Cerita ini terjadi sekitar 15 tahun yang lalu, tapi merupakan awal yang mempengaruhi perilaku seks yang kujalani sampai saat ini. Waktu itu aku seorang mahasiswa semester 3 di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Sebenarnya aku termasuk mahasiswa yang cukup berprestasi di kampus, terbukti dengan seringnya aku diikutsertakan oleh dosen/pengajar apabila mereka akan mengadakan penelitian ilmiah. Tapi sayangnya akibat pergaulan yang kurang baik, ditambah dengan problema yang kuhadapi (saat itu kurasakan cukup berat), aku terjebak kecanduan narkotika, walaupun sebenarnya baru pada tahap kecanduan awal.

Problem yang kuhadapi ialah putusnya hubunganku dengan pacarku di desa (lebih tepatnya diputusin), dengan alasan yang aku sendiri tidak mengerti. Aku merasa tidak dihargai karena tidak mendapat alasan yang jelas, padahal hubungan kami sudah berjalan sejak kami masih SLTP. Tapi sudahlah, karena bukan itu sebenarnya yang ingin kuceritakan.

Malam itu, sepulang dari rumah seorang teman aku mengendarai sepeda motor bebekku dengan kepala sedikit berat akibat pengaruh obat yang belum terlalu turun, tapi kupaksakan juga karena besok pagi-pagi sekali aku ada janji dengan seorang dosen untuk membantunya mengumpulkan data-data yang berhasil kami kumpulkan (yang tentunya dia yang membuat pertanyaan, aku hanya membagikan kuisioner pada obyek penelitian).

Aku mengambil jalur yang biasa kulalui yang melewati Jl. Saparua (gelora) yang kalau malam banyak kaum waria yang mejeng mencari langganan. Aku tidak pernah perduli karena memang aku sama sekali tidak tertarik oleh yang palsu semacam itu. Tapi malam itu secara sadar atau tidak sadar aku berhenti ketika seorang waria melambaikan tangannya. Aku hanya berpikir seksi sekali ini orang (tentunya dalam cahaya yang remang-remang dan pengaruh obat yang masih bersisa di kepalaku).

Kupinggirkan bebekku mendekatinya. Setelah kudekati memang ternyata selain seksi juga manis dan mulus. Ia memakai baju malam (aku tidak tahu namanya) yang talinya kecil atau malah mungkin mirip baju tidur, hanya saja bahannya mungkin lebih bagus. Dadanya yang menonjol karena terdorong buah dada yang cukup besar hanya setengahnya tertutup, seolah-olah mendesak untuk segera keluar. Lengan dan kakinya tidak berotot seperti seharusnya seorang lelaki, itu terlihat karena ia memakai minidress. Kulihat wajahnya juga manis dan tidak kaku. Lama aku bertanya dalam hati, ini cewek beneran kali.

Tiba-tiba, "Mau kemana Mas..?" ia bertanya yang membuat buyar pertanyaan-pertanyaan di kepalaku.
"Mau pulang." aku menjawab asal-asalan.
"Kok pulang sih.., kan belum malem. Ngobrol dulu yuk..!" ia bertanya lagi (memang suaranya sedikit lebih ngebas dari suara wanita, atau mungkin seperti suara wanita perokok).
"Ini kan lagi ngobrol." aku merespon lagi.
"Ngobrol di sana aja, sepi.. yuk..!"
"Kemana..?"
"Tuh, ke samping gelora."

Akhirnya aku seperti kerbau yang dicocokin hidungnya, menurut saja. Ku-start motor dan ia langsung duduk diboncengan sambil tangannya, ya ampun.., ini tangan bukan pegang samping jok motor atau mungkin pinggang, eh malah menempel di antara kedua pahaku, tepatnya rudalku. Aku diam saja, pura-pura tidak tahu. Motor kujalankan dan tangannya malah menjadi meremas barangku. Aku sedikit grogi juga, tapi yang jelas burungku mulai terusik karena terasa sudah mulai mengeras.

Akhirnya kami sampai di samping gedung olahraga yang memang gelap dan sunyi sekali. Kalau diperhatikan lebih teliti, maka akan terlihat bayangan orang-orang yang tidak jelas sedang melakukan apa, yang pasti mereka sedang melakukan adegan ngeseks. Aduh gimana ini sebenarnya, aku ingin menolak dan membalikkan motor terus pulang, tapi aku seperti tidak berdaya dan terus saja mengikuti perintahnya. Akhirnya ia menyuruhku untuk berhenti.

