Sebenarnya hari Minggu itu aku tidak memiliki rencana pergi kemana-mana, karena pacarku sedang lembur di kantornya. Namun karena sedang malas di rumah dan baru saja gajian, akhirnya terlintas di pikiranku untuk jalan-jalan ke Bogor. Aku pun mencoba mengajak Ibu dan adik-adikku pergi.
“Kayaknya Ibu lagi nggak bisa ikut Teh… Lagi banyak kerjaan di rumah nih…” jawab Ibu beralasan sambil meneruskan mencuci pakaian.
Sekarang aku hanya bisa berharap kalau adik-adikku mau diajak pergi ke Bogor. Di luar dugaanku, ternyata jawaban mereka juga mengecewakan. Winnie tidak mau aku ajak pergi karena ingin bermalas-malasan di rumah saja, sedangkan Amar dan Dewi juga sudah ada janji dengan teman-temannya.
Walaupun tidak ada yang bisa menemaniku, aku tetap memutuskan untuk pergi seorang diri saja karena sedang malas menghabiskan waktu di rumah. Apalagi dengan pertimbangan hari masih sangat pagi, sehingga menurut perkiraanku walaupun naik kendaraan umum aku bisa sampai di kota Bogor sebelum makan siang. Sebenarnya aku sangat jarang pergi sendirian seperti ini, karena sudah terbiasa ditemani oleh pacar, teman maupun keluargaku.
Setelah selesai mandi dan berpakaian aku pun segera berpamitan kepada Ibu. Aku sengaja tidak bilang ke pacarku kalau aku akan pergi sendirian ke Bogor, karena dia pasti tidak akan mengizinkanku. Setelah naik angkot dari rumahku, aku pun sampai di jalan utama untuk menunggu bis yang akan mengantarku ke Bogor. Tidak berapa lama aku berdiri, bis yang aku nantikan pun datang.
Sungguh beruntung bis tersebut tidak terlalu penuh, sehingga aku dapat memilih tempat duduk sesuai dengan keinginanku. Walaupun bangku di barisan depan cenderung masih kosong, aku tetap memutuskan untuk mengambil duduk di pojok belakang. Memang sengaja aku mengambil tempat duduk di sana, supaya aku bisa tidur tanpa harus terganggu oleh orang lain.
Kalau dipikir lagi, mungkin aku nekat melakukan hal ini karena aku sudah sangat suntuk di rumah dan ingin sekali-sekali mencoba hal yang baru. Apalagi aku juga sudah cukup sering pergi ke Bogor bersama keluargaku, jadi aku tidak takut akan tersesat di sana. Namun memang ini adalah pertama kalinya aku bepergian ke Bogor dengan menggunakan kendaraan umum.
Setibanya di Bogor, aku langsung memanfaatkan waktu dengan berkeliling kota yang cukup terkenal dengan wisata belanja dan kulinernya. Tujuan pertamaku adalah factory outlet di sepanjang jalan utama. Yang namanya berbelanja memang sering membuat orang lupa waktu, tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul dua siang. Aku lalu bersiap untuk mencari makan siang sebelum melanjutkan perjalanan.
Hari itu aku memakai pakaian yang terbilang cukup sopan, kaos putih ketat yang aku tutupi dengan jaket dipadukan dengan bawahan celana panjang berwarna abu-abu. Walaupun begitu, tetap saja masih banyak laki-laki iseng yang mencoba untuk menggodaku. Namun tentu saja tidak ada satupun yang aku hiraukan.
Setelah cukup puas berkeliling kota Bogor sendirian, aku pun berniat untuk pulang ke rumahku di kawasan Cibubur. Kalau tidak salah saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Karena takut kemalaman, dengan tergesa-gesa aku menuju ke jalan utama untuk menyetop angkot yang akan mengantarku ke terminal bis.
“Macet banget sih… Udah kayak di Jakarta aja…” aku bergumam melihat banyaknya angkot memenuhi kota Bogor.
Karena merasa yakin kalau semua angkot akan melewati terminal, maka tanpa bertanya terlebih dahulu aku pun menaiki salah satu angkot yang sudah hampir terisi penuh dan bersiap untuk jalan. Dan benar saja, tidak berapa lama setelah aku duduk, angkot yang kutumpangi ini pun berangkat. Namun setelah sekitar 15 menit perjalanan, aku merasa kalau jalan yang dilewati oleh angkot ini bukanlah jalan yang kukenal.
Setelah aku bertanya kepada Ibu yang duduk di sebelahku, baru aku sadar kalau ternyata aku telah salah naik angkot. Dari penjelasan yang diberikan oleh beliau, aku harus berhenti di perempatan selanjutnya untuk kemudian berganti angkot. Namun belum juga sampai di perempatan, Ibu yang baik hati tadi berpamitan padaku karena sudah bersiap-siap ingin turun. Aku pun tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada beliau.
“Aduuh… Kok bisa-bisanya aku sampe salah naik angkot sih!?” aku berkata dalam hati menyesali kecerobohanku.
Selagi aku sedang melihat-lihat jalanan melalui jendela, tiba-tiba angkot berhenti dan dari pintu naiklah seorang pengamen. Aku tidak sempat memperhatikan penampilannya secara seksama, karena aku masih terus berkonsentrasi melihat ke arah jalanan supaya tidak semakin tersesat. Tetapi secara sekilas pengamen tersebut masih muda, dan bertubuh kecil. Aku juga masih ingat kalau dia menyanyi dengan suara yang tidak ada bagus-bagusnya.
“Bukannya ngehibur malah bikin tambah pusing aja nih pengamen…!” omelku dalam hati.
Untung saja aku pun akhirnya tiba di perempatan yang dimaksud oleh Ibu tadi. Seperti tidak ingin kehilangan waktu, aku segera turun dan membayar ongkos angkot. Tetapi karena daerah ini memang belum pernah aku lewati, aku semakin bertambah bingung harus menyetop angkot yang ke arah mana. Mau bertanya juga sudah tidak ada orang di tempatku menunggu.
“Bade kamana Teh?” tentu saja aku terkejut karena tiba-tiba saja ada suara laki-laki di belakangku bertanya dengan menggunakan bahasa Sunda.
“Emmh… Mau pulang ke rumah…” aku yang memang masih ada keturunan Sunda menjawab seadanya.
