STANDARD DISCLAIMER

Cerita ini ditulis dimaksudkan sebagai hiburan bagi mereka yang sudah dewasa baik dari segi umur maupun pikiran dan berpandangan terbuka. Di dalamnya termuat kisah erotis yang menceritakan detail hubungan seksual yang bersifat konsensual dan non – konsensual (normal ataupun paksaan). Jika anda termasuk dalam golongan minor yang masih berusia di bawah umur dan atau tersinggung serta tidak menyukai hal – hal yang berkenaan dengan hal tersebut di atas, tolong JANGAN DIBACA. Masih banyak cerita milik penulis lain yang mungkin memenuhi selera dan usia anda.

Cerita ini adalah karya fiksi. Semua karakter dan peristiwa yang termuat di dalamnya bukanlah tokoh dan peristiwa nyata dan lahir dari fantasi belaka. Kemiripan akan nama dan perilaku ataupun kejadian yang terdapat dalam cerita ini murni ketidaksengajaan dan hanya kebetulan saja. Penulis tidak menganjurkan dan/atau mendukung aktivitas seperti yang diceritakan. Kalau anda mengalami kesulitan membedakan kenyataan dan khayalan silahkan hubungi dokter dan jangan membaca cerita saya lagi sampai sembuh.

Cerita ini diperbolehkan disebarluaskan secara gratis namun tidak boleh digunakan untuk kepentingan komersil tanpa menghubungi penulis dan teamnya terlebih dahulu, kita yang bikin loe yang dapet duit, enak aja. Bagi mereka yang ingin menyebarluaskan cerita ini secara gratis, diharapkan untuk tetap mencantumkan disclaimer ini. Kita udah capek - capek bikin, tolong hormati dikit ya.


Copyright (c) 2011 Pujangga Binal & Friends.
Special Script & Credits : Jay, LustInc, L’esp, Liboy.
Thank you all for your support & permission!)


pujanggabinal.wordpress.com
*********************************

SERIAL: RANJANG YANG TERNODA
BAGIAN SEBELAS B (PART 11(b) OF 12)
ANISSA TERANIAYA

Oleh Pujangga Binal & Friends

Anissa

Burung – burung berkicau di pagi yang indah, matahari bersinar terang dan hembusan angin sepoi membuat pagi itu terasa sejuk. Terlebih di Kampus X yang mahasiswanya sedang mempersiapkan diri untuk masuk kelas, sejuknya angin menjadikan suasana menjadi lebih tenang dan damai.

Dodit yang saat itu mengantarkan Anissa tengah duduk – duduk bersama tunangannya dan juga Ussy dan Udin. Sebenarnya Udin tidak diundang ke dalam percakapan mereka, tapi tentu saja ketiga kawan lain tidak mungkin menolak kehadiran pemuda aneh itu. seperti biasa, dia selalu bergabung sambil mengucapkan puisi – puisi gombal yang membuat Dodit, Ussy dan Anissa menahan tawa.

Anissa masih belum berubah, sikapnya sama dengan kemarin, dia masih menjadi sosok yang pendiam dan hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata saja. Dodit sampai kebingungan dibuatnya. Ia melihat jam tangan dan menggelengkan kepala.

“Aduh, sudah waktunya aku pergi. Aku pamit dulu ya, sayang.” Kata Dodit sambil menepuk punggung tangan Anissa dan mencium kening kekasihnya itu. Anis hanya mengangguk dan tersenyum seulas. Tidak kurang dan tidak lebih. Udin melengos dan menghembuskan nafas karena cemburu melihat kedekatan mereka berdua.

“Dodit! Kamu mau lewat mana?” tanya Ussy tiba – tiba.

“Aku.. mungkin lewat pintu timur, kenapa?”

“Ah, kebetulan! Aku numpang sampai gerbang boleh?” Ussy menggoyangkan gulungan kertas yang isinya cukup banyak. “Aku harus fotokopi catatan kuliah ini semua rangkap lima.”

Dodit tersenyum, “tentu saja boleh. Yuk.”

“Oke, eh aku pinjam dulu tunanganmu, ya? Janji tidak akan lama, hi hi…” Ussy melambaikan tangan pada Anis dan Udin yang langsung disambut anggukan Anis dan senyum lebar Udin. Setelah Ussy dan tunangannya pergi, Anissa seperti tidak peduli dan membalikkan tubuh.

Senyuman Udin semakin lebar, tentu tidak ada yang memperhatikannya.

Dodit dan Ussy berjalan beriringan, sebenarnya kepergian dengan Dodit ini hanya alasan Ussy saja karena ia butuh waktu untuk membicarakan sesuatu dengan tunangan sahabatnya itu. “Dodit, kamu tahu tidak sikap Anissa akhir – akhir sangat aneh.” Kata Ussy saat mereka sudah jauh dari posisi Anis dan Udin.

Dodit menundukkan kepala dan memainkan kunci mobilnya dengan kaku, “aku tahu. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan kenapa dia bersikap demikian. Sepertinya aku tidak pernah berbuat salah kepadanya.”

Ussy menelengkan kepala, “kamu yakin kamu tidak pernah berbuat salah? Yang di sana itu bukan Anissa, dia bagaikan gadis asing yang tidak kita kenal sama sekali! Pasti ada sesuatu!”

“Aku juga tahu, tapi sungguh aku tidak tahu apa yang terjadi padanya.” Dodit sempat menengok ke belakang untuk melihat Anissa, namun terhalang rindang pepohonan taman di depan kantin tempat tadi mereka duduk – duduk, ia menghela nafas dan menggelengkan kepala. “Entahlah, aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencari tahu, tapi Anis itu tertutup sekali.”

Ussy ikut menghela nafas sedih, “yang sabar ya. Aku juga kehilangan Anissa yang dulu.”

Dodit tersenyum pahit.

Ketika Ussy dan Dodit melangkah pergi, Anis juga melakukan hal yang sama menuju kelas, namun ke arah yang berlainan.

Ia diikuti oleh Udin.

Udin berkali – kali melihat ke arah belakang untuk memastikan Ussy dan Dodit sudah hilang dari pandangan dan ketika saat itu tiba, Udin memanggil gadis jelita disampingnya dengan pelan.

“Nis…”

Anissa menengok ke samping dan melihat ke arah Udin. “Ya, Din?”

Tapi Udin diam saja, ia bukannya menjawab malah menikmati kecantikan Anissa seperti hendak menelannya hidup – hidup. Dari atas, dari ujung rambut yang indah, hingga ke bawah, melalui lekuk tubuh yang seksi dalam balutan pakaian sederhana dan jeans ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh yang indah.

Pandangan mata Udin sangat menghina, membuat Anissa menjadi jengah. Ia mencoba menghindari tatapan Udin dan melangkah menjauh. Tapi Udin mengejarnya dan memaksakan diri untuk bertatapan muka kembali dengan sang dara jelita itu. Anissa mengerutkan kening, mempertanyakan sikap Udin yang aneh ini.

“Ada yang ingin kamu katakan, Din?”

“Aku tahu rahasiamu… Anissa…”

“Apa maksudmu?” Anis menghela nafas, mau apa lagi anak satu ini? Apa sih yang sudah diketahui Udin? Apakah…

“Semalam… di hotel melati X.. aku melihat…”

Mata Anis mulai terbelalak terbuka, tidak mungkin…!

“…kamu… sedang berduaan dengan Pak Dahlan…”

Kini mulut Anissa yang terbuka lebar, jantungnya seakan berhenti berdenyut dan nafasnya menjadi sangat berat! Udin tahu??!! Bagaimana dia bisa tahu?? Aduh, bagaimana ini?!! Dengan ketakutan dan panik Anis mencoba mencari alasan. “I…itu bukan aku! Aku semalam ada di ru-… rumah!”

“Oh ya? Kalian ada di kamar nomer XXX dan bercinta hingga larut malam sampai Pak Dahlan mengantarkanmu pulang. Semalam kamu meninggalkan tas di ruangan penjaga hotel dan aku sempat membuka tas itu untuk mengambil sepucuk kartu mahasiswa sebagai bukti seandainya aku bertemu dengan pemiliknya…”

Keringat Anis turun deras.

“Ini punyamu, kan?” Udin mengeluarkan kartu mahasiswa Anissa dari kantong bajunya.

Kepala Anissa berputar dan pandangan matanya berkunang – kunang. Pantas saja ia tidak bisa menemukan kartu itu tadi pagi! Anis duduk di kursi beton yang ada di belakang mereka dengan hempasan tubuh yang pasrah. Kepalanya menunduk dan tangannya digunakan untuk menyandarkan kening. “Apa maumu, Din?”

Udin terkekeh sambil duduk di samping Anissa, “Oh aku tidak mau apa – apa. Aku hanya ingin mendapatkan penjelasan darimu.”

“Penjelasan?”

Udin meremas – remas jemari Anis dengan gemas, membuat gadis itu merasa risih. Ia menyentakkan tangan Udin dan menatapnya galak.

“Maumu apa sih, Din? Jangan kurang ajar ya! Awas kamu!” desis Anissa dengan jengkel.

