Mulai bulan ini aku mendapat tugas ke lapangan di Pulau Kalimantan untuk menjadi care taker site manager untuk proyek pembuatan jalan propinsi. Site manager yang lama terkena kasus penggelapan uang perusahaan dan sudah diselesaikan secara intern perusahaan. Sebenarnya aku belum terlalu pas untuk posisi ini. Namun karena sudah tidak ada lagi person yang bisa dan siap dikirim, maka akhirnya pilihan itu jatuh kepadaku. Aku harus mengepalai dan mengatur segala sesuatu di lapangan sampai perusahaan mendapatkan orang yang cocok untuk menduduki posisi ini.

Sudah dua minggu aku di lapangan. Rasanya enjoy saja. Hitung-hitung refreshing melepaskan diri dari kesibukan dan rutinitas Jakarta. Lokasi camp tidak jauh dari kampung terdekat, hanya sekitar 500 m. Camp kami terdiri dari kurang lebih tigapuluh barak untuk keluarga dan bujangan. Sebenarnya aku mempunyai hak untuk menempati mess Direksi. Namun karena sepi tidak ada teman, maka aku lebih banyak tidur di mess bujangan. Dari delapan kamar hanya ada sekitar lima orang yang tidur secara tetap di mess bujangan. Aku mengambil kamar paling belakang.

Di belakang mess bujangan terdapat rumah seorang warga yang menjadi sub kontraktor untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat dikerjakan dengan tenaga manusia. Kami biasa memanggilnya dengan nama Pak Joko. Aliran listrik di rumah Pak Joko mengambil dari aliran listrik camp. Aku belum pernah melihat istrinya dari dekat, namun kulihat sekilas ia bertubuh kecil dan berkulit putih bersih.

Untuk mengisi waktu senggang dan membunuh rasa sepi maka hampir tiap malam aku ada di kantor ditemani dengan radio dua meteran. Mulanya agak canggung, namun kemudian asyik juga rasanya bisa berkomunikasi dengan breaker lokal di sana. Kalau sudah bosan nge-break paling-paling nonton televisi. Tidak ada hiburan lainnya. Ibukota propinsi jaraknya kurang lebih 300 km dari site.

Suatu malam ketika aku sedang cuap-cuap di depan radio, tiba-tiba ada suara wanita yang menyela masuk dan kemudian mengajakku berpindah jalur. Setelah berpamitan dengan warga yang masih aktif kamipun berpindah ke frekuensi yang ditentukannya.

"Malam, Ageng," suara wanita tadi menyapaku. Aku menggunakan nama Ageng untuk nge-break di sini. Aku pilih nama itu asal saja, karena enak didengar dan mudah diingat. Tidak ada maksud tertentu.
"Malam, ini siapa ya?" tanyaku penasaran.
"Penasaran ya? Ini Lisa," ia menjawab.
"Kalau boleh tahu Lisa posisi di mana?"
"Seputaran Camp..". Ia menyebutkan camp tempatku berada.

Aku semakin penasaran, tetapi ia tetap tidak mau menyebutkan lokasi persisnya di deretan camp yang sebelah mana. Beberapa karyawan camp memang dibekali dengan HT untuk memudahkan komunikasi jika mereka sedang bekerja di lapangan. Aku berpikir jangan-jangan Lisa ini istri salah seorang karyawan camp. Aku tidak berani berbicara yang nyerempet-nyerempet, malu khan kalau ia benar-benar istri karyawan di sini.

"Kok namanya Ageng. Apanya yang 'ageng'?" ia berbisik. Ageng artinya besar. Suaranya sengaja didesahkan. Busyet!! Justru ia yang mulai menggodaku. Aku tidak mau menanggapi sebelum tahu persis siapa Lisa ini.
"Udahan ya, udah malam. Aku mau nonton TV dulu. Cherio.. Dan 73-88," kataku sambil memutar tombol power ke posisi off. Sekilas sebelum pesawat mati sepenuhnya kudengar Lisa berteriak"Ageng, tunggu du..".

Dari kantor aku berjalan kurang lebih 200 m untuk sampai di mess bujangan. Sebelum masuk ke kamar sekilas kudengar dari rumah Pak Joko suara wanita sedang nge-break. Atau jangan-jangan..! Ah sudahlah. Aku sudah mengantuk dan esok pagi aku harus masuk ke lapangan untuk melihat konstruksi jembatan yang sedang dikerjakan.

Beberapa malam kemudian di udara Lisa masih juga menggodaku dengan nada suara yang dibuat-buat dan kata-kata yang konotatif. Aku tak tahan memendam penasaranku. Esoknya akhirnya aku bertanya pada Pak Dan seorang karyawan yang memegang HT.