Sebenarnya aku cukup takut dengan penampilan laki-laki yang bertanya padaku ini, apalagi ditambah suasana sekitar yang sudah semakin gelap. Di belakang laki-laki tersebut ada dua orang temannya yang salah satunya ternyata adalah pengamen di dalam angkotku tadi.
“Teteh kasasab nya?” tanyanya lagi.
“Nggak kok…” jawabku berbohong kali ini dengan tatapan galak berharap laki-laki tersebut tidak akan bertanya apa-apa lagi.
Karena takut mereka akan berbuat jahat, aku pun berniat untuk pergi ke seberang jalan. Namun karena masih dalam keadaan takut, ketika hendak menyeberang aku terserempet oleh motor yang langsung kabur tanpa mau bertanggung-jawab terlebih dahulu. Tas dan barang belanjaanku sampai jatuh berserakan ke jalan, namun untung saja saat itu tidak ada kendaraan yang melintas.
Walaupun lukanya tidak parah, namun celana panjang yang aku gunakan sampai robek di bagian lutut. Setelah beberapa menit aku baru sadar kalau selain lututku yang berdarah, telapak tanganku yang sebelah kiri juga sedikit mengalami luka akibat menahan tubuhku yang jatuh ke aspal. Memang tidak ada bagian dari tangan maupun kakiku yang darahnya keluar dalam jumlah banyak, namun tetap saja aku takut kalau sampai terjadi infeksi.
Saat itu aku sudah pasrah saja bila tidak ada orang yang akan menolongku, karena tempatku tertabrak tadi cukup sepi. Untung saja ternyata ketiga laki-laki bertampang seram tadi memiliki sifat yang berbeda dengan penampilannya. Tanpa perlu aku meminta tolong, ketiganya berinisiatif untuk melihat keadaanku. Dua orang membantuku hingga sampai ke tempat yang cukup aman, sedangkan seorang lagi mengangkat barang bawaanku.
“Aduuuuuh…” aku mulai meringis kesakitan.
“Kunaon Teh? Raheut nya? Hoyong diobatin sarua urang?” tanya salah satu dari tiga orang tadi yang berperawakan gemuk dan memakai topi.
“I-iya bo-boleh…” aku sudah tidak memikirkan lagi mereka akan berbuat apa terhadapku karena luka ini memang harus segera diobati.
Tanpa membuang waktu lagi, dengan berhati-hati aku pun digotong oleh mereka lalu dibawa masuk ke dalam gang yang tidak jauh dari tempat tadi, hingga akhirnya aku pun sampai di sebuah rumah kecil dan kumuh. Setibanya di dalam rumah tersebut, aku dibaringkan di atas tikar yang sudah lusuh.
Salah seorang dari mereka membawakan aku minum, sedangkan yang lainnya membersihkan lukaku dengan air. Walaupun mereka hanya merawatku dengan peralatan seadanya, namun rasa perih di telapak tangan serta lututku sudah mulai hilang. Merasa kondisiku sudah lebih baik, aku pun bangkit dari posisi tidur hingga sekarang sudah duduk bersila.
“Makasih banget yah…” ucapku kepada mereka bertiga yang hanya dijawab oleh anggukan dan senyuman.
Aku yang merasa berhutang budi karena sudah ditolong oleh mereka, akhirnya memutuskan untuk memperkenalkan diri. Ternyata laki-laki yang pertama kali bertanya padaku bernama Dadan, rambutnya keriting seperti penyanyi Ahmad Albar namun dengan wajah yang jauh lebih seram. Usia Dadan masih 16 tahun. Satu lagi yang bertubuh sedikit gemuk dan memakai topi bernama Eman, dia juga seumuran dengan Dadan. Yang terakhir, si pengamen di dalam angkotku bernama Ujang, umurnya memang paling muda di antara mereka bertiga, yaitu masih 13 tahun. Wajar saja kalau dia memiliki tubuh paling kecil dibanding teman-temannya.
Dari obrolan kami berempat, aku bisa mengetahui kalau mereka ternyata adalah anak baik dan sopan namun hanya nasib mereka saja yang membuat ketiganya menjadi anak-anak jalanan. Perasan aneh mulai menjalari tubuhku karena mereka bertiga mengamatiku dengan tatapan lapar. Namun lama-lama aku menjadi terbiasa dan sekarang mereka yang menjadi malu sendiri.
Melihat tingkah laku ketiga anak jalanan tersebut, justru membuatku ingin terus menggoda mereka. Hitung-hitung sebagai balas jasa mereka yang telah merawatku. Supaya tidak terlihat murahan, aku berpura-pura meringis-ringis minta perhatian ke mereka bertiga walaupun aku sudah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu saja mereka semakin berani memegang lutut dan tanganku, bahkan hingga ke bagian yang tidak terluka.
Kadang mereka sedikit berbasa-basi “Peurih bagian nu mananya Teh?”
Tetapi sepertinya mereka sudah mulai merasa kalau aku memang sengaja menggoda mereka bertiga. Kadang-kadang mereka seperti jual mahal, namun mata mereka masih terus memperhatikan wajah serta tubuhku. Aku pun mulai beraksi dengan membuka jaketku hingga sekarang bagian atas tubuhku hanya tertutup oleh kaos putih yang ketat.
Buruknya wajah mereka bertiga yang justru menjadi sensasi tersendiri bagiku. Raut wajah Dadan, Eman dan Ujang sungguh seperti orang yang sudah dikuasai hawa nafsu. Namun mungkin karena mereka masih menghormati aku sebagai perempuan yang lebih tua umurnya, maka mereka tidak ada yang berani untuk bertindak aneh-aneh.
Melihat mereka masih belum ada yang berinisiatif untuk melakukan hal yang lebih jauh lagi, maka aku pun terus berusaha untuk memancing mereka.
“Kalian udah pada punya pacar belum?” aku memulai pertanyaanku.
“Urang sarua si Eman enggeus boga Teh…” jawab Dadan.
“Kalo kamu Jang?” tanyaku kepada Ujang.
“Ujang mah tacan atuh Teh… Kan Ujang masih budak leutik…” jawab Ujang sambil tersenyum polos.
“Cakep yah pacar kalian?” lanjutku sambil melihat bergantian ke arah Dadan dan Eman.