“Aku hanya butuh waktu untuk berdua saja denganmu dan mendengarkan penjelasanmu tentang apa yang terjadi semalam di Hotel X! Bukan hal yang susah kau iyakan karena selama ini kamu juga sudah melayani banyak lelaki lain.” Bisik Udin dengan pandangan mata yang sangat merendahkan. Sambil mengutarakan maksudnya, tangan Udin tak henti bergerak menelusuri lekuk tubuh Anissa yang aduhai.

Mata Anissa terbelalak kaget! Bagaimana Udin bisa tahu…

“Pak Kobar adalah pakdeku, Nis! Aku tahu apa yang kamu lakukan semalam dengan Pak Bejo, Pak Dahlan dan Om Imron! Siapa yang mengira, Nis. Di balik penampilanmu yang sopan dan santun, ternyata kamu adalah seorang pelacur!”

Langit seakan runtuh menimpa kepala Anissa! Ia kaget setengah mati, tidak saja karena Udin mengetahui rahasianya, melainkan juga karena Udin mengatainya pelacur!

“Kurang ajar kamu, Udin! Aku melakukan itu semua karena terpaksa! Aku ini bukan pelacur!”

“Entah bagaimana aku harus menghitung sakit hatiku, Nis.” Udin menunjukkan wajah sedih dan geram. “Yang pertama? Aku selama ini selalu memujamu, menganggapmu suci, menganggapmu sebagai wanita terindah yang jauh dari nista. Kenyataannya? Kamu tak ubahnya lonte pinggir terminal yang hobi mengobral vagina. Selama ini aku mengalah dari Dodit karena aku pikir kalian adalah pasangan serasi. Ternyata…”

“Sudah aku bilang aku melakukannya karena terpaksa, Din! Walaupun tubuhku pernah dijamah lelaki lain, hatiku selalu dan selamanya akan menjadi milik Dodit.”

“Tapi justru di situlah sakit hatiku yang kedua, Nis.” Udin masih tak bergeming, matanya berkaca – kaca. “sejujurnya, aku mencintaimu. Aku tak rela kamu dimiliki siapapun kecuali aku. Menyaksikanmu disetubuhi orang lain membuatku sakit, Nis. Sangat sakit. Melihatmu berdua dengan Dodit membuatku ingin mengiris urat nadiku sendiri. Setiap kali aku melihatmu, setiap kali pula aku cemburu.”

Anissa seperti dihantam palu raksasa yang meluluhlantakkan hati dan perasaannya. “Kamu… mencintaiku…?”

“Aku hanya ingin diberi kesempatan untuk bersamamu berdua saja.”

Anissa menunduk dan airmatanya membayang, demi dewa…kapan ini semua akan berakhir? Kenapa semua orang menginginkannya? Apa kelebihannya? Dia hanya gadis biasa saja! Hanya karena dia cantik?! Hanya karena dia seksi?! Dia hanya gadis biasa saja! Kenapa semua orang ingin mendekatinya dengan alasan yang dibuat – buat? Apakah mereka tidak sadar bahwa dia bukanlah seonggok daging yang tak berperasaan? Dia juga manusia!

“Bagaimana, lonteku sayang?”

“Sekali lagi kau panggil aku seperti dan aku akan…”

“Apa?” tantang Udin, “kamu mau apa? Apa hah? Lonte ya lonte!”

Air mata menggenang deras di ujung mata Anissa, “baik! Kalau itu maumu! Aku memang lonte! Aku lonte terkutuk! Pelacur murahan! Kamu mau tubuhku? Aku beri! Kamu mau aku telanjang sekarang? Bisa! Di depan semua orang ini aku akan telanjang! Aku akan beri kamu kenikmatan! Itu mau kamu, kan?”

“Malah nyolot! Siapa bilang aku mau tubuhmu?! Aku hanya ingin penjelasanmu!” Udin makin marah, ia menengok ke kanan kiri untuk memastikan tidak ada teman yang menyaksikan pertengkaran mereka. “Oke! Kalau itu maumu! Ikut aku sekarang juga ke losmen di utara kampus! Kita pesan short time agar bisa bicara dari hati ke hati tanpa gangguan seorangpun! Kita bicara terus terang dan selesaikan semuanya di sana!!”

Anissa yang tak berdaya ditarik dengan kasar oleh Udin, kenapa harus ke losmen? Apa yang harus dilakukannya? Sepertinya semua keputusannya selalu salah. Keadaan bukannya semakin membaik, melainkan justru bertambah parah. Kini dia harus menuruti apa permintaan Udin karena kalau tidak Udin akan menyebarkan aibnya dan orang – orang di kampus ini akan mengetahui apa yang terjadi pada gadis itu. Anis menatap geram ke arah Udin.

###

Anissa melelehkan air mata ketika Udin memeluknya dari belakang dan memberi kehangatan. Udin mengecup pundak Anis yang berpeluh. Ia kagum pada gadis bertubuh indah ini, lihat saja kulitnya yang putih dan mulus ini, bahkan air keringatpun meluncur menuruni pundaknya seakan tak mampu berpijak. Tak ingin rasanya Udin melepas tubuh Anis, ia ingin selalu memeluknya. Udin membelai seluruh tubuh Anissa dari belakang dengan penuh kelembutan dan rasa cinta.

Tanpa disadari Udin, lelehan air mata Anis menetes dari kelopaknya yang memerah. Seumur hidupnya, Anis tak pernah membayangkan ia akan melayani Udin bermain cinta seperti ini. Tidak saja pernah membayangkan, ia sebenarnya tidak akan sudi melayani Udin seandainya saja tidak seperti ini keadaannya. Dunia seakan gelap bagi Anis, makin lama makin gelap.

Bahrudin atau Udin, selalu membayangkan Anissa setiap kali dia bermasturbasi di kamar mandi paling tidak seminggu tiga kali. Bulat pantat yang bergoyang menggoda setiap kali Anis berjalan didepannya, paha mulus milik kaki jenjang yang sering diperlihatkan saat Anis mengenakan hot pants, rambut panjang halus yang sebelumnya dia pikir hanya bisa dimiliki oleh seorang model iklan shampoo, kulit mulus seputih pualam yang halus licin, satu tubuh sempurna seorang wanita jelita yang layaknya bidadari khayangan. Dulu sekali, desakan dada kenyal Anis yang menumpuk dada Udin saat mereka berpelukan pada acara ulang tahun gadis jelita itu membuat batang kemaluannya tegang tak mau turun untuk beberapa saat lamanya, kini Udin bisa memeluknya lebih lama.

“Kenapa kamu melakukannya, Nis?” tanya Udin dengan suara parau. Nafsunya sudah menggelegak tapi ia mencoba bertahan demi berbincang sejenak.

Anissa yang kebingungan tergagap mencoba menjelaskan duduk masalahnya, “I.. ini.. itu.. maksudku, apa yang… apa yang aku lakukan tidak… tidak seperti.. yang kau bayangkan, Din.”

“Apa maksudmu tidak seperti yang aku bayangkan? Coba saja kamu menemui teman baikmu sedang bergumul dengan laki – laki lain yang bukan suaminya, bahkan bukan tunangannya.. bermain cinta semalam suntuk! Apa menurutmu yang aku bayangkan?” gertak Udin.

“A..aku tidak bercinta,” Anissa mencoba bertahan, nada suaranya bergetar karena takut, “aku dipaksa.. aku terpaksa melakukannya karena.. karena orang itu menyimpan.. gambar dan videoku! Orang itu..”

Udin menatap gadis itu tanpa perasaan iba sedikitpun, membuat Anissa kian turun mental dan percaya diri. “Sekarang coba jawab pertanyaan mudah ini, Nis.” Kata Udin tegas. “Benar atau tidak kamu sudah tidur dengan laki – laki lain yang bukan suami, tunangan bahkan pacar kamu? Mudah kan jawabannya? Benar atau tidak?”

“Aku tahu, Din! Aku tahu! Aku tahu aku mengacaukan semuanya!” suara Anis makin terdengar getarannya, ia memohon dengan putus asa, “tapi aku akan memperbaiki semuanya, begitu gambar dan video itu dihapus, aku akan baik – baik saja, semua akan baik – baik saja, Dodit tidak perlu tahu.”

“BODOH!” bentak Udin.

Bentakan pemuda itu membuat Anissa melompat karena kaget, ia tidak menduga Udin akan mengeluarkan suara sekeras itu. Bibir bawah Anissa bergetar, matanya yang bulat, besar dan indah kini mulai mengambangkan air mata, Anissa gemetar di hadapan Udin, wajahnya yang jelita memerah karena perasaan bersalah, ia bagaikan tengah dihakimi. Batang kejantanan Udin justru makin menegak melihat gadis yang sudah pasrah ini.

“Yang namanya pengkhianatan tidak ada alasan. Kamu sudah berkhianat atas cintamu pada Dodit, aku seharusnya menghubunginya untuk…”

“Jangan! Jangan, Din! Aku mohon! Aku mohon!!” Anissa mengangkat tangannya untuk mencoba menahan Udin, karena lengannya mendesak dada dan menyempit, Udin bisa melihat buah dada Anissa seperti ditekan dan menghunjuk ke depan dengan indahnya. Gila, Anissa memang benar – benar gadis yang teramat seksi.

