Las Vegas memang cukup jauh, tapi aku tidak akan menolak kalau itu artinya bisa berduaan berjam-jam di mobil bersama Oedin.
"Tapi besok malam pulang ya! Aku ngga bisa lama-lama sakit, tugas kantor pasti menumpuk."
"Whatever you say, my baby girl."
My baby girl.. begitulah kadang-kadang dia memanggilku. Ain't that sweet? Oedin mengantarku menjemput mobilku di kantor dan pulang ke rumahku untuk mengemas barang.
Aku keluar lagi dengan gendongan backpack di punggung dan baju yang lebih santai yang memperlihatkan lekukan tubuhku, tank top dan khaki pants dengan low cut waistline. Dalam perjalanan kembali ke hotel Oedin, kami mampir di convenient store untuk beli minuman dan makanan ringan. Dia meletakkan tangannya di bahuku. Beberapa orang yang lewat sempat melayangkan matanya ke arah kami. Dan tatapan mata Oedin membalas mereka seolah-olah memberikan message, "Cewek ini milikku. Kalian boleh melihat, tapi aku yang akan membawanya pulang." Betapa senangnya aku.
Kami sampai di kamar hotel Oedin. Oedin menyerahkan sebuah bungkusan besar kepadaku.
"Ini, separuh bawaanku adalah titipanmu."
Isinya tak lain adalah sebuah guling besar dan empuk titipanku (Di sini nggak ada guling). Lebih besar diameternya dan lebih lembut texture-nya dari yang biasa kutemukan. Kupeluk guling itu erat-erat untuk merasakan keempukannya.
Oedin berkata dengan iri, "Sekali-kali aku dong yang dipeluk."
Aku melirik Oedin lewat ujung mataku dan mencibir.
"Bite me!!"
"Itu aku special order buat kamu."
Lalu Oedin mengeluarkan sebuah bungkusan lagi dari kopernya.
"Dan ini sarung guling buat ganti. Kalau engga aku beliin sekalian, jangan-jangan kau ngga pernah ganti sarungnya."
"Hehehe.. very thoughtful!!" ledekku sebal.
Tapi aku lalu bangkit mendekati Oedin, merentangkan kedua tanganku lebar-lebar dan memeluk lehernya. Lega sekali rasanya akhirnya dapat begitu. Kudekap erat tubuh lelakinya yang mantap kokoh. Tercium bau cologne-nya yang sangat kusukai sejak kemarin. Peluklah aku sekencang-kencangnya, jangan biarkan aku lepas, ucapku dalam hati.
Kurasakan lengan Oedin merengkuh tubuhku. Aliran panas mulai menjalar menghangati seluruh tubuhku. Kami hanya berpelukan beberapa saat dengan pikiran masing-masing. Lalu aku melonggarkan dekapannya dan memandangnya dari jarak dekat sekali. Ampuun Oedin.. belahan dagumu sangat menarik dalam jarak sedekat ini. Oedin mengecup bibirku ringan.
"Sudah lama aku ingin menciptakan momen ini. Momen perfect seperti ini."
"Seperti apa?" sahutku menantangnya.
"Momen yang pas untuk menciummu, dan menggigit bibirmu yang sensual."
"Momen yang seperti itu tidak bisa sengaja diciptakan sepasang manusia. Harus terjadi dengan sendirinya," jawabku lembut.
"Dan kau baru saja merusaknya."
"Oh ya?" Oedin berkata seraya menempelkan bibirnya ke bibirku.
Hembusan napas kami beradu. Dua bibir terkunci. Dan kami terbuai dalam ciuman yang hangat dan panjang. Aku merintih dan mendesah nikmat, memberinya aba-aba untuk maju terus.
Namun pelan-pelan gerakan mulutnya terhenti. Huh. Selalu bikin aku kesal!
"Aku ada sesuatu untukmu," katanya.
