Kamar tidur Santi. Jendela yang menghadap ke arah barat membuat panasnya sinar matahari memaksa AC untuk bekerja lebih keras mendinginkan ruangan. Leo duduk di sofa, Pak Jim meletakkan pantat di tepi ranjang, sementara Santi duduk di atas kursi di depan meja riasnya, menghadap ke tengah ruangan. Ketiganya masih berdebat seru tentang siapa dari ketiga teman Tessa yang memenuhi syarat untuk rencana mereka.

"Kita nggak boleh keliru..!" kata Leo sengit, "Bisa fatal akibatnya..!"
"Tapi gimana coba..?" kata Pak Jim tak kalah sengit, "Kita masing-masing berbeda pendapat."
"Kalau ketiga-tiganya dipakai..?" tanya Santi dengan nada netral.
"Lantas gimana kalau ada salah satu atau dua dari mereka yang tidak memenuhi syarat..?" tukas Leo, "Tetap saja Boss akan marah."
Semuanya terdiam karena tidak ada solusi.

"Eh, omong-omong tadi kenapa kok kamu meminta aku segera pulang..?" tanya Leo pada Santi.
"Ya ampun..!" Santi beranjak berdiri, "Aku lupa..! Vin tadi nelpon aku, katanya dia gagal ngurusin Boy..!"
Ketiganya segera beranjak keluar kamar dan melangkah cepat ke kamar Boy.

********

Ikatan yang kuat di kedua pergelangan tangan dan kaki membuat pria itu tak dapat bergerak. Beberapa torehan panjang di dadanya mulai memancarkan darah segar. Namun semua rasa sakit dan frustrasi itu seperti bermunculan dengan birahi dan kehangatan yang juga membiasipikirannya. Tidak ada erangan, teriakan, ataupun sumpah serapah, karena sebuah sapu tangan disumpalkan ke rongga mulutnya.

Boy merasakan sekali lagi batang kejantanannya seperti dielus-elus benda lunak dan hangat yang lembab. Benda itu bergerak-gerak mengelilingi kepala batang itu, mengolesi, menaburkan rasa hangat dan nikmat. Benda lunak itu lalu turun ke batangnya, meliuk-liuk, melingkar-lingkar, hangat dan membakar. Otot kejantanan itu telah menegang, membuat tonggak itu tampak kokoh dan panjang. Beberapa detik terasa begitu nikmat, sebelum sebuah benda tajam kembali menggores kulit lengannya yang bertato itu. Terdengar jeritan pemuda itu tertahan oleh sapu tangan yang menyumpal mulutnya.

Vin menjulurkan lidahnya. Kali ini tak lagi pada kejantanan Boy yang telentang terikat di hadapannya, melainkan ke kuku-kukunya sendiri, yang panjang dan berlumur sedikit darah. Dengan gerakan yang begitu indah, wanita itu meliukkan tubuh indahnya seolah begitu menikmati tetes demi tetes. Ia merangkak di atas ranjang, mengangkangi tubuh si korban yang terikat tanpa daya. Lidah panjangnya menyapu-nyapu sekujur dada Boy yang kini tergores-gores garis merah. Jilatan yang seharusnya terasa indah dan menyenangkan bagi pria itu, namun goresan menganga itu membuat rasa pedih lebih terasa. Dengan nakal kedua paha Vin yanghalus mulus menghimpit kejantanan Boy, membiarkan batangan itu tergesek-gesek. Syaraf Boy seperti bingung, harus menyampaikan apa pada otaknya. Rasa sakit, ataukah kenikmatan..?

Jemari Vin memaksa kedua mata Boy terbuka. Pemuda itu melihat seraut wajah di hadapannya begitu mengerikan, begitu dominan. Mata indah gadis itu berbingkaikan bulu-bulu mata yang lentik dan panjang, namun juga dikelilingi lingkaran kehitaman. Kulit wajah yang sehari-harinya kuning langsat bersih, kini tampak pucat agak membiru. Belum lagi bibirnya, yang biasanya agak cerewet kekanakan dan berwarna merah jambu itu kini terlihat gelap, hitam, dan sedikit terlumuri noda-noda merah.