“Jangan, jangan lakukan itu, Din! A..aku harus pulang, aku akan pulang dan tidak akan melakukannya lagi. Aku janji, aku janji perbuatan terkutuk itu memang harus dihentikan..”

“BODOH LAGI!” kembali Udin membentak Anissa. Ia kini benar – benar memuncak emosinya, “kamu sadar tidak semua sudah terlambat? Yang kamu hadapi itu orang – orang berbahaya yang tidak bisa dianggap main – main! Seharusnya dari dulu kamu sudah lapor polisi! Sekarang lihat apa yang terjadi! Kamu sadar tidak pada kebodohanmu?” Udin membalikkan badan dan mencoba meraih telepon genggam yang ia letakkan di meja. Anissa yang terkejut segera mengejar Udin, membalikkan tubuhnya dan menahan tangannya.

“Bahrudin! Jangan, Din. Aku mohon!!! Aku benar – benar mohon padamu, jangan ceritakan semua ini pada Dodit! Jangan pernah! A..Aku sangat mencintainya, Din! Aku sangat – sangat – sangat mencintainya! Jangan biarkan dia tahu aku telah menjadi wanita yang hina seperti ini! Jangan biarkan hatinya hancur, Din!! Aku mohon!” bola mata indah milik Anissa menjadi sangat sayu saat ia meratap memohon agar Udin tidak menghubungi tunangannya, ia bahkan memanggil Udin dengan nama lengkap tanpa sadar.

Udin menatap gadis itu iba, ia bisa merasakan nafas berbau mint yang segar dari mulut sang dara dan tetesan keringat membasahi belahan buah dada gadis jelita itu. Tubuh seksi itu kini hampir – hampir memeluk Udin, memohon dengan putus asa. Tanpa perlu dipinta, Udin sebenarnya tidak ingin melaporkan apapun pada siapapun, ia sangat mencintai Anissa, bahkan mungkin lebih dari apa yang ia sendiri bayangkan. Tapi kini rasa sayang itu berubah menjadi nafsu berlipat ganda. Udin mengangkat tangannya dan menyentuh kulit mulus Anissa, lembut dan perlahan ia memainkan jemarinya menelusuri keindahan lekuk tubuh sang dara, mulai dari kerongkongannya hingga ke atas balon buah dada Anissa. Degup jantungnya yang berdetak menghentak berulang kali dalam diri Udin, pikirannya seperti terbang tanpa tujuan, rasionalitasnya terpinggirkan oleh nafsu birahi menggelegak. Satu – satunya yang Udin inginkan sekarang adalah membuka pakaian yang dikenakan Anissa dan menikmati keindahan buah dada gadis itu!

“U..Udin? ka – kamu ngapain?” kepanikan Anissa membuatnya tergagap, ia benar – benar terkejut melihat kelakuan Udin ini hingga kalimat yang ia ucapkan menjadi terpatah – patah.

Udin memandangi wajah bingung Anissa sembari menggerakkan tangan yang makin berani, ia kini meremas – remas buah dadanya tanpa peduli. “Kamu bukan orang bodoh, Nis. Kamu tahu pasti apa yang aku lakukan.” Katanya dengan dingin. Melihat Anissa panik dan tak berdaya membuatnya merasa iba, namun di saat yang bersamaan Udin bisa merasakan adik kecil yang ada diselangkangannya justru kian mengeras. “Kamu tahu apa yang akan aku lakukan dan kamu juga tahu tidak ada gunanya melawan. Kenapa? Karena kamu tahu aku memiliki apa yang kamu tahu tidak sepantasnya aku miliki.”

Udin tidak percaya ia mampu mengucapkan kata – kata ancaman pada gadis yang ia cintai itu. Sejak ia mengenal Anissa, Udin hanya bisa melihatnya dari kejauhan, mengaguminya dan memimpikannya. Ia cemburu saat Anis dan Dodit saling berpelukan mesra, ia cemburu ketika pria lain mengajak gadis itu berbincang atau mengelus bagian tubuhnya pelan. Kini ia bebas menyelipkan jemari ke dalam belahan tengah buah dada Anissa untuk membuat gadis itu sadar siapa yang saat ini menguasainya.

“Ta…tapi, Din. Kita tidak bisa.. kamu tidak boleh… maksudku kita tidak bisa..” wajah Anissa memerah karena ia tidak sanggup mengucapkan kata yang tepat yang ingin disampaikan. Ia yakin Udin tahu apa maksudnya. “Kita tidak bisa, Din… aku yakin kamu bukan orang seperti itu!”

“Aku tidak perlu membuktikan apapun pada seorang pengkhianat. Kamu sudah mengkhianati cinta Dodit dan aku bisa saja datang kepadanya membawa bukti yang kuat. Kalian akan berpisah, namamu akan cemar, orangtuamu mungkin bisa sakit keras dan kamu hanya akan dianggap sebagai pelacur jalanan. Aku tidak peduli apa yang terjadi padamu seperti kamu selama ini tidak peduli padaku.” Udin merespon dengan ketus, tangannya yang bebas mengangkat hape. “Kalau kamu pikir aku bohong, aku bisa menelpon dia kapan saja aku mau untuk menceritakan pelacur kecil yang mengaku sebagai tunangannya.” Udin yakin sekali ancaman ini akan mengena tepat di hati Anis, menohok si cantik yang tak sanggup mengatakan apa yang telah terjadi kepada tunangannya dengan jujur. Dengan berani Udin memainkan telunjuknya untuk merunut kulit mulus Anissa mulai dari belahan dada yang menggiurkan naik hingga ke rahangnya yang mulus. Mereka berdua sama – sama terengah – engah dan Udin tahu Anissa menatapnya dengan panik.

“Ja..jangan… jangan telepon.” Desah Anissa lirih. “Apa yang kamu inginkan?”

“Buka bajumu.” Hanya dengan mengatakan itu saja penis Udin menggeliat mengeras, membayangkan tubuh indah wanita secantik Anis tanpa sehelai benangpun membuat teman kuliah Anis itu terangsang hebat. Anis ragu – ragu melakukan apa yang diminta Udin itu, membuat pemuda itu sedikit naik pitam. “Apa yang kamu tunggu? Cepat buka bajumu!”

Anissa masih ragu – ragu dan mempertimbangkan beberapa hal dalam benaknya untuk beberapa saat, namun ia kemudian membuka kancing bajunya dan segera memperlihatkan sebentuk buah dada sempurna yang kenyal dan empuk. Gadis jelita itu melempar bajunya ke lantai dan menatap Udin tajam, teman kampusnya itu tidak bergerak dan melihat keindahan tubuh bagian atas milik Anissa tanpa berkedip. Perut gadis itu amat tipis, langsing, rata dan seksi sementara payudaranya yang menjulang naik bagai menantang dengan bulat sempurna dan pentil susu yang menjorok keluar hingga membayang di beha mungil berwarna gelap yang dikenakan si cantik itu. Udin meletakkan hape dan mulai beraksi meraba payudara ranum milik Anissa.

Anissa memejamkan mata dan mendesah panjang saat jemari Udin mengelus dan meremas – remas payudaranya, merasakan buah dada besar itu dalam genggaman tangannya. Udin bisa melihat wajah kacau Anis saat tangan – tangan Udin yang kasar bersentuhan dengan kulit mulus di sekitar balon buah dada Anissa. Dengan tangan gemetar Udin melepas kaitan beha sang dara jelita yang kini wajahnya memerah antara malu dan gelisah.

Udin seperti disadarkan pada apa yang tengah terjadi, gadis cantik yang selalu muncul dalam mimpi indahnya, dalam mimpi basahnya, dalam masturbasinya, kini hadir secara nyata, darah dan daging, telanjang dada. Menyadari Anissa kini berada dalam kekuasaannya Udin meremas payudara gadis itu lebih kencang lagi, membuat sang pemilik menjerit lirih karena kesakitan. “Susumu ini, Nis…membuatku.. tidak bisa.. ini indah sekali..” nafas Udin menjadi berat seiring nafsu yang semakin membebani batinnya.

Cengkraman tangan Udin pada balon buah dada Anis membuat puting susu Anis kian lama kian mengeras seperti tutup botol yang menjorok keluar. Udin menciumi dan menjilati buah dada sempurna itu bergantian, merasakan kenyalnya keindahan susu sang bidadari jelita, membuat Anissa menggelinjang dan mengembik pelan. Udin mengoles puting susu Anis dengan jempolnya hingga keduanya benar – benar sampai menghunjuk ke atas. Tak tahan lagi, Udin turun ke bawah untuk melepas sisa pakaian yang dikenakan Anissa dan memperlihatkan tubuh indahnya.

Anis mengerang pelan karena kebingungan, gadis itu menyilangkan tangan di depan payudaranya saat Udin melepas pelindung terakhirnya. Bulu kemaluan yang halus dan rapi membuat Udin kian kagum, ia berhenti sejenak untuk menikmati keindahan selangkangan Anis yang dipadu sempurna dengan paha mulus yang tidak saja enak dilihat tapi juga nyaman disentuh.

