Novie, pacarku ini orangnya lugas. Soalnya sudah menjadi Account Manager di suatu biro iklan, diberi mobil perusahaan dan punya rumah sendiri, tetapi tidak mau di kantor mempunyai status married. Umurnya 30-an, tetapi sudah "main-main" denganku sejak usia 23 tahun.

Badannya ramping dan aku senang payudaranya yang tidak besar (justru tidak mudah "peot"). Kalau payudaranya aku isap lama-lama, dia akan dorong kepalaku, "Aku sudah terangsang, lagian 'ntar putingnya gede peperti orang punya anak, susah aku!". Permainannya sering membuatku kelimpungan saking enaknya, desahannya kalau lagi syuur sangat menggugah gairah. Yang aku senang, kalau sedang menginap di rumahnya, pagi-pagi kalau mebangunkanku, dia pegang-pegang penisku (kalau tidur aku tak pakai CD dan hanya pakai celana pendek). Biasanya dia sengaja telanjang bulat, dengan posisi "69", dia pegangi dan masukin penisku ke mulutnya dan dijilatinya sampai penuh berlumuran liurnya. Kalau aku terbangun, dia tidak mau kujilatin clitorisnya. Maunya dicium-cium saja sambil digelitiki.

Kalau "gairahnya sudah naik", dia akan berbalik, aku ditelentangin dan dia naik ke atas badanku sambil memasukkan penisku ke vaginanya. Kalau itu terjadi pagi hari, kami akan langsung main dan cepat selesai. Kalau ini terjadi sore atau malam hari, permainan dapat berlangsung lama. Kalau di kantornya ia merasa horny, dia akan menelepon minta bertemu. Lalu kami bertemu di motel. Kalau mainnya di motel, dalam waktu 4 jam, kami dapat mengulangnya sampai 3-4 kali. Ini yang disenanginya dariku. Dapat main beberapa kali dalam waktu 3-4 jam. Dia memang sangat free soal beginian dan model aktif. Kalau sudah di atas badanku, dia akan terengah-engah dan tersengal-sengal, pantatnya dinaik-turunkan, berputar menikmati sensasi seksual yang dirasakannya. Kepalanya melengak-lengok, matanya merem-melek, satu tangan memegangi selangkanganku, ibu jari dan telunjuk tangan yang lain meremasi putingnya sendiri. Tanganku kadang ikut meremasi payudaranya atau memegangi pantatnya, ikut mengatur irama naik turun badannya di atas penisku. Kalau pas seperti ini, aku senang melihatnya sedang menikmati sensasi semacam itu. Apalagi kulitnya putih (keturunan Cina), perutnya datar, mukanya memancarkan gairah yang meledak-ledak. vaginanya sangat banyak berair (menurut pengalamanku, keturunan Cina biasanya begitu), sampai berbunyi "Plok.., oplok.., cipak.., oplok.., ciplak.., ciplak.., oplok".
cara "naik kuda" ini berlangsung kurang lebih 3 menit. Lalu ia mengerang-erang dan minta ganti posisi. Ia lalu membaringkan diri di atas badanku, dengan menggit bibirku, menyelipkan lidahnya kesana-kemari sambil memeluk, dia membalikkan badanku.

Setelah berada di bawah, pantatnya naik-turun dengan hebatnya. Atau diputarnya sedemikian rupa, sehingga aku yang kelimpungan keenakan. Kadang bed tempat kami main cinta akan demikian kusutnya, karena kami bergerak dengan liar kesana-kemari secara diagonal. Dari sudut kiri bawah (bagian kaki bed), lalu ke sudut kanan bawah. Lalu ke kanan atas (bagian kepala), lalu ke tengah lagi. Kemudian ke kiri, ke kanan, ke tengah, begitu terus tidak bisa diam. Gerakannya sangat ekspresif. Kadang rambutku diremas-remas habis, atau tangannya juga melambai-lambai kesana-kemari, mulutnya menggumamkan segala macam kata.
"Enaak.., lagii.., masukin semuaa.., tekan dongngng.., bagian kiri (vaginanya maksudnya) mbok diteken.., aahh.., laaggii.., tekeenn.., ahh". Biasanya bagian seperti ini berlangsung 10 menitan. Kalau akan orgasme, dia akan menggeram keras-keras sambil menggurat-guratkan tangan ke punggungku. Ini tandanya giliranku menyerang. Pantatku akan bergoyang demikian hebat, penisku cepat sekali keluar-masuk vaginanya. Sampai akhirnya, terlepaslah spermaku. Merasakan cairan hangat ini menyemprot deras memasuki sudut-sudut vaginanya, dia akan memelukku erat-erat. Hebatnya, tidak seperti cewek-cewekku yang lain, begitu selesai, begitu penisku dicabutnya dan ia langsung memakai pakaiannya. Cewek-cewek lain kan biasanya menikmati rasa nikmat itu dulu, tiduran telanjang sambil berpelukan. Cewek lain malah memintaku di atas tubuhnya terus selama mungkin. Kadang sampai ia tertidur. Dan penisku lemas sendiri dan keluar sendiri. Tetapi ya memang lain-lain perilakunya. Salah satu yang disukai Novie ini adalah melakukan permainan seks di dapur, sambil berdiri. Biasanya kami memutar video porno dulu. Ini dilakukan di ruang tengah, tidak di kamarnya. Biasanya pembantunya sudah tidur. Sambil tangan kami berusaha "ramah" (rajin menjamah bagian badan masing-masing), mata melihat video. Yang disukainya adalah ketegangannya, apalagi kalau pembantunya sempat lewat mau pipis ke kamar mandi pembantu. Biasanya saluran TV-nya langsung dipindah ke acara lain, sampai pembantu masuk lagi ke kamarnya. Kalau sudah sampai puncak tidak dapat menahan diri, ia akan menyeretku ke dapur.

Ia duduk di bibir tempat masak, kakinya menjuntai. Kepalaku dibimbingnya ke arah puting susunya yang putih dan sudah tegang, sementara tanganku dimasukkannya ke dalam vaginanya sambil memelorotkan celananya. Lalu baju atau kaos atasnya juga aku pelorotin. Tangannya berusaha menurunkan retsleting celanaku, memelorotkan celana pakai kakinya, sambil mengeluarkan penis yang sudah tegang. "Besar amat..", bisiknya sambil mengelus ujung kepala penisku. Sensasinya, menurut tukar pengalaman kami, seperti kalau putingnya yang sudah tegang dielus-elus atau diisap-isap. Lalu dielus-eluskannya ujung kepala penis itu ke mulut vaginanya. Ia tidak suka kalau dimasukkan dengan tergesa-gesa. Kalau merasa sudah tak tahan, segera didekapnya badanku dan "blees", kepala dan badan penisku hilang masuk ke vaginanya yang sudah basah. Supaya mudah, ia akan turun dari bibir tempat masak, dan mulai gila menggoyangkan pantatnya atau memaju-mundurkannya dengan rengekan manja. Sering sampai mulutnya kututup pakai tangan, supaya pembantunya tidak terbangun. Kalau bersetubuh sambil berdiri ini, ia tidak akan tahan sampai lama. Begitu keluar, ia minta aku juga mempercepat serangan. Dalam hal ini, pancaran spermaku biasanya lebih keras dan lebih banyak, karena dia mengatakan semprotannya terasa sampai dalam.

Selama berhubungan denganku (8 tahun), katanya dia setia tidak mencari pria lain. Soalnya, pengalaman seksnya yang "mengesankan" pertamakali dirasakannya denganku. Aku sendiri selama itu sempat punya beberapa cadangan. Soalnya kadang-kadang kalau lagi sibuk mikirin kerja atau proyeknya, Novie sulit "diajak berhubungan". Atau dia cenderung memegang kendali. Jadi kalau sedang kecewa, aku sering mencari Neneng, perek bersih yang vaginanya nikmat dijilati dan suka menjilati penisku. Atau mencari Mona, janda yang kalau ketemu dari caranya memegangi badanku dan mendekapnya membuatku ini sepertinya tidak bakal dilepaskan. Neneng ini vaginanya kering, sehingga sering kuolesi pelumas supaya penisku mudah masuk. Bertemunya juga kebetulan. Ia liften, masuk mobil, langsung mencium karena katanya aku sangat ganteng wajahnya. Setelah itu tangannya beroperasi kesana-kemari dan minta minggir. Di situ aku mendapat the best blowjob I ever had, mengulum penisku sampai aku mengerang-erang sambil tetap duduk pegang setir, yang terasa hebatnya sampai ke otak. Dia turun ketika sudah sampai di tujuannya, menciumku sekali lagi, hilang begitu saja. Ketemu lagi 2 minggu kemudian. Sesuai latar-belakang budayanya, ia suka mijetin aku (kalau Novie, ia yang minta dipijetin).

