Dedi menatap nanar layar komputer di mejanya, di ruangan pribadi kantornya. Kantor ini terletak di lantai 15 dengan lebih dari 70 orang di dalam ruangan yang terpisah hanya oleh sekat-sekat fiber, sepintas mirip kandang-kandang ayam petelur. Dedi tidak dalam daftar orang-orang yang 'dikandangkan'. Ia mempunyai ruang sendiri. Sungguh ia bersyukur untuk itu.
Lama ia termenung. Tangan kanannya memegang surat dari atasannya tentang persetujuan cuti selama 4 harinya. Ia terlalu gembira hingga ia lupa tentang sesuatu yang harus dikerjakannya di depan komputer ini. "Apa ya? semua tugas sudah kukerjakan untuk pekerjaan dua minggu ke depan, semua klien juga telah mengetahui kepergianku dan mereka tak menyoalkannya," katanya dalam hati sambil menepuk-nepukkan kertas itu ke dahinya.
Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk dan sekretarisnya masuk sambil tersenyum manis. "Pak, ada pesan dari klien kita tentang pengunduran waktu pertemuan, saya buat jadwal ulang sekarang atau nanti setelah Bapak kembali?" Dedi menjawab sambil melempar kertasnya ke meja. Kertas itu melayang jauh dan mendarat di samping sepatu sekretarisnya, yang dengan sigap mengembalikan ke mejanya. Sekilas Dedi menatap kaki dan paha sekretarisnya. "Ahh yaa, itu dia, aku melupakan bagian terpenting dari waktu cutiku. Aku akan melakukan eksperimen seks!" batinnya. Sekretarisnya menanyakan kalau ada hal lain yang diperlukan. Dedi menggeleng sambil tersenyum. Dedi terus menatap bagian belakang tubuh sekretarisnya sampai menghilang. "Sial. Dengan rok sependek dan tubuh seindah itu seharusnya ia bekerja di klab malam, atau mungkin orang-orang bagian personalia yang merekrut sekretarisnya itu kelebihan hormon seks." Tapi yang lebih menyenangkan Dedi adalah ia teringat bahwa ia akan membuat pengalaman seks yang belum pernah ia lakukan untuk mengisi waktu cutinya.
Diambilnya secarik kertas kosong dan ia mulai menulis.
"Coba lihat, aku pernah bercinta dengan:
1. Anak SMU: Sangat berisik sewaktu bercinta.
2. Mahasiswi: Uh.. terlalu banyak tuntutan dan mereka terlalu banyak bicara dan terlalu sedikit mendengarkan.
3. Wanita karir: Ah, kebanyakan dari mereka selalu married oriented. Hiih. Ok, bagaimana dengan rekan sekantor? Ah nggak lah terlalu riskan apalagi dengan sekretarisku ah.."
Dedi selalu memperhitungkan keselamatan karirnya. Ia sangat bangga dengan jabatan dan reputasi serta kesuksesan yang ia capai selama ini, untuk pria berusia 34 tahun, belum menikah, mobil keluaran Eropa tahun terakhir dan rumah sedang di perumahan mewah, ia berhak bahagia.
Lamunannya terhenti sejenak oleh dering telepon genggamnya. Ditatap sejenak layar telepon sebelum menjawab. Ada nama salah seorang temannya, "Hallo boy, ada apa?"
"Oh maaf Ded, ini Sinta, mau nanya kamu, apa suamiku tadi telepon kamu? soalnya laptopnya ketinggalan nih, aku sudah telepon kantornya tapi sekretarisnya bilang kalau Boy sedang tugas lapangan, aku mau titip pesan kalau boy telepon, laptopnya ada di rumah," suara renyah mengalir.
Sinta adalah istri Boy, tetangga Dedi. Boy bekerja di gedung sebelah kantornya di bagian konstruksi.
"Belum tuh Sin, tapi oke lah nanti kalau dia kuhubungi, akan kusampaikan," kata Dedi sedikit kesal.
"Sejak kapan aku dipindahkan kerja dibagian barang hilang??" gerutunya dalam hati.
Setelah percakapan ringan selesai ia kembali ke kertasnya. Sejenak ia tercenung. "Hey.. Shinta istri Boy. Ha-ha aku belum pernah bercinta dengan wanita bersuami!" Dadanya berdebar keras. Diambilnya kamera digitalnya. "Semoga ada foto Shinta dan Boy di pesta tahun baru kemarin," harapnya. Setelah beberapa kali menekan tombol ia bersorak pelan. "Yap! ini dia. Shinta, 25 tahun, tinggi sekitar 164 cm berat 49 kg, berkulit putih dan ukuran branya.. hmm sial, aku tidak bisa mengira-ngira ukuran dadanya," katanya sambil memicingkan matanya. "Tapi ini cukup! aku akan pulang sekarang. Lebih tenang di rumah memikirkan kemungkinan yang akan terjadi!" serunya sambil membuka bungkus permen, melempar dan menangkapnya dengan mulutnya.
Sialnya, permen itu tidak berhenti di mulutnya tapi terus meluncur ke dalam rongga mulutnya dan berhenti di tenggorokannya.
