Kenalkan, nama saya Setiowati, umur saya 22 tahun,
saya baru lulus dari Akademi Perawat di salah satu
kota kecil di Jawa Timur. Sekarang saya bekerja di
Rumah Sakit Swasta di kota Y, baru satu bulan ini saya
bekerja.
Saya tinggal di rumah Tante, secara keseluruhan saya
sudah tinggal 6 bulan di kota ini, untuk mencari
kerja, untunglah akhirnya saya mendapat pekerjaan di
Rumah Sakit tersebut. Sebagai orang baru di Rumah
Sakit ini, saya banyak mendapat teman dan kenalan
baru. Salah satunya adalah Kepala Bangsal Bedah,
atasan saya langsung, dimana saya ditempatkan. Ibu
Winantu kami memanggilnya, umurnya hampir 40 tahun,
akan tetapi sampai sekarang belum menikah juga,
walaupun kalau saya lihat sebenarnya Kepala Bangsal
saya ini wajahnya cantik, bentuk badannya sensual dan
kulitnya putih pula. Saya mendengar selentingan kabar
dari teman-teman disini, kalau Ibu Winantu sebenarnya
simpanan salah satu dokter Kebidanan dan Kandungan
yang juga bekerja di Rumah Sakit yang sama. Sebagai
Kepala Bangsal Bedah, Ibu Winantu sangat disegani,
karena selain secara fisik lebih besar dari rata-rata
perawat bangsal Bedah, juga mulutnya sangat pedas,
terutama untuk perawat-perawat yang lain. Yang lebih
menarik pula, gelang dan cincin berlian di tangan.
juga jam tangannya yang bertuliskan “Cartier”.
Pantaslah kalau gossip itu benar, Ibu Winantu simpanan
salah satu dokter kaya yang juga bekerja di Rumah
Sakit ini.
Sebagai perawat, kami kadang bergiliran bertugas jaga
24 Jam, kebiasaannya di bangsal saya yang bergiliran
jaga adalah perawat senior dan yunior, tidak
terkecuali saya dan Ibu Winantu. Pada suatu hari, saya
mendapat jadwal tugas jaga bersama Ibu Winantu,
Sebenarnya saya sangat takut, karena selain saya masih
baru, saya juga “ngeri” padanya.
Ada yang membuat saya terkejut, ketika semua perawat
teman-teman saya selesai bertugas jam 14.00, tinggal
kami berdua sebagai perawat jaga hari itu.
“Dik Wati” Ibu Winanti memanggil sambil tersenyum
“Iya, bu”, kaget saya. Sebelum ini, terutama ketika
bertugas pagi hari, tidak pernah sekalipun Ibu Winantu
memanggil saya dan teman-teman yang lain dengan
sebutan “Dik”, apalagi memanggilnya sambil tersenyum.
Mimpi apa saya ini ?.
“Ini, statusnya dilengkapi dan periksa ulang Suhu dan
Tensi untuk kamar 9 dan 10″
“Iya, Bu”, saya seperti kerbau dicocok hidung.
Segera saya lakukan perintahnya. Setelah selesai,
menyusul perintah-perintah “manis” yang lain, saya
hanya bisa menuruti. Walaupun saya iri juga padanya,
karena Ibu Winantu hanya duduk manis di meja counter
depan Bangsal Bedah sambil menonton TV.
Akhirnya selesai juga perintah-perintah “Sang Ratu”,
jam sudah menunjukkan jam 17.00, saatnya jadwal
kunjung pasien. Pada saat ini biasanya perawat jaga
saatnya untuk beristirahat dan mandi sampai selesainya
jadwal kunjung pasien.
Saya kelelahan, tapi inilah resikonya sebagai perawat
yunior. Saya masuk ke kamar jaga perawat, dan
merebahkan diri untuk tidur-tiduran sebantar sambil
beristirahat.
Tidak berapa lama kemudian Ibu Winantu masuk ke kamar
juga, dia juga ikutan rebahan di tempat tidur yang
lain. Mulailah dia menginterogasiku.
“Sudah punya pacar, dik ?
“Dulu, Bu”
“Dulu waktu sekolah di Akper juga tinggal di asrama
Akper ?”
“Iya”
Ibu Winantu tertawa,
“Kenapa Bu, kok tertawa ?”
“Hayo, dulu waktu di asrama sering nonton BF
bersama-sama, tho ?”
“Iya, kok ibu tahu ?”
“Saya dulu waktu masih sekolah juga sama saja dengan
dik Wati”
Setelah itu malahan Ibu Winantu cerita mengenai BF
dengan detail dan cerita-cerita mengenai main
kucing-kucingan memasukkan cowok ke asrama dan hal-hal
porno lainnya, sambil tertawa-tawa. Walaupun geli
ditelinga mendengarnya, saya menanggapinya dengan
malu-malu karena itulah yang juga kami sering lakukan
di asrama. Walaupun saya menjadi tidak jenak, akan
tetapi senang juga mendengarkan cerita-cerita itu
sambil mengingat masa-masa sekolah.
“Dik Wati, pernah “main” dengan pacarnya ?”
“Belum, Bu”
“Oh.nanti saya ajarin”
“Baik, Bu”, jawab saya asal-asalan, saya pikir itu kan
hanya cerita-cerita omong kosong, walaupun saya juga
tidak punya niat serius mendapat pelajaran dari Ibu
Winantu.
“Saya mandi dulu, Bu”
“Ya, nanti saya menyusul”
Saya mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Wah,
asyik juga, kalau Bu Winantu mau mandi bersama saya.