"Pak, sebentar Pak," kataku sambil melambaikan tangan. Pak Dan kemudian menuju ke tempatku berdiri.
"Ada apa Pak Anto?" tanyanya heran.
"Maaf Pak, beberapa malam saya nge-break dengan seorang perempuan bernama Lisa. Siapa dia Pak? Istri karyawan?" tanyaku.
"Bukan Pak. Itu kan istrinya Pak Joko. Kenapa? Bapak digodain ya. Ia memang biasa ngomong yang ngeres-ngeres kalau lagi di udara," kata Pak Dan.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Ya sudah Pak Dan. Silakan melanjutkan pekerjaan".

Malamnya aku ketemu lagi dengan Lisa di udara. Kembali ia mengajakku mojok ke frekuensi yang tidak dipakai.

"Selamat malam Ageng.. Anunya", ia langsung menggodaku. Pada saat mengucapkan kata terakhir sengaja ia menurunkan volume suaranya.
"Malam Lisa yang ge.. Lisa.. Aah. Geli dan basah," akupun balas menggodanya. Kini aku tahu siapa dia.
"Yang dicari kan yang bikin geli dan kalau nggak basah nanti lecet dong..," katanya lagi.

"Dan kalau nggak ageng nggak enak dong..," kataku menimpali. Ia terkikik. Kami terus berbicara dengan kata-kata yang nyerempet-nyerempet. Setelah beberapa lama aku tak tahan lagi, bahaya kalau nanti aku jadi kepikiran terus dengan kata-katanya. Di ujung kampung ada juga tempat prostitusi liar dengan belasan PSK. Namun masakan aku harus antri di sana dan berebut dengan karyawan perusahaan kayu di sebelah dan dengan karyawanku sendiri. Bisa jatuh merk.

Paginya aku mandi agak kesiangan. Mess sudah sepi, semua penghuninya sudah berangkat kerja. Kamar mandi terletak di bagian belakang mess. Karena penghuni mess semuanya laki-laki, maka kamar mandi dibuat untuk mandi beramai-ramai. Dinding belakangnya tidak tertutup sampai ke atas, paling hanya setinggi dua meter. Rumah Pak Joko terlihat jelas dari kamar mandi karena memang letak rumahnya di bagian tanah yang agak tinggi.

Aku mandi dengan santai. Siang ini tidak ada rencana ke lapangan dan dalam briefing sore kemarin sudah kujelaskan pekerjaan masing-masing bagian untuk hari ini. Ketika melihat ke arah rumah Pak Joko aku tercekat ketika kulihat Lisa melihat ke arahku. Meskipun aku mandi dengan tetap mengenakan celana dalam namun tak urung aku merasa jengah juga ditelanjangi oleh tatapan matanya. Ia menatapku dengan tatapan sayu dan gigi atasnya menggigit bibir bawah. Aku segera menyelesaikan acara mandiku.

Malamnya aku duduk di teras mess dengan beberapa warga kampung yang ikut menumpang nonton tv. Tiba-tiba Lisa datang dengan membawa rantang dan memberikannya pada salah satu penghuni mess. Sambil menunggu rantangnya, Lisa duduk berseberangan denganku.

"Malam Pak Anto. Lagi santai nih?" tanyanya berbasa-basi.
"Eh.. Malam juga Bu Joko. Yahh lagi pengen nonton TV," jawabku.
"Nggak on air malam ini?" tanyanya lagi.
"Sebentar lagi mungkin Bu. Nonton berita dulu sebentar".

Kupandangi istri Pak Joko ini. Selama ini aku hanya melihatnya dari kejauhan. Tubuhnya kecil, kuperkirakan 150 cm dengan berat seimbang. Dadanya cukup besar untuk ukuran tubuhnya. Kulitnya putih bersih.

Dari dalam mess keluar anak yang tadi membawa rantang.

"Maaf Bu Joko, nggak ada tempat kosong di belakang. Jadi rantangnya biar di sini dulu, besok saya kembalikan ke rumah," katanya.
"Ya sudah. Ini tadi bikin kolak kebanyakan. Bapaknya nggak pulang. Sayang kalau dibuang, makanya saya bawa saja ke sini," kata Lisa sambil menatapku.
"Terima kasih kalau begitu. Kebetulan saya juga masih lapar," kataku.

