Namaku Ary. Aku telah tiga bulan bertugas di kota P, di Pulau S. Suatu wilayah yang sempat diguncang konflik berkepanjangan. Oh iya. Aku bekerja di suatu instansi strategis di republik tercinta ini.

Awalnya, aku sangat tersiksa di kota ini, dimana hiburan yang aku butuhkan untuk sekedar melupakan kerinduanku nyaris tidak ada sampai aku mengenal seorang gadis, Riri namanya.

Aku mengenal Riri saat mengikuti suatu diskusi masalah hukum di sebuah hotel terbesar. Sebelum mengenal di acara tersebut, aku pernah melihatnya di suatu rumah makan yang menyediakan menu daerah setempat di teluk P. Aku melihat dengan beberapa temannya di suatu sore yang temaram. Dalam benakku, ehh.. ada gadis macan juga. Kutaksir usianya masih 22 tahunan, dengan tubuh semampai (165 cm), berat kira-kira 48 kg, kulit putih mulus, dada menonjol indah, rambut tebal panjang melebihi bahu. Dia menggunakan jin biru ketat dengan atasan kaos putih ketat. Wow .., pikiran kotorku mulai berjalan.

Kembali ke perkenalanku dengan Riri. Dalam acara itu, dia sebagai salah satu panitia yang harus melayani peserta. Dengan keberanianku untuk lebih mengenalnya. Kusapa dia dan kuperkenalkan diriku.

"Hai, namaku Ary. Saya dari instansi ***. Apakah nama saya ada dalam daftar undangan?", sambil kutebar senyum manis.
Aku yakin namaku ada sebab sebelumnya aku telah menelpon ketua panitia yang aku kenal baik untuk menegaskan bahwa aku akan menghadiri acara tersebut. Riri tersenyum manis dan melihat daftar nama dibuku.
"Ada Pak Ary, Silahkan masuk Pak Ary". Jawabnya manis.

Dari ketua panitia, aku berhasil mengetahui namanya, tempat kuliahnya, alamat kosnya dan bahkan nomor HP-nya. Dan informasi yang paling berharga adalah dia belum punya pacar. Ha ha ha. Umpan siap dilemparkan. Begitu pikiran kotorku mulai merancang strategi agar tepat sasaran.

Singkat cerita. Pada suatu hari aku beranikan diri untuk menelponnya. Dan ternyata dia masih ingat perkenalanku dengannya. Dalam percakapan telpon aku mengajak untuk bertemu dengan alasan untuk diskusi masalah hukum di kota P. Riri adalah aktivis di kampusnya.

Kita bertemu di rumah makan M di teluk P, dimana kita bisa makan sambil memandang keindahan kota dengan panorama gunungnya. Indah sekali, seindah mata Riri yang tajam menatapku sambil tersenyum. Sambil makan kita terlibat diskusi yang mendalam tentang kegiatan aktivitasnya di kampusnya, tentang kondisi peradilan di republik ini. Dan akhirnya, dengan pelan dan pasti aku giring diskusi itu untuk membicarakan hal-hal yang sedikit nyerempet kehidupan pribadi. Ha ha ha. Itulah cowok. Kudu bisa menaklukkan cewek. Sepintar apapun cewek itu.

Semenjak itu, aku makin sering ketemu sekedar ngobrol remeh temeh sampai diskusi masalah terkini. Dalam setiap perjumpaan, aku kadang sering mendapat cubitan mesra di perut jika aku membuat banyolan-banyolan sedikit "ngeres". Bahkan pernah cubitannyaa nyasar ke "adikku kecilku" sehingga makin merah mukanya. Dan itu tidak hanya sekali bahkan berkali-kali. Pikirku, mungkin Riri pernah melihat tonjolan "adik kecilku" dari balik celanaku. Soalnya, punyaku besar dan panjang sih. 17 Cm dan diameter 4 cm. Gile bener.

Hingga pada suatu malam, aku ketempat kostnya di dekat kampus, berupa pavilyun. Saat itu, kota P yang jarang hujan, diguyur hujan lebat. Ku ketuk pintu pavilyun. Agak lama, baru Riri membuka pintu. Wow.. Riri menyambutku dengan senyum manis. Ia memakai kaos tak berlengan ketat hitam dan celana pendek coklat. Memperlihatkan batang paha yang mulus dan tonjolan bukitnya.