Karena dulu waktu di asrama, saya sering pula mandi
berdua dengan teman-teman, sebagaimana pula dengan
teman-teman yang lain. Kadang kami sering kagum
dengan badan dan tetek teman yang lain, walaupun
sering mandi bersama tidak pernah terjadi seperti yang
ada di BF, apa itu namanya ? lesbian ?.
Ditengah saya mandi, terdengar ketukan di pintu.
“Siapa, yaa ?”
“Saya, dik” suara Ibu Winantu menyahut
Saya bukakan pintu kamar mandi, tentu saja saya dalam
keadaan telanjang. Ibu Winantu langsung masuk ke kamar
mandi, dan melepas bajunya satu persatu. Saya berhenti
mandi dan hanya memandanginya, saya berdebar-debar
ingin melihat “peralatan” Ibu Winantu.
Ternyata betul dan nyatalah Ibu Winantu sekarang sudah
telanjang pula bersama saya di kamar mandi. Kulitnya
putih mulus, teteknya agak besar, mungkin cup B,
perutnya rata dan rambut kemaluannya lebat. Dibanding
kulit saya yang lebih coklat dan rambut kemaluan saya
yang hanya sedikit sekali, saya iri juga.
“Kenapa dik ?”Ibu Winantu membangunkan lamunan sesaat
saya, sambil tersenyum.
“Ndak, Bu, ndak apa-apa”
“Oh, rambut yang bawah hanya sedikit yaa”, sambil
tangannya menjulur mengelus memek saya. Saya
terkesiap, ada perasaan aneh pada memek saya ketika
tangannya mengelus lembut memek saya. (saya teringat
dulu ketika di asrama, kadang kalau mandi bersama
teman yang lain, sering guyonan mengelus memek teman
lain seperti itu, tapi tidak ada rasa apa-apa). Secara
refleks pula saya menarik napas panjang dan menutup
mata.
“Kenapa dik ?, enak ?”
Saya membuka mata dan tersipu malu.
“Oh…, belum pernah yaa” Ibu Winantu tersenyum,
sambil matanya menyempit memperhatikan saya.
Saya juga hanya tersenyum sambil menggigit bibir. Saya
ingin Ibu Winantu mengelus memek saya lagi seperti
tadi, kata saya dalam hati.
Saya merasa itu terjadi begitu cepat, tiba-tiba Ibu
Winantu berjongkok di hadapan saya dan mulai menjilati
memek saya. Saya terkaget-kaget dan keenakan. Sambil
berdiri, saya sandarkan punggung saya ke tembok kamar
mandi. Saya tidak bisa dan tidak mau menolaknya, saya
ingin menikmatinya. Ibu Winantu sangat ahli menjilati
memek saya, dengan lembut dia membuka lebar paha saya
dan membuka pelan-pelan bibir kemaluan luar saya. Saya
merasakan sangat nikmat dibawah sana, di kemaluan
saya, ketika lidah Ibu Winantu menjilat-jilat kemaluan
bagian dalam saya, sungguh enak dan nikmat sekali,
terutama ketika bibirnya yang basah menjilati klitoris
saya. Saya menutup mata menikmatinya, tetek saya juga
ikut mengeras, kedua tangan saya meremas bahu Ibu
Winantu yang berjongkok di depan saya. Saya menutup
rapat-rapat bibir saya terdiam, sambil menggigit
kencang bibir saya, enak sekali, enak sekali, enak
sekali.
Hanya napas saya makin lama makin berat, dan makin
lama saya makin merasa kemaluan saya makin basah dan
makin basah.
“Ooohhhhhhhhhh…”, saya mendesah agak keras, saya
merasa melayang dan lupa segala dalam sesaat. Kemaluan
saya bagian dalam terasa berdenyut-denyut
berkepanjangan, tubuh saya serasa melayang dengan
segala rasa yang pernah saya alami. Untuk pertama
kalinya saya merasa mulai mengetahui kemaluan saya
sendiri dan kenikmatannya yang luar biasa. (itu
namanya orgasme, yaa).
“Sudah, dik ?” suara Ibu Winantu menyadarkanku
“Maaf, Bu”, sambil saya memeluk tubuh telanjang Ibu
Winantu yang sudah kembali berdiri dihadapan saya.
Saya merasa ingin dibelai dan disayangi, disamping
tubuh saya yang mendadak lemas, setelah merasakan
puncak kenikmatan tadi.
“Tidak apa-apa” Ibu Winantu masih tersenyum “Wajar
saja, tidak usah khawatir” Ia melanjutkan. Sambil
dipeluknya tubuh saya yang juga telanjang. Dia raih
kepala saya, dan diciumnya bibir saya dengan lembut,
lidahnya juga masuk kedalam mulutku, menjilati lidah
saya. Untuk pertama kalinya pula saya merasakan ciuman
dari seorang wanita, apalagi wanita matang dan
berpengalaman seperti Ibu Winantu. Ternyata lebih
nikmat dan halus, dibanding ketika pertama kalinya
saya merasakan ciuman dari seorang cowok.
“Ayo dik, lekas mandinya” “Nanti malam giliran saya
ya”, Ibu Winantu tersenyum penuh arti pada saya.
Saya mengangguk pelan, dan ingin “waktu” itu segera
datang.
Malam itu, setelah tugas-tugas sebagai perawat telah
selesai, di kamar tidur perawat saya belajar
“melayani” Ibu Winantu, ternyata indah sekali. Sungguh
hari itu, sore dan malam yang tidak terlupakan.
Sejak saat itulah pula, Ibu Winantu menjadi mentor
saya. Saya selalu menunggu waktu-waktu tugas bersama
lagi dengan Ibu Winantu dan kencan-kencan kami lainnya
di luar jam dinas Rumah Sakit, berbagi waktu dengan
“suami” tidak resmi Ibu Winantu, dokter Calvinus,
seorang dokter Kebidanan.