Akhirnya setelah bercakap-cakap sebentar ia minta diri untuk pulang. Kalau di darat nada bicara dan bahan obrolannya biasa saja, namun kalau sudah di udara. Hhhkkh bikin kita gemas dan BT. Bawah tegang.

Beberapa malam kemudian kulihat rantang yang dibawa Lisa masih tergeletak di meja belakang. Rupanya anak-anak ini lupa mengembalikannya. Kurapikan rantangnya dan aku berniat untuk mengembalikannya.

Ketika aku sampai di rumahnya kulihat Lisa sedang duduk di teras rumah, sedang bermain dengan anaknya. Ia terkejut, tidak menyangka kalau aku sendiri yang mengembalikan rantangnya. Ia berdiri dan menyongsongku.

"Aduhh Pak Anto. Mestinya biar anak-anak itu saja yang mengembalikan ke sini," katanya sambil menerima rantang.
"Nggak apa-apa kok Bu. Sama saja. Toh juga bukan barang yang berat untuk ditenteng," kataku.
"Masuk dulu Pak. Ini lagi main sama Ryan"
"Oom kok nggak pernah main ke sini sih. Om sombong deh," kata Ryan menimpali pembicaraan ibunya. Ryan masih duduk di kelas dua SD.
"Ah nggak kok Ryan. Ini Om kan main juga ke sini. Bapak kemana?".
"Bapak masih kerja di dalam hutan".

Kami bertiga duduk di teras rumahnya dan ngobrol. Ternyata nama sebenarnya adalah Arlina, namun di lingkungan sekitar camp sampai ke kampung ia lebih tenar dengan nama udaranya, Lisa. Sesekali Ryan memotong pembicaraan kami. Setelah lima belas menit Lisa menyuruh Ryan masuk untuk belajar. Lisa kembali menggodaku dengan kata-kata yang menjurus dan desahannya yang khas.

"Sudah sebulan Pak Anto di sini. Sudah penuh dong.. Isi kantong celananya,"
"Ya, namanya juga jadi buruh. Kalau nggak begini nanti nggak makan," jawabku tanpa menanggapi godaannya.

Entah bagaimana mulanya Lisa pun bercerita tentang keadaan rumah tangganya. Ia sering merasa kesepian karena Pak Joko lebih sering berada di lapangan dan di rumah istri mudanya. Bahkan belakangan ini ia mendengar kabar Pak Joko sudah punya simpanan lagi. Aku yang sudah lama tidak merasakan kenikmatan bercinta, tiba-tiba saja merasa bahwa Lisa memberikan satu peluang untukku.

Aku permisi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ia mengantarku masuk ke dalam rumah dan terus ke bagian belakang. Setelah selesai buang air kulihat Lisa sedang sibuk di dapur. Kudekati ia dari belakang dan kupegang bahunya. Ia berbalik dan menatapku. Kukecup bibirnya. Ia diam saja. Kukecup sekali lagi. Kali ini ia membalas dengan lembut. Kupeluk, kepalanya kurebahkan ke dadaku dan kuusap-usap rambutnya.

"Sudah Pak Anto. Nanti Ryan melihat kita," katanya pelan.

Kami kembali ke depan dan kini kulihat sorot matanya lebih bersinar. Memancarkan suatu gairah. Setengah jam kemudian aku berpamitan pulang.

"Kalau Pak Anto menginginkanku, kutunggu nanti malam".
"Aku tak berani. Takut kalau nanti Pak Joko tiba-tiba datang".
"Biasanya kalau sudah lewat jam satu malam Bapaknya tidak pulang. Nanti kalau lampu sudut rumah kumatikan artinya Bapaknya nggak ada".

Akupun pulang dan mencoba tidur. Tapi sulit bagiku untuk memejamkan mata. Undangan dari Lisa sungguh mengusik pikiranku. Jam setengah dua aku terbangun dan kulihat ke belakang sudut rumahnya terlihat gelap. Sayup-sayup kudengar breaker di radio dari dalam rumahnya, rupanya Lisa belum tidur dan sengaja menungguku. Aku bimbang antara ya dan tidak untuk memenuhi ajakan Lisa. Kutimbang-timbang kalaupun Pak Joko tidak datang masih ada Ryan yang mungkin saja terbangun. Kupikir terlalu besar resikonya. Sampai pagipun aku sulit untuk memejamkan mata. Bayangan tubuh Lisa terus menggodaku. Tanpa kupaksa keluar dengan bantuan tanganpun esok paginya beberapa noda berwarna putih menempel di bagian depan celana dalamku. Paginya ia berdiri di depan rumahnya dan ketika aku mandi ia menatapku dengan pandangan kecewa.

Bersambung...