“Yah henteu lah Teh… Mana meureun urang bisa nyaho awewe geulis…” sahut Dadan dengan logat Sunda yang kental.
“Bener Teh… Enggeus bagus masih aya awewe nu hoyong… Hehehehe…” timpal Eman sambil tertawa yang semakin memperlihatkan giginya yang hitam.
“Kalo Teteh cakep nggak? ” pancingku.
“Teteh mah geulis pisan atuh…!!” jawab mereka bertiga hampir serempak sehingga membuat kami tertawa.
Merasa suasana sudah semakin akrab, aku mendekati Dadan yang sepertinya paling berpengalaman dibandingkan kedua temannya. Kemudian aku menaruh tangan ke bahunya lalu menatap wajahnya yang jauh dari tampan. Aku sadar kalau laki-laki ditatap seperti itu pasti mereka akan menjadi salah tingkah.
Sesuai dengan rencanaku, Dadan yang sudah tidak dapat menahan nafsunya langsung melumat bibirku. Mungkin karena ingin melihat reaksiku, pertama-tama Dadan hanya sekedar mencium bibirku saja. Namun setelah melihat tidak ada penolakan dariku, lidahnya langsung berusaha masuk ke dalam mulutku.
Aku dan Dadan mulai berciuman dengan lebih bergairah. Lidahnya bermain dengan liar di dalam mulutku hingga liur kami menetes-netes di pinggir mulut. Perasaan geli, jijik dan nikmat bercampur menjadi satu bersamaan dengan gejolak birahiku yang mulai naik. Dadan semakin membangkitkan gairahku ketika tangannya meremas-remas payudaraku dari luar.
“Emmmmmmhh…” aku mendesah saat tangan kasarnya mulai menyusup ke bagian dalam bajuku.
Ketika melirik ke arah Eman dan Ujang, mereka hanya diam menyaksikan temannya sedang bermesraan denganku. Namun karena sudah tidak tahan, Eman yang memang sudah lebih dewasa dan mengerti dari Ujang, berpindah duduk ke belakangku. Lalu dia mulai mengelus-elus punggung serta pahaku yang masih tertutup pakaian lengkap. Dikerubuti oleh dua orang seperti itu membuat detak jantungku bertambah kencang serta nafasku semakin memburu.
Yang satu mencium bibir dan meraba-raba payudaraku dari depan, sedangkan yang satu lagi memegang pahaku dari belakang sambil terkadang menciumi leher mulusku. Terkadang begitu ada kesempatan Eman langsung bergantian dengan Dadan untuk meremas-remas payudaraku. Namun berbeda dengan Dadan yang meraba payudaraku dengan pelan, Eman meremasnya dengan kencang, padahal saat itu masih ada bra-nya sehingga membuatku merasa sedikit kesakitan.
“Uuuuh… Pelan-pelan dong…!” aku sempat kesal juga dengan perlakuan Eman.
Namun karena aku terdengar marah, Dadan dan Eman menghentikan perbuatan mereka berdua. Padahal maksudku agar Eman tidak terlalu kencang meremas kedua payudaraku. Namun kesempatan ini aku manfaatkan untuk membuka bajuku. Mata Dadan melihat tubuh bagian atasku yang hanya tertutup bra dengan tatapan nakal sehingga membuat jantungku semakin berdebar.
Apalagi ketika aku dengan gaya menggoda mulai membuka bra hitam milikku, mata Dadan terlihat semakin membesar dan mulutnya terbuka lebar.
“Kenapa Dan? Mau coba megang?” tanyaku tanpa rasa malu.
“Me-memangnya dibere ku Te-teteh?” kata Dadan dengan tergagap-gagap.
“Ya iyalah boleh…” kataku sedikit kesal karena Dadan masih saja bersikap lugu.
Diberi kesempatan seperti ini, tentu saja tidak disia-siakan oleh Dadan. Pelan namun pasti, tangannya mulai bergerak ke arah payudaraku yang sudah tanpa penutup apa-apa lagi. Pertama-tama tangannya yang kasar hanya menempel di permukaan payudaraku saja, tetapi semakin lama dia semakin berani. Mulai dari memegang dan memilin-milin putingku yang berwarna coklat, hingga meraba dan meremas seluruh permukaan payudaraku.
Namun yang membuatku terkejut, tidak lama setelah itu tangannya berganti dengan mulutnya. Lidahnya menempel di putingku. Terasa geli bercampur dengan nikmat, apalagi saat putingku disedot olehnya. Sepertinya Dadan sudah terbiasa melakukan hal ini dengan pacarnya.
Eman yang tidak mau ketinggalan dengan temannya, bergantian untuk berciuman denganku. Bibirnya yang tebal itu mulai melumat habis bibirku. Tetapi perlu diakui kalau ternyata lebih enak berciuman dengan Eman dibandingkan dengan Dadan, karena dia terlihat lebih ahli. Selagi aku melayani dua orang ini, ternyata Ujang yang tadinya kupikir tidak mau ikut-ikutan karena masih terlalu kecil, mulai mengelus-elus seluruh bagian tubuhku yang lain dari arah belakang.
“Teh Tita… Dileupas atuh calananya…” bisik Ujang di telingaku yang benar-benar membuatku terkesima sesaat.
“Kirain si Ujang masih polos… Taunya sama juga…” aku berkata dalam hati.
Dengan perlahan-lahan aku menaikkan pantat untuk memudahkanku membuka celana panjang. Dengan tidak sabaran Ujang pindah ke depan, kemudian dia ikut membantuku membuka celana panjang beserta celana dalam milikku lalu melemparnya cukup jauh. Kini hanya tinggal jam tanganku saja yang masih tersisa. Namun kelihatannya hal tersebut tidak menjadi masalah, karena bagian lain dari tubuhku yang putih mulus sudah terpampang jelas di depan ketiga anak jalanan ini.
“Teh Tita beuki geulis lamun taranjang… Hehehe…” kata Eman sambil tertawa melecehkan.
“Bodas pisan euy awakna Teh Tita…!! Jadi beuki mangkrang ieu…!!” Dadan ikut menimpali.