Dia melangkah ke tasnya, mengambil sebuah kotak kecil dan mengajakku duduk di sampingnya di sisi ranjang. Kotak terbungkus rapi yang mirip kotak perhiasan itu diserahkannya kepadaku. Dengan rasa ingin tahu, aku buka dan.. kosong! Tak kutemukan barang sekecil apa pun di dalamnya. Oedin tak membiarkan aku bengong lama-lama, dia berucap serius, "Pakailah."Sedetik kemudian aku pun tersenyum mengerti maksudnya. Aku berdiri di hadapannya, mundur dua kaki.
Sambil menggigit bibirku dan mengulum senyum, perlahan-lahan aku melepaskan shirt-ku lewat atas kepala, mengibas rambutku yang tergerai di bahu, lalu kemudian aku lepas celana panjangku. Oedin duduk di ranjang menyaksikan adegan stripping itu. Kemudian aku berputar membelakanginya, memberinya sebuah view tubuh seorang wanita yang hampir sempurna. Dengan posisi membelakanginya, aku melepaskan kaitan bra-ku, menelanjangi dadaku, mengangkat bra itu tinggi-tinggi dan membuangnya ke bawah. Lalu aku berputar lagi menghadapnya. Heran! Tak sedikit pun rasa malu melandaku menelanjangi diri sendiri di depan lelaki yang baru kujumpai.
Seluruh anggota tubuh Oedin begitu terfokus pada diriku, terutama matanya memancarkan pesona seolah-olah melihat dewi turun dari langit. Buru napasnya yang dapat kudengar membangkitkan rasa percaya diriku. Aku merasa seksi sekali (mungkin juga terpengaruh oleh kondisi fit tubuhku yang belakangan ini banyak dilatih). Oedin meraih iced tea di atas night stand dan meneguk isinya sedikit untuk melepaskan dahaganya. Kuhampiri dirinya dengan maksud memancingnya lebih jauh. Disentuhnya buah dadaku dengan botol di tangannya. Tarikan napasku terhenti seketika dan mataku sempat terpejam. Dingin sekali. Tapi nikmatnya tak terlukiskan. Putingku yang semula sudah tegak berdiri disebabkan dinginnya kamar hotel makin mengeras dan menantangnya. Buah bundar di sekitarnya bergerak naik turun seirama dengan napasku.Aku pasrah menantikan sentuhannya. Oedin mendekati dadaku dan giginya menggigit pelan putingku.
"Oedin.." desahku memohonnya.
Namun cuma itu yang kudapatkan. Tidak lebih. Dia mundur lagi. Saat itu napasku kian memburu. Kiranya Oedin masih menikmati permainan ini. Dia masih belum menyentuhku. Fine! Dengan susah payah aku menahan diri. Aku menelan ludah dan melanjutkan dengan melorotkan sedikit CD-ku memamerkan bulu hitam yang muncul di baliknya. Kugodanya dengan lirikan mataku dan senyuman nakal di bibirku.
"Lepaskanlah. Ada sebuah surprise menantimu." Aku menawarkan Oedin untuk membuka sehelai kain terakhir yang akan melengkapi ketelanjanganku.
Ya, harus dia yang buka. Oedin berlutut. Sambil didekatkan kepalanya ke perutku mencium harum tubuhku, tangannya melakukan apa yang kupinta. CD itu baru turun separuh di pahaku ketika tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang lain di sana. Oedin terkejut.
"Kau apakan?" tanyanya melotot.
Jemarinya mengelus lembut bulu-bulu yang tumbuh di atas kemaluanku. Bulu itu membentuk sebuah hati yang rapi.
"Cakep nggak?" Kepalaku menunduk memperhatikannya, waswas menanti.
Bagaimana kalau dia lebih suka bulu yang lebat seperti kebanyakan orang Indonesia? (Bener kan?!) Aku sendiri bangga sekali akan pemandangan itu, bukankah better access better service? Nggak seluruhnya habis lho, cuman bagian atas seperlunya kok.