Cuma, lama-lama setelah dekat, dia bilang, "Mungkin gue jatuh cinta nih ama lu".
Lalu sehabis itu kalau mau berhubungan, dia ada pada posisi yang menunggu. Tahu alasannya?, "Kan 'istri' tidak boleh minta dan agresif-agresif sama 'suami', begitu kata emak dulu", jawabnya. Busyeet deh, padahal aku suka keagresivannya! Neneng ini badannya sekal, payudaranya besar dan padat. Enak kalau dipegang dan diremas. Badannya wangi, nikmat banget kalau didekap. Potongan rambutnya selalu pendek dan aku suka itu. Aku paling senang menjilati vaginanya. Kalau aku sudah lemas setelah main 2-3 kali, dia menggesek-gesekkan pantatnya yang montok ke penisku, lalu dijilati dan penisku menjadi besar. Atau kalau tidak, ia main blowjob sambil merangsang buah zakar dengan teknik yang hebat. Aku selalu merem-melek dibuatnya. Aku berpisah dengan Neneng karena setelah jatuh cinta kepadaku, dia minta mundur, walaupun kalau ada tugas kantor keluar kota dia suka kuajak.

Kalau Mona, karena ia janda, kalau ketemu care-nya sangat baik. Kadang aku merasa di-rawat seperti anaknya. Kalau bertemu Mona selalu diawali dengan pemanasan seks yang menyenangkan. Kadang aku baru masuk rumahnya, pintu ditutup, aku lalu ditelanjangi di situ dan kami main di belakang pintu tanpa alas apapun. Mainnya tidak pernah hanya satu kali. Kadang setelah permainan kedua, dengan penis masih di dalam vaginanya, ia berdiri dan minta diantar ke dapur. Telanjang bulat berdua kami ke dapur. Di dapur main lagi sambil berdiri. Atau ke kamar mandi dan main lagi. Kalau dari depan pintu langsung naik ke tempat tidur, alamat aku tak akan boleh turun dari situ sampai keesokan harinya. Aku akan dijadikan pejantan setengah hari plus satu malam plus setengah hari lagi. Makan dilayani, digosok sebagai ganti mandi dan penis atau putingku jadi sasaran terus. Dia sangat suka kalau clitorisnya digosok-gosok. Kalau tidak dijadikan tawanan di tempat tidur, sehabis ditelanjangi pertama kali sejak datang, kami berdua tak akan berpakaian lagi. Makan dengan keadaan tanpa busana, mandi bersama, nonton TV juga hanya dengan mengenakan selimut. Anehnya, kalau di depan umum, Mona tak akan menyapa. Pernah janjian ketemu di satu mall, ia hanya memberi isyarat untuk mengikutinya dari belakang. Tak mau menjawab pertanyaan atau berjalan bergandengan.

Mona akhirnya diajak kawin lagi oleh mantan suaminya, yang memergokiku keluar dari rumahnya. Rasa cemburunya bangkit lagi, lalu minta kawin lagi dan Mona diboyong ke Itali. Tetapi semua itu aku rasa karena pengalaman dengan Novie membuat aku PD menghadapi cewek lain. Buktinya di Surabaya aku pernah ketemu cewek, main sampai 4 kali di hotel dan membayar cukup banyak. Eh, malam berikutnya dia datang lagi tanpa diundang (nunggu aku dulu pulang dari urusan kantor, di lobi lebih dari 2 jam), dan begitu juga 2 malam berikutnya.
Dia datang "menyerahkan tubuhnya" dengan suka rela!
"Enak bergaul, menggauli dan digauli sama kamu", katanya merem-melek. Tentang Novie sendiri, ketika ada orang yang naksir dia (berkedudukan mantap, lebih kaya), dan dia bilang "sudah butuh suami", aku dorong supaya dia mau menerima orang itu. Aku sendiri, katanya, nikmat diajak main sebagai "teman", tetapi bukan sebagai suami.
"Kebanyakan main-main di luar", katanya. "Yang jadi isteri pasti merasa tidak aman". (Terserahlah!-Who cares? Katanya, sebetulnya mereka merencanakan menikah akhir tahun 1999 ini, tetapi karena hitungannya (hitungan apa aku tidak mengerti) tak cocok, sehingga mereka akan menikah Februari 2000 nanti.

TAMAT

Setelah puas membasahi kelentit, aku pindah ke mulut vagina. Kuputar-putarkan tongkat kenikmatanku di mulut lorong Niki. Membuatnya semakin kelojotan dan medesah dengan sendu. Ia berusaha menekan tapi terganjal tangan yang menggenggam batangku.
"Masukin dong Mas..!" Niki menjerit lirih.
Dengan gemetar aku melepas tongkatku, topi bajaku menyentuh mulut vagina Niki. Kemudian dengan hati-hati ia mendorong pelan-pelan, sampai kepala penisku membenam di liang itu.

Aku mengerang, kepala kemaluanku seakan diremas oleh cincin yang melingkari liang sempit milik Niki.
"Uhh.. enak Yang..!" Niki tebeliak-beliak sambil melenguh ketika kemaluanku menyeruak masuk lebih dalam ke liang nikmatnya.
Dinding vaginanya yang lembut tergetar oleh nikmat yang menggelitik karena gesekan ototku.

Niki kemudian pelan-pelan mengangkat pinggul, menarik keluar batang kemaluanku. Ia mendesis panjang. Menggumam sambil menggigit bibir. Demikian pula ketika mendorong, menelan tongkatku yang kembali membenam di liang vaginanya. Niki merasakan nikmat yang tidak habis-habisnya.
"Auughh.. Yang..! Teruus..!"
"E.. emhh.. kamu goyyaang teruss..!"

Kemudian Niki memiringkan badannya, memberi kode padaku. Ia ingin di bawah. Aku menjawab dengan mengangkat alis, sambil mata berkeliling. Ia mengangguk, artinya aman. Lalu, tanpa mencabut batangku, Niki berbaring pelan-pelan dan aku bangkit bertumpu pada palang dinding bambu. Dari sela-sela krey, di restoran tampak dua orang sedang asyik nonton TV membelakangi saung kami. Niki berbaring miring menghadap dinding pagar. Sebelah kakinya melonjor di lantai, sebelah lainnya mengait di palang bambu. Tanganku pindah memainkan klitoris, sementara batang kemaluanku keluar masuk di liang vagina Niki. Membuat birahi kami semakin menggelegak.

Birahi yang makin memuncak membuat Niki dan aku terhanyut, tidak memperdulikan apa-apa lagi. Niki kini telentang, ia meraih bantal untuk mengganjal pantat, memudahkan kocokan batang penis di liang vaginanya. Pinggul Niki dengan lincah berputar-putar, sementara aku semakin cepat mengayunkan pantat, menyebabkan gesekan penis dan vagina semakin terasa mengasyikkan.

Tiba tiba Niki menegang. Pinggulnya menggelinjang dengan hebat. Matanya terbeliak dan tangannya mencakari pahaku dengan liar. Gerakannya semakin tidak beraturan, sementara kakinya membelit di pantatku.

"Akh.. cepetaan.. Yang..!" Niki mendesah-desah. "Gila.. enaak banget..!"
Ketika suatu desiran kenikmatan menyiram menjalari sekujur tubuhnya, ia menggelepar.
"Akuu.. keluaar.. laagii.. Yang.. kkamu..!"
Cakaran itu sama sekali tidak menghentikan gerakanku yang tengah menikmati remasan-remasan terakhir vagina Niki di kepala dan batang kemaluanku. Aku pun hampir mencapai orgasme.

Lalu, "Uhh.. aku keluaar Nik..!"
Aku mengocok dengan cepat dan menggelepar-gelepar tidak beraturan. Gerakan yang membuat Niki semakin melambung-lambung. Kemudian, kami berdua mengejang dengan saling mendesakkan pinggul masing-masing. Puncak birahi Niki menggelegak saat aku menumpahkan puncak kenikmatanku dalam-dalam membenam di vagina Niki yang meremas-remas dengan ketat, bersama semburan cairan kentalku.

Beberapa saat kemudian, kami saling memandang dengan diam. Diam-diam pula kami gantian ke kamar mandi membersihkan sisa-sisa tisyu, menghabiskan makan dengan cepat (dan ternyata tidak habis).
Sambil makan aku hanya bilang, "Nik, kalau ada apa-apa semua tanggung jawabku."
Niki tidak menjawab hanya tersenyum, menggenggam tanganku erat sambil tersenyum penuh kasih.

Dalam perjalanan kembali ke kantor kami tidak banyak bicara. Hanya saat berpisah ia berbisik, "Terima kasih, aku bahagia. Tapi tolong lupakan..!"

Kedua: Di Kantor

Sejak peristiwa di saung itu aku berusaha untuk bersikap biasa, dia juga. Kami masih kerja bersama, makan siang sama-sama dan bercanda seperti biasa, terutama di depan teman-teman. Tapi kami menghindari percakapan yang lebih personal, apalagi membicarakan peristiwa itu. Kuat juga usahaku untuk melupakan hal itu, tapi yang ada aku makin sering melamunkannya. Membayangkan desahan dan rintihannya, gelinjang-gelinjangnya, terutama remasan liang nikmatnya di penisku. Aku tidak dapat melupakannya!