Tawa dan ejekan nakal mereka karena pada akhirnya dapat menyaksikan tubuhku yang dalam keadaan polos tidak membuatku marah. Hal tersebut justru menyebabkan aku semakin menginginkan mereka bertiga menikmati tubuhku lebih jauh lagi dari yang sebelumnya.
“Kalian juga telanjang dong…” aku menantang mereka supaya ikut melepaskan pakaian.
Dengan segera, mereka semua membuka pakaian lusuh yang menempel di tubuh mereka. Yang terjadi selanjutnya bener-bener membuatku terkesima, yaitu aku melihat kalau ukuran penis milik mereka bertiga cukup besar untuk anak seusia mereka. Memang tidak sepanjang penis milik adikku, namun diameternya lebih besar dan berwarna lebih hitam. Paling hanya milik Ujang saja yang masih seperti penis anak-anak, kira-kira hanya mencapai 12 cm saja dengan bulu-bulu kemaluan yang masih baru tumbuh.
Setelah kami semua sudah dalam keadaan telanjang, permainan pun dilanjutkan. Anak-anak berusia tanggung tersebut mulai mengerayangi tubuhku lagi.
“Teh Tita cicing wae nya… Antep urang tiluan nu puaskeun…” perintah Dadan kepadaku.
Aku hanya dapat mengangguk lemah. Seolah sudah mendapatkan persetujuan dariku untuk berbuat apapun, tiba-tiba Dadan langsung merebahkanku hingga aku kembali ke posisi tiduran. Dadan mengangkat kaki sebelah kananku lalu dia taruh di pundak kirinya. Kemudian tangannya langsung meraba-raba bibir vaginaku yang mulai basah sambil jari telunjuknya mencoba untuk masuk.
Sesekali jari-jarinya bergerak ke atas dan bawah menelusuri lembah kenikmatan milikku. Tidak cukup puas hanya memainkan vaginaku saja, mulut Dadan lalu menghisap pelan puting payudaraku. Perlakuan Dadan membuat aku semakin merasa terbang saja. Semakin lama tangan Dadan yang menempel di vaginaku bergerak semakin liar, jari-jarinya dengan cekatan memainkan klitorisku.
“Mmmmmhh… Aaaaaaaaaaah…” aku sudah tidak dapat lagi menahan desahanku akibat permainan Dadan.
Melihat temannya yang sudah kembali menikmati tubuhku, Eman sepertinya juga sudah tidak tahan lagi untuk ikut mencicipinya. Dia mengambil posisi jongkok di sebelah Dadan, kemudian Eman meminta Dadan untuk menggeser posisinya agar dia juga dapat menikmati vaginaku.
Namun ketika aku mengira Eman akan menggunakan jari-jarinya juga, dia malah mencium dan menjilati vaginaku yang sudah semakin basah. Melihat vaginaku yang tidak berbulu dan sudah dalam keadaan basah pasti membuat Eman tidak tahan untuk menikmatinya dengan mulut.
“Aaaaaahhh… Ooouuuuhhh… Aaaaaaaaahhh…!!” aku mengerang saat lidah hangat Eman menjilati belahan vaginaku serta mencoba untuk masuk.
Lidah Eman mulai bermain lebih cepat di bibir vaginaku, kurasakan nafasnya berhembus di vaginaku disusul sapuan lidahnya pada bibir vaginaku yang menyebabkan tubuhku menggelinjang nikmat.
“Aaaaaaaaahh…!! Te-teruuss Maaaan!! E-enaaaaak…!! I-iyaaaaahhh…!!” erangku ketika Eman dengan nakal menyedot klitorisku dan menyeruput cairan cintaku yang keluar semakin banyak.
Sementara itu jari milik Dadan juga masih bermain di klitorisku. Sungguh perasaan yang luar biasa nikmat. Tubuhku sampai bergerak-gerak semakin tidak beraturan karena menikmati yang dilakukan oleh mereka berdua.
Karena penasaran dengan yang mereka berdua lakukan, dengan sengaja aku mengangkat tubuhku lalu bertumpu pada kedua siku tanganku, sehingga kini aku dapat melihat lebih jelas wajah Eman dan Dadan yang penuh nafsu saat melumat vagina dan payudaraku.
Setelah sekitar 15 menit mereka berdua memainkan payudara serta vaginaku, aku mulai merasa sedikit lagi akan mencapai orgasme.
“Ooouuugghhhh… Teruuuuussss… …!! Teteeeeeeh mauuuu keluaaaaaaar…!!!” aku mengerang kencang dengan badan melengkung ke belakang ketika akhirnya aku merasakan orgasme yang luar biasa.
Kami bertiga saling bertatapan dengan senyum penuh arti, kemudian dengan bergantian Dadan dan Eman melumat bibirku dengan mesra.
“Jang…! Ulah cicing wae… Hayu milu atuh…!” ajak Dadan ketika sadar kalau dari tadi Ujang hanya berdiam diri saja.
“Lain kitu Kang… Ujang dagoan Kang Dadan jeung Kang Eman nganggeuskeun ngaletak henceut Teh Tita…” kata Ujang.
Aku yang tadinya juga heran kenapa Ujang tidak ikut menikmati tubuhku, akhirnya dapat mengerti kalau ternyata dia tidak ingin berebut dengan teman-temannya untuk bermain di vaginaku.
“Hahahaha… Aya-aya wae si Ujang… Hayu lah kadieu…!” panggil Dadan sambil terus tertawa.
Dengan wajah senang Ujang mendekati vaginaku yang memang menjadi incarannya. Pertama-tama dia meraba dan mengelus pahaku yang begitu halus dan putih. Aku menggelinjang kecil karena kaget dan juga merasakan kenikmatan yang menjalar diseluruh bagian tubuh. Selanjutnya mulut Ujang mendekati kakiku, kemudian diciumi dan dijilatinya kedua paha mulusku secara bergantian hingga menuju ke atas.
‘Sluuurp… Sluuuuurppp…’ terdengar olehku bunyi jilatan Ujang ketika lidahnya sudah berada di kemaluanku yang masih sangat basah akibat perlakuan dua temannya.
“Hmmmmm… Ujaaaaang… Aaaaaahh…” sungguh hal tersebut membuatku mendesah lemah.
