Setelah sekian waktu, Dian keluar dari kamar mandi. Dia tampak segar karena baru saja membasuh wajahnya. Pakaiannya juga sudah rapi. Aku mendaratkan ciuman di pipinya sambil tersenyum.
"Hujannya udah reda, aku mau pulang. Capek..!" kata Dian seraya membereskan barang bawaannya.
"Di, kalo kamu suka sama apa yang kita kerjakan tadi, besok kalo kamu pingin, kamu pake jaket dan segera ke sini waktu kuliah pertama selesai." ajakku kepada Dian.
Dia hanya diam saja sambil menatap ke arahku.

"Tapi, kalo kamu tidak suka, oke, aku minta maaf. Aku janji tidak akan ngasih tahu siapa pun." kataku kemudian.
Dian tetap diam dan tanpa berkata-kata, aku terpaksa mengantarkan Dian hingga keluar dari halaman rumahku.

Keesokan harinya, aku sengaja telat ikut kuliah pagi. Selain malas, dosennya juga membosankan. Sambil masuk dari pintu belakang, aku mencari-cari wanita kurus dengan rambut panjang. Ternyata Dian berada di kursi paling depan, bersebelahan dengan teman-teman sekelompoknya (yang sebenarnya manis-manis, tetapi menurut beberapa kalangan, mereka sombong dan sering berlagak paling pintar). Tapi aku tidak ambil pusing. Yah, mereka toh tidak pernah konflik dengan diriku, dan yang jelas, siapa tahu aku dapat meniduri salah satu dari mereka (hahaha).

Ketika kuliah selesai, aku sengaja tidak segera beranjak keluar ruangan, tapi menunggu Dian. Bayangkan.., ternyata Dian mengenakan jaket. Wah, pertanda apa nih, pikirku.
"Hai Dian.." sapaku yang dijawab Dian dengan senyumnya.
"Kamu pake jaket yah..?" kataku lagi seperti orang bodoh.
"Emang nggak boleh..?" jawabnya lagi.

Seperti yang sudah kami sepakati, kami berjalan beriringan ke tempat parkir. Namun, begitu keluar parkiran dengan kendaraan Dian, dia memintaku untuk mengantarkannya ke rumah Budenya (yang sudah lama menjanda, dan tinggal di kota yang sama). Sesampai di sana, aku agak heran ketika rumah tersebut sepi.

"Kok sepi Di..?"
"Iya, Bude lagi pergi ke Solo, ada saudara yang sakit."
"Lha, trus rumahnya yang jaga siapa..?"
"Sebenarnya ada pembantu, tapi dia ijin pulang kampung dua hari, jadi aku yang terpaksa jagain nih..!"

Begitu pintu garasi kututup, kemudian barang bawaan sudah kuletakkan di meja, langsung Dian kupeluk, bibirnya yang penuh kulumat. Dian tidak diam saja, berbeda seperti kemarin, kali ini Dian membalas pagutan dan kuluman lidahku. Sambil melumat bibirnya, tanganku tidak diam saja, tapi mulai bergerilya, mengelus dan memeras payudaranya, dan sesekali mengusap selangkang Dian. Dian melakukan hal yang sama, dia mengelus kemaluanku yang otomatis kejang dan kaku sekali.

Ah.., nikmat sekali setiap belaian dan usapan tangan Dian di selangkanganku. Tidak tahan hanya demikian, aku segera melepaskan ziper dan melepaskan celana panjang beserta celana dalamku, hingga batang kemaluanku lepas dari siksanya. Batang kemaluanku sepanjang 20 cm itu segera dikocok Dian dan diremas dengan mesra. Tanganku tidak diam juga, karena blouse dan celana panjang Dian segera teronggok di lantai. Bra krem dengan sekali jentik segera terlepas dari punggung Dian.

Aku kemudian jongkok di hadapan Dian, mengamati gundukan daging di selangkangnya yang masih terbungkus celana dalam satin berwarna merah muda. Sepertinya Dian sengaja menyiapkan dirinya. Bulu-bulu halus yang kemarin kusaksikan, kini sudah lebih teratur, tidak mencuat di sana sini dan keluar dari sisi-sisi celana dalamnya.