Tak boleh disia – siakan begitu saja!

Udin meremas bokong Anissa dengan kedua tangannya, menahan supaya gadis itu tak bergerak, lalu dengan tiba – tiba membenamkan kepalanya ke dalam selangkangan Anis! Mulut dan hidungnya tenggelam di silang kemaluan sementara lidahnya menyusur dan mencari.

Anis terkejut setengah mati melihat kelakuan Udin ini! Si cantik itu mencoba meronta, mencoba membalikkan badan, mencoba menekan kepala Udin, namun semua sia – sia. Gerakan lidah Udin yang lincah memainkan bibir kemaluan Anissa membuat gadis itu menggelinjang hebat. Ampun! Ini enak sekali! Bagaimana ia bisa bertahan? Ia hanya gadis biasa! Tak bisa menolak kenikmatan seperti ini! Anissa yang tak bisa menemukan apapun sebagai pegangan, mencoba meraih sesuatu, tapi satu – satunya yang bisa ia lakukan adalah justru memegang bagian belakang kepala Udin dan menekannya agar masuk semakin dalam!

Lidah Udin yang lincah bergerak mengitari bibir kemaluan Anissa, lalu naik hingga mencapai kelentitnya yang menjorok keluar. Rasanya benar – benar susah dibayangkan bagi Anissa. Ia merem melek tak karuan, tubuhnya bagai hancur lebur ditelan kenikmatan yang diberikan oleh Udin! Untuk beberapa saat Udin masih terus memainkan kelentit Anissa dengan pagutan, jilatan dan kuluman yang memabukkan hingga Anissa akhirnya melenguh panjang sebagai penanda kekalahan.

Mendengar suara erangan Anissa yang pasrah, Udin berdiri dan mencumbu tunangan Dodit itu seperti sepasang kekasih. Gadis ini adalah tunangan orang lain dan kini ia bebas mengelus tubuhnya dan mencium bibirnya! Mereka berciuman lama, lidah dan bibir saling menaut menjadi satu kesatuan. Tangan Anissa kini bergerak bebas mengitari kepala dan pundak Udin menuntut sesuatu segera terjadi. Gadis itu rupanya sudah sangat pasrah dengan nasibnya. Udin melepaskan pagutannya dari mulut Anissa dan menatapnya dengan pandangan penuh nafsu birahi.

“Jongkok.” Perintahnya singkat sambil mengelus pipi si cantik itu.

Anissa tahu pasti si Udin kini ingin merasakan anunya disepong. Anissa turun ke bawah tanpa membantah sembari Udin melucuti celananya sendiri. Teman kuliah Anissa yang dijauhi banyak kawan itu kini berdiri telanjang dengan bangga di hadapan Anis dengan penis yang terhunus. Anissa jongkok di hadapan Udin, memandangi kemaluan Udin, dengan tangan gemetar Anis mulai menyentuh benda panjang yang agak lembek itu, merasakan ujung gundul dan batang kejantanan Udin dalam genggaman tangannya. Pemuda itu merasakan hembusan hangat nafas Anissa berada sangat dekat dengan batang kemaluannya. “Ayo anak manis, lakukan saja. Kamu sudah tahu apa yang aku inginkan.”

Nafas Udin tertahan ketika Anissa membuka mulutnya yang mungil dan mulai menelan ujung gundul kemaluan Udin seperti hendak menelan bola lampu. Udin merem melek hanya membayangkannya saja, wanita termolek yang pernah ia cintai sedang menyepong kontolnya. Hangat dan basah membungkus batang kemaluannya, ia tidak peduli kalau si cantik ini sudah bertunangan dengan laki – laki lain yang juga ia kenal. Anis memandang ke atas, matanya yang indah menatap pria yang tak pantas ia kulum kemaluannya dengan pandangan tajam dan jengkel sementara mulutnya yang manis membuka lebar menangkup batang kemaluan Udin. Mata mereka berpadu, mata tajam Anis dengan mata Udin yang terbelalak lebar karena tak percaya bibir manis Anissa mengelus batang kemaluannya.

Jemari Udin bermain di rambut indah Anissa dan ia mengangguk – angguk penuh nikmat. Si molek itu menggunakan pinggul Udin sebagai pegangan dan mulai mengulum kemaluan pemuda itu dengan berirama. Lidahnya menyusuri bagian tebal yang menggumpal di bagian bawah batang kejantanan Udin.

“Gila, Nis..” pandangan mata Udin mengabur dengan sensasi kenikmatan yang bertubi. “kamu sudah sering melakukan ini ya? Enak gila..”

Anissa diam saja, dia melanjutkan menghisap batang kejantanan Udin bagaikan permen lollypop yang rasanya sangat manis, lidah si cantik itu bergerak lincah mengukur batang dari ujung gundul hingga ke pangkal berbulunya. Beberapa kali Anissa harus memejamkan mata untuk menahan bau tak sedap yang ada di batang kemaluan Udin.

Sekali – sekali Udin membantu Anissa dengan mendorong bagian belakang kepala si cantik itu dengan lembut agar bisa bergerak lebih cepat. Batang kemaluan Udin kian basah oleh ludah Anissa yang terus menerus dioleskan ke seluruh bagiannya. Suara kecipak mulut yang mengulum, pipi menggembung dan menipis, kenikmatan melihat wajah bidadari membuat Udin kian terangsang.

Makin lama batang kemaluan itu makin melesak masuk dalam mulut si jelita, dengan lembut Udin menambah tekanan pada bagian belakang kepala Anis supaya gadis itu bergerak lebih cepat. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari penis Udin yang ukurannya biasa – biasa saja, namun batang kelelakian Udin itu sangat keras seperti baja.

Udin memandang takjub bagaimana helai – helai rambut Anissa turun menyentuh pundaknya yang mulus. Lebih turun lagi Udin bisa melihat balon buah dada si cantik itu bergelinjang ringan saat ia menjilati kejantanannya yang menegang. Udin memang bukan perjaka tulen, ia sudah pernah merasakan dan mencicipi pelacur murah yang ia beli di dekat pasar, tapi merasakan bibir manis Anis menaungi kemaluannya dan hangat mengatup batang zakarnya membuat Udin terbang ke langit ke tujuh. Anissa memang bidadari terindah, apalagi ini belum usai, dia masih akan merasakan bibir kewanitaan Anissa yang sangat ia inginkan melebihi apapun.

Walaupun Udin merasakan rasa nyaman yang ingin ia perpanjang sepanjang hari saat penisnya berkuasa di mulut Anis, namun ia menarik batang kemaluannya dari bibir mungil itu dengan perlahan. Si cantik itu menatap Udin dengan tatapan meminta iba, seakan tak percaya ia baru saja mengulum batang kejantanan orang yang selama ini ia anggap kawan.

“Seponganmu enaknya luar biasa,” puji Udin dengan jujur, semakin bernafsu setelah menerima rangsangan dari Anis, Udin berniat mendorong si cantik itu ke tempat tidur. Tapi pandangan mata pemuda itu tertumbuk pada satu cermin besar yang digantung di samping ranjang. Alih – alih dilempar ke ranjang, Anis dibimbing Udin ke lemari pakaian pendek yang ada di samping cermin.

Udin mendorong tubuh Anis ke depan sehingga wajahnya menempel di atas lemari kecil itu. Pantat seksi si cantik itu menghunjuk ke belakang membuat siapapun yang melihatnya akan terangsang hebat. Udin tak menyia – nyiakan kesempatan ini untuk menampar kedua pipi pantat Anis dengan telapak tangannya.

“Aduuuh!” Anissa menjerit kecil, dia memandangi Udin dengan pandangan heran. “Sakit, Din! Kenapa ditampar?”

Udin tidak menjawab, dia terus saja menekan punggung bagian bawah Anissa agar si cantik itu tetap menempel di lemari, posisi ini membuat kemaluan Udin mengeras karena tubuh Anissa jadi terlihat sangat seksi, terlebih lagi mulusnya pantat si cantik itu membuat Udin serasa tak ingin usai merabanya. Tiba – tiba saja Udin ingin sedikit menyakiti bokong Anissa sebelum ia menyetubuhinya. “Kamu ini benar – benar.. anak.. manis.. yang nakal.” Kata Udin sambil menampar bokong Anissa saat menyebutkan kata ‘anak’ dan ‘manis’, Anis mengembik kesakitan dan berusaha meronta. Tapi Udin memeganginya erat, “biar kutunjukkan padamu apa yang seharusnya dilakukan pada.. anak.. manis.. yang nakal!”

Bokong Anis bergetar setiap kali telapak tangan Udin menamparnya, setiap tamparan pula, buah dada Anissa bergoyang – goyang. Cermin besar yang menggantung di samping tempat tidur menjadi saksi bisu pertemuan pandangan mata mereka. Ada cahaya redup penderitaan di wajah Anissa, tapi di bagian bawah, Udin bisa merasakan selangkangan si cantik itu mulai basah. “Menurutmu, apa yang akan terjadi? Apa yang dilakukan pada seorang anak manis yang nakal, Nis?”