"Hmm.. sayang.. make love to me.." desah Vin lirih dengan suara yang begitu menghanyutkan, begitu menghipnotis.
Boy tidak menjawab. Matanya hanya menatap kosong, dipenuhi ketakutan dan kengerian.
"Make love to me..!" teriak Vin lagi dengan nada membentak sambil kuku-kukunya yang kini panjang dan lancip mulai sedikit tertanam pada kulit wajah pria tak berdaya itu.
Dengan wajah ketakutan dan berkeringat dingin, Boy mengangguk pelan.
"Good..!" bisik Vin pada telinga kanan pria itu, yang diikuti dengan jilatan-jilatan mesra.

Sejenak kemudian, di tengah rasa sakit dan ketakutannya, Boy merasakan kejantanannya mulai memasuki rawa berlumpur hangat di selangkangan Vin. Wanita itu perlahan-lahan menurunkan pinggulnya hingga seluruh kejantanan Boy terbenam dalam tubuhnya. Ia duduk di atas tubuh Boy, dengan punggungnya menghadap ke wajah pemuda itu. Boy hanya dapat menyaksikan punggung indah di hadapannya seperti menari meliuk-liuk dengan indahnya. Semakin lama, semakinmenggairahkan. Kejantanannya pun terasa seperti berada dalam remasan-remasan benda hangat dan lembut. Kewanitaan paling ketat dan lekat yang pernah dirasakannya. Pelan-pelan rasa sakit dan ketakutan Boy mulai Sirna, digantikan oleh kenikmatan dan keindahan luar biasa yang serasa memeras-meras kejantanannya. Kehalusan dan kemulusan kulit punggung Vin yang meliuk-liuk di hadapannya memperindah kenikmatan itu.

Sayang sekali, baru beberapa menit saja kejadian indah itu berlangsung, Boy sudah merasakan kejantanannya berdenyut-denyut. Seluruh energinya seperti mengumpul di sana, siap untuk meledak keluar. Dengan susah payah pemuda itu berusaha menahan nafas agar tidak segera mengakhiri permainan itu. Namun berat sekali, keindahan punggung Vin di hadapannya, rasa nikmat pada kejantanannya, benar-benar amat sulit dihindarkan. Segera tubuh kurus itu mengejang kuat, menghamburkan seluruh energinya keluar lewat pancaran-pancaran panas yang tersiram ke dalam liang kewanitaan Vin.

Boy tak dapat berbuat banyak. Begitu cepat ia harus merasakan pedihnya kekecewaan Vin. Hanya sedetik rasanya ia melihat wanita itu membalikkan wajah menatap ke arahnya, dengan wajah yang menyeringai menakutkan, dengan mata yang merah menatap tajam, sebaris gigi yang lebih menyerupai deretan pisau, dan gurat-gurat wajah yang tak lagi dapat dikenalinya sebagai Vin.Kini pun, dengan kaki dan tangannya yang terikat, ia hanya dapat bersikap pasrah, mematung, membiarkan rasa lelah dan ketakutan menguasai dirinya, membiarkan Vin menciumi lehernya.

Tiba-tiba terasa dua tusukan benda kecil pada lehernya, sakit sekali. Ia hanya bisa pasrah, mengharapkan munculnya keajaiban Sang Pencipta, yang selama ini jarang diingatnya. Terasa kakinya mulai dirasuki hawa dingin dan kaku, naik ke lututnya, ke pahanya, di saat seperti inilah, di saat-saat menjelang akhir yang begitu menakutkan, pemuda itu berteriak dalam hati, memohon maaf dan ampun pada kedua orang tuanya, kekasih-kekasihnya, juga Sang Penguasa. Tak terasa air matanya mengalir keluar dari matanya yang mulai meredup, kosong.