Semakin hari aku semakin tersiksa oleh bayangan Niki. Setiap kali lengan kami bergesekan, dan ini tidak dapat dihindarkan karena memang selalu bersama, getaran birahi menjalari tubuhku, dan berujung di selangkanganku yang mengeras. Ia sendiri nampaknya biasa saja.

Suatu ketika dengan cuek ia menggayut di lenganku saat menaiki undakan ke kantin, burungku langsung menggeliat. Sesudahnya saat memesan makanan, sambil berdesakan ia menempelkan dadanya di lenganku. Aku langsung berkeringat, berusaha untuk tetap tenang ngobrol dengan yang lain di meja makan. Perlu setengah jam untuk 'menenangkan' burungku.

Sampai suatu hari, ia datang ke tempatku. Ruangku terbagi atas kotak bersekat setinggi dada. Setiap kotak berisi meja dan komputer untuk satu orang, yang kalau duduk tidak kelihatan, tapi kalau berdiri kelihatan sampai dada. Selain itu ada satu kotak yang agak besar berfungsi untuk ruang rapat, letaknya di ujung dan selalu sepi kecuali ada meeting.

Ia menghampiriku saat aku sedang sendiri di ruang rapat.
"Yang, nanti bantuin yaa. Aku mau ngelembur."
Panggilan 'Yang' membuat darahku berdesir.
"Boleh. 'Bor'-nya sapa yang mau dilempengin."
Aku melempar canda biar agak santai. Istilah 'ngelembur' oleh orang kantoran seringkali dipanjangkan sebagai 'nglempengin burung'.

"Nglempenginnya sih kamu buka internet aja. Aku sih bagian nglemesin..!" sahutnya cuek, sambil duduk di meja rapat, tepat di depanku.
Darahku berdesir, langsung kontak ke selangkangan dan mengeras. Aku menengok ke pintu masuk. Dua orang temanku sedang ngobrol asyik sekitar lima kotak dari tempatku, yang lain sedang keluar.
"Lagi sepi..!" katanya, menebak arah pandanganku.
Lalu ia mengalihkan pandangannya ke bawah, arah celanaku.
"Tuuh.. lempeng..!" ia terkikik sambil menyentuh dengan kakinya.

Untuk menetralisir, aku duduk di kursi sambil melonggarkan bagian depan celanaku.
"Sorry, aku nggak bisa ngelupain kamu," kataku sambil mencari posisi yang nyaman.
"Memangnya aku bisa..?" jawabnya.
Ia membuka pahanya sedikit sehingga aku makin blingsatan, memutar-mutar kursi yang kududuki sambil mengerakkannya maju mundur.
"Sini dong maju, aman kok..!"

Aku memajukan kursi hingga pahanya tepat di depanku. Tidak menyia-nyiakan tawaran yang kuimpikan siang malam, tanganku dengan gemetar mulai merayapi pahanya, tapi Niki menahannya.
"Sstt.. tunggu..!" ia mendorongku, lalu turun dari meja.
Niki menempelkan pantatnya di pinggiran meja setelah roknya disingkapkan sebatas pinggul.
"Biar gampang nutup kalo ada orang." katanya.
Niki memang brilian dalam merancang 'pengamanan'.

Tanganku kembali menyusuri paha Niki, dengan berdebar-debar merayap terus ke dalam. Niki mulai mendesah, mengepalkan tangannya. Bibirku menciumi lututnya, dengan lidah kujelajahi sisi-sisi dalam pahanya hingga tanganku mencapai pangkalnya. Jariku menyusuri pinggiran CD-nya, tapi aku menyentuh bulu halus, celah basah, benjolan kecil, aku penasaran, kurenggangkan pahanya. Ternyata CD-nya dibolongi persis di sekitar vagina, terang saja jariku langsung menyentuh sasaran.

"Bolong..," aku berbisik.
"Iya, biar gampang dipegang," jawabnya.
"Kenapa nggak dilepas aja..?"
"Keliatan dong, 'kan nyeplak di luar. Kalo gini 'kan, kayaknya pake tapi bisa kamu pegang." ia menjelaskan, lagi-lagi brilian!

Aku mulai menggosok klitorisnya, sementara liangnya sudah semakin basah. Niki mengangkangkan vaginanya, pahanya diangkat menopang di meja, kakinya sedikit jinjit. Dengan hati-hati lidahku kuselipkan di celah labia mayoranya, menyapu klitorisnya berulang-ulang. Jariku yang sudah basah oleh cairannya kubenamkan pelan-pelan di liangnya, kuputar-putar mencari 'G-Spot'-nya. Saat kutemukan, G-spot-nya kugosok lembut dengan jari tengah, sementara dari luar lidahku memainkan bagian bawah klitoris. Tidak lama Niki langsung mengejang, menggenggam rambutku kencang. (Saat kami pacaran, aku belum tahu G-spot).

"Yang.. udaah..!" ia berbisik, memberikan saputangan untuk membersihkan jari, mulutku, dan liangnya, sekalian buat mengganjal celana bolongnya biar tidak netes-netes.
Tiba-tiba pandangan Niki berubah serius, dilanjutkan dengan omongan yang tidak jelas.
"Soalnya yang aku print kok laen sama yang dipegang bossku."
Aku bingung tapi langsung menimpali, "Yang punyaku bener kok.." kataku sambil berdiri.
Benar saja, cewek-cewek Biro tempatku baru saja masuk ruangan.
"Ya udah, nanti dikopiin lagi aja," lanjutnya sambil berjalan keluar, "Terus yang ini jangan lupa disiapin.." saat melewatiku, tangannya menjulur meremas bagian depan celanaku.
Niki sempat ngobrol dulu dengan teman-temanku. Berbasa basi, lalu kembali ke ruangannya.

Rasanya lama sekali menunggu sore. Jam 5 kantor bubar. Aku naik ke tempat Niki yang satu lantai di atasku. Niki sudah menunggu di ruangannya lalu mengajakku ke ruang komputer yang terletak di sebelah. Ia harus menyusun undangan seminar dari bos Hongkong-nya. Kubuatkan program konversi daftar client dari database ke format txt untuk di-merge dalam undangan, sementara Niki melakukan check ulang data undangan.

Jam 7 malam satpam datang mengontrol seperti biasa. Niki memberitahu bahwa ia masih pakai ruang komputer sampai jam sembilan. Aku sendiri makin asyik dengan programku, tidak menyadari kalau Niki sudah menghilang dari sebelahku. Sadarnya waktu HP-ku berbunyi, ternyata Niki telpon dari ruangannya di sebelah.

"Sini dong Mass..!" ia berbisik, membuat darahku kembali berdesir mengalir ke selangkangan.
Aku meng-execute programku lalu bergegas ke sebelah. Ruang di seberangku masih terang, tapi tempat Niki sudah gelap. Aku ragu-ragu, kucoba membuka ruang Niki, ternyata tidak terkunci, aku masuk langsung menutup pintu.
"Dikunci aja.." terdengar suara Niki berbisik lirih.

Ruang itu terbagi jadi ruang pertama tempat Niki biasa duduk, ruang tengah untuk meeting, terus ruang ujung tempat bossnya. Aku mengunci pintu terus menghampirinya di ruang tengah, tempat bisikan itu berasal. Dalam keremangan kulihat Niki duduk di meja meeting nyaris telanjang, hanya tersisa CD-nya.

"Buka baju Sayang, terus naik sini..!" Niki menyapa dengan lembut, sapaan yang membuat birahiku menggelegak.
Niki duduk memeluk lutut kirinya yang ditekuk menopang dagu. Kaki kanannya terlipat di meja seperti bersila. Di bawah cahaya lampu yang lemah menerobos dari luar, sosok Niki bagaikan bidadari yang sedang menanti cumbuan cahaya bulan. Aku berusaha tenang, membuka baju, sepatu, celana, lalu dengan berdebar melangkah keluar dari onggokan pakaian dan menyusul naik ke atas meja.

Bersambung . . . . .

Niki adalah mantan kekasihku beberapa tahun lampau. Ia menikah dengan pria lain tahun 1996, aku menyusul dua tahun kemudian, saat itu Niki sudah mempunyai anak satu. Kami berpisah baik-baik, dan sesudahnya kami masih berhubungan. Aku juga kenal baik dengan suaminya.

Aku dan Niki sama-sama kerja di perusahaan konsultan. Sesudah menikah ia bertugas di salah satu proyek, sedangkan aku di head office, sehingga kami lama tidak ketemu. Cerita ini terjadi pada pertengahan tahun 2000, saat ia kembali bertugas di Head office menjadi sekretaris salah seorang expert kami dari Hongkong.

Aku sering berhubungan kerja dengannya. Semula kami bersama dalam tugas. Lama-lama berlanjut untuk hal-hal di luar kerjaan, hingga tidak terasa kebiasaan dulu kembali muncul. Misalnya makan siang. Seperti dulu waktu masih pacaran, sering ia 'mencomot' lauk dari piringku, atau sesuatu yang ia makan diberikan separuh ke piringku. Kebiasaanku menyiapkan sendok dan minuman untuknya, atau menghabiskan makanannya juga menjadi kegiatan rutin, seolah hal yang wajar saja dalam hubungan kami. Untungnya teman-teman sekantor juga menganggapnya wajar. Sering juga kami ngobrol soal rumah tangga, suami(nya), istri(ku), dan anak-anak (kami). Tidak ada cerita jelek, semua baik-baik saja. Tapi di balik yang 'baik-baik' tersirat kerinduan (atau kecewaan?) tersembunyi.

