"Jadi elo mau cerita apaan dong, Ray?" tanya Zara beberapa menit setelah mereka meninggalkan warung Cak T**** begitu anak-anak gaul menyebut nama warung itu.
Ray termenung, mencoba mencari kata-kata supaya tidak terlalu menjurus. "Eh, coba dech elo ceritain tentang diri elo."
Mendadak raut wajah Zara berubah kelam, "Masa lalu gue kagak indah."
"Indah? Emangnya taman bunga?" Ray mencoba menjernihkan suasana.
Zara tertawa dan meninju lengan Ray yang langsung pura-pura mengaduh.
"Serius nih," ucap Zara kemudian, "Nggak ada yang menarik dari masa lalu gua."
Ray tersenyum, "Ah itu an masa lalu. Kenapa harus dipikirin?"
"Loh, katanya elo pingin tahu?"
"Ye, kalo elo kagak niat cerita ya sudah. Ngapain gua maksa."
"Lalu kerjaan kamu?" tanya Zara ingin tahu.
Ray menoleh dan memamerkan senyumnya, "Kan bisa ngutang dulu."
Gadis di sebelahnya tertawa, "Iya deh, gua cerita."

Memang masa lalu Zara tak ada yang istimewa, hanya anak yang terlahir dalam lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Kedua orang tua kandungnya berpisah saat ia masih berusia sepuluh tahun, lalu ibunya menikah lagi dengan seorang pria asing dari negeri Belanda dan menetap di sana, meninggalkan Zara di Surabaya sendiri. Yah, begitulah. Sedikit klise, menurut Ray.

"Begitu. Membosankan, kan?" tanya Zara sambil melirik ke arah Ray, yang lalu mengeluarkan suara mendengkur. Zara tertawa, "Eh, Ray?"
"Ya?" sahut Ray, "Ada apa?"
"Elo anaknya lucu juga, ya."
Ray langsung merasa jengah. "Ngga juga, ini karena obatnya belum diminum. Kalo udah diminum gua orang yang paling tenang di dunia kok."
"Iya, jadi sleeping ugly." Mereka berdua lalu tertawa terbahak-bahak.
Ray mengemudikan mobilnya mengitari jalanan Surabaya. Lampu-lampu jalanan dan gedung pencakar langit tampak megah di tengah kota. Sejenak suasana di dalam mobil terasa hening.
"Eh, Zara," Ray mencoba mengorek cerita.
"Aku tahu, pasti ada yang melihatku bersama seseorang celeb di salah satu klab malam, bukan? Pasti itu deh yang elo pingin gue ceritain."
Ray langsung belingsatan ditembak kaya begitu, "Kok elo tahu?"
"Ya kan itu yang biasanya dilakukan ama wartawan-wartawan kaya elo."
Ray langsung ngakak, "Iya deh. Kena gua sekarang." Zara tersenyum dan menundukkan kepalanya, "Sebenarnya.."
Ini dia. Ray merasakan jantungnya berdegup kencang. Bukan jantungan, bukan pula ketakutan, tapi membayangkan bonus yang akan diterimanya nanti dari Pak Herman. Duit. Duit. Duit.
"Lalu..cerita saja.."

"Dia itu.. temennya almarhum papa. Kan waktu itu ada acara dengan pejabat-pejabat lainnya. Nah, berhubung tante, Zara manggilnya begitu, sedang keluar negeri bersama ibu-ibu dharma wanita. Maka dia ngajakin Zara. Lagipula Zara kan temen anak ceweknya dia yang kuliah di luar negeri. Begitu loh ceritanya."
Ray melongo, sampe mobilnya nyaris menabrak seekor semut yang melintas cuek. Mendadak bayangan duit melayang dan berubah menjadi raut seekor kepala keledai yang bersuara, "Iiihoo.. iihoo.." Zara melirik dengan tawa tertahan.

