"Dan di saat ke-"aku"-an itu mulai menyerang dan merontokkan segi-segi "kemanusiawian"-ku, maka di saat-saat seperti itulah kelelakianku yang sejati menyeruak dari persinggahannya dan menyerukan keberadaannya."

Surabaya, sepuluh tahun yang lalu.
Pemuda Lee miringkan sedikit tubuhnya, mengangkat dagunya, memastikan kecakapannya terlihat nyata di depan cermin. Sebentar kemudian tangannya sudah terlihat sibuk menarik-narik ujung rambut yang semula begitu rapi di keningnya.
"Kali ini dengan yang benar-benar fresh." Dan Lee tertawa dalam hatinya. Benaknya membayangkan adegan-adegan mesum seperti yang sering dilakukannya bersama gadis-gadis binal itu. Yang sekarang sedikit berbeda. Kali ini benar-benar orisinil. Gadis lugu yang menunggu diajar.Lalu Lee tersenyum setelah melirik bundel uang dalam dompetnya.
"Cukup." Ucapnya dalam hati. Meraih kunci mobil dan melangkah keluar kamar. Lampu-lampu jalan menjadi saksi bisu tekadnya yang menggebu-gebu.
"Kali ini cukup seminggu."
Dan menurutnya itu sudah terlalu lama. Tapi okelah, untuk pemula.
"Sampai sang waktu menamparku, aku takkan pernah bisa menyadari keberadaan takdir yang akan menghampiriku."

"Gia.."
"Lee." Menjawab seraya tersenyum simpul, pemuda itu merasakan kebanggaan itu melambungkan harga dirinya. Memang, dia tak pernah sekalipun dalam hidupnya berkenalan dengan gadis di bawah rata-rata. Dan itulah juga yang terjadi saat ini. Lee dan Gia di hadapannya, gadis yang menantang birahi siapapun yang melihatnya. Gadis yang baru saja ranum, yang belum pernah terjamah oleh tangan-tangan usil. Tapi Lee bukan pemuda sembarangan tanpa strategi. Menurutnya gadis lugu hanya bisa ditaklukkan dalam kepasrahan. Lain tidak. Untuk itu dia harus ekstra hati-hati. Terutama saat menyerahkan boneka beruang itu sebagai tanda perkenalan. Dia tentu saja tak ingin gadis Gia menolak hadiah perkenalannya, dan gadis manapun --termasuk Gia-- adalah tipikal gadis biasa yang merona saat menerima hadiah boneka beruang.
"Thanks, tapi tak perlu."
"Tidak apa-apa, asal kamu bisa tersenyum."
Dan Gia tersenyum. Tersanjung.

"Panah-panah asmara menjeratku, mempermainkanku, bahkan aku tak pernah tersadar dari mimpi-mimpi yang dirangkainya dengan begitu indah. Dan sampai sejauh mana aku bisa mempertanyakan ketulusannya, jika yang kutahu hanyalah kebahagiaan saat-saat kubersamanya?"

Gia belum pernah menemui pemuda seperti Lee, yang menyanjungnya setinggi langit. Membuatnya merasa diperlakukan sebagai seorang wanita seutuhnya di usianya yang masih tergolong remaja. Lee bisa membelainya dengan mesra, mengungkapkan kehangatan itu dalam sanubarinya. Lee bisa mendengarkan semua keluh kesahnya selama berjam-jam tanpa sedikitpun menunjukkan raut kebosanan, untuk kemudian menghiburnya dengan kata-kata indah semanis madu yang bisa membuatnya bermimpi indah semalaman. Lee bisa membuainya dengan lilin-lilin romantis makan malam di restoran mewah dan hadiah-hadiah yang begitu bermakna baginya. Dan Gia tak kuasa menolak saat Lee mengecup bibirnya seminggu kemudian.

"Jangan, Lee."
"Maaf," Lee menundukkan kepalanya dan merautkan wajah bersalahnya yang paling tulus, "Aku sedikit kelewatan."
Gia membenahi kancing-kancing bajunya yang terbuka. Matanya berkaca-kaca saat menatap kekasihnya dengan pandangan kebingungan.
"Maafkan aku, ya?" Lee mengangkat kepalanya dan membenamkan wajahnya ke dalam dekapan si gadis. Gia tak mampu melawan saat kepala itu menempel di buah dadanya. Kehangatan air mata yang mendadak membasahi seragam sekolahnya begitu tulus. Air mata seorang pria yang penuh penyesalan. Tapi Lee tidak mengambil keuntungan terlalu lama. Segala imagi negatif harus disingkirkan terlebih dahulu.
"Ayo kita pulang." Senyum mengembang di sela air mata.
Gia mengangguk lemah. Menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya saat kendaraan itu melaju.