Dalam suasana seperti itulah hubungan kami berlanjut dan menghasilkan kisah-kisah yang sebagian kucuplik di sini, khusus yang punya kesan mendalam untukku.

Pertama: Saung Ikan Mas

Hari itu bossnya Niki sedang ke tempat client. Si boss bawa mobil sendiri, maka seperti biasa Niki memanfaatkan mobil kantor yang menganggur buat jalan-jalan. Driver-nya cs kami, jadi ia mengajakku bergabung cari makan siang di luar. ("Kamu yang traktir yaa.." katanya).

Pukul 11.30 kami bertiga berangkat ke Cwie Mie Fatmawati. Baru sampai di Prapatan Pejaten (kantor kami di Buncit), si boss menelpon minta supaya driver-nya menyusul karena tidak enak badan. Maksudnya minta disupiri pulang. Driver kami turun sambil mengomel, minta uang taksi ke Niki terus menyusul bossnya di sekitar blok M. Niki menggantikan pegang kemudi (dulu, Niki yang mengajariku bawa mobil) dan melanjutkan perjalanan.

"Kalo dulu, sambil nyetir gini biasanya aku dipijitin.." Niki mulai membuka kenangan.
"Sekarang juga boleh.." kataku, sambil mengusap lututnya, biasanya aku pindah ke belakang, memijat leher dan pundaknya dari belakang, dan tentu saja berakhir di payudaranya.
"Jangaan ahh, kacanya terang.." kata Niki.
Usapan di lutut memang lebih aman dari pandangan mobil lain. Dari desahan 'ahh'-nya kurasakan bahwa Niki menikmatinya.

"Kita ke saung aja yuk..!" lanjut Niki.
Saung adalah istilah kami berdua untuk sebuah restoran pemancingan di sekitar Ragunan. Aku tidak menjawab, hanya semakin meningkatkan sentuhan di lutut dan ke atas 'sedikit' sambil mata tetap waspada memantau kiri kanan takut dilongok pengendara motor. Niki dengan trampil meluncurkan mobil di sepanjang jalan dengan meminimalkan penggunaan kopling supaya paha kirinya lebih mudah terjangkau jari-jariku.

"Berapa tahun aku tidak nyentuh ini.." kataku saat jariku mulai nyelusuri pinggiran CD-nya.
Niki agak tergetar oleh sentuhanku itu, sambil mendesis ia mengoyangkan kakinya.
"Kamu bangun enggak Mas..?" katanya (ia memanggilku 'Mas').
"Liat aja," jawabku.
Ia melirik dan terkikik melihat tonjolan yang mengeras di celanaku.
"Hihihi.. masih mempan juga.."
"Masih dong, remasanmu belum ada duanya.."

Restoran itu terletak di pinggir kolam, dihubungkan ke beberapa saung (gubuk dari bambu) di tengah kolam dengan jembatan kayu. Saung beratap rumbia ukuran 2,5 m x 2,5 m itu diberi pagar bambu rapat setinggi 60 cm. Bagian atasnya terbuka sehingga dapat dipantau dari jauh, tapi dilengkapi krey bambu yang jarang-jarang, dan dapat diturunkan 'kalau perlu', juga disediakan bantal duduk.

Tidak ada pengunjung lain. Kami meniti jembatan kayu, memilih saung yang paling jauh dari kasir, dan memesan makanan yang paling cepat saji. Tidak lupa kami minta krey diturunkan. Begitu pelayan pergi, aku segera menjatuhkan pantatku di sebelahnya. Ia menyandar ke tiang bambu di pojok, bersila di bantal dengan cuek. Aku meneruskan elusanku yang terhenti, menyusuri pahanya yang terbuka.

"Mana dong yang keras-keras tadi, aku pegang.." katanya tanpa mempedulikan jariku yang sudah terbenam di dalam roknya.
Aku merapatkan duduk agar terjangkau tangannya. Ia menekan-nekan celana di bagian penisku dengan keempat jarinya. Dengan hati-hati sabukku dibuka, lalu zipku diturunkan. Dari sela-sela baju dan singlet, dirogohnya penisku yang sudah mengeras lalu diusapnya lembut.

"Segini aja dulu, biar gampang ditutup," katanya saat aku mau menurunkan celana panjang.
Rasa nikmat yang halus merambat seperti aliran setrum dari selangkanganku, menjalar ke kaki, badan terus ke otak. Kami duduk berdampingan, aku selonjor dengan penis mencuat keluar dari celana, sementara paha kiri Niki menopang di atas paha kananku. Tangan kirinya mengusap lembut batangku sementara sambil menikmati elusannya, tangan kananku melakukan eksplorasi ke permukaan vaginanya yang terbungkus CD.

Percumbuan ringan itu terhenti ketika pelayan datang membawa pesanan. Aku menaikkan zipku kembali seraya merapatkan jaket.
"Sana kamu ke kamar mandi Mas, CD sama singletnya dikantongin aja. Sabuknya masukin tas," ia berbisik memerintahku (Dari dulu aku suka 'perintah-perintahnya').
Ia membereskan makanan sementara aku ke kamar mandi, membukai semua sesuai instruksi dan mencuci batangku supaya dingin dan segar kembali.

Keluar kamar mandi, aku berpapasan dengan Niki menuju ke tempat yang sama sambil mengedipi aku. Sambil menunggu, membayangkan ulah Niki batangku yang baru didinginkan mengeras lagi. Aku tidak menyentuh makanan, hanya minum Aqua untuk mengurangi bau mulut. Niki datang langsung duduk di bantal lagi.

"Udah lega.. ganjelnya udah masuk sini semua.. Beha, CD.." Niki melemparkan tasnya.
Aku kembali merapat.
"Jangan deket-deket, kelihatan dari kasir," ia mencegah.
Tangan kiriku beralih ke perutnya, pelan-pelan menggeser ke atas. Semua 'daleman' Niki sudah tersimpan dengan aman di dalam tas. Niki mengeluh saat tanganku menyentuh bulatan kenyal itu, menggeser posisi sehingga dapat mengawasi kasir di seberang, sekaligus memudahkan aku 'bekerja'.

Ia kembali mendesah lirih saat kusentuh putingnya. Darahku bergejolak merasakan lembutnya buah dada Niki. Beda dengan dulu, sekarang lebih berisi karena menyusui. Aku tidak berani mencium bibir atau mendekapnya karena kepala kami kelihatan sayup dari restoran. Perlahan kubuka kancing blus dengan menyisakan satu kancing paling atas (Niki biasa begitu supaya cepat 'memberesinya') hingga aku dapat leluasa menciumi perutnya.

Buah dada Niki mengembang segar, putingnya yang menonjol sudah mulai mengeras, coklat dilingkari semburat merah jambu. Dengan lembut jariku mengelus puting itu. Kuremas tubuh Niki dengan penuh perasaan. Lidahku menjelajahi perutnya, membuat Niki mendesah-desah dengan mata setengah terpejam.

Bersembunyi di balik blus longgarnya, ciumanku beralih ke buah dada. Lidahku berputar-putar menyapu lingkaran merah di seputar puting, lalu diteruskan dengan mengulum ujungnya. Sementara itu tanganku menjelajahi gunung yang sebelahnya. Niki semakin merintih-rintih menikmati sentuhanku. Birahinya semakin menggelora. Sambil tetap menciumi puting susu, tangan kiriku pindah menelusuri paha Niki sambil tangan lainnya menyusup ke belakang, membuka kaitan roknya.

Sentuhan dan rabaanku akhirnya sampai ke pangkal pahanya yang tidak terbungkus apa apa. Usapanku pada bukit lembut yang ditumbuhi bulu halus membuat birahi Niki menggelegak, meluap ke seluruh nadi dan pori-pori. Ketika tanganku menyelusup ke celah kewanitaannya yang basah, Niki makin menggeliat tidak terkendali.
"Ahh.. Mass, ahh.." Niki merintih tidak karuan, sementara sekujur tubuhnya mulai dirangsang nikmat yang tidak tertahankan.

Dengan hati-hati rok Niki kusingkapkan, pahanya yang mulus sudah menganga menantikan sentuhan lebih jauh. Celah di pangkal paha Niki yang ditutupi rambut halus, merekah indah. Kepalaku menyusup ke dalam roknya yang tersingkap, Niki mengangkangkan pahanya lebar-lebar seraya menyodorkan pangkal pahanya, memudahkanku mencapai lembahnya. Jariku mengusap-usap celah itu yang mulai basah dan menebal, sementara lidahku menciumi pinggiran bulu-bulu kemaluannya.

