"Uh.. saatnya untuk sedikit beraksi Ded!" kata Dedi dalam hati, lalu ia berdiri di belakang Shinta. Perlahan-lahan ia mendekati Shinta sampai kemaluannya menyentuh pantat Shinta. Shinta sedikit terkejut. "Hey, dia sengaja nggak ya?" pikirnya ragu. Sambil terus membungkuk, Shinta berpura-pura terus sibuk. Tapi sekarang ia menggerakkan pinggulnya pelan ke belakang sehingga menempel ketat dengan tubuh Dedi di belakang. Dedi mencoba mengatur nafasnya supaya tidak terdengar memburu. "Lho?? dia tau nggak sih?" pikirnya sesak. Shinta merasakan ada sesuatu yang keras menempel di pantatnya. "Ha ha sepertinya Dedi sedang terangsang. Satu sentuhan lagi lalu kuminta dia pulang.." batin Shinta riang. Lalu ia seperti membaca sesuatu di layar sambil menggerak-gerakkan pantatnya ke kanan dan ke kiri perlahan.
Dedi benar-benar menikmati keadaan itu.
"Oh ternyata nggak sesulit yang kukira, sebentar lagi kita pasti akan bercinta," pikirnya sambil meletakkan tangannya di pinggul Shinta.
"Ok Ded ini sudah aku print-kan, kamu tinggal belanja bahan-bahan saja, ok? kamu kalo keluar nanti tutup kembali ya pintunya aku mau kirim e-mail buat sepupuku dulu di sini," kata Shinta sambil berbalik dan menyodorkan selembar kertas.
"Aaa? dia menyuruhku pulang? jadi tadi itu cuma khayalan saja?" kata Dedi sambil mengambil kertas dari hadapannya. Ia berjalan keluar dengan pelan berharap Shinta memanggilnya lagi, ternyata tidak!
"He he berani taruhan, pasti Dedi menyesal kalau pernah meminta obat ke sini," batin Shinta sambil tersenyum lalu ia mulai mengetik surat.
Tiba-tiba ia merasa tubuhnya tertarik ke belakang. Lalu tubuhnya terangkat dalam pelukan seseorang. Shinta mencoba melihat wajah seseorang yang mengangkatnya.
"Hey Ded! ada apaa? eh turunin aku dong.. Dedi! ini nggak lucu ya?!" kata Shinta.
"Shinta, sorry ya.. aku nggak bisa tahan. Kamu harus nurut, ok? Aku nggak pengen kamu luka," kata Dedi dingin sambil membuang tubuh Shinta di sofa. Shinta menggigil ketakutan.
"Dedi, kamu mau apa? jangan ya? Ded.." pinta Shinta menghiba ketika ia melihat Dedi membuka celana panjangnya. Dedi sudah tak peduli lagi. "Dengar Shinta, kalau kamu terus bicara aku bakal.." Plak! Dedi merasa pipinya panas. Mendadak birahinya berubah menjadi amarah. Dicengkeramnya baju Shinta lalu dengan sekuat tenaga dibukanya dengan paksa sehingga kancing baju itu jatuh berderai ke lantai. Shinta mulai terisak. Ia ingin teriak tapi tak kuasa mengeluarkan suara. Ia didera ketakutan yang amat sangat yang belum pernah ia alami seumur hidupnya.
Dedi menatap payudara yang terbungkus bra warna krem. "Hoho ternyata 34B. Bagus. Tidak terlalu besar dan akhirnya aku mengetahuinya walaupun dengan cara begini." bathin Dedi sambil mengangkat bra itu ke atas. Kedua kakinya menahan tubuh Shinta bagian bawah sementara tangannya memegang kedua tangan Shinta. Ia mulai menjilati payudara itu. Lidahnya bergerak cepat membuat lingkaran yang mengecil di puting Shinta, Lalu ia menyedotnya keras. Shinta mencoba untuk mengontrol dirinya sehingga ia punya tenaga untuk berteriak. Dibiarkannya Dedi menyedot-nyedot puting susunya. Ia berusaha memblok gairah yang mendadak muncul di dirinya.