"Lalu perasaan itu datang dan merenggut kewarasanku, membuatku seperti kehilangan akal sehat yang selalu kubanggakan. Tapi kebanggan itu secepat hilangnya secepat kembalinya. Dan kebanggaanku adalah pada letak ke-"aku"-anku."

Siang itu Lee mengeluh. Uang kiriman sudah sangat tipis. Bahkan untuk membeli sebungkus rokok terasa susah mengingat siang nanti ia sudah berjanji dengan Gia untuk makan bersama. Tapi namanya lelaki. Rokok dulu. Wanita belakangan. Dan Lee menimbang-nimbang suatu alasan.

"Aku mau mengajakmu ke sebuah tempat, tapi kamu jangan kecewa." Lee berkata pada Gia usai menjemput si gadis.
"Boleh." Gadis Gia menjawab sekenanya.
Warung mie itu terlihat penuh sesak. Bau keringat menyatu bersama udara bekas hujan yang belum kering. Tapi Gia menghabiskan mie di hadapannya dengan nafsu menggebu, hingga Lee dapat melihat bulir-bulir keringat yang keluar dari kening si gadis.
"Lee, kamu tidak makan? Mau disuapin, ya?"
Tapi Lee hanya terpana. Ia tak pernah melihat kepolosan itu.
Baru sekali ini, rencananya begitu berantakan. Ia semula mengira gadis itu akan menolak lalu akhirnya rencana makan siang mereka batal dan ia bisa menghemat uang sakunya. Ternyata gadis itu justru menikmati makan siangnya dengan gaya yang begitu mempesona. Mempesona?

"Ah, ya. Suapin, dong."
Bahkan Lee tak menghiraukan reputasinya sebagai anak bereputasi saat mata-mata sirik memandangi tangan Gia yang menyuapkan mie ke mulutnya. Ia begitu terpesona. Tapi Lee hanya tertawa seusai mengantar Gia pulang.
"Gadis bodoh."
Keangkuhan itu masih sebegitu kuatnya.

"Waktu menghancurkan dan mengikis kebekuan itu tanpa pernah disadari oleh pembawa cinta yang tersembunyi. Tatkala lagu-lagu burung cinta berkumandang yang ada hanyalah perasaan aku dan dia. Bukan aku lagi seperti diriku sendiri."

Lee merasa pusing, makalah itu lenyap ditelan tumpahan kopi. Ingin rasanya ia menendang kucing budukan tadi namun apa daya si kucing lebih cepat menghilang. Pemuda itu sekarang menekuni komputernya, mencoba mengembalikan empat halaman penuh kata-kata omong kosong yang sudah dirangkainya seharian.
"Lee, aku sedang butuh kamu."
"Wah, aku sibuk. Besok saja."
Tapi justru Lee melewatkan dua jam yang berharga untuk menemani Gia menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya.
"Ini begini, dan ini begitu."
Gia memandang wajah serius Lee sambil tersenyum. Perlahan gadis itu mengecup kening kekasihnya. Begitu mesra.
"Apa-apaan ini?"
"Aku sayang kamu, Lee."
Dan Lee hanya bisa berkata, "Aku juga."

Sejenak ingatan tentang makalah itu terbang lenyap. Berganti kemesraan dan sentuhan kehangatan. Gia membelai Lee dengan penuh kasih dan membiarkan pemuda itu menyusupkan jemarinya ke balik bajunya, memijat dan meremas buah dadanya. Lee terengah dan menikmati rangsangan yang mampir tanpa rencana. Tapi kenikmatan itu terhenti saat Gia mendorong tubuh Lee menjauh. "Jangan kelewatan." Lee tidak mengumpat. Hanya tersenyum. Hanya kebingungan. Karena ia bukan seperti dirinya sendiri. Tapi Lee masih mengeraskan hatinya saat kembali ke dunia makalahnya yang sama sekali belum terselesaikan sekata pun.
"Aku hanya sedikit terlena."
Benarkah itu, Lee?