Niki mengerang keenakan saat jari-jariku menggetar dan memilin kelentitnya.
"Akh.. Mas, gila..! Udah dong Mass..!"
Jari-jariku membasahi kelentit Niki dengan cairan yang merembes keluar dari celahnya. Setiap jariku mengorek lubang kemaluan untuk membasahi kelentit, Niki menggeliat kelojotan. Apalagi sambil membenamkan jari, aku memutar-mutarkannya sedikit.

Sambil meremas rambutku yang masih menciumi pubisnya, Niki mencari-cari zipku, ketemu, terus dibukanya. Dan kemaluanku yang sudah menegang kencang terbebas dari 'kungkungan'. Batangku tidak terlalu panjang, tapi cukup besar dan padat. Sementara ujungnya yang ditutupi topi baja licin mengkilat, bergerak kembang kempis. Di ujung topi itu, lubang kecilku sudah licin berair. Sementara tubuh Niki makin melengkung dan tinggal punggungnya yang bersandar karena pahanya mengangkang semakin lebar, aku pun berusaha mencari posisi yang enak.

Sambil menindih paha kirinya, wajahku membenam di selangkangan menjilati lipatan pangkal pahanya dengan bernafsu, dan tangan kiri tetap bebas menjelajahi liang kemaluannya. Pinggulku mendekat ke tubuhnya untuk memudahkan ia meraih batangku. Soal 'keamanan lingkungan' sepenuhnya kupercayakan kepada Niki yang dapat memandang sekeliling.

Dengan gemas tangan Niki meraih tonggakku yang semakin tegak mengeras. Jari-jarinya yang halus dan dingin segera menjadi hangat ketika berhasil menggenggam batang itu. Ketika pangkal paha Niki mencuat semakin terbuka, ciumanku mendarat di pinggiran bibir vaginanya. Ciuman pada vaginanya membuat Niki bergetar. Ketika lidahku yang menjelajahi bibir kemaluan menggelitik kelentitnya, Niki semakin mengasongkan pinggulnya. Lalu.., tiba-tiba ia mengerang, kaki kanannya terlipat memiting kepalaku dan tangannya mencengkeram pangkal leherku, mendesakkan mulut vaginanya ke bibirku, dan mengejang di situ. Niki orgasme!

Niki menyandar lemas di tiang pagar. Tapi itu tidak berlangsung lama, segera didorongnya tubuhku telentang dan dimintanya merapat ke dinding bambu. Aku mengerti yang dimauinya, aku tahu orgasmenya belum tuntas, tapi aku masih ragu. Semula aku hanya ingin menawarkan kenikmatan lewat lidah dan jariku, tapi kini telanjur Niki ingin lebih.

"Kamu oke, Ki..?" tanyaku. Ia mengangguk.
"Aman..?" lanjutku sambil memutar biji mataku berkeliling. Ia kembali mengangguk.
"Ayo.. sini..!" kataku memberi kode tapak tangan menyilang, Niki langsung mengerti bahasa kami masa pacaran.
Ia mengangkang di atas badanku, jongkok membelakangiku dan kembali menghadap ke restoran. Ia mengangkat rok dan memundurkan pinggulnya hingga vaginanya tepat di mulutku. Tanganku yang menganggur merogoh saku, mengambil 'sarung' yang sudah kusiapkan, kuselipkan di tangan Niki.
"Ihh, udah siap-siap yaa..?" katanya, sambil mencubit batangku.

Dengan sebelah tangan bertumpu pada dinding bambu, Niki berjongkok di wajahku yang berkerudung roknya. Dengan mendesah ia menggerakkan pinggulnya, menyapukan vaginanya ke lidahku yang menjulur, kadang mendesak hidungku dengan tekanan beraturan. Tangannya sebelah lagi mengurut pelan penisku yang semakin tegang, lalu dengan susah payah berusaha memasang 'sarung' dengan sebelah tangan, gagal, malah dilempar ke lantai.

Saat sapuan vaginanya di bibirku semakin kuat sementara lidahku yang menjulur sudah kebanjiran cairannya, pinggulnya ditarik dari mulutku, bergerak menuruni tubuhku ke arah selangkangan. Aku tidak tinggal diam, vaginanya yang lepas dari lidahku kurogoh, kujelajahi dengan jari-jariku. Niki semakin menggelinjang, pahanya mengangkang mengharapkan datangnya tusukanku, sementara tangannya yang menggenggam mengarahkan kemaluan itu ke liang vaginanya yang sudah berdenyut keras.

"Mas.. masukin yaa..!" Niki merintih sambil menarik batang kemaluanku, sementara aku masih memainkan jari di kelentit dan liangnya.
"Hhh, kamu lepaass dulu.. Ini udah keras banget..!"
Aku mengambil alih menggenggam tongkat. Kusentuh dan kugosok-gosokkan otot perkasa yang ujungnya mulai basah itu ke kelentit Niki. Niki melenguh. Sentuhan dengan ujung kemaluan yang lembut dan basah membuat kelentitnya serasa dijilati lidah. Napas Niki semakin terengah-engah.

Bersambung . . . . .

Di ruang uap sebelah, Niki menungguku sambil menggosoki tubuhnya. Badannya terbalut swimsuit yang sampingnya bolong di bagian pinggang, sebenarnya sampingnya bolong semua karena bagian atas dan bawahnya hanya diikat tali, jadi kalau talinya lepas praktis dari ketiak sampai paha terbuka (mirip bikini, hanya bagian depannya tertutup pas di sekitar pusar). Ia tidak pakai celana pendek, tapi ditutup sekedarnya dengan handuk. Temperatur tinggi dan uap air yang pekat membuat tubuh Niki bersimbah keringat, menetes netes dari rambutnya yang pendek ikal, membuat swimsuit-nya menempel ketat di badan.

"Maass, gosokin..!" Niki merengek manja.
Ia duduk di bangku pertama (bangkunya dua baris, kayak undakan) menyandar ke bangku belakangnya. Kaki kirinya diangkat, sedikit mengangkang hingga 'VW kodok' di pangkal pahanya menggunduk di balik swimsuit. Ia duduk menggosok-gosok pahanya yang basah oleh keringat, tersenyum menatapku dengan pandangan yang menggetarkan birahi. Batangku langsung mengacung di bawah pandangan syahdunya.

Aku duduk di bangku belakangnya dengan batang mengeras menempel di punggung Niki. Lewat bahu terlihat bukit kembar yang basah oleh keringat, mengintip di balik belahan bajunya. Sambil berusaha santai, tanganku melakukan massage di wajahnya. Niki menyandarkan kepala ke perutku, membuat batangku semakin mengeras mengganjal punggung, malah kepala penisku mendesak-desak ke belakang lehernya. Sambil kuurut wajahnya, tangan Niki menggosoki tubuhnya yang berkeringat, menggeliat-geliat sambil mendesah.

Tanganku pindah ke leher mengurut perlahan bahu dan pangkal lengannya. Kepala penisku sudah menyeruak keluar dari celana, menggesek pangkal lehernya yang basah bermandi keringat. Sentuhan ujung rambut Niki di permukaan helm-ku menimbulkan desiran nikmat yang makin menjadi-jadi. Lalu ia meraih tanganku dibawa ke dadanya. Aku terengah-engah kekurangan oksigen ditambah nafsu yang bergolak saat tanganku menyentuh bukit kembarnya yang padat, ditambah lagi batangku yang mencuat kadang sengaja dijepit di sela pundak dan leher yang licin oleh keringat.

Niki lebih parah lagi, dengan napasnya tersengal-sengal ia malah minta aku menggosok pangkal pahanya. Aku turun ke lantai mengendurkan kenikmatan yang sudah mendesak di ujung penis. Tanganku mengusap gundukannya dari luar swimsuit yang saking basahnya oleh campuran keringat dan entah apa, terbentuk celah yang membelah menjadi dua gundukan yang menebal. Walau terbungkus, jariku yang bergerak menyusuri celah itu dapat merasakan denyutan bibir vaginanya dan ketegangan klitorisnya. Hanya beberapa menit kemudian Niki sudah menendang-nendang, terpejam lalu mengejang.

Cepat-cepat aku coba memapah Niki ke luar, takut pingsan kehabisan napas. Saking takutnya, penisku mengkeret tanpa kusadari. Tapi Niki menolak.
Ia menarik napas panjang, melek, senyum terus berbisik, "Jangan sentuh yaa, nikmatnya bisa lamaa niih.. bukain pintu aja, terus tinggalin aku."
Aku baru ingat, orgasme dengan oksigen yang minim akan membuat rasa nikmat seolah tidak habis-habis, mungkin ini yang terjadi pada Niki.

Aku meneruskan acara SS. Selesai mandi uap selanjutnya adalah berendam di kolam dingin, kolam panas, dingin lagi, panas lagi, terus sampai bosan. Kolam itu dalamnya sepinggulku, jadi kalau berdiri pas merendam penis, dan tidak dipisah antara laki perempuan. Saat aku ke kolam, dua cowok yang duluan datang sudah bilas-bilas, sehingga tidak lama kemudian tinggal aku sendirian.