“..dihukum?” parau terdengar suara Anissa.

“Benar sekali, aku akan menghukummu, manis. Aku akan memukul pantatmu pakai penggaris karena sudah nakal seperti yang dilakukan guru pada murid.” Kata Udin sambil tertawa, lelucon itu sama sekali tidak lucu bahkan kalimat yang melecehkan itu membuat Anissa semakin geram. Seluruh tubuh Anis bergetar hebat ketika Udin benar – benar memukul pantat Anissa menggunakan telapak tangannya, bukan rasa takut yang membuatnya gemetar, tapi rasa terhina. Si cantik itupun meneteskan air matanya. Udin yang melihat linangan air mata Anis menjadi segan. “Tidak mau disentuh bokongnya? Menurutmu, hukuman apa lagi yang tepat bagi orang sepertimu, Nis? Pelacur kecil yang senang berkhianat sepertimu?”

Anissa menatap Udin dengan pandangan panik, baru kali ini ia melihat Udin begitu kasar dan jahat kepadanya, biasanya Udin memperlakukannya dengan sangat manis. Anissa menunduk takut, apalagi yang bisa ia lakukan kecuali menuruti permintaan temannya yang sudah hilang akal oleh nafsu birahi ini? Jawabannya jelas hanya satu itu.

“…dientotin.” suara datar Anissa yang sudah pasrah menjadi musik indah bagi Udin.

“Benar sekali. Mereka pantasnya dientotin sampai kapok.” Udin mengelus lekuk – lekuk indah pinggul Anissa. Udin menatap puas cermin besar di samping mereka yang memperlihatkan dirinya sedang meraba – raba tubuh indah bidadari yang selama ini mengisi mimpinya. Nafsu birahinya semakin menggelegak.

Udin mendorong Anissa hingga berdiri dengan berjinjit, dengan kasar ia memisahkan kaki jenjang si cantik itu supaya melebar dan menekan ujung gundul batang kejantanannya ke dalam sela basah di selangkangan Anissa. Sembari terengah – engah Anis menengok ke belakang, wajahnya penuh dengan sejuta emosi. “Aku tidak percaya kamu tega melakukan ini……”

“Sekarang harus percaya.” Gumam Udin sembari menikmati saat yang sangat merangsang ketika bagian ujung gundul kemaluannya melesak perlahan ke dalam memek Anissa. Sedikit demi sedikit liang cinta Anis yang mungil itu menelan batang kontol Udin yang sudah keras seperti batang kayu. Anissa berusaha menahan jeritannya dengan menggemeretakkan gigi, matanya terpejam dan tubuhnya mengejang ketika merasakan ada benda asing memasuki liang cintanya.

“Sudah percaya sekarang?” sindir Udin.

Sodokan kemaluan Udin tidak lagi pelan dan lembut, ia menumbukkan batangnya ke dalam liang cinta Anis dengan kekuatan penuh hingga gadis itu bahkan sampai terangkat dan berjinjit tiap kali Udin melesakkan kemaluannya. Anissa berulangkali menjerit dan menggunakan pinggiran lemari yang ada di samping tempat tidur untuk menahan desakan dari Udin. Begitu bernafsunya Udin menggiling kemaluannya sehingga Anis berulang kali terangkat bahkan sampai hampir melayang. Sebenarnya Udin tidak sampai hati membuat Anissa kesakitan, tapi merasakan kemaluannya melesak masuk ke dalam vagina Anissa adalah mimpi yang menjadi kenyataan, sangat nikmat sekali.

Udin menarik penisnya, mundur sedikit lalu dengan kekuatan penuh menyodokkannya lagi ke dalam hingga membuat Anis berulang kali menjerit. “Ogghh, gila… kamu bener – bener enakkkgg…” erang Udin keenakan. Kini tubuh Anis benar – benar menempel di lemari, ia tak bisa bergerak karena Udin terus saja mendesaknya tanpa ampun, keras, cepat dan kencang. Memek Anis yang mulai membanjir membuat Udin kian giat menggenjot penuh nafsu. Tiap kali Udin melesakkan penisnya, Anissa tidak bisa tidak menjerit dan mengerang.

Dari cermin yang berada di samping ranjang, Udin bisa melihat buah dada Anissa bergoyang setiap kali ia menusuk – nusuk memek si cantik itu. Wajah Anis bersemu merah karena menahan campuran emosi yang hampir tak tertahan ia marah, sedih, geram namun juga merasa nikmat. Udin melihat dirinya sendiri di cermin itu, bukan seperti Udin biasanya, Udin yang dihina, Udin yang dihindari cewek – cewek atau Udin yang dikucilkan. Kini ia berubah menjadi Udin yang kuat, Udin penakluk dan Udin yang berhasil meniduri salah satu gadis paling didambakan lelaki di seantero kampus.

Udin menekuk tubuhnya dan bersandar di punggung Anissa sembari terus menggoyang kemaluannya di dalam liang cinta tunangan Dodit itu, wajahnya yang menyebalkan diturunkan hingga menempel beberapa senti saja dari wajah Anis, membuat gadis itu muak dan memalingkan muka. “Kamu cantik sekali, Nis. Cantik dan seksi. Memekmu enak gila! Sempit banget!” Udin kembali mengerang – erang keenakan, membuat Anissa menjadi risih. “…kamu tidak pernah tahu, Nis. Kalau aku ingin melakukan ini sudah sejak lama sekali. Aku kira aku hanya bisa melakukannya dalam mimpi. Ka..kamu tahu itu?”

“Yaaa…” Anis melenguh, “oooughhh… sakit sekali…!! jangan kasar – kasar!!”

Kata – kata Anissa jelas tidak menghentikan niat Udin, justru makin membuatnya bernafsu. Pemuda itu mulai bermain – main. Ia menarik batang kemaluannya hingga hanya tertinggal ujung gundulnya di dalam liang cinta Anis, lalu setelah bertahan sebentar, ia menumbuk lagi dengan memberikan tekanan yang sangat hebat sampai – sampai Anissa terlempar ke ranjang.

“Pegang kepala tempat tidurnya.” Perintah Udin, yang segera dituruti oleh Anissa yang merangkak dan menggunakan kepala tempat tidur sebagai pegangan sementara ia merenggangkan kaki kembali karena tadi penis Udin hampir keluar. “Duh, Anis…tahu nggak sih? Memekmu ini enak bangeeeeet!!”

Tapi Anissa sendiri sebenarnya melakukan lebih dari apa yang diperkirakan Udin, untuk beberapa saat dia merintih dan meringkuk, lalu tiba – tiba saja satu tangannya beralih dari memegang kepala tempat tidur menuju selangkangannya sendiri. Untuk sejenak Anis berhenti saat ia sadar apa yang sedang ia lakukan, tapi Udin memegang pergelangan tangannya agar tidak urung turun, pemuda itu senang melihat Anis mulai terangsang dan menggiring jemari Anis untuk menyentuh kelentitnya sendiri.

“Ayo sayang… enak sekali kan?” bisik Udin menggoda. “sentuh dirimu sendiri, biarkan kepuasan itu datang lebih cepat.”

Di bawah bimbingan Udin, jemari Anis bergerak lincah menggosok selangkangannya sendiri. Tangan Udin sendiri kembali menekan bahu Anis sementara si cantik itu terangsang hebat sehingga ia bisa memusatkan perhatian penuh pada rasa nyaman yang ia rasakan pada batang kemaluannya.

Anissa bukanlah bintang film porno atau pelacur yang sudah sangat sering bermain cinta, dia hanyalah seorang gadis yang terjerat oleh serigala – serigala pemangsa penuh nafsu. Walaupun sudah sering diperkosa oleh Pak Bejo dan pernah bermain cinta dengan Pak Doni atau Pak Dahlan, Anis tetaplah gadis biasa yang mudah dirangsang ketika bercinta. Gadis itu setahap demi setahap hampir mencapai puncak orgasmenya, lenguhannya yang berirama makin lama makin naik dan berubah menjadi teriakan dan jeritan tak tertahan. Seluruh tubuh Anis seakan menjadi menciut ketika jemari si cantik itu bermain sendiri di kelentitnya sementara memeknya tengah menerima sodokan penuh tenaga dari Udin, terasa sekali bagi Anissa betapa kuat cengkraman dinding liang kewanitaannya pada batang kemaluan pria yang tengah menyetubuhinya. Anissa hanya bisa merem melek menerima tusukan demi tusukan penuh nikmat yang menghentakkan tubuhnya. Sensasi itu, bersamaan dengan bergetarnya tubuh indah dan lengkingan kecil jerit kepuasan membahana di ruangan yang sempit, membawa Anissa ke puncak kenikmatan.