"Ah Keangkuhanku. Begitu aku memujanya setinggi langit dan bintang. Begitu aku mempertahankannya dalam setiap desing mata pisau yang mencoba meluluhlantakkannya. Begitu aku mencabarkannya walaupun aku tahu musuhnya adalah ambang kehancuran baginya."

Tentu saja benar!!
Lee mulai merisaukan dirinya sendiri saat makalah itu selesai. Satu bulan sudah sangat-sangat jauh dari target yang sudah disiapkan. Dan Lee hanya bisa mendapatkan bibir dan seremas dada.Ah, Lee hanya sedikit "terlena".

Hayo, Lee. Buktikan kalau kamu hanya terlena. Kamu tidak ingin kalau sahabat-sahabatmu seprofesi mentertawakanmu, bukan?
Lee mendenguskan udara dari hidungnya.
Mau bukti kalau itu benar?
"Gia, aku mungkin tak bisa ke rumahmu nanti malam."
"Tapi, Lee. Aku sudah masak semur lidah kesukaan kamu."
Huh. Mau membuatku terlena? Sorry saja.
"Maaf, ya. Aku harus ke kampus sekarang."
"Lee..?"

"Klik.." Dan Lee tersenyum puas. Kalau tidak bisa mendapatkan yang lebih ya ditinggal saja. Lagipula dada sudah merupakan medali perunggu yang lumayan. Dan cara meninggalkan yang paling menyenangkan adalah dengan mencari masalah duluan. Jauhi. Dan nanti malam dia bisa kembali ke pelukan Resky.

Malam yang hangat dan dada telanjang. Lee membiarkan gadis itu melumat kemaluannya. Jemarinya menjambak rambut gadis itu. Menggerakkannya ke atas dan ke bawah. Beberapa saat kemudian Lee sudah menikmati pergumulannya dengan Resky. Gadis itu mengerang saat pemuda Lee menggerakkan pinggulnya dengan lincah, menekan dan menggesek, memenuhi liang kemaluannya dengan kehangatan. Dan Lee tersengat saat puncak rangsangan itu tak bisa dihadangnya.

"Gia.."
Dan ia membayangkan sudut-sudut kamar yang temaram. Sosok gadis yang meringkuk, menangis meratapi ketidakhadirannya di atas tempat tidur. Terisak. Bantal yang basah. Bahu yang berguncang. Mangkuk semur lidah di tempat sampah. Jadi makanan kucing buduk.

"Gia.."
Lee melompat, membiarkan Resky terlena dalam kenikmatan yang telah diberikannya pada gadis itu. Secepat kilat diraihnya handphone dan menelepon Gia.
"Kamu jadi ke sini? Tidak apa, ini kan masih pukul sepuluh."
"Tidak apa-apa?"
"Tidak. Lagipula semur lidahmu masih di kulkas. Tinggal dihangatkan." Entah mengapa Lee merasakan kelegaan itu dalam hatinya. Sangat lega.
Kucing buduk? Enak saja.
Dendam kopi belum lunas, Cing.

"Tanpa terasa sang waktu terus berlari, meninggalkan rona pelangi yang mewarnai kehidupanku dengan pola-pola abstrak. Pola-pola yang memberikanku kenyamanan, semakin melenakanku dalam buaiannya. Tapi sosok keangkuhan itu tetap ada, entah mengapa."

Gila. Sudah dua bulan berlalu. Tapi aku masih belum juga memperoleh kemajuan apapun. Lee mendesah dalam hatinya. Benaknya benar-benar galau.
"Kok lama, Lee?" Salah seorang sahabatnya bertanya.
"Katanya harus pelan-pelan." Lee memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum. Walau tak dapat disembunyikan bahwa senyuman itu palsu.
"Jangan-jangan kamu.. hahahaha."
Tawa yang menyebalkan. Tuduhan yang ngawur.
"Enak saja. Siapa yang bilang begitu?"
Tapi Lee tersentak. Orang hanya marah kalau yang dituduhkan padanya benar adanya.
Baiklah. Desis pemuda Lee sambi berjanji pada dirinya sendiri. Mari kita mengakhiri cerita roman picisan ini.