Rasa nikmat yang mengumpul di ujung penisku masih mengganjal, tapi batangnya mengkeret (akibat ketakutan, mungkin!). Begitu aku masuk kolam dingin rasa nikmat itu mulai menyebar pelan, merata di seluruh batang. Sambil menggigil aku mengurut pelan batangku, mencoba membangunkan rasa nikmat yang tertunda. Dan berhasil, desiran kenikmatan mulai naik lagi, tapi anehnya hanya berkumpul di sekitar batang, mendesak-desak ke ujungnya.

Lima menit sudah lewat, berarti waktunya untuk pindah. Aku meloncat ke kolam panas (panas beneran!), dan kembali mengurut. Pelan tapi pasti desiran kenikmatan kembali naik, kali ini batangku ikut membesar. Ketika saatnya kembali ke kolam dingin Niki muncul. Ia langsung bergabung di kolam dingin, kali ini ia pakai celana pendek di luar swimsuit-nya. Kerlingannya yang menggugah birahi kembali dilemparkan.

"Gimana Nik, udah enakan..?" aku bertanya sambil tetap mengurut.
"Enak dong, sampe sekarang belum abis, kamu gimana..?" ia balik bertanya.
"Ini lagi diurut-urut, enak tapi nggak nyampe-nyampe," jawabku.
Ia ketawa, "Naiknya pelan-pelan yaa. Makanya dibikin panas dingin biar lamaan enaknya,"
Benar juga, pikirku.
"Sini, 'tak bantuin." Niki mengajakku ke pojokan kolam.
Tangan kami bertumpu ke pinggiran kolam di sisi yang berbeda. Aku berjongkok demikian rupa sehingga kepala kami berjauhan tapi dengkul saling merapat, jadi tangan yang sebelah dapat saling menyentuh.

Niki merogoh penis menggantikan tanganku. Jari-jarinya yang ahli mengurut batangku pelan dan lembut. Ia mengambangkan badan di depanku sehingga tanganku dapat meraih pangkal pahanya. Tanganku menggigil menyusup ke dalam celananya, menerobos sela baju renang dan menemukan celah kemaluannya. Klitorisnya masih keras, sisa tadi dan akibat dinginnya air kolam. Aku mengusap dengan teratur, perlahan dan agak mengambang, sementara jarinya memilin lipatan helm-ku, juga pelan dan teratur. Seiring dengan itu, rasa nikmat yang menjalari kemaluan ikut merambat naik pelan-pelan.

"Gimana rasanya Nik..?" aku berbisik.
"Sss.. naik pelan-pelan. Kamu..?" ia mendesah, pantatnya bertumpu di lututku.
"Sama..! Ngumpul di ujung, nyebar ke dalem, ngumpul lagi.. kamu..?"
"Sama..!"

Lewat lima menit, kami pindah ke kolam panas dengan konfigurasi posisi yang sama. Seperti kuduga, penisku dan klitorisnya yang semula bagaikan membeku mulai mengembang. Getaran kenikmatan yang menggumpal di ujung organ masing-masing mulai menyebar ke seluruh tubuh. Niki tetap menjaga keteraturan usapannya, membuat grafik kenikmatanku tidak melonjak tiba-tiba, tetap menaik perlahan. Begitu pula jariku mencontoh gerakan Niki.

Setelah tiga kali bolak balik, dua orang pengunjung masuk. Kami mengakhiri permainan dalam posisi birahi sudah diubun ubun. Sesudah bilas dengan air biasa, acara selanjutnya adalah massage. Kami berganti kimono dan duduk menanti panggilan di movie room sambil minum juice, filmnya 'Basic Instinct' versi LD.

Tidak ada tamu lain. Niki dan aku membenam di sofa paling pojok dengan birahi yang sudah memuncak. Aku langsung mengelus tubuhnya dengan penuh perasaan. Seperti juga aku, tubuh Niki yang merinding dipenuhi bintik-bintik seperti orang kegatalan atau kedinginan, puting susunya berdiri dan mengeras seperti klitorisnya. Niki sementara itu meremas kejantananku dengan jarinya yang lembut.

Kami saling mendekap dan berciuman, hal yang tidak dapat dilakukan di kolam. Saat tanganku mengusap vaginanya yang basah, lalu klitorisnya kupilin perlahan dengan dua jari, Niki mengerang dan berusaha naik ke pangkuanku. Saat itulah waitress datang memanggil untuk massage. (Waiter dan waitress yang mengantar juice sempat memergoki tanganku merayap di dada Niki. Saat kami lewat ke tempat massage, sempat kulihat waitress itu digerayangi oleh teman lelakinya dari belakang, ia menolak tapi nampaknya bukan penolakan yang serius).

Sesuai pesananku, kami ditempatkan di ruang massage dengan dua ranjang khusus yang pakai lubang buat kepala. Kedua wanita yang melayani menyambut dengan ramah.
"Pasangan Pak..?" salah satunya bertanya.
"Iya.. dong..!" Niki yang menjawab.
Lalu Kami naik ke atas ranjang. Mereka memijat dengan profesional, kaki, punggung, tangan, kepala, sampai akhirnya diinjak sambil gelantungan di palang besi. Pijatan seorang akhli membuatku jadi rileks, sayangnya birahi yang telah bangkit pelan-pelan tidak juga turun, aku seperti melayang dalam kenikmatan.

Akhirnya, "Mbak, boleh aku bantu nggosokin istriku..?" aku nekat.
"Oo.. silakan Pak, udah selesai kok."
Aku turun dan menghampiri ranjang Niki. Ia dalam posisi telentang saat aku membantu mengurut pahanya, tapi Niki menolak.
"Apa-apaan sih! Malu dong sama Mbak ini.." kata Niki, melotot sambil menepis tanganku.
Tapi wanita yang memijat Niki tersenyum manis, "Silahkan saja Bu. Nggak usah malu, biasa kok suami istri di sini." katanya.
"Kami tunggu di sebelah. Tapi maaf, suaranya jangan keras-keras nanti kami ditegur supervisor," ia meneruskan, lalu menarik gorden yang menyekat kedua ranjang dan menunggu di ranjangku.

Akhirnya Niki hanya tersenyum melihat kelakuanku.
"Dasar nakal, nggak sabaran banget," bisiknya, tapi dengan hangat ia membalas ciumanku.
Saat jariku meraba kemaluannya ternyata masih tetap basah, maka aku tidak membuang waktu lagi, langsung kulepaskan celananya, juga celanaku. Lidahku mulai menyusuri lututnya perlahan, menuju ke pangkal paha. Saat lidahku mencapai gundukan yang merekah ditumbuhi bulu halus, paha Niki merenggang dan klitorisnya yang keras segera kujilati. Foreplay-nya sudah lebih dari cukup! Niki langsung menarik tubuhku ke atas ranjang.

Sambil berciuman dalam posisi konvensional, tubuhku menindih Niki. Dadanya yang kencang menekan hangat dadaku. Seluruh tubuhnya merinding, kasar berbintik terutama di dada dan pangkal paha. Niki melebarkan pahanya memudahkan penisku yang tegang meluncur di belahan bibir vaginanya yang menggunung. Penisku yang berada pada puncak kekerasannya, dibimbing tangan Niki menjelajahi celah itu yang dibanjiri cairan kenikmatan, berputar-putar menyapu klitoris.
"Hmfhh.. teruss.. Mass.. masukk..!" di sela-sela ciuman Niki mengerang, mengarahkan genggamannya ke mulut vagina.

Dengan bertumpu kedua tangan, penisku menempel di mulut vaginanya, pelan-pelan kudorong. Niki melenguh saat aku menerobos ke dalam lorongnya, menggesek dinding-dindingnya yang kenyal. Masuk kira-kira sepertiga, batangku kutarik perlahan. Saat itu kemaluanku serasa digenggam oleh lipatan daging yang liat, berlipat-lipat, dan basah berdenyut. Sampai batas mulut vagina kudorong lagi perlahan, dengan mengerang Niki menggeliat menyorongkan pinggulnya agar penisku cepat tertelan jepitannya.

"Acchh.. uuffhh..!" desah Niki ketika seluruh penisku masuk ke dalam vaginanya.
Kedua pahanya melingkar di badanku agar batangku tetap membenam, kucoba menarik keluar lalu kutancapkan dalam-dalam, kutarik lagi, kumasukkan lagi dengan ritme membuat Niki mengerang-erang keenakan. Nikmat yang dirasakan membuat ia hanya sanggup mengelinjang-gelinjang.
"Mass.., egghh.. aacchh.., puassin aku dulu ya..!" pinta Niki.
Tanpa menunggu jawaban ia membalik ke atas tubuhku, membuat penisku terlepas dari jepitannya.

Lalu penisku yang makin keras itu dituntunnya ke liang vaginanya dan, "Aagghh.." dengan jeritan kecil Niki, seluruh batang penisku kini amblas masuk ke dalam vaginanya yang sudah banjir.
Dengan tangan bertumpu di dadaku, ia memintaku meremasi buah dadanya yang besar menggelantung di wajahku. Kini ia sepenuhnya bebas menguasai permainan, dengan berjongkok ia menaik-turunkan pinggul, menggeliat seperti penari hulahoop membuat batangku seperti digiling-giling, pegal, linu tapi nikmatnya tidak pernah kurasakan sebelumnya.