Aku menghirup udara di depan kemaluan Dian dalam-dalam. Wah.., harum.. Dan dengan sekali rengkuh, sisa kain terakhir di tubuh Dian lenyap. Aku kemudian membimbing Dian ke sofa di ruang tamu. Membuka kedua kakinya untuk lebih mengangkang. Kemudian kususupkan kepalaku di antara pangkal pahanya. Lidahku menyapu seluruh permukaan vagina Dian, yang tidak lama kemudian basah. Cairan asin dan lembab membasahi kemaluannya.

Dian hanya merintih kecil saat ujung lidahku menyapu vaginanya. Kadangkala dia terpekik, saat dengan penuh perasaan bibir vaginanya kusedot atau ketika ujung lidahku menusuk ke lubang kemaluannya yang terus menerus mengeluarkan cairan. 5 menit aku memperlakukan Dian seperti itu, kadang dengan cepat lidahku menyapu, kadang dengan sedotan-sedotan dan kecupan.

Dian mendelik dan kakinya mengejang. Tangannya menjambat rambutku. Wah.., Dian pasti sedang orgasme, pikirku. Aku kemudian menghentikan aktivitasku beberapa saat, untuk menenangkan Dian. Setelah reda, aku lalu berdiri, mengangsurkan batang kemaluanku yang mengacung penuh. Sebenarnya agak sakit kalau si penis ini bangun dengan kekuatan penuh seperti ini.

Dian menerimanya, mengusap perlahan lalu mulai memasukkannya ke dalam mulutnya. Awalnya hanya dikeluar-masukkan tanpa hisapan. Namun perlahan-lahan, Dian mulai menikmati dan memperlakukan batang penisku seperti menghisap permen lolipop. Dikecup, dihisap dan dengan kecepatan tinggi keluar masuk mulutnya. Meski sudah berusaha keras, tapi ukuran penisku yang lumayan itu tidak mampu masuk ke dalam mulutnya yang mungil. Tapi cukuplah untuk membuatku merem melek merasakan nikmat yang oke punya ini.

Meski Dian sudah mendorong maju dan mundur kepalanya, aku tetap mendorong pantatku maju mundur sambil memegang rambutnya. Ahh.. nikmat sekali.
"Dian, kamu cepat bisa ya..!"
"Heeh.. mmhh.. shh.." jawabnya.

Kemudian aku mengangkat Dian untuk rebahan di sofa, tentu dengan kaki yang full mengangkang. Wuih.., indahnya itu vagina. Merah muda dan mengkilap. Tidak kusia-siakan kesempatan yang tidak mungkin ada tiap hari itu. Aku kembali melumat bibir Dian bagian bawah itu, gurih dan mulai basah lagi. Sapuan-sapuan lidahku ditanggapi Dian dengan menggoyangkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan. Tampaknya dia sangat menikmati permainanku.

Sambil mencuri kesempatan, aku menyusupkan jari tengahku ke dalam lubang vaginanya yang merekah. Dian terus merintih keenakan, tapi dia tidak menyadari salah satu jariku kini sibuk mengorek-ngorek vaginanya. Lalu aku bangkit, dan dalam posisi jongkok aku mengarahkan kepala kemaluanku ke depan lubang vaginanya. Dian tersentak kaget.
"Jangan Ko.., jangan dimasukin, aku masih perawan..!"

Tapi aku yang sudah gelap mata dan berpikir kapan lagi kesempatan seperti ada lagi, tidak perduli. Dan dengan sedikit memaksa, perlahan ujung kemaluan itu masuk, sesekali kutarik, lalu kutekan kembali. Dian menggigit bibirnya dan meringis, mungkin benar-benar sakit. Untuk mengatasinya, aku mengulum payudaranya sambil menekan batang penisku masuk lebih dalam. 2 cm, kemudian kucabut lagi, lalu kutekan, 5 cm, begitu seterusnya, sampai setengah batang itu masuk ke dalam lubang kemaluannya.