********

Vin terhenyak kaget ketika jari-jemari lentik namun kokoh menariknya keras-keras, menjauh dari tubuh korbannya.
"Apa yang kamu lakukan..?" bentak Santi sambil menatap tajam pada Vin yang terhempas ke lantai oleh tarikannya.
Berangsur-angsur wajah mengerikan itu kehilangan gurat-guratnya. Mata yang besar menakutkan berangsur mengecil, bibir yang hitam kebiruan kini memerah, dan kulit yang pucat pasi kini menguning perlahan.
"D-dia.. bikin aku sebel, Mbak..!" ucap Vin terbata-bata.
Santi tidak terlalu menghiraukannya. Wanita itu menatap ke arah ranjang, dimana Leo dan Pak Jim sedang mengamati pemandangan mengerikan di sana.

Betapa tidak, tubuh kurus Boy terikat erat di ranjangnya sendiri, dengan kulit dada dan lengan seperti tercabik-cabik membanjirkan darah yang membasahi sprei, mata terpejam yang mulai membiru di sekitarnya mengalirkan air mata. Wajah yang biasanya tampak menyebalkan itu kini tampak seperti memelas dan memohon ditundanya saat-saat akhir.

"Gawat.." kata Pak Jim setelah meraba leher Boy yang kini berhiaskan dua buah lubang kecil berlumur darah segar.
"Kenapa..?" tanya Leo dengan nada khawatir.
"Kalian memiliki saudara baru." jawab Pak Jim datar, sambil melangkah mundur menjauhi ranjang, "Ia masih hidup."

Semuanya terdiam, suasana di kamar berhiaskan poster-poster gadis telanjang itu terasa hening untuk beberapa saat. Leo, Santi, Pak Jim, dan Vin menatap gurat-gurat luka di dada Boy mulai menipis, menipis, kemudian menghilang. Bunyi petir yang menggelegar di langit yangmendadak menderaskan hujan membuat ketiganya tersadar dari lamunannya.

"Dia datang!" Pekik Pak Jim.

********

Ruang makan utama, yang biasanya terang benderang, ceria dan menjadi tempat berkumpul para penghuni rumah saat bertukar canda di meja makan, kini seperti berubah total. Hening, sepi, dan begitu mencekam. Suara canda tawa dari teman-teman Karina yang baru saja terdengar ramai, kini tak lagi terdengar. Mereka tak lagi bersuara. Keempatnya berdiri tanpa busana, mematung dengan pandangan kosong. Berbaris berderet di tengah ruangan. Seperti tak sadarkan diri, meski mata terbuka dan tubuh berdiri tegak. Seseorang, atau sesuatu, tampak berdiri mondar mandir mengamati gadis-gadis itu. Sesuatu yang tidak jelas bentuknya, sesuatu yang besar, namun terlihat kabur. Mengerikan, namun juga terasa berkharisma. Gelap, namun sekaligus sejuk. Dingin, namun memancarkan hawa lembut yang merayu.

"Ah, servis yang mengecewakan..!" terdengar suara pria yang bernada rendah, bijak, namun menusuk telinga.
Pak Jim, Santi, Leo, dan Vin yang tergopoh-gopoh menuruni tangga putar kini duduk bersimpuh di lantai dengan kepala menunduk, pasrah dan siap menerima apa yang harus terjadi.

Pelan-pelan, sesuatu yang tampak tidak jelas tadi mulai menampakkan bentuknya. Agak lama kemudian, tampaklah wujud tamu yang dinanti-nanti kedatangannya itu. Seorang pria muda tanpa busana, berkulit kemerahan, berambut panjang berwajah tampan, dengan hidung mancung dan alis mata tebal serta sorot mata yang tajam dan dingin. Tubuhnya berkesan atletis dan berotot keras, namun juga anggun dan elegan dari sikapnya berdiri. Ketampanan dan kharisma yang dipancarkannya membuat tak satu wanita pun tidak melirik keindahan tubuh telanjangnya, dan tak satu pria pun yang tidak segan oleh tatapannya.