"Aahh, ooh .." katanya sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Sial, tolol sekali," tapi suara yang keluar dari mulutnya hanya desis-desis lirih.
"Setan! suaraku serak!"
Ditepuknya lagi dadanya dengan keras dan permen keparat itu meluncur keluar meninggalkan tenggorokannya. Dedi menarik nafas lega. "Test, test, satu dua.." suaranya tetap lirih dan serak. Dedi tidak mempedulikan hal itu. Yang ia butuhkan sekarang adalah pulang sebelum jam kantor berakhir. Dengan sigap dikemasinya barang-barangnya ke dalam tasnya, lalu dengan tergesa ia membuka pintu yang terbuka saat ia akan meraih handelnya. Dan wajah atasannya menyembul di baliknya.
"Hey Ded, sudah mau pulang? Oke, nikmati cutimu asal jangan sampai lupa masuk kantor ya?" kata bossnya sambil menepuk-nepuk bahu Dedi.
"O ya, Bapak minta tolong sekali lagi, sembari kamu ke bawah, tolong temui klien kita Pak Hadi dan beritahu kalau saya tunggu di ruangan saya dan tamu saya di sana hanya rekan dari biro pemerintah yang akan membantu menyelesaikan pekerjaan kita yang lain, jadi beliau jangan sungkan-sungkan masuk. Kamu mengerti?"
Dedi mengangguk-angguk. "Ya, Pak Hadi ditunggu di ruangan bapak dan supaya langsung masuk meskipun ada tamu, karena itu rekan bapak dari biro pemerintah," kata Dedi berbisik.
"Lho kamu kenapa berbisik?" kata atasannya menyelidik.
"Ini Pak.. sakit" kata Dedi sambil menunjuk tenggorokannya.
"Ah, ya sudah sampai ketemu dan selamat istirahat."
Dedi mengangguk dan setengah berlari ke Lift yang membawanya turun.
Di bawah ia bertemu dengan Pak Hadi dan sekretarisnya yang menyalaminya, lalu Dedi berkata, "Pak, ditunggu Bapak, di ruangan ada orang dari biro pemerintahan, jadi Bapak langsung masuk saja," suaranya tetap terdengar aneh dan berbisik. Pak Hadi sedikit terkejut dan menjawab dengan berbisik juga. "Oke, saya mengerti.." katanya sambil menggerutu dan mengeluarkan buku cek dan memberikan ke sektarisnya. "Ini cek nanti sampaikan ke pegawai negeri itu."
Dedi meninggalkan Pak Hadi dengan terheran-heran.
"Aku berbisik bukan untuk menganjurkan Pak Hadi menyogok pegawai negeri itu, dan lagi apaurusannya Pak Hadi dengan pegawai negeri itu?" kekehnya.
"What the hell," cuma ada satu tujuan, aku harus pulang.
Di dalam mobil, pikirannya untuk menggoda Shinta membuatnya sangat bergairah. Petualangan kali ini benar-benar beresiko dan mengasyikkan. "Shinta.. huh wanita ini sangat menggairahkan. Boy benar-benar beruntung, mengapa selama ini aku tidak pernah menghayalkannya?" sesalnya. Tapi Dedi menyadari bahwa sebenarnya bukan hanya Shinta yang membuatnya bergairah, tetapi status Shinta sebagai istri orang dan bayangan petualangan baru yang akan dialaminya yang membuatnya sangat bergairah. Ia menyetir mobilnya dengan tergesa, dirasakan dirinya sedikit terangsang."Dengan apa aku bisa membuat fantasiku jadi kenyataan ya?" Ia teringat dengan obat perangsang yang dibelinya ketika tugas ke luar negeri. "Ah itu bullshit. Biar 8 lusin obat seperti itu, nggak bakal membuat seorang wanita terangsang, malah susah tidur," gerutunya. "Tapi hmm.. nggak juga kalau ke aku sendiri." Teringat ia terakhir memakai obat itu untuk dirinya sendiri. Ia berharap untuk tidak tidur selama perjalanan memancing ke laut. Dan hasilnya, Dedi bukan saja tidak tertidur, ia bahkan ereksi berat selama sehari penuh. Terbayang lagi pengalamannya memancing ikan sambil ereksi itu sangat menyiksanya. "Hiihh.." desisnya sambil bergidik."Bagaimana ya? ah nanti aja dipikirkan."
Ketika memarkir mobil di pekarangan rumahnya, Dedi sempat melirik ke rumah tetangganya sejenak.
"Istri Boy itu masih di rumah tidak ya?" pikirnya sambil menekan nomor telepon rumah Boy.
"Hallo..?!" suara lembut menyapa, ditutupnya segera ponselnya sambil tersenyum.
"Lebih baik aku ke rumahnya untuk melihat seberapa besar kemungkinan yang bisa kudapat," pikir Dedi riang.
"Aku harus punya alasan yang bagus," dan Dedi cuma butuh 4 detik untuk membuat suatu alasan yang masuk akal.
Diketuknya kaca rumah tetangganya itu.
"Yaa, tunggu sebentar.." sahut seseorang dari dalam.