Sementara itu Dadan dan Eman yang sudah puas menikmati kemaluanku, mulai menjelajahi tubuh bagian atasku. Tangan-tangan kasar mereka tidak henti-hentinya menjamahi tubuhku. Sepertinya tidak ada satu pun bagian tubuh milikku yang ingin dilewatkan oleh mereka. Aku hanya bisa memejamkan mata merasakan mereka bertiga meremas-remas kedua payudaraku, memilin-milin putingku serta menjilati vaginaku.
Mendapat serangan dari atas dan bawah oleh tiga orang sekaligus, tubuhku semakin menggeliat-geliat dengan liarnya.
“Ooohhhh… Ssssshhhhh… Aaaagghhhh…” aku melenguh menikmatinya.
“Sluuuurrpp… Seungit pisan euy henceut Teh Tita… Sluuuurp…” gumam Ujang sambil terus menjilati dan menghisap-hisap vaginaku.
“Awaknya oge seungit…! Pinareupnya sanajan leutik tapi ngeunahkeun…!!” Dadan ikut berkomentar selagi mulutnya berhenti menghisap payudaraku namun digantikan oleh remasan-remasan tangannya.
Sementara itu bibir dan lidah Eman mulai bergerilya dari mulutku untuk kemudian menciumi telinga, tengkuk serta leherku. Di saat bersamaan, Ujang semakin menggila dengan perbuatannya, bukan saja mulutnya yang beraksi tetapi sekarang jari-jari tangannya mulai bermain di lubang kemaluanku. Pertama hanya jari tengahnya saja yang Ujang masukkan ke dalam lubang vaginaku dan dikocok-kocokannya, lama-lama jari telunjuknya pun ikut keluar masuk yang membuat vagina itu semakin basah oleh cairan kenikmatan milikku.
“Uuuuuhh… Aaaaaahhh… Oouuuuuhhh…” desahan dan lenguhanku semakin menjadi-jadi.
Mendengar aku mendesah-desah keenakan, jari Ujang mulai mempermainkan klitorisku. Dia menggosok-gosokkan jari dan lidahnya pada daging kecil yang sensitif itu. Tubuhku sampai bergetar ketika merasakan sapuan lidahnya pada klitorisku. Pijatan lembut telunjuk dan ibu jarinya pada klitorisku membuat pinggulku meggeliat-geliat. Tubuhku semakin menggelinjang karena kelihatannya aku akan segera mencapai puncak kenikmatan.
“Ooohh… Ujaaaaaaang!!!” desahku sambil kedua tanganku meremas-remas rambut Ujang, sementara kepalaku bergerak ke kanan dan ke kiri.
Tidak sampai satu menit kemudian, tubuhku akhirnya mulai mengejang-ejang karena tidak tahan lagi menerima rangsangan yang terus-menerus datang. Aku pun semakin merapatkan kepala anak itu ke arah vaginaku. Rupanya walaupun usia Ujang masih sangat muda, namun dia mengerti bahwa aku sudah ingin mencapai puncak. Dihisapnya vaginaku kuat-kuat serta ujung lidahnya dengan cepat menjilati bagian dalam kewanitaanku.
“Aaaaaaaaaaaaaakh…!!” teriakku tidak tertahankan dengan tubuh menggeliat-geliat ketika akhirnya aku mencapai orgasme yang kedua kalinya.
Bagaikan sedang menikmati buah yang manis, Ujang terus menyeruput cairan yang ada di seputar kemaluanku tanpa merasa jijik. Tentu saja hal ini membuatku menggelinjang tiada henti.
Setelah puas mencicipi cairan kemaluanku, Ujang menengadah dan menatapku lalu berkata “Rasanya kareueut pisan Teh…!”
“Teh… Urang tos teu kiat hoyong ngewe jeung Teteh…” tanya Dadan dengan terus terang.
Sebenarnya tubuhku masih lemas, namun aku juga sudah tidak sabaran ingin merasakan vaginaku ditusuk bergantian oleh penis mereka bertiga. Lagipula aku tidak mau membuang-buang waktu untuk berlama-lama di tempat ini.
“Ya udah… Tapi ganti-gantian yah…” kataku menyanggupi permintaan mereka karena sudah dalam keadaan sangat terangsang.
“Se-serius Teh?” tanya Dadan meyakinkan pendengarannya.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, namun hanya melemparkan senyum menggoda. Dapat aku lihat juga mata Dadan dan teman-temannya yang terbelalak mendengar perkataanku. Kelihatannya tidak satupun dari mereka bertiga yang menyangka kalau dengan mudahnya kata-kata itu akan meluncur dari mulut perempuan sepertiku. Mungkin kalau sekedar melakukan hal seperti tadi mereka masih bisa mengerti, tetapi pasti tidak pernah terbayang di pikiran mereka kalau aku sampai mau diajak bersetubuh.
“Aing kahiji nya Dan… Enggeus teu sabar…” pinta Eman kepada Dadan dengan tidak sabaran.
“Sok lah…” jawab Dadan.
Mungkin sebenarnya Dadan sudah tidak tahan lagi untuk segera menyetubuhiku, namun karena dia berpikir nanti juga akan kebagian, maka dia mempersilahkan Eman untuk mendapat giliran yang pertama. Aku hanya bisa diam dan menurut saja. Apalagi aku juga sudah penasaran untuk dapat merasakan penis Eman yang berwarna hitam dan berukuran paling panjang dibandingkan dengan yang lain.
Begitu mendapatkan persetujuan dari temannya, kakiku langsung dilebarkannya.
“Ooooooohhh… Pelaaan-pelaaaaaan Maaan…!! Jangaaaaan dipaksaiiin…!!” pintaku karena vaginaku terasa sakit ketika Eman dengan kasar menekan penisnya masuk.
Kelihatannya Eman memang cenderung kasar dalam bercinta yang tentu saja berlawanan dengan Dadan yang lebih lembut. Penis Eman membuat vaginaku yang sempit mulai melebar mengikuti ukuran penisnya yang lumayan besar, sehingga saat ini aku mulai dapat menikmati permainan kasarnya.
“Eleuh-eleuh… Heureut pisan euy henceutnya Teh Tita…!!” teriak Eman yang disambut gelak tawa teman-temannya.