Dedi benar-benar merasa sangat bergairah. Kemaluannya menegang keras. "Aku harus membuatnya terangsang supaya aku tidak terlalu kesulitan memasuki dirinya," katanya sambil terus mengulum puting Shinta. Lalu bibirnya pindah ke leher. Dengan jilatan-jilatan kecil yang dibuatnya iabergerak ke arah telinga dan bagian dalam telinga Shinta. Hal itu membuat Shinta melenguh pelan lalu dengan cepat menutup mulut lagi. Dedi mendengar lenguhan itu dan itu menambah semangatnya. Dijilatinya lengan Shinta bagian dalam. Shinta meronta kegelian. "Ah ini akan memakan waktu.." kata Dedi. Ia melepaskan pegangan tangannya dari tangan Shinta lalu berbalik ke bawah. Kakinya menekan lengan Shinta sementara tangannya memegang kedua kaki Shinta. Shinta melihat ke atas. "Ahh.. mengapa tubuhku jadi lemas begini," pikirnya sambil terisak.
Dedi membuka rok Shinta ke atas. Dilihatnya paha putih bersih di hadapannya yang langsung ia terkam dengan mulutnya. "Aah harum sekali tubuh ini," dijilatinya sampai pangkal paha, kedua paha itu hanya meronta-ronta pelan tertahan oleh kedua tangan kekar Dedi yang sangat menikmati aroma di pangkal paha Shinta. Dedi menggigit pelan pangkal paha itu sambil terus menjilatinya bergantian kiri dan kanan. Shinta terus mencoba menahan reaksi balik dari dalam dirinya. Ia menegangkan kedua pahanya tapi yang terjadi malah ia merenggangkan pahanya. Dedi menangkap itu sebagai isyarat penerimaan. Lalu diturunkan CD Shinta ke bawah lalu dengan rakus, sebelum dibenamkan mulutnya di sana, dirabanya sejenak, "Hm sudah lembab," pikirnya sambil tersenyum. Dedi tidak bisa melihat vagina Shinta dengan jelas tapi ia tak mempedulikannya. Lidahnya menerobos ke dalam dengan cepat dijilatinya seluruh dinding vagina Shinta. Ditahannya kedua paha Shinta dengan sikunya, lalu jarinya membuka vagina itu, sementara jari lainnya mencari klitoris. Dipindahkan lidahnya ke pangkal paha Shinta lagi sambil memijat pelan klitoris Shinta dengan ibu jari dan jarinya.
Dedi merasa sangat tidak leluasa, ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Shinta aku cuma minta kamu jangan berteriak ok? aku mau berdiri sekarang.. kalau kamu mencoba teriak aku bakal menyakiti kamu lebih dari yang kamu bayangkan, ngerti kamu?!" kata Dedi sambil mengguncang tubuh Shinta pelan. Shinta tak menjawab, ia hanya terisak dan melempar pandangannya ke samping. Dedi tersenyum berdiri dan berlutut di bawah. Ditariknya kedua kaki Shinta, lalu dibukanya lagi vagina Shinta. Kali ini ia dapat melihat vagina itu dengan jelas. Dijilatinya pelan semakin lama semakin cepat ke arah klitoris.
Shinta terisak lagi, kali ini ia sendiri tak yakin itu refleksi kesedihan atau gairahnya.Shinta terguncang hebat tubuhnya menggigil setiap kali lidah Dedi menyentuh klitorisnya, ia merasa masih bisa menahan dirinya, tapi gerakan lidah Dedi di klitorisnya membuatnya menahan beban yang sangat berat, dengan satu helaan nafas panjang ia memejamkan matanya dan membiarkan dirinya terbawa.