"Motornya diparkir di sini aja..!"
"Aman ngga..?" (aku sedikit was-was).
"Aman dong..! Tuh.., yang lain juga diparkir di situ..!"

Akhirnya kustandarkan motor dan berjalan mengikutinya. Kami sampai tepat di teras samping gedung. Di sana ada tumpukan peti, tepatnya stage level. Kami duduk di situ dan mulai ngobrol kesana kemari. Baru kutahu ternyata namanya Emma. Aku tidak tahu kalau siang apa namanya jadi Eman. Aku sudah tidak perduli lagi.

"Idih.., ada yang berdiri tuh..!" ia mulai memancing.
"Siapa..?" karena aku memang tidak tahu maksudnya.
"Tuh..! Nih.., kan udah keras gini..!" katanya lagi sambil tangannya memegang rudalku yang memang akibat remasannya tadi sewaktu dibonceng malah sampai sekarang tidak mau tidur lagi, kudiamkan saja.

Rupanya ia tidak mau kehilangan momentum yang sudah hampir sempurna.
"Boleh liat ngga..?" tanyanya.
Tanpa menunggu jawabanku, langsung dibukanya risluiting celanaku. Tentu saja senjata yang sejak tadi sudak mendesak langsung tegak menantang langit seolah merasa merdeka.
"Wou.., gede amat punyanya..!"
Aku tahu itu hanya untuk menghibur, karena rudalku termasuk ukuran yang biasa-biasa saja, tidak istimewa.

Aku masih diam walau aku merasakan nikmatnya. Rupanya ia ternyata langsung jongkok di depanku, mulutnya tepat berada di depan batangku itu. Tanpa basa basi lagi diturunkannya celanaku sampai sedengkul. Wuah.., langsung dilumatnya kemaluanku sambil gerakan kepalanya maju mundur, dan tangan kanannya meremas buah kemaluanku, sedangkan tangan kirinya masuk t-shirt-ku. Tangan kirinya ternyata mampir di putingku yang kemudian dipilinnya perlahan-lahan.

Kemudian dicabutnya penisku dari mulutnya, lalu dipegangnya oleh tangan yang tadi memegang buah kembarku. Diangkatnya sang penis, lalu kemudian ia menjilat leher rudal sebelah bawah. Ough.., aku merasa melayang, terus terang ini merupakan pengalaman pertama punyaku dihisap orang. Aku termasuk konvensional dalam urusan posisi sex, dan itu pun hanya beberapa kali yang sempat kulakukan bersama bekas pacarku.

Setelah puas menjoli, dimasukkannya lagi sang burung ke dalam mulutnya, sementara tangan yang satu tadi menyelinap ke balik buah zakar dan kemudian ternyata mengelus anusku. Aku hanya sempat bersuara kecil tanpa dapat menghalangi lagi jarinya. Terlihat sedikit jarinya diberi ludah dan dilanjutkannya permainan jarinya di lubang duburku. Serasa ada seribu balon gas diikatkan di tubuhku dan aku merasa melayang, dapat dibayangkan tiga titik yang sensitif disentuhnya bersamaan. Aku hanya dapat merem melek dengan penuh nikmat.

Sudah dapat kuduga, aku tidak akan bertahan lama karena proses pengeroyokan pada titik sensitif tersebut. Aku merasa ada yang mendorong dari dalam rudalku yang meminta untuk keluar.
"Mbak.., aku mau.." belum selesai aku bicara, "Crot..! Crot..! Ouwh..!" pecah sudah magma dari dalam rudalku.
Ia masih tetap mengulumnya sambil mempermainkan lidahnya di kepala rudalku, rasanya ngilu, nikmat, super nikmat. Dan gilanya, ditelannya air maniku sampai bersih dan tidak perlu tisue lagi untuk membersihkan kepala rudalku.

Kami kemudian ngobrol kesana kemari, ia minta diantar pulang kalau aku tidak keberatan. Kupikir tidak apa, sambil pulang dapat lewat jalan rumahnya, toh sudah malam tidak akan ketemu teman di jalan. Akhirnya kami berboncengan dengan mesranya menuju rumahnya. Selama perjalanan tangannya tetap meremas-remas rudalku yang tentu saja bangun lagi.

Kami sampai di sebuah paviliun yang cukup luas. Motor kuparkir di teras, sementara ia membuka pintu. Aku parkir motor karena ia memintaku minum coklat panas dulu, biar segar katanya. Anehnya aku juga tidak menolak. Aku masuk ruang tamu berukuran sekitar 5x5 meter yang ternyata merangkap sebuah salon kecil yang terawat rapih dan bersih. Dipersilakannya aku duduk dan ia masuk ke dalam.