Udin melepas pegangannya pada bahu Anissa dan menangkup buah dada si cantik itu yang membusung besar dengan puting susu yang tegap menjorok keluar, Udin menyingkirkan lengan Anis yang melindungi payudara itu dan meremasnya dengan sangat kuat seakan ingin mencairkan daging kenyal yang membuatnya sangat bernafsu itu. Anissa memang telah mencapai puncak, namun tubuhnya masih terus menghamba pada batang kemaluan Udin, banjir demi banjir pelumas dan cairan cinta bercampur menjadi satu sementara tubuh Anissa sendiri masih terus terhentak – hentak.

Tekanan yang makin menghebat berkumpul di kantong kemaluan Udin yang membesar seperti sansak. Bagi Udin, kemaluannya terasa seperti hendak melepaskan ledakan hebat yang akan melontarkan dirinya dan Anis ke segala penjuru. Tubuhnya bergetar seperti gunung besar yang menyimpan tenaga untuk memuntahkan material vulkanik. Semua ototnya mengeras, matanya terpejam dan tangannya meremas kencang buah dada Anissa hingga si cantik itu menjerit kesakitan, sedikit lagi… sedikit lagi….. sedikit lagi……. dan ahhhhh!! Semprotan cairan cinta terlontar dari ujung gundul kemaluan Udin bagai pompa air yang baru saja dibuka. Kepala Udin sampai terlontar ke belakang dan ia melolong keenakan saat pejuhnya terlempar banjir demi banjir di dalam liang cinta gadis yang sangat seksi itu.

“Arraaaaghhhhhhhhh! Aaaahhhhh!! Hhngggg!! Ooooowwwhh!!” Udin mengosongkan kantong kemaluannya sampai ke tetes terakhir sembari memeluk erat tubuh indah wanita cantik yang sangat ia idam – idamkan. “Oaaaaghhhh!!…. ahhh..hah..hah..hah..”

Tubuh Udin yang kelelahan ambruk ke depan menumpuk di atas tubuh Anis yang masih bergetar. Semua semangat dan keinginan untuk menikmati setiap lekuk tubuh gadis pujaannya lenyap tak bersisa dengan muntahnya klimaks yang ia keluarkan, untuk kali pertama ingatan Udin kembali bisa fokus. Ia baru sadar kalau ia sedang berada di sebuah ruangan di hotel melati yang khusus ia sewa untuk bisa meniduri Anissa. Tubuh yang ada di bawahnya ini adalah gadis yang sangat ia cintai, gadis yang baru saja menerima semprotan air mani darinya.

Udin menepuk dahinya sendiri. Gila, apa yang telah dilakukannya? Ia baru saja meniduri Anissa! Ia tak ubahnya pria yang dibutakan nafsu yang semalam juga membuat gadis ini menderita walaupun harus diakui, bisa menyetubuhi Anissa adalah impiannya sejak lama. Cairan cinta menetes baik dari sela – sela bibir vagina Anissa maupun sisi – sisi penis Udin. Dengan sepelan mungkin Udin menarik penisnya keluar dari mulut kemaluan Anis, penisnya yang masih sedikit tegak agak lengket sehingga harus ditarik kencang. Ketika Udin menariknya, Anissa mengerang pelan.

“Kamu, kamu tidak apa – apa, Nis?” tanya Udin pada Anis yang tergeletak bermandikan keringat dengan nafas menderu. “Anissa?”

Anis hanya menganggukkan kepala sambil mengeluarkan suara letih, “Ya… aku baik – baik saja.”

“Aku bisa mengambilkanmu sesuatu? Air minum?” sepertinya memang terdengar konyol, tapi Udin sungguh mencintai Anissa, rasa bersalah yang muncul karena memaksanya bermain cinta membuat Udin ingin melakukan sesuatu untuk gadis ini.

Anis menggulingkan badan ke samping dan menatap wajah Udin dengan kabur, seperti tidak sadar siapa yang ada di sebelahnya kali ini. Agak lama bagi Anissa sebelum ia bisa fokus kembali, “Ya… segelas air. Tolong.”

Udin bergegas mengambilkan segelas air untuk Anis, gadis itu kemudian minum di depan Udin dengan keadaan masih telanjang, seperti tidak lagi merasa malu memamerkan keindahan tubuhnya. Setelah meletakkan gelas di meja di samping ranjang, Anis menatap Udin lekat – lekat, “…bisakah kamu berjanji tidak akan menceritakan ini pada orang lain? Termasuk orang – orang yang ada di hotel semalam?”

“Aku janji,” jawab Udin jujur. “Aku mencintaimu, Nis. Aku tidak ingin kamu dimiliki orang lain, kamu bisa mempercayaiku untuk hal satu itu. Aku ingin bisa hidup selamanya denganmu. Aku ingin menikahimu, menghamilimu, memiliki anak darimu…”

Anissa seperti tidak peduli dengan kata – kata Udin setelah kata janji. Udin memakai celananya dengan seadanya sementara Anissa mengenakan pakaiannya kembali, tidak ada kata terucap di antara mereka. Seperti ada sebuah ikatan yang tak nampak untuk saling menahan diri.

“Aku ingin kau merahasiakan semua ini, Din.”

“Pasti, Nis.”

“Termasuk di kampus. Jangan ganggu aku lagi seperti tadi. Aku butuh ruang gerak.”

“Baik.”

“Aku pergi dulu.”

“Ya.”

Anissa merapikan diri dan berjalan tertatih menuju pintu.

Anissa berdiri termangu di pintu kamar sesaat sebelum dia pergi. Ada pandangan aneh yang ia tujukan pada Udin, pandangan tajam seperti yang biasa ditunjukkan seorang pengadil sebelum menghakimi seorang terdakwa. “Bahrudin. Kita sudah berteman sangat lama, tapi aku tidak pernah menyangka kamu begitu rendah.”

Udin yang masih berbaring di ranjang menatap pintu yang ditutup dengan keras. Dentuman jantungnya perlahan kembali normal.

Pemuda itu menerawang ke arah langit – langit, “demikian juga aku, Nis.” Bisiknya pada diri sendiri.

“Demikian juga aku.”

###

“Halo, Dodit? Ini Alya.”

Dodit yang sebelumnya tidur jadi terbangun kaget dan gelagapan, dia melirik ke arah jam dinding, sudah hampir jam 11 malam. Begitu gugupnya ia hingga hampir – hampir telepon genggamnya lepas dari tangan. “Mb…Mbak Alya? Kenapa, Mbak? Ada perlu dengan saya?”

“Iya… maaf ya, mengganggu semalam ini.”

“Tidak apa – apa, Mbak. Memangnya ada apa?”

“Anu, ini lho… Mas Paidi kan sedang sakit. Dia masuk angin, padahal besok aku harus mengantarkan Opi sekolah dan belanja karena beras dan kebutuhan pokok lain sudah habis. Mas Hendra tentu tidak bisa diminta tolong sedangkan SIM aku saat ini sudah habis masa berlakunya. Habisnya sih sudah sejak beberapa minggu yang lalu, tapi aku belum sempat perpanjangan karena repot. Aku jadi teringat kamu, bagaimana ya kalau aku minta tolong diantar? Daripada naik bis atau taksi, gitu.”

“Astaga, aku kira kenapa, Mbak. Ya tentu saja bisa. Kemanapun Mbak Alya ingin pergi, aku siap mengantar.”

“Aduh, terima kasih sekali ya. Oke, besok pagi sekitar jam setengah 10 aku tunggu di rumah ya? Kita antar Opi dulu, setelah itu belanja dan pulangnya jemput Opi lagi. Bagaimana?”

“Siap, Mbak.”

“Eh, tapi kamu tidak ada acara kan?”

“Nggak ada, Mbak. Santai aja.”

“Oke kalau begitu. Sampai jumpa besok. Terima kasih ya.”

“Sama – sama.” Dodit menutup hapenya dengan senang, dia akan mengantarkan Mbak Alya belanja! Beruntung sekali! Tidak akan dia sia – siakan kesempatan ini! Sudah sejak lama dia ingin bertemu kembali dengan ipar Anissa itu, wajahnya yang ayu dan tubuhnya yang molek… ahh, Mbak Alya besok memintanya ditemani belanja! Tidak ada yang lebih indah dari itu! Mbak Alya yang selama ini telah menjadi temannya berfantasi setiap kali bermasturbasi! Bukankah ini yang namanya pucuk dicinta ulampun tiba?

Oooh… Mbak Alya yang ayu…

Terdengar bunyi ringtone mengalun.

Ringtone? Dodit mengernyitkan dahi. Oh! Hape Dodit rupanya kembali bergetar dan berdering. Gara – gara bangun terkaget dan mendapatkan kabar gembira dari Mbak Alya membuatnya jadi lupa dering hapenya sendiri. Dodit melirik nomor di hapenya, nomor ini… Anissa?

“Halo?” suara Dodit sedikit ragu – ragu mengangkat telpon. “Sayang? Ada apa malam – malam begini…”

“Mas, aku butuh kamu ajak keluar besok pagi. Aku… aku bosan di rumah…”

“Be… besok pagi?” Dodit menggerutu dalam hati. Bukankah besok pagi dia sudah janji dengan Mbak Alya yang bagaikan dewi khayangan itu? Lagipula akhir – akhir ini Anissa aneh, kalau diajak pergi selalu terdiam seribu bahasa. Ia malas mengajaknya keluar. “Aduh, maaf sekali, sayang, aku tidak bisa. Aku sudah ada janji terlebih dahulu. Dengan… dengan calon klienku…maaf ya? Bagaimana kalau ditunda lain kali?”