Aku langsung duduk di karpet, karena memang tidak ada kursi. Dan itu justru membuat suasana menjadi santai dan hangat. Karena sudah sering main ke kostnya, aku langsung menyalakan TV. Saat itu berisi acara kontroversi Inul si goyang ngebor. Riri langsung ikut nimbrung disampingku. Kulihat wajahnya dari jarak 10 cm. Karena gemas, ku cium pipinya yang padat mulus.
"Ah.. Mas", katanya malu sambil menunduk.
Dari pengalamanku, gadis yang tertunduk malu tidak akan menolak, hanya "wait and feel action".

Mendapat respon tersebut, aku meraih dagunya yang indah, kukecup bibirnya yang merah muda tanpa polesan. "Mmm", hanya itu yang terdengar. Seolah memintaku untuk berbuat lebih jauh. Lalu dengan penuh kelembutan, kucium dan kulumat bibirnya. Kubuka bibirnya yang masih terkatup dengan lidahku. Kumainkan lidahku di sekeliling bibir bawah, kujulurkan lidahku, masuk dan kumain-mainkan lidahku sampai diapun ikut memainkan lidahnya.

Hanya itu? Tidak. Tangan kiriku memegang jemarinya, meremasnya dan kamipun saling meremas jari. Sementara tangan kananku mulai merayap dari lengan ke bahu, meremasnya perlahan lalu bergeser perlahan ke leher jenjangnya. Kumainkan sebentar jemari kananku di lehernya sambil mengelusnya. Lalu tangan kananku mulai merayap turun ke arah bukit kanannya yang padat berisi. Dengan telapak kubuka, kuules-elus perlahan bukit indahnya sambil terus melumat bibirnya. Kucoba terus untuk membakarnya. Hanya leguhan keenakan yang terdengar. Hmm. Hmm. Begitu bunyinya.

Kuremas bukit dadanya mesra. Tidak ada penolakan dari Riri. Lalu jemari kiriku mulai bergerak ke arah bawah untuk menyelusup ke balik kaosnya. Kuelus perutnya yang datar, lalu naik dan naik ke bukit kirinya yang indah. Lalu dengan penuh kelembutan kuremas bukitnya. Sementara jemari kananku bergerak ke punggungnya dan mengelus-elus. Kuselusupkan tangan kananku ke balik kaos dan mencoba untuk membuka kaitan BH. Dengan sedikit percobaan, terlepas sudah. Jari telunjuk kiriku dengan leluasa membuka "cup" BH-nya dan kuremas-remas bukitnya. Kuputar-putar remasanku dan kusentuh putingnya. Hanya lenguhan kenikmatan yang keluar dari mulut Riri.
"Mas.. Ar, Mas.. aduh.. Mas.. awww.".

Tangan Riripun tidak tinggal diam. Tanganya mulai berani meraih bahuku dan meremasnya. Mmm. Kulenguhkan agar dia tahu bahwa akupun menginginkan tangannya seaktif tanganku. Dengan tatapan meminta, aku melepaskan kaosnya. Riripun dengan tatapan mengiyakan mengangkat kedua tangannya untuk memudahkan lepasnya kaos. Setelah kaos terlepas, kulumat lagi bibirnya sambil tanganku melepaskan BH-nya. Kuhentikan aktifitasku, kupandangi bukit kembarnya, ah.., indah sekali. Sepertinya belum terjamah. Kupandangi dan dengan perlahan kukecup lereng bukitnya dengan perasaan penuh, dan kucoba merebahkannya. Kukecup dan kujilat ujung puting kirinya sementara tangan kananku merayap turun mengelus pahanya, naik, naik, dan naik ke pangkal pahanya. Ku tekan perlahan bukit kenikmatannya. Entah apa yang dirasakan Riri, matanya mulai sayu dan melenguh nikmat "Ought.. mas".

Dengan keahlianku, kususupkan tanganku ke arah gunukan indahnya. Kuelus-elus dan sedikit kuremas. Mata Riripun terpejam, menikmatinya. Kini konsentrasi kucurahkan untuk melepas celana pendeknya. Dengan tetap mengusap-usap gunukannya dari luar celana pendek coklatnya, jemariku mulai membuka kancing celana pendeknya dan menarik ritsluitingnya ke bawah sambil terus menjilati putingnya yang kini mengeras dan menjulang tinggi.
"Ahh.. Maas Ar, aw..", lenguh Riri sambil sedikit mengeliatkan punggungnya merasakan kenikmatan yang tiada tara. Dan bagi Riri, ini yang pertama baginya.