Tidak berapa lama ia sudah kembali membawa dua gelas coklat hangat.
"Ayo diminum dulu Mas mumpung masih hangat..! Aku tinggal dulu sebentar ya..!" katanya yang kemudian ia masuk ke belakang.
Sambil minum coklat, mataku memperhatikan ruangan mini salon dengan beberapa poster yang merupakan contoh model potongan rambut. Ada tiga set kursi potong, satu buah tempat cuci rambut, dan asebagainya yang membuat pengaturan ruangan tersebut terkesan sempit.

"Kecil ya rumahnya..?" katanya yang tiba-tiba ia sudah masuk kembali ke ruang tamu.
Bajunya sudah diganti dengan baju tidur warna peach yang transparant, dan terlihatlah keseluruhan tubuhnya yang hanya tertutup BH dan CD pada bagian-bagian tertentu.

Deg.., aku merasa gugup menyaksikan pemandangan yang ada di depan mataku. Body yang begitu sempurna. Tingginya sekitar 170 cm, payudaranya aku tidak tahu ukurannya, tapi yang jelas cukup besar. Kulitnya putih mulus, rambutnya ternyata panjang asli, wajahnya segar dan lebih manis karena hanya sedikit menggunakan make-up. Aroma wanginya betul-betul membuatku terangsang lagi karena wangi sabun mandi (mungkin habis mandi). Aku paling suka melihat wanita (termasuk dirinya) habis selesai mandi, karena terlihat segar dan wanginya lembut alami.

"Mau cuci-cuci dulu Mas bekas tadi..?" ia menawarkan, "Tuh di sebelah sana, masuk aja..!" sambunganya sambil tangannya menunjuk ke dalam.
Kupikir benar juga, biar kucuci sekalian deh.
Aku diantarnya ke dalam. Aku masuk kamar mandi yang cukup bersih dengan keramik tile yang dominan berwarna krem, maka terlihat bersih dan seolah lebih luas. Kubuka celanaku dan mulai mencuci sang rudal yang tadi sudah dikulum Emma.

Tiba-tiba, "Tok.. tok.. tok.." pintu kamar mandi diketuk.
"Mas.., ini handuknya..!" katanya.
Oh iya, aku lupa pinjam handuk. Karena si otongku belum tidur juga, aku malah punya rencana usil ingin disedot lagi biar nyucinya sekalian.

Pintu kubuka dalam posisiku masih tanpa celana dan tidak berusaha kututupi.
"Ih.., kok masih bediri aja sih..? Belum puas ya..!" begitu komentarnya sambil menyerahkan handuk, tapi matanya tetap tertuju ke rudalku.
"Iya nih.., masih kurang kali..!" jawabku sambil menerima handuk dan memegang tangannya, lalu kemudian menariknya ke dalam.

"Aduh.. duh.. apaan sih..? Kok buas banget, sabar dong Sayang..!"
Aku sudah tidak sabar lagi, kutarik ia ke kamar mandi, kupeluk, kuciumi lehernya dan tanganku berusaha menyelinap ke dalam daster untuk membuka tali BH-nya. Aku memang tidak membuka dasternya, nanti saja kupikir biar sedikit-sedikit.

Setelah tali BH-nya kulepas dan kuturunkan talinya, maka menyembullah dua buah bukit yang sudah dari tadi kuidamkan. Langsung kulumat.., wuh nikmat sekali wanginya. Aku semakin terangsang, kujilat putingnya dan kukulum sambil kugigit kecil bergantian kiri dan kanan. Emma menggelinjang, kadang terdengar suaranya melenguh.

"Auh.. uh.. terus Mas..! Uh.. digigit Sayang..! Auw.. enak Mas.., auh..!" terus saja ia berkicau tidak jelas.
Tangan kanannya sudah mengocok penisku yang membuatku tambah lagi nafsunya. Tanganku yang satu memegang puting satunya yang tidak sedang kuhisap. Secara refleks tanganku yang satunya turun menelusuri perut dan terus ke bawah. Eit.., aku kaget. Ternyata ada yang mengeras di antara selangkangannya. Aku lupa bahwa Emma sebetulnya juga sama seperti aku, ada rasa bingung campur kaget sesaat, tapi anehnya aku sudah tidak perduli lagi karena nafsu yang semakin membeludak dan pengaruh obat-obatan yang juga belum turun.

Bersambung...