"Ah pemuda pecinta, seandainya engkau menemukan sosok ketulusan itu dalam diri penaklukmu.."
"Jangan, Lee."
"Maafkan aku, Gia." Lee membalikkan tubuhnya dan bersiap melangkah pergi. Kepalanya terasa begitu pening. Lebih pening tatkala lengan gadis itu memeluk kakinya.
"Jangan tinggalkan Gia sendiri. Please."
Please. Kata yang tak pernah bisa ditahannya. Air mata. Lee mengeraskan hatinya, membiarkan gadis itu terseret bersama langkahnya.
"Lepaskan, Gia!"
"Tidak, Lee. Tidak.."
"Gia."
"Aku salah apa Lee? Aku salah apa?"
Kamu tak salah, Gia. Aku yang salah karena bertemu denganmu. Lee mengeraskan hatinya. Gadis itu masih terseret. Isak tangisnya.

"Lee.."
Pemuda Lee tak tahan lagi, membalikkan tubuhnya dan memegang pundak si gadis Gia. Keras dan setengah mencakar.
"Dengar Gia! Aku tidak mencintaimu. Aku hanya bermain-main."
Gia tersentak dan membeliakkan matanya yang berkaca-kaca. Tiada sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang bergetar. Lee mengangkat tubuhnya dan meraih pegangan pintu.
"Lee.." Kedua lengan itu kini memeluk pinggangnya.
Air mata membasahi pungungnya. Kehangatan dan kesedihan.
Lee berhenti. Keraguan terbersit di hatinya. Terenyuh. Tegakah ia?
"Kulakukan apa pun asal kamu tidak pergi."
Kali ini Lee yang tersentak. Apapun? Apapun??

"Wahai pemuda pecinta, apakah yang kaulihat di balik bening bola mata penaklukmu? Nafsukah? Atau kasih sayang dan ketulusan?"

Gadis Gia membiarkan pemuda itu menelanjanginya, menciumi seluruh bagian-bagian sensitif di tubuhnya. Pemuda yang menggelutinya adalah kecintaannya, buah hatinya. Kekasihnya. Lee mengeluh dan mendesah di balik nafsunya. Bibir Gia bergetar saat jemari pemuda itu menyapu bulu-bulu kemaluannya dan meraba bibir vaginanya yang perlahan membasah. Lee merasakan ketegangan itu. Dia dapat mencium bau keringat seorang perawan yang belum pernah terjamah. Bau yang begitu harum dan menggoda setiap syaraf birahi dalam tubuhnya. Pemuda Lee menempelkan ujung kemaluannya ke permukaan liang kehangatan si gadis Gia. Bersiap menusuk dan merenggut keperawanan itu.

Saat Lee melihat mata Gia. Mata itu terbuka. Menantang penuh kepastian. Lee menekan ujung penisnya. Mata itu masih terbuka. Menantang. Pasti.

--------------

Musik masih mengalun, beberapa pemuda dan pemudi masih bergoyang dengan asyik. Tapi Ray sudah kehilangan pengaruh gin tonik yang sejam lalu masih memanasi otaknya.
"Lalu?"
Bapak di hadapannya tersenyum. Senyuman yang mengandung nuansa kegetiran disamping kerutan di kening dan bawah matanya, menodai jejak-jejak ketampanan yang masih tersisa.
"Sebentar, saya mau ke belakang dulu."
Ray menghembuskan nafasnya. Lega karena tense itu sedikit meregang. Dipandanginya tubuh bapak yang baru dikenalnya satu setengah jam yang lalu. Ray menatap gelas kecil di hadapannya. Mendadak gin tonik itu tidak lagi terasa menggoda.

Pintu kamar mandi membuka. Pemuda berambut panjang itu menyusupkan kepalanya. Tersentak melihat sosok yang membungkuk di depan wastafel.
"Bapak?"

Lee merangkul pemuda itu dan menumpahkan seluruh kepedihan yang tersimpan sepuluh tahun lamanya. Ray terbata. Tak mampu mengatakan sepatah kata pun.

"Bapak..
Bapak meninggalkannya."

Dan Lee hanya terisak.
Ia menceritakan kisah terpendam itu.
Kisah yang membuatnya berubah.
Kisah yang membuatnya meratapi kesepian kehidupannya.
Karena pemuda ini begitu persis dengan dirinya.
Dan Ray sadar itu.
Sangat-sangat sadar, sampai kebingungan.

Caf Pink, bersinar dalam derap musik dan goyangan anak muda.
Tenggelam dalam kepedihan.
Seorang bapak yang pathetic.
Dan seorang pemuda kebingungan.

"Jika kesempatan itu melambai padamu, jangan pernah lari dan menghindar. Karena kesempatan itu berarti kebahagiaan ataupun penyesalan.. untuk selamanya."

TAMAT