membantu menyingkirkan mayat itu dari atas tubuh telanjang yang tengah gemetar ketakutan. Ada ketakutan terpancar di bola mata yang indah itu. Ada teror yang mengusik wajah ayu. Diraihnya tubuh itu dan dirangkulnya. Membisikan kata-kata yang memberikan rasa aman. Dan sang wanita menangis dalam pelukannya. Hening.. Tidak seperti biasanya. Kali ini keheningan itu terasa begitu menakutkan. Where the hell am I? Putih. Segala sesuatunya berwarna putih menyilaukan. Is this heaven or is it hell? Gumaman dan celoteh suara-suara yang tak jelas menari di telingaku. Can't move. Kaku. Bisu. Kegelapan kembali melanda.
Perih. Itulah perasaan pertama yang membuktikan bahwa aku masih hidup. Ada rasa perih di lambung kiriku. Perlahan tanganku merayap mencoba meraba tempat rasa itu berasal. Bebal. Ada perban yang membebat perutku, dan rasa basah serta lengket yang sempat tersentuh oleh jemariku sebelum aku benar-benar terjaga. Ruangan itu gelap dan aku berada di atas sebuah ranjang yang bersih. Hospital? Pikirku. Apakah aku berada di rumah sakit? When? How? Where? Aku tak tahu. Hal terakhir yang kuingat adalah kutarik Venus ke dalam dekapanku. Setelah itu semuanya gelap seakan ada sebuah lubang di dalam ingatanku.
Venus. Ya, my venus. Ada di manakah dia sekarang? Bagaimanakah keadaannya? Move.. Aku berusaha bangkit, namun gerakan itu membuat tubuh secara tak sengaja menyentuhnya. Aku berpaling. Venus. She is here. Rambut panjangnya yang hitam tergerai menutupi wajah yang ayu. Mata indah itu terkatup rapat dalam kedamaian nikmat Ilahi yang kita namakan tidur. Kuelus rambutnya, Wajahnya. Dan aku berpikir apakah kejadian tadi itu benar-benar nyata, or apakah semua itu cuma mimpi. Ia mendesah. Indah sekali terdengar di telingaku. Suara desahan itu bagaikan instrumen nada surgawi yang memberikan keyakinan. Meyakinkan bahwa aku masih seorang manusia, walaupun sedikit berbeda. Genggaman jemari lentiknya di tanganku terasa semakin erat dan aku tak kuasa untuk melepaskannya. Aku tak mampu menghentikan rasa haru yang merebak di dalam hatiku, dan tak terasa air mataku mengalir turun.
Bersambung . . . .