"Yeh, tahu begitu.." desah Ray setelah sampai ke depan rumah Zara.
Gadis di depannya memandang dengan wajah sedih, "Jadi elo hanya ingin ceritanya aja, Ray?" Elo kaga mau temenan ama gua?"
Ray langsung kebingungan tidak tahu mesti bilang apa, "Eh, maksud gue.."
Zara mendadak tertawa, "Kena elo!!"
Ray langsung mengumpat kalang kabut.
"Tapi enak kok Ray, ngobrol ama elo. Lagipula warung tadi asyik juga."
Ray kontan mesam-mesem, "Udah deh. Gua pulang dulu."
"Err, Ray. Kamu nggak masuk dulu?"
Ray langsung kaget sambil ngucapin syukur berulang-ulang dalam hatinya. Gue baru kejatuhan bintang apaan nih, pikir cowok gokil itu dalam hati. "Ngga ah. Udah malem," Ray pura-pura alim.
"Udah pada bobok, kok."
Alhasil, akhirnya Ray sudah nongkrong di sofa ruang tamu Zara untuk yang ketiga kalinya hari ini. Sementara Zara berganti pakaian, Ray mencoba mikirin apa yang ngebuat dia bisa ada di rumah itu pukul satu pagi kaya begitu. "Lama, Ray?" suara Zara mengejutkan Ray yang masih memikir-mikir. Yah, lagi-lagi Ray tidak bisa berkutik melihat bidadari di depannya yang sudah memakai pakaian tipis tanpa lengan dan celana pendek seperti tadi siang. Langsung saja pikiran kotornya melayang kemana-mana, sampai Pak Udin yang masih asyik nongkrong di jamban bisa merasakan getarannya dan langsung bersiap-siap dengan jurus WCW-nya.

"Begini kan enak, dingin," ucap Zara sambil mengibas rambut panjangnya. Ray merasa tenggorokannya kering seperti musim kemarau. Zara tertawa saat melihat Ray yang celingukan gelisah. "Nyantai aja, Ray.. gua kaga nggigit kok."
"Eh," Ray langsung kumat gatelnya, "Nggigit juga kaga pa-pa."
"Hihihi," tawa Zara, "Beneran nih nggak pa-pa?"
"Suer deh," sahut Ray pendek. Maksudnya sih cuman bergurau, tapi malah mendadak Zara mendekat dan menempelkan bibirnya ke bibir Ray. Ngecup, lalu nggigit. Pelan, sedikit sakit, tapi cukup membuat Ray gelagapan.
"Hkk.. eh.. eh.." Zara melepaskan pagutannya lalu tertawa kecil. Ray bisa merasakan bau nafas cewek itu di hidungnya. Otomatis, senjatanya mulai "in charge". Tapi sesuatu mengusik benak Ray.
"Jangan, ah," ucap Ray pendek.
Zara tersenyum, "Katanya ngga pa-pa."
"Hehehe," Ray terkekeh, "Gua cuman kaga mau aja."
"Elo lucu deh," tukas Zara lalu bersandar ke kursi dan mengangkat kedua lengannya ke belakang kepala. Ray menelan ludahnya ngeliat kulit lengan Zara yang putih mulus dan dadanya yang mengundang. Posisi cewek yang kaya gitu kan posisi cakep-cakepnya cewek. Gimana coba bisa ngga tergoda.

"Sini, Ray. Temenin gua." Namanya juga manusia normal. Akhirnya Ray KO juga. Langsung saja tanpa banyak tanya dia nyosor Zara yang kontan cekikikan geli saat bibir Ray menelusuri kulitnya. Beberapa saat kemudian Ray sudah dengan cekatan melepas seluruh pakaian yang menutupi tubuh Zara, mencium satu demi satu buah dada Zara dengan kagum yang nggak abis-abis. Zara kontang mengerang-erang kegelian dijilati oleh Ray, "Geli bego."
Ray ketawa aja, "Tapi enak, kan."
"Sini, Zara bantuin," ucap gadis itu lalu mendudukkan dirinya dan membantu Ray melepaskan baju dan celananya. Sementara Ray tidak bosan-bosan melihat tubuh telanjang Zara di sebelahnya, "Gila, man. Bagus banget."
"Apa, Ray?" Zara mengangkat kepalanya. "Ngga pa-pa," Ray menjawab cepat. Sekejap kemudian kedua orang itu sudah bergumul di atas sofa.
"Pelan-pelan dong, Ray. Buru-buru amat sih." Zara mengeluh.
"Iya..iya..," Ray langsung memiringkan tubuhnya lalu menyusupkan jemarinya ke dalam kemaluan Zara yang langsung mendesah nggak karuan. Ray yang sudah hot tidak mau nunggu lama-lama, "Gue langsung yah?" Zara tertawa kecil lalu nganggukin kepalanya, "Iya deh."
Kontan Ray berseru, "Yuhuu!" sambil mengangkat tubuhnya ke atas tubuh Zara.
"Gila elo, mau make love masih gokil abis," tawa Zara. Ray cuek abis, langsung saja menancapkan senjatanya ke kemaluan Zara yang emang sudah basah sejak tadi.
"Aduh, Ray. Jangan kenceng-kenceng. Aww!!"