Seolah tidak mau melihat ke arah Eman, aku pun memalingkan wajahku ke arah kanan. Namun jujur saja aku sungguh menikmati penisnya yang mulai masuk semakin dalam, apalagi Eman juga mulai meremas-remas payudaraku. Ketika sedang menikmati hujaman penis Eman saat sudah masuk seluruhnya, tiba-tiba di depan wajahku sudah ada sebuah penis yang berukuran lebih kecil. Dengan rasa penasaran aku melihat ke arah atas, dan ternyata penis tersebut adalah milik Ujang.
“Kenyotin kanjut urang nya Teh…” kata Ujang minta penisnya supaya dihisap olehku.
Karena sudah sangat terangsang, tanpa ragu lagi aku membuka mulut dan menelan benda kecil namun keras milik Ujang. Mulailah aku mempraktekkan teknik oralku padanya. Pertama-tama aku mulai dari kepala penisnya dulu, bagian itu kujilati dan kuemut-emut sambil tanganku mengocok pelan batangnya. Kemudian dengan perlahan aku menjilati batang penisnya menggunakan lidahku yang lembut.
“Uuggghh… Ngeunaaah pisaaan kenyotaaan Teh Titaaa…!!” komentar Ujang sembari meremas rambut tebalku.
Kepalaku mulai naik-turun mengemuti penisnya yang semakin mengeras saja. Tubuh Ujang pun langsung gemetar. Kelihatannya dia sangat menikmati jilatanku barusan. Tetapi tentu saja aku tidak bisa berkonsentrasi untuk menghisap penis Ujang, karena Eman semakin kencang memompa vaginaku. Terkadang aku merasa ada sedikit cairan spermanya yang keluar di dalam vaginaku. Belum lagi remasan-remasan tangan Eman pada payudaraku yang membuatku semakin melayang.
Tanpa perlu diundang olehku sekarang Dadan juga ikut-ikutan, dia duduk di sebelah kiriku kemudian menghisap puting payudaraku yang sudah mencuat keluar. Berarti saat ini ada tiga orang yang mengerubutiku. Yang pasti semua orang di dalam ruangan ini, termasuk aku, sedang merasa keenakan.
Tanpa sengaja aku melihat penis milik Dadan yang berukuran cukup besar dan keras, aku langsung saja meremas-remas penis tersebut dan mulai kukocok-kocok. Sepertinya Dadan sangat menikmatinya sampai-sampai dia semakin bersemangat menghisap payudaraku.
Dengan perlahan aku menarik penis Dadan ke samping wajahku, hingga sekarang posisi penisnya dengan milik Ujang berseberangan. Aku pun bergantian mengocok dan menghisap penis Dadan dan Ujang.
“Gelo euy si Teteeeh maaah… Ehmmm… Jagooo pisaaan ngenyotnyaa…!! Aaaaah…!!” puji Dadan sambil merem-melek dan menggelengkan kepalanya.
“Aaaahhhhh…!! Teteeeeeeh…!! U-uraaaaaang kaluaaaaaar…!!” tiba-tiba Eman berteriak.
Penisnya juga dapat kurasakan semakin mengeras di dalam vaginaku.
“Maaan… Maaaan…!! Keluariiin di luaaaar Maaan…!!” teriakku panik.
Aku tidak ingin kalau Eman sampai mengeluarkan spermanya di dalam vaginaku, karena aku tidak rela punya anak dari orang sepertinya. Untunglah Eman sempat mengeluarkan penisnya tepat waktu. Penisnya diangkat tinggi-tinggi sambil terus mengocoknya tepat di atas dadaku.
‘Crooott… Croooottt…’ sperma Eman keluar banyak sekali hingga mengenai perut dan payudaraku.
“Aaaaah… Edun euy…!! Ngeunah pisan…!!” kata Eman keenakan.
“Ayeuna giliran aing nya Kang Dadan?” tanya Ujang dengan muka memohon supaya diberi ijin oleh Dadan.
“Sok atuh Jang…” jawab Dadan yang kali ini terlihat sekali wajah tidak relanya karena harus mengalah lagi.
Tentu saja Ujang senang bukan main karena mendapatkan giliran selanjutnya. Pertama-tama, layaknya anak kecil sedang menikmati permen, lidahnya bergerak menyentil-nyentil puting payudaraku hingga semakin mengeras.
Tidak lama kemudian dihisapnya payudaraku sebelah kiri dan kanan secara bergantian. Tangan Ujang juga tidak tinggal diam dan mulai menggerayangi tubuh telanjangku.
“Ehhmm… Ujaaaaaang…” aku mengerang nikmat.
Mulut Ujang kemudian turun ke perut hingga sampai di vaginaku. Mata anak itu terbuka lebar menatapi vaginaku yang sengaja aku cukur halus. Secara refleks aku melebarkan kedua kakiku sehingga memudahkan Ujang untuk menjilati vaginaku. Pasti saat ini Ujang dapat mencium aroma lendir kewanitaan yang keluar dari vaginaku.
“Oooooooooohh…!” Aku mendesah panjang sambil menggenggam erat ujung tikar ketika lidah Ujang terus menyapu kemaluanku.
Ujang membuka bibir vaginaku dan mulai menyedotnya dengan rakus sehingga aku mengerang-erang dengan penuh gairah. Semakin lama lidahnya menari semakin liar menjelajahi seluruh bagian dari kemaluanku. Aku dapat merasakan cairan vaginaku meleleh deras seiring dengan rangsangan yang semakin kuat. Sungguh aku merasa semakin nikmat merasakan lidah Ujang yang sesekali menyelinap ke dalam vaginaku.
“Aaaahhh… Mmmmhhh… Jaaaang…!!” aku berteriak nikmat sambil tanganku tidak henti-hentinya memegangi kepala Ujang.
Ketika Ujang merasa sudah cukup melakukan pemanasan terhadap vaginaku, kini tiba saatnya untuk dia merasakan bersetubuh denganku. Penis kecil milik Ujang yang sudah dalam keadaan ereksi penuh, mulai digesek-gesek ke bibir vaginaku. Saat berikutnya, benda tersebut mulai menekan masuk ke dalam lubang kemaluanku. Mungkin karena ukurannya yang kecil, maka penis tersebut tidak terlalu membuatku merasakan nikmat seperti tadi.
“Teh Tita… Ayeuna Teteh nonggeng nya…” pinta Ujang kepadaku untuk berganti posisi.