“Mas, aku mohon mas. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pergi denganmu besok.”

“Anissa sayang, aku benar – benar tidak bisa. Bagaimana kalau lusa saja? Atau sore? Sore dan malam aku bebas.”

“Tolong Mas, sekali ini saja aku minta tolong. Aku benar – benar butuh keluar.”

“Anissa, aku tidak bisa… aku kan sudah bilang kalau aku…”

Klik.

Telepon sudah ditutup, membuat Dodit termangu.

Di sisi lain, air mata Anis kembali berurai. Kalau Dodit saja tidak bisa datang dan menyelamatkannya, siapa yang bisa? Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana dia akan melalui hari esok? Perasaannya semakin tidak nyaman. Sejak tidur dengan Udin dia sudah menghindar dari Pak Bejo, tapi orang tua bejat itu terus saja menelpon dan sms, menerornya.

Dia harus pergi dari sini tanpa sepengetahuan siapapun.

Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi.

###

Matahari bersinar terik menghujani bumi.

Keringat deras menghujani tubuh Anissa, kakinya melangkah tertatih. Dia harus lari, dia harus kabur, tidak boleh ada yang tahu dan tidak boleh ada yang mengikuti. Tapi… dia tidak tahu kemana harus pergi…? Kemana…? Anissa kebingungan. Si cantik itu kini tengah berada di trotoar jalan besar yang jauh dari rumah, ia sampai kesini setelah berputar – putar dengan kendaraan umum. Kini ia menghadang bis namun tidak tahu bis tujuan mana yang seharusnya ia naiki.

Anissa memang akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah, dia tidak bisa hidup seperti ini terus menerus, dia harus lepas dari jebakan Pak Bejo walaupun untuk itu dia harus diam – diam pergi dari rumah tanpa sepengetahuan keluarga ataupun Dodit. Semuanya harus dilakukan mendadak, hari ini saja dia harus mengendap – endap keluar melalui jalan belakang. Anissa tidak pernah mau merepotkan keluarganya.

Tinggal di rumah sendiri sudah tidak aman lagi karena Pak Bejo setiap saat bisa tiba – tiba muncul dan menyerang keluarganya. Bukan sekali dua kali saja Pak Bejo mengancam Anis kalau dia akan menyakiti keluarganya seandainya Anis berani macam – macam. Ancaman Pak Bejo jelas tidak main – main dan bukan itu yang diinginkan oleh Anissa. Setelah kondisinya aman nanti, dia baru akan memberitahu keluarganya apa yang terjadi. Dengan begitu mereka bisa mencari cara bagaimana untuk lepas dari tangan Pak Bejo dan preman – premannya.

Ke tempat Ussy? Ya, hanya ke tempat dialah Anissa sepertinya bisa pergi menyelamatkan diri. Itu artinya dia harus naik bis jalur X jurusan X.

Kebetulan! Dia sedang beruntung! Itu ada satu yang datang dari kejauhan! Anissa bergegas bersiap di pinggir jalan, tas berisi pakaian ia siapkan agar mudah dibawa. Hati Anis berdetak kencang seiring datangnya bis kota yang melaju pelan.

Sudah dekat! Anissa kegirangan.

Pegangan tangan Anis makin erat mencengkeram tasnya.

Satu kakinya sudah turun ke jalan dan tangannya siap melambai menghentikan bis.

Tapi sebelum bis itu sampai di tempat Anissa, sebuah mobil kijang berhenti tepat di depan gadis itu. Begitu dekat jaraknya dengan Anis, sampai – sampai gadis itu terperanjat dan mundur.

Pintu tengah mobil terbuka dan seorang pria bertubuh besar melangkah keluar. Jendela depan turun untuk memperlihatkan penumpang di samping sopir, mau tak mau Anis menengok ke depan.

“Mau lari kemana kamu, sayang?” wajah tengik Pak Bejo yang tersenyum keji tiba – tiba muncul ketika jendela depan dibuka.

Anissa menjerit sekencang – kencangnya sebelum ia ditarik masuk ke dalam mobil yang kemudian melaju kencang.

###

“Hari ini panas sekali, ya?”

Suara Alya terdengar sangat merdu di telinga Dodit. Lebih merdu dari lantunan lagu yang dinyanyikan penyanyi di pemutar MP3 mobil. “Iya, Mbak. Panas banget. Maaf AC-ku ternyata agak rusak jadi kurang dingin. Jendelanya sudah dibuka sedikit kan?”

“Sudah. Ya angin dari jendela ini satu – satunya yang bisa bikin agak adem.” Alya mengangkat kepalanya ke dekat jendela untuk menikmati lintasan angin. Saat itu mereka berdua sudah pulang dari belanja dan sedang mengikuti jalan ke arah sekolah Opi. Beruntung jalan tidak macet dan lancar sehingga mobil Dodit bisa melaju cukup kencang.

Tapi entah kenapa tiba – tiba…

“Aduh! Aduh!” Alya menutup matanya dengan tangan.

Dodit pun kaget melihatnya, “Ke… kenapa, Mbak?”

“Aduh, mataku kelilipan!”

Dodit meminggirkan mobir ke trotoar, untung jalan sedang sepi. Dia melepaskan sabuk pengaman, mendekati kepala Alya dan membuka tangan yang mengatup di mata. Dodit memperhatikan mata Alya. Mata indah wanita jelita itu berwarna merah dan mengeluarkan air mata. Rupanya ada satu binatang kecil yang secara tidak sengaja ingin masuk menikmati keindahan mata si cantik itu.

“Sebentar… ada yang masuk…” kata Dodit sambil mendekatkan bibirnya ke mata Alya, “jangan ditutup dulu, Mbak. Aku tiup ya?”

“Iya… iya…”

Fuh! Dodit meniup dan binatang itu pergi.

“Nah, sudah hilang, Mbak.”

“Aduh… terima kasih….” ketika akhirnya bisa membuka mata kembali dengan jelas, wajah Alya memerah. Ternyata dia sangat dekat dengan Dodit! Pemuda itu hampir – hampir memeluknya!

“Sama – sama, Mbak.” Begitu juga Dodit yang wajahnya memerah. Karena posisi duduk yang sempit, tanpa disadari, ternyata tubuh mereka sangat berdekatan nyaris berpelukan. Tangan Dodit menyelinap di sela lengan Alya untuk menyangga sementara tangan lain menahan di pintu.

“Te… terima kasih.” Ucap Alya pelan mengulang ucapan terima kasihnya karena bingung apa yang harus dilakukan. Ia menatap Dodit dengan takut – takut.

Dodit juga menatap Alya dengan penuh perasaan. “Sama… sama…”

Entah spontan entah dorongan alam bawah sadar, kepala Dodit menunduk sedikit, bibirnya membuka dan merekah. Bibir Mbak Alya… basah dan mungil…

“A..apa yang…” ucapan Alya itu tak pernah terselesaikan karena bibirnya segera dilumat oleh Dodit.

Bibir Alya sangat lembut dan terasa manis, lipstiknya tipis dan bentuk bibir yang mungil sangat nyaman dikecup, dipagut dan dilumat. Untuk beberapa saat Alya tak melawan karena sangat terkejut. Dodit memejamkan matanya dan mulai memberanikan diri memanfaatkan kekagetan Alya. Tangannya bergerak nakal menyusuri bahu hingga ke dada Alya. Ia menangkup buah dada istri Hendra itu dan…

Bibir mereka lepas mendadak ketika tangan Alya mendorongnya!

Dodit masih terpejam ketika sebuah tamparan hadir di pipinya! PLAKK!

Dodit terbelalak kebingungan dan keringatnya menetes deras. A – apa yang baru saja ia lakukan? Kenapa dia melakukannya? Demi dewa… kenapa dia melakukannya? Ah, sial! Rasa panas akibat tamparan Alya memang sudah sepantasnya ia terima. Tamparan itu tidak keras, ia tahu Mbak Alya tidak ingin menyakitinya, hanya ingin membangunkannya dari mimpi di siang bolong saja.

Alya mencoba menata hatinya, ini semua kesalahan dan Dodit pasti hanya khilaf saja, ia yakin dan pasti akan hal itu, tidak mungkin membagi hatinya kepada orang lain, terlebih kepada calon adik iparnya. Alya tersenyum sambil mengelus punggung tangan Dodit.

“Jangan diulangi lagi.” Bisik Alya pelan, “itu tadi untuk pertama dan terakhir kali.”

Mendengar suara lembut Alya, Dodit justru semakin tidak karuan, ia merasa jengah telah melakukan hal yang tidak sepantasnya pada wanita cantik yang seharusnya ia anggap sebagai kakak ipar ini. Lihat sekarang, Alya malah memberinya ketenangan setelah menamparnya, bukan memarahinya dengan tudingan lelaki kurang ajar.