Kutarik celana pendeknya dengan sedikit mengangkat pantatnya dan kakinya yang terangkat keatas, maka tertampanglah gunukan dibalik CD berenda warna hitam pekat. Kontras dengan kulitnya yang hitam mulus. Lalu ku elus-elus sekitar pangkal pahanya dan jemariku mulai menyusup ke balik CD-nya. Dan gunukan itu telah membasah, kuusap dengan seluruh telapak tanganku, dan sedikit kuremas.
"Ah.. Mas, ja.. ngan.., ah.. Mas", begitu erangnya.

Ku cumbu lagi dia, dan terus kurangsang agar tetap terbuai dalan buaian birahi. Kucari-cari belahan gunukan itu dan dengan jari tengah, kubelai belahan gunukan dan akhirnya, klitorisnya kuusap-usap mesra sekali.
"Mas.. Mas oh.. aduhh, Mass oww".
Kurasakan gundukan itu telah basah, membasahi seluruh telapak tangan kananku.

Mendengar desahan nikmat dari Riri, kucuba membuka CD-nya. CD-nya keturunkan perlahan hingga paha mulusnya dan kuteruskan dengan jepitan jempol dan telunjuk kaki kananku hingga terus meluncur ke bawah. Dengan demikian, kini tampaklah bidadariku yang molek dan cantik sedang telanjang.

Dan sedikit kurenggangkan kedua pahanya, perlahan ku turunkan kepalaku sambil terus mengecup-ngecup sekitar perutnya, kujilati sekitar pusarnya dengan cara memutari pusar itu dengan lidahku dan kadang ditengah pusarnya. Kucuba terus untuk terus membuainya kelangit tujuh.

Lalu, jilatan lidahku terus menyapu bawah pusar, dan semakin ke bawah. Badan Riripun menggelinjang, nampaknya ia sangat menikmati aktifitasku di perutnya. Kuteruskan upaya itu dengan terus menjilatinya hingga akhirnya sampai pada rimbunan perdu yang harum. Memang, jika masih virgin, vaginanya berbau harum. Nikmatnya membaui vagina yang masih virgin. Dan itulah hobiku sejak SMA. Selalu merasakan ke-virgin-an gadis.

Kembali ke ceritaku. Dengan lidahku kusibakkan gunukannya, dan kumasukkan cuping hidungku ke mulut vaginanya, kubaui dalam-dalam. Membuatku mabuk kepayang dan semakin mengeraskan "adik kecilku" yang sedari tadi sudah ingin keluar dari balik celanaku.

Setelah beberapa saat memasukkan cuping hidungku, maka kujilati klitorisnya. Jilat dan jilat terus naik turun dengan irama yang tetap dan kadang kusedot perlahan. Riripun menggelinjang hebat, dan secara naluri alami seorang wanita, Riri menaik turunkan pantatnya mengimbangi jilatanku sambil mengerang.
"Mas aw Mas, aku.. aku.. keluar".
Mulutku telah basah oleh cairannya, dan kusruput cairannya masuk ke tenggorokannku. Ah.. nikmatnya cairan perawan. Harum bo! Dan tidak lama, kepalaku terjepit oleh kedua pahanya dan tangannya meraih rambutku dan menariknya gemas. Badannya mengejang kuat. Akhirnya badan Riri melemas. Itu orgasme pertamanya dalam hidupnya.

Melihat Riri terkapar lemas, aku dengan sedikit tergesa kulepas satu persatu pakaianku hingga akhirnya "adik kecilku " bebas menganguk-anguk seolah ingin mendapatkan "rumah kecilnya". Lalu dengan perlahan, kuangkat badan Riri dengan kedua tangan kekarku menuju ke tempat tidur dan kurebahkan dia.

Saat kurebahkan, tanpa sengaja tangannya menyentuh "adik kecilku", dan adik kecilku langsung bergetar hebat. Riri sedikit malu melihatku.
"Mau pegang, sayang?", tanyaku dengan tatapan meminta.
Tangan Riripun lalu memegang, awalnya hanya ujung jarinya saja namun lama kelamaan Riri menggenggam erat.

Merasakan genggaman tangan perawan cantikku, lalu kubelai mesra pipinya, dan kembali melumat bibirnya yang indah merekah. Kini Riri membalas lumatanku, lidahnya menari-menari di dalam mulutku sambil terus menggenggam "adik kecilku" dan kadang sedikit sakit. Maklum, belum terbiasa.