Kini ia menggesek-gesekkan vaginanya maju mundur mencari posisi sentuhan yang paling nikmat pada klitorisnya, sementara aku menggerakkan pinggulku membuat gesekan maksimal kepala penisku pada otot mulut vaginanya.
Akhirnya, "Ougg.. Yaang.., Gila..!" dengan mata terpejam ia mengejang-ngejang sambil menggigit bibirnya, merasakan nikmat yang tiada tara itu.
Ia terkulai di atas tubuhku beberapa saat sebelum akhirnya aku berbalik, kembali di atas.

Kurasakan desakan kuat yang akan menyembur keluar dari penisku, kutekuk kedua paha Niki ke atas, dan dengan memusatkan perhatian pada ujung kemaluan kugenjot liangnya dengan irama cepat. Niki mengerti kalau aku mau keluar, ia mengejan-ejan meremaskan vaginanya. Otot vulvanya yang seperti cincin mengurut penisku mulai dari pangkal, pelan bergerak ke ujung, memilin dan menghisap kuat. Aku tidak kuat lagi menahan rasa nikmat ini hingga akhirnya aku orgasme.
"Niki.. akuu.." cairan kenikmatanku menyembur deras di vaginanya yang meremas-remas.

Kedua pemijat yang habis mengintip dari sebelah membantu kami membersihkan sisa-sisa kenikmatan.
Terpaksa aku memberi tips agak banyak buat menghilangkan malu, lha dia malah ngomong, "Lain kali pesan saya aja Bu, nama saya Ketty teman saya Neni. Kita kan udah kenal jadi bisa bantu Ibu."
"Tapi lain kali dibantuin beneran yaa..!" aku nyeletuk.
Niki menyikutku sambil melotot, "Dasaar..!" ia mengomel.

Dalam perjalanan pulang kami tertidur di taksi. Aku turun di jalan, dan Niki langsung ke kantor. Tidak lama kemudian HP-ku bunyi, ternyata Niki mengabari bahwa ia langsung pamit pulang.
"Nggak bisa kerja. Nggak kuat lagi, lemeess..!" katanya.
"Samaa.."

TAMAT

Niki membuka tangannya, lutut kirinya juga rebah membuka. Aku mengusap pipinya dengan halus saat jari Niki menjelajahi leherku pelan, lalu dada, lalu naik mengelus lenganku, pelan dan lembut menyusuri bagian dalam lenganku ke arah ujung jari. Digenggamnya jari-jariku, dikecupnya lalu dibawa ke leher, dada, mendekapnya sesaat. Lalu.. tiba-tiba aku telah terbenam dalam dekapannya. Dadanya yang bulat penuh menekan, memberikan kehangatan yang lembut ke dadaku, kehangatan yang menjalar pelan ke bawah perut.

Tanganku mengusap punggung dan rambutnya, lalu entah gimana mulainya, tiba-tiba saja aku sudah menciumi lehernya. Kukecup hidungnya, keningnya, telinganya, Niki menggelinjang geli. Kusodorkan bibirku untuk meraih mulutnya, ia merintih lirih dan merangkulku sambil mulutnya bergeser mencari bibirku, lalu kami berpagutan dengan lahap bagaikan kelaparan. Pelukan dan ciuman ini yang sebenarnya paling kurindukan, yang tidak dapat dilakukan saat di saung atau di ruanganku. Cinta dan ketulusannya kini dapat kurasakan lewat peluk dan ciumannya.

Niki terpejam manja saat kujelajahi mulutnya dengan lidahku, bibirnya langsung menyedot dan melumat lidahku dalam-dalam.
"Oohh, Yang..!" Niki mengeluh saat tanganku mulai merayapi tubuhnya, bermain di sekitar puting susu, turun ke perut menyelusup ke CD-nya.
Masih dalam pelukan ia merebahkan badan di meja dengan dialasi jasnya si Hongkong.

Setelah rebah berdampingan kami mengendorkan pelukan, membebaskan tangan agar lebih leluasa. Kami saling menyentuh bagian-bagian sensitif yang masing-masing sudah sangat hapal. Niki memejamkan mata menikmati sentuhan-sentuhanku, sementara jarinya mengurut lembut batang penisku, dari pangkal ke atas, memutari helm lalu turun lagi ke pangkal, membuat batangku keras membatu.

"Yang..! Jilat..!" ia mendesah, aku mengerti maksudnya.
Aku bangkit, lalu bibirku mulai menciumi seluruh tubuhnya, mulai dari lengan sampai ke ujung jari, kembali ke ketiak, menyusuri buah dadanya ke tangan satunya.
"Yaanng, Nik kangen jilatanmu..!" Niki mengerang dan menggelinjang semakin kuat.
Saat jilatanku mencapai pangkal lengannya, Niki berbalik menelungkup. Kini lidahku menyusuri pundak, Niki terlonjak saat lidahku mendarat di kuduknya, lalu perlahan menjelajahi punggungnya.

Saat jilatanku mencapai pinggiran CD-nya, Niki kembali menelentang lalu sambil membuka CD-nya, lidahku pelan-pelan menyusur pinggang, perut terus ke bawah. Paha Niki membuka, menyodorkan bukit kemaluannya yang menggunduk dengan belahan merekah ke hadapanku. Melewati pinggiran gundukannya, lidahku meluncur ke samping, menjilati paha luar sampai ke jari kaki, lalu kembali ke atas lewat paha bagian dalam. Sampai di pangkal, lidahku menjelajahi lipatan paha, memutari pinggiran bulu-bulu halusnya, lalu menyeberang ke paha sebelah. Niki melenguh keras.

Aku menjelajahi kedua lipatan pahanya bolak balik, kadang lewat gundukan bulu-bulunya, kadang lewat bawah liang vaginanya. Pahanya terkangkang lebar, sementara cairannya semakin membanjir. Lalu tangannya menggenggam rambutku, menyeret kepalaku dibenamkan ke tengah selangkangannya yang basah dipenuhi cairan kenikmatannya. Aku langsung menyedot kelentitnya.
Niki tersentak, "Yaangg.. kamu.. nakal..!" rintihnya menahan nikmat yang menggelora.

Dengan bertumpu kedua tangan, lidahku kini menjelajah dengan bebas di celah vagina, menjilati klitorisnya dengan putaran teratur, lalu turun, menjelajahi liang kewanitaannya. Niki mengejang sambil mengerang-erang.
"Yaang, udaah.. masukin..!" Niki mencengkeram leherku dan menyeretnya ke arah bibirnya.
Aku mengambil posisi konvensional. Batangku yang sudah tegang mengeras menyentuh gerbang kenikmatan yang licin oleh cairannya. Niki tersentak saat kepala penisku menyeruak di bibir vaginanya.

Kubenamkan kepala penisku sedikit demi sedikit, oh.. hangatnya vagina Niki. Dinding vaginanya mulai bereaksi menyedot-nyedot, remasannya yang selalu kurindukan mulai beraksi. Kutarik lagi penisku, pinggul Niki menggeliat seolah ingin melumatnya. Kubenamkan lagi batang penisku perlahan, Niki menaikkan pinggulnya ke atas, sehingga setengah batang penisku ditelan vaginanya. Pinggulnya diputar-putarkan sambil melakukan remasan nikmatnya.

"Ooogghh, Niikk.. aduuhh..!" desahanku membuat Niki semakin semangat menaik-turunkan pinggulnya, membuat batang penisku seolah dipilin-pilin oleh liangnya yang masih sempit.
"Maass.. tekaann Maass..! Niikii.. hh.. nikmaatt.. sekali..!"
Pinggul dan badannya semakin sexy, perutnya yang sedikit membesar membuat nafsuku semakin menjadi-jadi. Aku setengah duduk dengan bertumpu pada dengkul menggenjot penisku keluar masuk vagina Niki yang semakin berdenyut.

"Creekk.. creekk.. blees.." gesekan penisku dan vaginanya bagaikan kecipak cangkul Pak tani di sawah berlumpur.
"Yaang, aduuhh, batangnyaa.. oohh.. Niik.. nggaak tahaan..!"
Niki badannya bergetar, pinggulnya naik turun dengan cepatnya, miring ke kiri dan ke kanan merasakan kenikmatan penisku.

Badan Niki berguncang-guncang keras, goyangan pantatnya tambah menggila dan lubangnya seakan mau memeras habis batang penisku. Spermaku rasanya sudah mengumpul di kepala penis, siap menyembur kapan saja, susah payah aku bertahan agar Niki mencapai klimaks lebih dulu.
"Teken teruuss..! Yuu bareng keluariin Maass..!"

Goyangan kami makin menggila. Aku menusukkan batang penisku setengah, dan setiap coblosan ke delapan aku menekannya dalam-dalam. Akibatnya gelinjang pantat dan pinggul Niki semakin menjadi-jadi. Sambil mengelepar-gelepar keasyikan, matanya merem-melek. Kuciumi dan kulumat seluruh wajahnya, bibirnya, lidahnya, ludahnya pun kusedot dalam-dalam. Niki mencakar punggungku keras sekali sampai aku tersentak kesakitan. Itu tandanya ia mau mencapai klimaks. Kutahan mati-matian agar aku jangan muncrat dulu sebelum ia orgasme.