"Eh, Dedi?! ada apa?" kata Shinta cemas.
"Sorry Shin, punya obat pereda sakit kepala nggak?" kata Dedi lirih.
Shinta tersenyum lega, ia pikir Dedi membawa berita buruk tentang suaminya.
"Adaa.. kupikir Boy ada apa-apa Ded, masuk deh," kata Shinta sambil berbalik berjalan ke dalam ruangan.
"Eh, Ded, pintunya tolong ditutup lagi ya?"
Ada senyawa kimia di badan Dedi yang langsung bereaksi demi mendengar perintah Shinta. "Hmm sepertinya ada signal bagus. Buat apa ia minta tutup pintu kalau nggak mengharapkan sesuatu akan terjadi?" dijulurkannya sebentar kepalanya keluar untuk melihat keadaan sekeliling, "aman"
Dedi memburu Shinta ke dalam ruangan. Didapatinya Shinta di ruang tengah sedang membungkuk mencari sesuatu di laci. Dedi mencari tempat untuk duduk. Sambil mengusap kepalanya ia terus memperhatikan tubuh Shinta dari belakang. "Pinggulnya bagus, berisi, rok katun itu melekat ketat di pinggulnya. Dan paha itu putih bersih.." Dedi mulai terangsang oleh fantasinya sendiri. Berdua dalam satu ruangan dengan tujuan yang ia buat sendiri, itu membuatnya benar-benar terangsang sekarang. "Shin.. Boy pulang jam berapa?" kata Dedi dengan menjaga tekanan suaranya agar tetap lirih. Shinta menegok sebentar ke belakang, lalu sambil terus meneruskan pencariannya. "Heh.. tepatnya hari apa, soalnya Boy tadi telepon bahwa ia harus terbang ke Medan hari ini juga. Boy selalu begitu deh Ded.."
Dedi hampir berteriak kegirangan. "Astagaa.. nasibku sedang dimanja dewi keberuntungan hari ini.." Dedi memejamkan matanya sambil menundukkan kepala menahan rasa gembiranya yang amat sangat.
"Sakit sekali ya?" kata Shinta yang tiba-tiba sudah berada di depannya. Dedi sedikit terkejut.
"Iya.." sahutnya lirih.
"Kamu harus ke dokter, sementara nih obatnya. Aku ambilkan air dulu ya?" kata Shinta sambil menyentuh dahi Dedi.
Jantung Dedi berdetak dua kali lebih cepat ketika ia merasakan tangan Shinta menyentuh dahinya. Matanya menatap ke depan, kepalanya sejajar dengan dada Shinta yang mengenakan baju lengan pendek berwarna biru muda. Dedi merasa darahnya mengalir deras mengisi ruang di kemaluannya. Akal sehatnya mulai melayang ke atas menembus atap menyeberang jalan dan duduk di sana dan memaki badan tolol di dalam rumah yang sedang dirasuk birahi. Dedi mengangkat kedua tangannya, menyentuh lengan Shinta dan meraba sebentar menunggu reaksi. Shinta merasa sangat kaget. Ia melangkah mundur satu kaki ke belakang dan berpikir, "Eh.. tangan Dedi tadi sengaja nggak ya? atau aku yang ke-GR-an," pikir Shinta cepat. Tak urung hal itu agak membuatnya sedikit rikuh. Dedi menurunkan tangannya dengan segera tapi ia tak berkata apa-apa, mengesankan bahwa tindakannya tadi tak bermaksud dan sama sekali tak berarti sama sekali.
Shinta membalikkan badannya dan melangkah ke arah dapur.
"Hm, tak mungkin Dedi bermaksud macam-macam kepadaku. Tapi bagaimana kalau aku goda dia ya? pengen liat reaksinya. Ha-ha, sakit kepalanya bakal naik dua derajat dari semula," pikir Shinta lagi sambil membawa segelas air.
"Ded ini airnya. Obatnya diminum sekarang aja," kata Shinta.
Sejenak ia tertegun. Dedi sedang menatap sesuatu di depan komputernya.
"Aduh! aku lupa mematikan PC-ku," bathin Shinta panik.
"Kamu lagi online ya? tuh modemnya jalan, terus ini gambar gile bener cowoknya.." belum sempat Dedi menyelesaikan ucapannya, Shinta menerobos ke depan layarnya sehingga Dedi termundur beberapa senti.
"Ah sorry, itu tadi kebetulan dapet site yang begitu, abis iseng nih," kata Shinta sambil berusaha menutup browser-nya.
"Eh Shin, jangan ditutup dulu. Aku mau nyari resep masakan buat nanti malam," kata Dedi sambil bergerak mendekat.
Shinta meminggirkan kursi di depan meja komputernya ke samping sambil berkata, "Oh, itu? aku punya situs bagus untuk resep masakan." Sambil membuka kembali browser-nya dan mengetikkan sesuatu. Dedi pura-pura tertarik sambil menundukkan kepalanya sehingga kepala mereka berdua sangat dekat. Diliriknya Shinta yang sedang asyik mencari-cari resep masakan di sebuah situs.
Bersambung . . . .