"Elo tau kagak, Ray," bisik Zara di dada Ray yang sudah kecapean.
"Ada apa?" tanya Ray, masih memikirkan dua hal. Satu, kok dia bisa sampai making love dengan Zara. Dua, ternyata making love di sofa itu makan energi banyak juga.
"Ray, lo dengerin kagak sih?" ucap Zara dengan nada kesal.
Ray mengangkat lengannya terus membelai rambut Zara, "Iya, gue dengerin."
"Benernya sih, gue emang simpanannya itu oom-oom. Tapi gua dilarang ngomong sama siapa-siapa. Terus dia ngelarang gua keluar ama siapa-siapa juga. Makanya, Ray. Gua seneng banget punya temen kayak elo. Walau kita baru kenalan hari ini, tapi gua udah seneng banget, soalnya elo anaknya hangat dan menyenangkan. Oh, ya. Kalo elo mau gue ceritain, pasti dech gua ceritain. Apa aja. Elo tinggal nanya."

Ray sejenak ngerasa ketipu. Tapi Ray berusaha tetap cuek.
"Kamu kok mau saja dijadiin simpenan dia?"
"Gue ini anak desa, Ray. Bokap nyokap gua di desa cuman petani buruh. Itu oom yang nemuin gua di desa waktu lagi ada kunjungan. Trus dia ngeboyong gua ke sini. Mau gimana lagi, Ray. Gua kan nggak bisa apa-apa. Untung-untungan deh bisa ngidupin ortu di desa. Ini rumah semua dari dia, pembantu, sopir, tapi mereka semua udah jadi temen-temennya Zara, soalnya Zara kan nggak boleh keluar ke mana-mana. Makanya, kemarin siang Zara udah minta tolong ama mereka supaya ngijinin Zara sekali aja buat keluar ama orang lain."
Mau tidak mau Ray trenyuh mendengarkan penuturan itu.
"Yang ini beneran, nih?"
"Suer deh. Tanyain aja ama mereka kalo elo nggak percaya."
Gue percaya kok, jawab Ray dalam hatinya. Lalu membelai lembut rambut Zara. Gadis malang, pikir Ray dalam hati.

Jay membelalakan matanya mendengar cerita Ray.
"Gile. Sungguhan tuh, Ray?"
"Yap," sahut Ray pendek. Badannya masih ngerasa pegel-pegel.
"Trus, elo bakal muat tuh cerita di tabloid?"
Ray narik nafasnya dalam-dalam, "Kayaknya nggak deh, Jay. Kasihan Zara. Soalnya cuman satu pejabat yang kaya gitu, kalaupun pake nama samaran pasti deh ketauan. Jika kita muat ceritanya, bisa-bisa gempar deh Surabaya."
Jay langsung panik, "Trus gimana dong ama monster itu?"
"Hehehe," Ray ngakak, "Gue udah ada cerita buat dia."
"Hah?" sahut Jay terheran-heran.

"..iya. Begitu, Pak. Ternyata cuman temennya almarhum babenya."
Pak Herman langsung manggut-manggut, "O, begitu ya."
"Iya, Pak," sahut Ray sambil mengedipkan mata ke arah Jay yang sudah berkeringat dingin, "Iya kan Jay?" Jay langsung mengangguk.
"Trus, uang goban yang kemarin gua sanguin masih sisa kagak?"
Ray langsung cengengesan, "Buat minum teh, Pak. Sosro, loh."
Jay bergegas ngacir sebelum kena getahnya.

TAMAT