Shinta mulai merasa ada sesuatu yang berasal dari otot kewanitaannya yang berdenyut seirama detak jantungnya, makin lama perasaan itu makin kuat menjalari otot di pangkal pahanya. Tiba-tiba ia merasa perasaan nikmat menjalar cepat dari vaginanya, setiap gerakan lidah Dedi yang berirama tetap di klitorisnya menumpukkan perasaan nikmat yang semakin membesar lalu pandangannya mengabur sejenak, nikmat itu berjalan cepat dari vagina menyebar ke seluruh tubuhnya, ke otot di daerah pantatnya, menyelusuri otot belakang tubuhnya menghujam dadanya. Ia merasa putingnya menyusut kecil dan mengeras, telinga, hidung, dan matanya seakan tak berfungsi sejenak.
"Aduh.. setan! aku orgasme!" bathin Shinta pelan.
Shinta tersengal sengal mengatur nafasnya. "Hah.. tenagaku habis untuk menahan diri?!" Shinta mencoba mengangkat tangannya dengan lemah. Dikumpulkannya kekuatan sejenak, lalu ia mencoba berteriak, "To.. tolong!" teriaknya pelan.
Dedi merasa terkejut, diangkatnya kepalanya, lalu ia berdiri, "Aku tadi sudah memperingatkan kamu, supaya jangan.."
Ia berkata sambil meraih vas bunga di sampingnya, "Coba-coba untuk berteriak?! ternyata kamu kurang jelas ya?" diletakkan vas itu di samping kepala Shinta lalu dipukulnya hingga berkeping-keping, "Mengerti Shinta?"
"Aw.. iya, ampun Ded," kata shinta sambil kembali terisak-isak.
Dedi membuka celana dan celana dalamnya, lalu ia memegang kemaluannya dan mengarahkannya ke wajah Shinta.
"Tidak, Ded jangan.. aku nggak mau, aku.." Shinta memejamkan matanya ketika kemaluan Dedi menyentuh pipinya, lalu ke hidung dan matanya dan turun ke bibirnya. Dedi menggeserkan batang kemaluannya dengan perlahan di bibir Shinta. Lalu ia melihat ada cairan bening di kepala penisnya lalu diarahkan kepala penisnya ke bibir Shinta. Lalu ia berjalan dua langkah ke belakang, ditariknya kedua kaki Shinta dan dibukanya paha Shinta lebar-lebar, lalu ia mengarahkan kemaluannya ke vagina Shinta. Dedi merasa penisnya melewati ruang yang sempit. Dibenamkan penisnya sedalam-dalamnya, dibiarkan sejenak, ia mengangkat kepalanya dan melihat wajah Shinta yang berkerut alisnya, lalu diturunkan lagi wajahnya ke samping kepala Shinta, sambil mulai memompa pantatnya dengan irama yang tetap, selang 15 detik Shinta mulai mendesis seirama gerakan pantatnya, lalu ia menaikkan tempo gerakannya sedikit, Shinta mulai gelisah, mulutnya terbuka, "Oooh.. oohh.."lirihnya.
Dedi menjadi semakin terangsang setelah mendengar desahan di telinganya. Ia berhenti bergerak, lalu mencabut penisnya keluar, dilihatnya Shinta masih memejamkan mata sambil membuka mulutnya, lalu digesernya tubuh Shinta menjadi setengah terduduk, kakinya menjulur ke lantai. Dengan pelan diangkatnya kedua kaki Shinta, lalu dilingkarkan kedua tangannya melingkari pinggul Shinta. Lalu ia mulai memompa lagi. Pantat Shinta terangkat ke atas oleh tangan Dedi yang melingkar. Shinta merasa tubuhnya dihujami oleh penis dedi secara kasar, tapi sedikit demi sedikit kenikmatan yang tadi datang lagi membentuk kelompok kecil yang makin membesar, dilemahkan tubuhnya sehingga Dedi bisa mengangkat pinggulnya lebih tinggi. Sementara kedua tangan Shinta berayun-ayun di udara seirama gerakan mereka.