Tentu saja aku sempat heran anak seusia Ujang sudah mengerti posisi-posisi dalam berhubungan intim. Pasti karena dia bergaul dengan anak yang lebih dewasa darinya. Namun aku yang tidak mau berlama-lama memikirkan hal tersebut membalikkan tubuhku hingga sekarang aku bertumpu dengan kedua tangan serta lututku. Dalam posisi ini, payudaraku yang bergantung dengan bebas terlihat lebih besar.
Ujang yang sudah mengambil posisi di belakangku, menggenggam penisnya kemudian mengarahkan ke liang vaginaku. Tetapi bukannya Ujang langsung memasukkan penisnya, sekarang dia justru memainkan vaginaku menggunakan tangannya. Walaupun begitu tetap saja aku merinding keenakan, apalagi dengan kenyataan bahwa yang sedang melakukan itu adalah anak yang masih berumur 13 tahun!
Ketika sedang menikmati jari-jari tangan Ujang di selangkanganku, dengan tiba-tiba Ujang langsung menusukkan penisnya ke dalam vaginaku.
“Heeeeeekh…!!” aku sampai sedikit tersentak karena menerima hujaman keras secara tiba-tiba seperti itu.
Kutengokkan kepalaku ke belakang dan kutatap Ujang dengan raut muka sedikit kesal. Seolah tidak terjadi apa-apa, Ujang terus menyetubuhiku tanpa ada perasaan bersalah.
“Dasar bocah nggak tau diri…!!” aku mengumpat dalam hati.
Perlahan telapak tangan kecilnya mulai mengelus dan meremas pantatku, sambil sesekali juga mengusap punggung mulusku. Ternyata dengan posisi seperti sekarang, penis Ujang semakin terasa nikmat. Apalagi sodokannya cukup mantap seperti sudah sering dilatih. Tubuhku tersentak maju dan mundur mengikuti gerakan penis Ujang pada kemaluanku.
“Aaaahh… Aaaaahh… Ooohh…” aku hanya dapat merintih-rintih dengan lirih.
“Teh Tita geus ngarasa ngeunah tuh Jang… Asupkeun leuwih gancang deui…!” perintah Eman.
Mendengar ucapan temannya tadi, penis Ujang keluar dan masuk dengan lebih cepat. Namun rasanya jadi semakin nikmat, tidak kalah dari permainan Eman. Aku saja sampai merasa lemas dalam posisi menungging seperti ini. Tangan Ujang sesekali juga digunakan untuk meremas pelan payudaraku dari belakang. Kadang-kadang dia juga mencium leherku.
Tetapi dikarenakan postur tubuhnya yang lebih pendek dariku, dia cukup kesulitan untuk melakukannya. Aku dapat merasakan nafas Ujang yang semakin memburu seperti orang yang sedang melakukan olahraga. Keringat miliknya menetes cukup banyak di punggungku yang juga sudah dalam keadaan basah.
Sampai akhirnya sodokan Ujang terasa semakin keras dan cepat, otot-otot vaginaku seperti tertarik keluar. Aku pun tidak tahan dan mencapai orgasme lagi.
Tidak lama kemudian Ujang juga sudah tidak dapat menahan lagi untuk menahan klimaks “Aaaaahhhh…!! Teteeeeeh!!”
Ujang menyemprotkan spermanya ke punggungku dalam jumlah yang tidak kalah banyak, bahkan mungkin melebihi jumlah sperma milik Eman. Aku yang sudah merasa sangat lemas, langsung jatuh di atas tikar dengan posisi tengkurap. Ternyata Ujang juga sudah terlebih dahulu tiduran di sebelahku.
Lelah sekali rasanya disetubuhi oleh dua orang bergantian seperti tadi, walaupun ini bukanlah yang pertama kalinya aku berhubungan seks dengan lebih dari satu orang.
Saat sedang beristirahat, aku merasakan ada tangan jahil yang memegang-megang vaginaku. Ketika aku menengok ke belakang ternyata Dadan yang melakukan hal itu.
“Teteh masih capek Dan…” jawabku pelan.
“Yaaah… Kan urang tacan kabagian Teh…” katanya memelas.
Aku baru ingat kalau ternyata hanya tinggal Dadan yang belum kebagian menikmati bersetubuh denganku.
“Iya udah… Tapi ambilin Teteh air minum dulu yah… Haus nih…” kataku ketika melihat kalau air di gelasku sudah habis.
Langsung saja Dadan mengambil gelasku yang kosong, kemudian berlari untuk mengambil air di belakang. Ketika dia kembali langsung saja aku habiskan tanpa tersisa. Baru saja aku selesai menghabiskan air minum tersebut, Dadan langsung merebahkanku lalu menempatkan kepala penisnya di mulut vaginaku.
Dadan mulai menggerakkan kepala penisnya di depan belahan vaginaku. Kelihatannya dia terus mencoba untuk merangsangku terlebih dahulu. Tentu saja diperlakukan seperti itu terus-menerus, aku pun mulai terangsang dan vaginaku sudah mengeluarkan cairan pelumasnya sehingga penis Dadan mulai dapat masuk lebih dalam.
Penis Dadan akhirnya dapat masuk juga seluruhnya ke dalam vaginaku. Sungguh sakit sekaligus nikmat rasanya, aku sampai menahan agar tidak berteriak ketika dia mendesak masuk penisnya. Aku baru sadar kalau ternyata penis milik Dadan, walaupun masih kalah panjang, namun berdiameter lebih besar dari Eman. Sampai-sampai aku menggigit bibir ketika menikmati penis kerasnya yang dengan teratur menusuk masuk lalu ditarik keluar.
“Enaaaaaaaak euuuy…!!” teriak Dadan dengan gayanya yang kampungan.
Berulang-ulang Dadan mengeluarkan penisnya dari vaginaku sebelum akhirnya ditusuk masuk lagi. Setiap kali penisnya masuk, aku berteriak-teriak keenakan. Eman dan Ujang hanya tertawa-tawa melihatnya. Akhirnya aku mulai terbiasa dengan penis Dadan yang sedang memompa vaginaku.