"Keren banget. Tapi.. apa engga sakit, Khris?" Nadanya khawatir.
"Sakit lagi! Itu di-wax, bukan dicukur."
"Ouch. Buat apa, ah? Untung-untung nggak infeksi."
"Yang ngerjain profesional kok!"
"Buat apa?"
"Buat siapa!" Koreksiku.
"Buat aku?" tanya Oedin tak percaya.
"Just for you." Konfirm-ku.
Seketika itu juga Oedin membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Mendaratkan ciuman di bibirku dengan agak paksa, menanamkan lidahnya di dalam mulutku dan bergerak dengan liar di sana. Setelah itu Oedin menelusuri setiap inci kulitku yang tak terbalut sehelai benang pun. Begitu passionate dan intens rangsangan yang diberikannya. Leherku, bahuku, dadaku, perutku, kemaluanku.. rasanya aku tak mampu berdiri lagi, antara ingin terkulai lemas dan nikmat ingin terbang. Tanganku berpegangan pada tubuhnya mencari support. Tapi otot-otot kencang lengan dan bahunya justru memberikanku rasa nikmat. Kulucuti shirtnya. Dan akkhh.. dadanya terbentuk indah nian. Lebih sensitif titik yang disentuhnya, lebih nyaring pula desahan dan rintihanku, dan kutambahi bisikan-bisikan "yes" bilamana cumbuannya kurasakan tepat sekali.
Ternyata direksiku sangat efektif, dalam sekejap dia membuatku mengerang-erang tak tahan.
"Oedin.. aku nggak bisa berdiri lagi. Aku perlu berbaring," aku memohon padanya.
Tubuhku didorongnya ke dinding yang terdekat. Kesempatan itu kugunakan untuk memeluknya erat-erat, sebelum dia meneruskan aksinya. Semacam time-out. Aku sempat berpikir, apa yang akan terjadi besok, atau minggu depan, atau bulan depan? Aku tak ingin dia terburu nafsu, aku sesungguhnya ingin mendengarnya mengungkapkan kata sayang padaku dengan sungguh-sungguh. Aku tak ingin dia ML denganku semata-mata karena attraksi fisik. Mengertikah kau, Oedin?
"Oedin?" panggilku lirih.
"Yes Baby?"
Tangannya memang membelai lembut rambutku, panggilannya terhadapku selalu mesra, tapi entah dia merasakan hal yang kurasakan atau tidak. Aku yang sudah jatuh hati padanya, namun tak berani menyatakan rasa itu, karena.. bagaimana kalau momen ini hanya merupakan sebuah "one night stand"?
"Let's just do it," ujarku akhirnya.
Aku berjalan meninggalkannya, kembali lagi dengan sejumlah kondom di tanganku. Cukup banyak koleksiku, berbagai macam ukuran, bentuk, merk dan warna.
"Gitu yaa? Aku dipaksa pake kondom."
Oedin kembali melumat bibirku.
Untuk mengusir jauh-jauh perasaan janggal yang tadi merasukiku, aku meremas tonjolan keras di pangkal pahanya yang sejak tadi belum kusentuh. Nafsuku naik kembali. Kubuka ritsleting celananya dan kubelai penisnya dari luar celana dalamnya.
"Oooh.. Khris.." gumamnya di sela-sela ciumannya.
"Touch the real thing, please."
Aku menyusupkan tanganku ke dalam celananya, menggenggam kejantanannya dan mulai bergerak naik turun. Akh, so.. manly. Mataku terpejam, hmm.. sesaat lagi genggamanku itu akan mengisi kewanitaanku dan berpacu! berpacu! untuk meraih sensasi maksimum yang seharusnya kukejar saat ini. Forget everything else.
"Apa posisi favoritmu..?" bisikku di telinga Oedin.
Dia sedang memejamkan matanya sambil kepedasan menikmati sentuhanku.