“I…. iya, Mbak. A… aku khilaf, Mbak. Aku minta maaf. Aku… aku…”

“Sshh… tak perlu membuat banyak alasan yang akhirnya nanti akan kau sesali lebih dari apa yang telah kau lakukan.” Kata Alya berusaha bijak walaupun dadanya masih terus berdegup dengan kencang. “Lupakan yang sudah berlalu dan jangan pernah kau ungkit kembali.”

“I…. iya, Mbak.”

“Kalau kamu berjanji tidak akan menceritakan apa yang terjadi hari ini kepada orang lain, aku juga tidak akan mengatakan apapun pada siapapun. Yang harus diingat adalah… kita berdua tidak akan pernah bisa mengulanginya lagi karena kita berdua sama – sama tahu, kalau kita mencintai orang lain, telah menjadi milik orang lain dan karenanya tidak bisa mengambil milik orang lain pula seenak perut kita sendiri.”

“I…. iya, Mbak.”

“Ya sudah, sekarang jalan.”

“I…. iya, Mbak.”

Dodit yang gelagapan meraih kunci mobil dengan tangan bergetar dan memutarnya dengan gugup. Ia begitu lega ketika mobil bergetar lembut dan mesinnya menyala, betapa ingin ia segera membawa mobil ini pulang ke rumah. Punggung tangannya berusaha menghapus keringat yang terus menerus turun. Dodit sangat merasa bersalah, sangat. Tapi…

Tapi…

Tapi… bibir mungil Mbak Alya… bibir yang basah itu… begitu manis, begitu lembut, begitu nyaman beradu dengannya. Dodit tersenyum kecil tanpa sepengetahuan Alya, walau bagaimanapun ia tak akan pernah bisa melupakan ciuman yang sangat indah itu.

Alya melirik ke samping, melihat ke arah senyuman seiris di bibir Dodit. Ia memalingkan muka, menatap pemandangan, menyimpan seulas senyum.

Mobil melaju pelan membawa Dodit dan Alya meninggalkan kenangan yang tak akan pernah terulang.

Tak akan pernah.

###

“Saya mau dibawa kemana ini, Pak?” Anis mulai ketakutan melihat mobil melaju kencang menuju daerah yang sama sekali tidak dikenalnya, melaju dan meliuk melewati dearah perbukitan dan masuk ke jalan sepi yang gelap. Satu – satunya penanda yang bisa ia kenali adalah sebuah komplek rumah sakit besar namun Anis tidak yakin rumah sakit apa namanya karena laju kendaraan ini kencang sekali.

Sebenarnya sejak siang tadi mobil ini hanya berputar – putar saja melalui jalan tikus yang berbeda – beda dan belasan kilometer dari tempat Anissa tadi diculik, Pak Bejo ingin membingungkan Anissa supaya ia tidak mengetahui lokasi. Gadis itu bukan orang yang mudah menghapal tempat, sehingga usaha Pak Bejo ini berhasil.

“Sudah diam saja.” kering Pak Bejo menjawab. Wajahnya masih tanpa ekspresi, keras dan kasar.

Mereka sampai di sebuah tempat yang tersembunyi di balik perbukitan, tak jauh dari sebuah rumah sakit dan kompleks lapangan golf. Di tempat itu terdapat banyak sekali gudang – gudang penyimpanan barang pabrik di sepanjang jalan dan kios warung kopi yang berjajar. Mobil Pak Bejo masuk ke sebuah gudang kecil yang letaknya paling ujung dan jauh dari semua keramaian. Tempatnya sendiri tidak besar, bahkan pengap dan gelap. Gudang itu terletak di samping sebuah rumah sangat sangat sederhana dengan dua kamar.

Anissa walaupun kecapekan tetap meronta dan berteriak – teriak tanpa henti ketika digiring masuk ke dalam kamar di dalam rumah itu. Suasananya yang dingin dan gelap membuat Anissa makin ketakutan apalagi tasnya juga direbut salah satu anak buah Pak Bejo.

“Pak, tolong Pak! Kenapa saya disekap di sini? Pak Bejo! Saya mohon, Pak! Bebaskan saya, Pak!”

Tentu saja pintu itu tidak terbuka.

Anissa jatuh terduduk dan menangis sejadi – jadinya.

Siapa yang kini bisa menyelamatkannya?

###

Ruangan yang berada di rumah di sisi sebuah gudang yang ada pinggiran kota itu penuh dengan asap rokok yang mengepul tanpa henti. Wajah – wajah orang yang ada di dalamnya nampak serius, mereka duduk di kursi rotan yang mengelilingi sebuah meja yang menyuguhkan bir dan kacang goreng. Bidak – bidak catur yang belum sempat dibereskan tersebar dimana – mana.

Di ruangan itu, Imron, Pak Kobar dan Pak Bejo bertemu.

Imron geleng – geleng kepala dan memperlihatkan wajah tidak senang. “Aku tidak akan pernah setuju dengan cara seperti ini, Jo. Ini sudah tidak menyenangkan lagi. Aku tidak takut polisi, tapi cara seperti ini akan menggagalkan semua rencana kita. Percuma dong kita memeras dosen sialan itu kalau akhirnya cuma begini? Padahal uang yang masuk sudah ratusan juta! Aku tidak peduli dengan uang, aku hanya tidak mau rugi. Itu saja.”

Pak Kobar mengangguk – angguk setuju, “yang dikatakan Imron benar, Pak Bejo. Kita memang sering memaksa cewek manapun supaya mau dijadikan budak seks. Kita membuat mereka takluk di bawah lutut dan menyembah kita agar mau kita tiduri kapan saja, dimana saja, bagaimanapun caranya. Tapi itu bukan berarti kita akan menculik mereka berhari – hari lamanya. Setelah ini apa yang akan kamu lakukan? Memperkosa mereka, memukuli dan menghajar mereka seperti yang dulu pernah kamu lakukan?!”

“Dasar kalian semua penakut!!” maki Pak Bejo jengkel. “Kakak ipar gadis ini sudah membuatku malu! Kacungnya sudah menghajar anak buahku, berani pula menantangku! Mau ditaruh dimana mukaku ini kalau orang kurang ajar itu melenggang tanpa maaf? Ini adalah balasan yang setimpal! Akan kubuat gadis itu menderita dengan caraku!”

“Caramu sama sekali tidak elegan dan kotor. Aku kan sudah pernah bilang, kalau kamu mau cewek, aku bisa sediakan berapapun, tidak perlu cara menjijikkan seperti ini kamu lakukan! Menculik anak orang, cuih.” balas Imron dengan santai.

“Percayalah padaku, Ron.”

“Tidak. Ini bukan caraku, Bro. Apa yang aku lakukan kotor tapi elegan, tidak seperti yang kamu lakukan ini! Aku memaksa seorang cewek menjadi budakku dengan bermain cinta dan kemauan mereka sendiri, bukan paksaan dan siksaan. Aku tidak ingin ikut campur urusanmu lagi. Aku keluar dari bisnis ini! Maaf, tapi kamu sendirian mulai sekarang.”

Pak Bejo terkejut dan kecewa, “Tapi…”

Pak Kobar ikut mengangguk. “kamu sendirian, Jo. Aku juga tidak mau disangkutpautkan masalah ini. Kamu sudah keterlaluan. Aku tidak mengijinkan gadis itu dibawa lagi ke hotelku. Titik.”

Pak Bejo ambruk dengan lemas, tapi kemudian kerut wajahnya berubah kesal, “kalau kalian tidak mau ikut campur ya sana! Pulang saja! Aku kecewa dengan kalian!”

Imron dan Pak Kobar berdiri dan mengangguk hampir bersamaan. Tidak perlu menjawab pertanyaan orang yang sudah lupa daratan seperti itu. Sepertinya Pak Bejo lupa siapa yang telah menolongnya dulu, siapa yang memberinya uang, siapa yang memberinya makan, siapa yang memberinya penginapan. Orang tua itu hanya ingin mengeruk keuntungan demi keuntungan dengan memperkerjakan Anissa tanpa henti, dia mulai serakah.

Pak Kobar melirik ke arah Udin yang duduk diam di pojok, pemuda itu memang diam saja sedari tadi menyaksikan pertentangan antara Imron dan Pak Kobar melawan Pak Bejo, Udin tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Pak Kobar tersenyum pada keponakannya itu. “Aku tahu kamu masih ingin berada di sini untuk memastikan nasib gadis itu. Jika kamu berubah pikiran, aku masih tetap berada di motel. Tapi ingat, jika polisi menemukanmu, aku tidak akan pernah mengakui pernah menampungmu.”

Udin mengangguk dengan pandangan kosong.

Pak Kobar menepuk pundak Udin dan melangkah menyusul Imron yang sudah berdiri di pintu keluar. Pak Bejo marah – marah melihat kepergian mereka berdua.

“Kalian pikir kalian siapa, hah?? Kalian pikir aku tidak bisa bekerja tanpa kalian? Kalian pikir kalian siapaaa??”

Tidak ada gunanya Pak Bejo berteriak – teriak karena Imron dan Pak Kobar sudah melangkah keluar ruangan, meninggalkannya sendirian.

###