Aku sampai tidak memikirkan kalau yang sedang menyetubuhiku adalah seorang anak jalanan. Bahkan aku juga tidak sadar kalau sedang berpelukan dan menciumi Dadan mulai dari kening hingga pipinya, sebelum akhirnya kita berciuman bibir lagi.
Tubuhku sekarang sudah penuh dengan keringat dikerjai oleh tiga orang. Entah sudah berapa lama aku disetubuhi oleh Dadan hingga aku merasa akan menggapai orgasme lagi. Tetapi tepat sesaat sebelum aku menjerit, Dadan semakin keras menekan penisnya yang berdenyut kencang tanda akan mencapai puncak.
Dan benar saja seperti dugaanku tidak lama kemudian Dadan berteriak “Aaaaaaahh…!! Uraaang hoyoooong kaluaaaar Teeeeh…!!”
“Teruuus… Teruuuus… Lebiiih kenceeeng Daaaan…” teriakku tidak kalah keras.
Dalam keadaan nikmat seperti itu tentu aku hanya bisa pasrah apabila dia mengeluarkan cairan spermanya di dalam vaginaku.
“Arrgghhhh… Teeh Titaaaaa…!!” Dadan menggeram lalu menembakkan spermanya yang kental ke dalam rahimku.
“Aaaaahhh… Daaaan… Teteeeeh jugaaaaa keluaaaaar…!!” aku ikut merintih ketika tidak lama kemudian juga mencapai orgasme untuk yang kesekian kalinya.
Cairan milik Dadan keluar begitu banyak mengisi vaginaku, sehingga sebagian ada yang menetes keluar. Aku memeluk erat tubuh Dadan karena merasa sangat puas dan nafasku juga sudah terasa mau habis. Terasa di dalam vaginaku pelan-pelan penis Dadan mulai mengecil hingga akhirnya dia cabut. Untung saja saat itu bukan masa suburku sehingga aku dapat bernafas lega.
Aku yang sudah sangat lelah meminum air putih dalam jumlah banyak karena sangat haus. Lalu aku pun tidur-tiduran sebentar karena merasa sangat lemas. Sungguh lengket rasanya badan dan kemaluanku karena bermandikan keringat dan sperma. Namun aku tidak menyesal telah mendapatkan pelayanan dari mereka. Padahal tadinya kukira mereka bertiga belum mengerti cara melakukan hubungan seks.
Ketika kami sedang beristirahat, mereka bertiga memanfaatkan waktu untuk mengenalku lebih jauh. Karena udara di luar lumayan dingin, Dadan dan Eman mulai menyalakan rokok. Aku yang memang tidak suka dengan bau rokok, mengibas-ngibaskan asap yang berhembus ke arahku.
“Punten nya Teh… Teu ngahaja… Memang Teh Tita teu suka ngaroko?” tanya Dadan yang sepertinya menganggap kalau semua perempuan di Jakarta suka merokok atau setidaknya sudah terbiasa dengan asapnya.
“Uhuuuk… Enggak lah Dan… Uhuuk… Uhuuuk…” tegasku sambil terbatuk-batuk karena tanpa sengaja menghirup asap rokok.
“Lamun roko daging kumaha Teh? Hahahahaha…” canda Eman yang langsung disambut gelak tawa teman-temannya.
Tentu saja walaupun aku sudah disetubuhi oleh mereka bertiga, namun pertanyaan Eman tadi tetap membuatku tersipu malu.
Di tengah pembicaraan kami, ketiga anak itu berharap kejadian yang baru saja mereka alami akan dapat terulang di kemudian hari. Setelah cukup lama mengobrol, aku akhirnya berpamitan pulang. Aku pun membersihkan tubuhku sekedarnya lalu berpakaian lengkap.
Dalam perjalanan menuju ke terminal aku cukup tenang karena mereka berbaik hati menemaniku naik angkot. Di dalam bis aku sempat tertidur cukup lama, untung saja barang-barang milikku tidak ada yang hilang.
Sesampainya di depan rumah aku melangkah lemas menuju pintu gerbang karena seluruh badanku terasa sakit dan pegal. Ketika aku sudah berada di ruang tamu ternyata Ibu sedang menungguku dengan gelisah karena tidak mendapat kabar dariku, padahal saat itu waktu telah menunjukkan pukul 10 malam.
“Teh… Kok malem banget pulangnya?” Ibu bertanya dengan suara pelan dan sedikit serak, mungkin karena beliau sudah mengantuk.
“Iya nih Bu… Abisnya tadi keasyikan belanja sih…” aku menjawab sambil menunjukkan kantong belanjaanku.
“Terus HP Teteh kok nggak bisa dihubungin sih?” lanjut ibuku.
“Palingan sinyalnya lagi jelek Bu…” jawabku beralasan lalu bergegas menuju ke kamar tidur.
Biasanya sepulang dari bepergian, aku selalu mencium tangan Ibu terlebih dahulu. Namun hari ini aku merasa kotor dan juga bau sperma yang disemprotkan ke hampir ke seluruh bagian tubuh oleh pengamen-pengamen tadi.
“Teteh udah makan belum?” tanya Ibu yang ternyata ikut menyusulku namun tidak sampai masuk ke dalam.
“Nanti aja Bu… Teteh masih kenyang…” sahutku sambil bersiap menutup pintu supaya Ibu tidak menyadari kalau anaknya sedang berbohong.
Andai saja Ibu dapat melihatku beberapa jam yang lalu, karena hal yang membuatku tidak nafsu makan adalah akibat kelelahan melayani ketiga remaja pengamen tadi.
“Ya udah… Tapi jangan lupa nanti makan ya… Udah Ibu siapin tuh di dapur… Anak kesayangan Ibu jangan sampai sakit yah…” kata ibuku lagi dari balik pintu yang sudah tertutup.
“Iya Bu…!” teriakku sambil sedikit tersenyum karena Ibu masih menganggapku sebagai anak kecil.
Aku lalu mengambil baju ganti serta handuk kemudian bersiap untuk mandi dengan harapan supaya tubuh lelahku dapat kembali segar.
“Aduuuh capek banget…! Besok ijin nggak masuk aja ah…” pikirku saat sedang menikmati guyuran air.
Seusai mandi, aku yang tidak ingat sama sekali kalau sudah berjanji pada Ibu untuk makan malam, langsung masuk ke kamar lalu tertidur pulas seperti bayi.