Terus kulumat bibirnya, terus kembali ke bukit kembarnya laku ke putingnya. Tanganku kini mulai ke belahan pahanya, membelai dan mengusap mesra dan kadang meremas gunukan itu. Dan Riri kini kembali menggelinjang-gelinjang. Lalu dengan perlahan, aku mulai menaiki tubuhnya dengan bertumpu pada kedua lutut di kedua belahan pahanya yang membuka. Dan kujilati putingnya, sementara tangganku memegang "adik kecilku", mengusap-usapkan ke mulut vaginanya, hingga mulut vaginanya kembali membasah.

Kutatap lekat mata Riri, meminta ijin. Riripun menganguk perlahan dan menutup matannya, pasrah.
"Pelan-pelan yah Mas.. pelan-pelan".
Lalu, dengan sedikit ludahku kueluskan tepat dibibir vaginanya sebagai pelumas, kutekan sedikit demi sedikit.
"Ow.. Mas perih.. oh..".
Kutahan sebentar dan kutekan.. kutekan lagi hingga bless. Masuk sudah.
"Oh.. Mass", erang Riri.
"Tahan sayang, hanya sebentar perihmu".
Kubiarkan "adikku kecilku" diam manis di rumah kecilnya. Kuarasakan kedutan dinding vagina Riri mencengkeram kuat, nikmat rasanya hingga ke langit tujuh. Lalu kulumat bibirnya, kutarik perlahan dan kuturunkan lagi pantatku, begitu terus secara perlahan. Nampaknya Riripun kini menikmatinya. Dari gerak badannya yang menggelinjang dan pantatnya bergerak naik turun mengikuti naluri perempuannya.

Pergerakan pantatku kini mulai cepat, naik turun kadang agak kusentakkan untuk mencapai kedalaman vagina. Tak lama kemudian, badan Riri kembali mengejang hebat, kakinya tak sadar melingkari pinggangku menjepi erat, tangannya meremas-remas rambutku, bibirnya menggigit bahuku.
"Ohh Mas.. aku keluar Mass".
Kulihat wajahnya saat orgasme. Ririku kelihatan bertambah cantik saat orgasme. Memang, jika ingin melihat saat perempuan terlihat cantik, ya pada saat orgasme. Begitu pengalamanku mengajarkan.

Setelah itu, suasana menjadi hening, hanya desahan napasnya memburu lembut. Kucium mesra bibirnya, dan kuciumi butiran air mata yang keluar sambil kubisikkan mesra.
"Ga apa ya. Kamu telah menjadi milikku seutuhnya".
Hanya anggukan kepala perlahan sambil tersenyum manis. Kubiarkan "adik kecilku merasakan guyuran air kewanitaannya, hangat.. dan terasa kedutan-kedutan di dinding vaginanya.

Dan kubisikkan mesra, "Say.., aku belum keluar, bolehkah?".
Riri hanya memandang mesra. Lalu, kutarik perlahan dan kuturunkan perlahan pula. Penuh perasaan dan makin lama makin cepat. Kugerakkan pantatku agak naik supaya "adik kecilku" dapat menyentuh G-spotnya. Sambil tangan kananku meremasi buah pingganggya, sementara tangan kiriku meremas buah dadanya. Terus naik turun, kupacu terus dengan mengatur pernapasan agar dapat kutahan agar maniku tidak cepat keluar. Dan Riripun kini semakin membara, dengan meremasi buah dadaku dan menyambutku tussukan dengan mengangkat pantatnya. Saat kutarik pantat Riri diturunkan, rasanya ada yang meremasi "adik kecilku".
"Ohh.. Riri say..ang, oh aku ga kuat lagii.."

Akhirnya, aku mengejang hebat menumpahkan segala yang ada. Kurasakan "adik kecilku" berkedut-kedut mengeluarkan muntahan lahar yang selama ini terpendam. Aku dekap erat tubuh Riri, sambil membisikkan kata-kata mesra.., "Riri, aku sayang kamu..". Kamipun saling memeluk mesra. Riripun telah menyerahkan mahkotanya dengan utuh hanya untuk aku. Aku terus mendekapnya sampai ia tertidur dengan mulut tersenyum.

Begitulah pembaca. Pengalamanku selama di Kota P, seperti pengalamanku yang sudah-sudah selama ini yang selalu menjadi yang pertama dan mengkoleksi CD bernoda darah perawan dari para kekasihku.

Tamat