"Ratusan tahun, anakku." pria muda itu bicara pada Pak Jim, "Kamu selalu menyerahkan yang terbaik buatku. Tapi kali ini..?"
Pria itu berhenti sejenak dan mengacungkan telunjuknya pada keempat gadis yang kini berdiri mematung tanpa busana dengan tatapan mata kosong, "Mereka semua begitu busuk ternoda oleh pria-pria sebelum waktunya.., apakah sulit menemukan yang bersih dan suci pada masa sekarang ini..?"
Pak Jim tetap terdiam dan menunduk.
"Setelah sekian lama aku membiarkanmu hidup untuk mencari pengikut." kata pria muda itu melanjutkan pidatonya, "Tapi mana..? Hanya tiga orang inikah pengikut setiamu..? Bagaimana bisa kita menguasai dunia dengan pasukan bau kencur seperti ini..? Mana orang-orang berpengaruh yang kamu janjikan untuk bekerja sama dengan kita..? Hah..?"
Semuanya tetap saja terdiam.

Pria itu lalu melangkahkan kakinya mendekati Pak Jim, Leo, Santi, dan Vin yang tetap bersimpuh gemetaran.
"Hm.. Tapi kedua wanita ini.." pria itu menggumam, "Rupanya kamu memilih mereka untuk kesenanganmu sendiri. Sayang sekali barang-barang bermutu tinggi seperti ini harus kamu pergunakan sendiri."
"Dan kamu..!" bentak pria tampan itu pada Leo yang bersimpuh paling ujung, "Kamu mengaku diri pendosa, tapi apa arti sebuah dosa bagi kamu..?" Tatapan pria itu membuat dahi Leo berkeringat dingin, "Hanya sebuah permainan..? Atau hanya bagian dari sebuah kesenangan..? Memalukan..!"

"Malam ini.." pria itu berkata lagi sambil membelakangi keempat penyembahnya, "Aku harus memanggil temanku, si pencabut nyawa, untuk memilih salah satu di antara kalian..! Yang paling tak pantas menjadi anakku, agar menjadi peringatan bagi yang lain."
"Death..!" pria itu berteriak dengan suara menggelegar keras.

Sebentuk kepulan asap hitam, tiba-tiba bergulung-gulung muncul menyelimuti Santi. Tubuh lencir wanita itu seperti tenggelam di balik gulungan asap hitam pekat. Pria tampan yang dari tadi tampak angkuh itu seperti terkejut menyaksikan asap yang menyelimuti tubuh wanita itu menipis, menampakkan sesosok tubuh tinggi langsing, yang terselimuti oleh jubah hitam pekat. Sepasang tangan yang indah dan mulus tampak menggenggam sebilah kapak besar. Wajah Santi tampak tersenyum di balik tudung jubah besar yang dikenakannya.

"Kamu memanggil aku, Evil..?" kata sesuatu yang tadinya dikenal sebagai Santi itu.
"K-kamu..!" pria tampan yang dipanggil Evil itu tergagap, "Untuk apa kamu ikut campur ini semua..?"
"Ya, ini aku." jawab 'Santi' lagi dengan nada tenang, "Aku berada di sini untuk memenuhi permintaanmu."
"B-baik..!" jawab Evil masih agak tergagap, "Bawa nyawa mahluk-mahluk tak berguna itu bersamamu!"
"Tidak..!" jawab 'Santi', "Aku hanya memilih salah satu dari pengikutmu, sesuai perjanjian..!"
"Tapi mereka tidak berguna bagiku..!" bentak Evil menuding-nuding Pak Jim, Leo, dan Vin.

"Kalau aku mengambil mereka semua," jawab Death dalam bentuk Santi itu dengan nada ceria, "Kamu akan memilih wakil yang lain lagi." lanjutnya sambil tersenyum dingin, "Tapi kalau aku memilih salah satu, mereka akan tetap menjalankan tugas suci mereka..!"
"T-tugas suci..?" Leo tiba-tiba nyeletuk tidak mengerti. Pak Jim dan Vin ikut berpandangan bingung.
"Yap..!" jawab Death lagi, "Tugas suci untuk melindungi dunia dari ancaman Evil. Bukankah kalian telah susah payah menyediakan mangsa bagi Evil agar ia tak mampu menguasai dunia..?"
"Percayalah," kata Death lagi, "Seiring dengan berjalannya waktu, tidak akan ada satu pun manusia wanita yang memenuhi syaratnya. Pada waktu itulah Evil berencana menguasai dunia, menariknya kembali ke dalam kegelapan."
"Tapi kamu tetap harus memilih salah satu dari mereka..!" bentak Evil tidak sabar.
"Tentu, aku akan mengambil salah satu pengikutmu..!" jawab Death.