Tiba-tiba Dian meraih punggungku, dan kuku-kukunya menancap erat. Sakit juga ketika aku menekan dengan keras pinggulku ke bawah untuk menusuk lubang kemaluan Dian. Seiring dengan itu, di ujung batang kemaluanku, aku merasa telah menembus sesuatu. Wah.., selaput dara Dian akhirnya berhasil kuterobos.

Dian masih setengah menjerit, namun dengan perlahan dan pasti aku mendorong keluar masuk batang kemaluanku ke dalam vaginanya yang menjadi basah sekali.
Lama kelamaan, Dian mulai ikut mengoyangkan pinggulnya. Wah, dia mulai menikmati.
"Ahh.., terus Ko..! Aaghh.., sshh.. shh..!" erang Dian berulang-ulang.
Tangannya merangkulku erat. Aku mempercepat gerakan menusuk.., mencabut.., berulang-ulang.

Tidak lama, "Oohh.., aaghh.., aduhh Ko, Aku nggak kuat..!"
Tiba-tiba tubuhnya mengejang dan dia orgasme hebat sekali. Aku juga tidak mampu lagi menahan diri, dan kurasakan sesuatu yang mendesak untuk dikeluarkan.
"Akhh.. oohh..! Di.. keluarin di dalam atau di luar..?" tanyaku bodoh, karena saat itu Dian masih meratapi orgasme yang sebenarnya dalam hubungan seks sesungguhnya.
Dan tidak dapat ditahan lebih lama lagi, jebol sudah pertahanan. Banyak sekali batang kemaluanku menyemburkan sperma. Dan sialnya, tidak terkontrol karena semua tumpah di dalam vagina.

Batangku tertancap sempurna ketika semburan sperma meledak. Bingung aku ketika seluruh sperma sudah tuntas kumuntahkan. Wah, ini anak kalau hamil, mati aku. Aku lalu berbaring di samping Dian yang masih terengah-engah. Saat aku melirik ke bagian bawahnya, tampak cairan putih mengalir keluar dari dalam lubang vaginanya, bercampur dengan bercak-bercak merah. Di pelupuk matanya, masih ada air mata yang makin lama semakin banyak. Aku tahu, Dian pasti menyesali hilangnya keperawanannya.

"Nggak pa-pa Say. Aku akan tanggungjawab." kataku mencoba menghiburnya sambil memeluk dan mengecup dahinya.
Kami lalu tertidur kelelahan dan bangun beberapa jam kemudian.

Sejak saat itu, aku agak segan untuk bertemu langsung dengan Dian hingga beberapa hari kemudian. Yang kuperhatikan adalah kegiatan Dian di kampus. Biasanya Dian rajin, dan kira-kira dua minggu sejak kejadian itu, Dian tetap berada di perpustakaan jurusan (yang relatif lebih kecil daripada perpustakaan fakultas) padahal beberapa teman lainnya sedang belajar.

Beberapa teman lainnya ada yang mengajak Dian untuk belajar bersama, tapi ditolaknya. Sempat kudengar kalau Dian mengatakan sedang halangan. Wah.., mendengar hal itu agak lega juga aku. Kemudian kudekati dirinya yang menanggapiku acuh tidak acuh. Aku tahu kalau dia masih marah.

"Sorry Dian, kamu nggak apa-apa..?"
Kemudian dia mau ketika kuajak keluar ruangan. Di kantin yang kebetulan sepi, Dian menangis sesengukan. Ternyata Dian marah karena aku telah merenggut keperawanannya dan dia bingung bagaimana kalau hamil. Setelah menjelaskan dengan segombal-gombalnya, Dian mau sedikit tersenyum.

"Tapi, gimana rasanya Di..?" tanyaku.
"Engg.., enak sih.." jawabnya malu-malu.
"Kalo kita buat lagi gimana..?" pancingku.
"Tapi nggak mau kalau dimasukin. Takut Ko..!"

Sejak saat itu, kami sering ke kostku atau ke tempatnya untuk saling melumat dan mengoral. Sesekali aku masih dapat memasukkan batang kemaluanku ke dalam kemaluannya, tapi ketika ejakulasi aku mengeluarkannya di luar. Bisa di perutnya, dadanya, dan lebih gila, di wajahnya.

TAMAT