"Mmm..?" Dia hanya 'mm'.
"Ayo dong.. kasih tahu. Karena aku akan memenuhi fantasimu.." pancingku sambil menjilati leher dan dadanya.
Oedin tersenyum geli gara-gara jilatanku sekaligus pertanyaanku. Emang lucu..?
"Masa kau ngga pernah punya fantasi sih? Aku janji nggak akan ketawa."
"Hehehe.. See.. I can't tell you that. It's supposed to just happen."
"You never ever fantasize making love to me..?" tanyaku lagi.
"Umm.. I tell you that, then I'd have to kill you." Yaa, mulai Oedinnya keluar.
"Kayaknya kamu ada fetish deh. Fetish lihat cewek stripping, iya kan..? Ngaku..!"
Kembali dia tersenyum.
"Fuck you, Oedin..!" Aku benar-benar kesal.
"Kamu pikir ini lucu. If you don't want to share anything with me, that's your choice. But I can't be here."
Aku sudah membuka diriku selebar-lebarnya, bahkan sudah telanjang bulat di depan matanya, kukira dia sudah berubah sejak kami bertemu, tapi aku keliru.
"Call me when you've grown up," lanjutku sambil bergerak meninggalkannya.
Mungkin dia memang lebih cocok dengan si "Italian bitch" after all, mungkin hati perempuan itu sekeras batu.
"Khris, tunggu..!" Oedin mencekal lenganku.
"Tentu saja aku berfantasi. Tapi jika kau tanya apakah aku pernah bermasturbasi sambil membayangi dirimu, tak pernah kulakukan itu. Aku menghormatimu."
Entah dia berkata yang sejujurnya atau tidak. Aku malas menoleh ke arahnya atau argue lagi dengannya. Aku percaya hatinya sebenarnya lembut, tapi aku lelah, hatiku sungguh lelah.
"Dan, aku tidak punya fetish seperti yang kau katakan, tapi mungkin aku punya suatu fetish yang lain. 'fetish Khristi'. Pernah denger?"
Ok, keep going, I am listening, ujarku dalam hati. Di depannya aku masih cemberut.
"Lalu, posisi yang aku sukai, umm.. mungkin.. kamu di atas."
Gigitan kecil mesra di daun telingaku disertai bisikan "nothing can beat that view" membuatku geli, sekaligus melunakkan hatiku.
Tak pernah dia merangkai kata-kata seindah itu sebelumnya.
"Atau kalau nggak dikasih frontal view, dikasih rear view juga oke banget. You got a perfect ass."
Kata-katanya merangsang saraf-sarafku. Aku mulai merespon cumbuan serta bisikannya dengan hangat sambil kudesahkan lirih namanya. Tubuhku ditindihnya melawan dinding. Kedua pahaku kuangkat naik, sehingga menjepit pinggangnya, lalu tiba-tiba kurasakan sebuah benda keras tumpul mendesak masuk memenuhi kewanitaanku. Bisikan dan desahan berubah menjadi erangan nikmat berpadu di ruangan itu.
Kini Oedin telah pergi jauh, kembali ke kehidupannya yang rutin. Tapi aku telah menemukan Oedin yang baru. Aku mencoba membuang jauh pikiran yang dulu biang frustrasi dan kesebalan, karena perasaan itu membuatnya semakin jauh dariku. Aku lebih suka mendapati diriku memejamkan mata, me-recall aroma tubuhnya yang segar, sambil memeluk erat-erat guling pemberiannya, mengingat caranya menggodaku, membuatku tertawa. Dia tak pernah lagi membuatku kesal, yang ada hanya rasa sayang dan rindu.
Sebelum berpisah, aku pernah berpesan kepadanya, "Ingatlah aku setiap malam sebelum kau tidur. Kalau nggak tahan, masturbasilah. Aku akan dapat merasakannya dari sini." (By the way, we never made it to Las Vegas. We changed our mind.)
TAMAT