Dedi merasa vagina Shinta seakan mengelus-elus seluruh bagian penisnya, membuat ia merasa geli, vagina Shinta terasa sangat hangat dan mencengkeram erat di penisnya, ia mulai mempercepat gerakannya, dirasakannya tubuh Shinta mulai menegang. Sambil terus memompa ia melihat sekeliling, lalu pandangannya terbentur ke foto perkawinan Shinta dan Boy. Tiba-tiba perasaannya meninggi, ia melihat Shinta tampak anggun dengan baju pengantinnya, lalu dialihkan pandangannya ke bawah dimana Shinta terayun-ayun tak berdaya dan sedang mendaki puncak dengannya.
"Ah Shinta kamu cantik sekali.." katanya.
Shinta membuka matanya, menatap sayu ke Dedi, ia berusaha tak menjawab tetapi mulutnya mengeluarkan erangan tak jelas, "Aah.. a..aah.." Dedi merasa ia akan orgasme, diangkatnya lagi pinggul Shinta lebih tinggi membuat tubuh Shinta tertekuk di udara, lalu dengan kecepatan penuh ia menggerakkan pantatnya.
Shinta merasa pandangannya kembali gelap, seluruh tubuhnya mengejang, tubuhnya seakan dihujani oleh kenikmatan badani yang tidak bisa ia ketahui kapan berakhirnya, lalu ia merasa ada cairan hangat menyentuh ujung liang senggamanya dan tubuh Dedi mengejang keras di atasnya, membuat perasaanya sangat aneh, ia tak pernah mengalami sensasi bercinta seperti ini. Sementara Dedi memeluk erat tubuh Shinta, dibiarkan penisnya menguras spermanya di dalam vagina Shinta.Aroma tubuh Shinta menjadi semakin jelas di hidung Dedi ketika ia mengalami orgasme ini.
Dedi menarik dirinya dan berdiri, sambil memunguti pakaiannya ia berjalan ke arah dapur. Ketika ia menuangkan air ke dalam mulutnya. Tiba-tiba akal sehatnya kembali, cepat-cepat ia memakai pakaiannya dan berlari ke ruang tamu, didapatinya Shinta sedang memeluk kedua kaki sambil melamun.
"Shinta.. eh, aku mau.." kata Dedi gugup, lalu ia melangkah hendak membuka pintu keluar.
Shinta memandang Dedi. Lalu memanggil, "Ded.."
Dedi menoleh ke belakang, Shinta berdiri dan berkata, "Aku mau bicara nanti, matikan answering machine telepon kamu ok?"
Dedi mengangguk heran lalu berkata, "Aku minta maaf Shin, karena.."
Tak selesai perkataannya karena pintu itu terbanting tepat di depan hidungnya.
Tiga jam kemudian Dedi sedang bersiap untuk pergi keluar kota, ia sudah memesan tiket pesawat.
"Kali ini aku menikmati Bali," katanya sambil menatap tiketnya.
Tiba-tiba telepon rumahnya berdering, "Haloo!" katanya riang.
"Ded.. ini Shinta, aku ingin kamu sekarang ke rumah, puaskan aku lagi, lagi dan setiap saat aku menginginkannya, kalau kamu menolak aku punya rekaman video kejadian tadi siang yang siap disaksikan oleh Boy dan Polisi, aku harap kamu bisa bekerja sama, ok?" lalu terdengartelepon tertutup.
Dedi tak mempercayai pendengarannya, ditatapnya tiket pesawatnya, kepalanya mendadak pusing, ini bukan lagi pemenuhan fantasinya, ia merasa sangat bingung. Dibantingnya koper ke dinding lalu ia ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya.
"Tidak..! ini mimpi buruk, ayo bangun Ded, liburan sudah menunggu!"
Ketika berjalan ke wastafel dilihat wajahnya di cermin, "Ayo, mana wajah predator ini?"
Terpantul wajah yang sama di cermin, namun sekarang adalah wajah budak seksual.
TAMAT