Mengakhiri kalimatnya, 'Santi' merentangkan tangannya ke atas, dan tiba-tiba sosok tubuh Boy sudah berada di tengah ruangan. Luka-luka di tubuhnya sudah bersih tak berbekas. Masih tampak ekspresinya memelas, memohon ampunan, dan menatap tanpa harapan pada si pencabut nyawa.
"Ia telah menyia-nyiakan hidupnya, dan tidak akan banyak berguna bagi orang lain." kata Death sambil merentangkan jari-jari tangan kanannya, tempat sebilah sabit panjang tiba-tiba berada, "Dunia tidak akan keberatan jika aku mengambilnya malam ini."
Dengan tak terduga, sabit panjang itu terayun. Bahkan Boy sendiri tak sempat mengeluarkan kata-kata ataupun teriakan dari kerongkongannya yang segera terputus oleh sabetan itu.

********

Matahari terbit, memancarkan sinarnya menerangi rumah kost besar di sudut sebuah kompleks elit. Tidak banyak yang tahu apa bedanya rumah itu dengan rumah-rumah lain yang bentuknya sama dalam kompleks itu.

Si manis Karina masih tidur pulas menikmati Sabtu pagi. Leo, Pak Jim, dan Vin mengelilingi meja makan. Masih ada keharuan, rasa bangga, rasa lega, sekaligus rasa tanggung jawab pada hati mereka masing-masing.

"Hmm.. Sepi rasanya." kata Leo sambil mennghirup kopi paginya, "Tidak ada Boy, tidak ada Santi."
"Yah.." Vin menghela nafas panjang, "Aku senang kita masih hidup, Thanks to Death. Sulit membayangkan kalau dia itu Santi."
"Iya, aku juga mikir begitu," tukas Pak Jim, "Kalau selama ini aku tahu dia siapa, dan apa tujuannya di sini, aku nggak akan sekuatir ini.."
"Begitulah.." Vin menjawab, "Selama ini aku suka sebel dengan sikapnya yang sok dewasa dan suka ngerjain aku."
"Lucky me.." Leo mencoba bercanda, "Aku sudah pernah bercinta dengan si pencabut nyawa..!"
"Hahaha, tapi ati-ati kalau milih teman kencan..!" jawab Pak Jim, "Bisa-bisa kamu yang dipilihnya semalam..!"
"Hahaha..!" Leo balas tertawa, "Tapi jangan munafik ah..! Pak Jim juga pengen kencan sama dia kan..? Nyatanya ngintip dia mandi..!"
"Eh, jangan keras-keras lho..!" canda Karina, "Bisa-bisa dia mendengar kita dari atas sana..!"Semuanya tertawa-tawa dan melanjutkan sarapan di hari libur Sabtu pagi itu.

"Gedubrak..!" terdengar pintu masuk terbanting, semua menatap ke arah pintu malang itu."Vin, kenapa kamu nelpon aku di kantor..? Kan masih jam kerja.." kata Santi yang baru masuk itu dengan bawel.
"Eemm.., kenapa semua kok ngeliatin aku seperti itu..?"
Mereka yang sedang sarapan tak bisa berkata-kata melihat kehadiran Santi yang ternyata bukan di saat yang seharusnya dan terlambat hampir satu hari.

Rupanya Santi yang tadi malam merupakan perwujudan dari Death yang asli, sedangkan Santi yang di hadapan mereka adalah Santi yang sesungguhnya. Santi kemudian bergabung sarapan dengan mereka sambil mendengarkan penjelasan dari yang lainnya mengenai hal yang terjadi sebenarnya di hari Jumat tanggal 13 malam. Dan kehidupan mereka berlanjut kembali, tetapi dengan perbaikan hasil, seperti yang diinginkan oleh Evil terhadap pengikutnya yang selalu bertambah di setiap hari Jumat tanggal 13.

Tamat