Tiba-tiba, "Yaanng.. oohh.. aduhh.. Niik.. keluaar.. oohh.. aduuh.. gilaa.. aahh. aahh.. uuhh.. uuhh.. uuhh..!" dia sekali lagi mencakariku, itu memang kebiasaannya kalau meregang menahan klimaks luar biasa.
Aku tidak perduli punggungku yang baret-baret oleh cakarannya. Aku terus menggenjotkan penis dengan teratur sambil konsentrasi merasakan nikmat yang semakin mendesak-desak di ujung penisku. Suatu gelombang dahsyat bagaikan menyedot seluruh perasaanku menyembur dari ujung kemaluanku, memancar dalam dalam di liang vaginanya. Aku mengejang beberapa detik, lalu terkulai dalam pelukannya.

Beberapa menit kami berdiam sambil pelukan, sampai batangku melemas dengan sendirinya. Aku turun dari tubuhnya. Niki turun dari meja, mengambil tisyu dan teko air dari meja si Hongkong. Lalu kami bersih-bersih organ masing-masing, kembali berciuman sambil saling mengenakan pakaian. Selesai berpakaian Niki keluar duluan mengintip, dengan kodenya aku keluar kembali ke ruang komputer, di sana satpam sudah menunggu. Kukatakan aku dari kamar mandi, dan Niki tidak tau kemana.

"Kenapa..? aku dari bawah barusan.. lewat tangga." Niki muncul di pintu, memberi penjelasan.
"Lho, saya juga lewat tangga.." kata satpam.
"Ooo.. Naiknya sih lewat lift depan," Niki berkilah.

Program transferku sudah berhenti proses. Setelah beres-beres, mematikan komputer, AC, dan lainnya, aku, Niki dan satpam turun. Kuantar Niki sampai mobilnya.
"Thank's yaa.." kataku.
Ia mengedipkan mata, "Sama-sama.." katanya.

Ke tiga: Di Shiat Su

Kalian tahu Shiat Su..? Sauna ala Jepang yang populer akhir tahun 80-an. Sejak acara ngelembur di kantor, Niki dan aku sama-sama sibuk, jadi kami jarang ketemu. Aku kangen berat tapi tidak bisa apa-apa, sampai suatu ketika ada pesan di mejaku dengan tulisan rahasia yang hanya dimengerti kami berdua. Niki 'memerintahkan' aku mengecek jadwal SS untuk family (Kayak yang dulu!)

SS adalah Shiat Su, mandi uap ala Jepang, sedangkan 'family' adalah hari khusus yang mengizinkan pasutri (pasangan suami istri) mandi uap bareng. Aku langsung ngecek ke beberapa tempat, ternyata hanya ada satu yang terima family, yaitu di satu pertokoan besar di Jakarta Pusat, itu pun hanya hari Rabu. Niki segera kukabari.

Singkatnya, pada hari yang ditentukan Niki pamit keluar sedangkan aku memang sedang tugas di client. Pukul 10 Niki kujemput di wartel sekitar 1 km dari kantor. Niki minta naik taksi (untuk menghilangkan jejak!), yang lalu ngedrop kami di tujuan. Sepanjang jalan kami tidak ngobrol banyak, malah tangan yang lebih aktif saling remas, kadang 'nyelonong' ke lutut.
Bolak balik Niki berbisik di telingaku, "Yaang.. aku kangeen..!" desahnya bikin batangku pelan-pelan mengeras.

Aku bergegas ke loket mendaftar sebagai pasutri dan Niki langsung ke ruang ganti cewek. Buat yang belum tahu, begitu daftar kamu dapat celana pendek, handuk, dan kunci lokker. Dengan hanya pakai celana pendek kegiatan SS berlangsung, kecuali yang cewek. Biasanya mereka pakai swimsuit dulu baru dilapis celana pendek.

Acara SS dimulai dengan mandi uap, yaitu masuk ke satu ruang yang diuapi dengan batu dibakar dan ditetesi air, membuat kita sulit bernapas tapi keringat berikut berbagai racun yang 'ngumpet' keluar semua lewat pori-pori yang terbuka. Ruang uap untuk laki terpisah dengan yang untuk cewek.

Hari itu sepi, aku hanya bertiga di tempat cowok.
Tidak lama aku dipanggil waitress, "Bapak dipanggil Ibu ke sebelah," katanya.
"Boleh ke sana..?" aku tanya.
"Boleh, mumpung lagi kosong. Tapi nanti kalau ada ibu-ibu yang lain, Bapak harus kembali ke sini yaa..!" lanjutnya.
Tentu saja kujawab iya!

Bersambung . . . . .

Nama saya Dewi. Keturunan tionghoa asal Solo tapi kuliah di Jakarta. Teman teman bilang saya manis dan putih. Saya rajin senam jadi badan terjaga. Saya punya pacar orang pribumi namanya Anwar yang sudah sering meniduri saya. Tiap kali diajak ke tempat dia hampir selalu saya disetubuhinya. Juga kalau sedang berada di tempat saya. Anwar ini bukan yang pertama. Dulu pernah punya pacar namanya Santo. Juga orang pribumi. Dia juga sering meniduri saya. Tidak sesering yang sekarang ini karena waktu itu saya tinggal di tempat famili. Tapi kalau sedang berada di tempat dia ya sama saja seringnya. Sehabis pertama kali melakukan dengannya celana dalam saya dipakai untuk melap darah saya dan cairan dia. Lalu disimpan. Waktu itu pulang hanya pakai rok untung tidak ketahuan tante saya. Celana dalam saya masih di tempat dia sampai sekarang. Waktu putus tidak dikembalikan.

Mereka berdua sangat menikmati tubuh saya. Buah dada dan paha serta pantat saya paling sering untuk dijamah jamah atau dinikmati dengan mulut. Setelah itu saya disebadani dengan berbagai cara. Kalau keluar sukanya di dalam. Kecuali kalau saya sedang subur. Ditarik dan saya disuruh minum. Ini kalau saya sedang disetubuhi dari depan. Kalau sedang dari belakang dicopot dan dimasukkan ke pantat saya dan dikeluarkan di dalam. Disuruh pakai karet tidak mau. Pernah coba tapi tidak suka. Kalau sedang datang bulan mulut saya yang dipakai dan disuruh telan. Kadang saya disuruh pakai tampon dan disetubuhi di pantat dan keluar di dalam.

Waktu itu datang ke tempat pacar saya tapi ternyata belum pulang dari luar kota. Waktu akan keluar dari tempat kost saya dipanggil oleh temannya. Nama panggilannya Manol. Orang pribumi juga. Dulu pernah membantu membetulkan mobil saya. Kami omong-omong cukup lama. Kemudian entah bagaimana saya ijinkan dia buat menggauli saya. Saya disetubuhi sambil duduk di tepi ranjang tapi kami berdua menghadap ke muka. Jadi dia masuk dari belakang. Tangannya memegangi kaki saya lebar-lebar. Mukanya menjilati tubuh saya mencium bibir saya atau menghisap buah dada saya dari belakang. Dia sambil bergoyang-goyang dari bawah.

Belum selesai tiba-tiba pintu kamar terbuka dan dua orang temannya yang juga pribumi masuk. Saya pikir mereka mau menggilir saya jadi yang ini harus segera diselesaikan. Biar saya tidak kenal mereka ini orangnya baik-baik. Saya tidak disakiti dan mereka tidak pernah berkata-kata yang merendahkan. Badan pasangan saya sekarang telentang dan kedua kaki saya tumpukan ke ranjang. Jadi pinggul saya bebas bergerak ke depan belakan. Kadang saya putar juga. Setelah itu badan saya miringkan ke belakang dan tangan menumpu di samping. Kemudian saya goyang atas bawah. Kedua temannya teman pacar saya yang sudah telanjang itu kelihatan puas sekali menikmati pemandangan tubuh dan gerakan saya. Yang panggilannya Run mulai meraba raba dada perut dan punggung saya. Yang satunya lagi berusaha memasukkan miliknya ke mulut saya. Untuk itu saya merubah posisi condong ke depan dan berjongkok. Tangan menumpu ke kaki pasangan saya di bawah. Dengan posisi ini pinggul saya menjadi terbebas sehingga memungkinkan gerakan naik turun yang amat kencang. Yang di depan naik ke ranjang dan kepunyaannya saya kulum. Dia membantu dengan gerakan pinggulnya juga.

Tak lama kemudian Manol keluar di dalam. Tapi karena ke atas ya keluar lagi ke bawah. Si Run menggantikan tempatnya dan menyetubuhi saya dari belakang dengan posisi merangkak sambil berpegangan pantat saya. Temannya segera turun dari ranjang dan berdiri di muka ranjang. Saya lanjutkan menghisap kepunyaannya. Kali ini saya tidak perlu bergoyang karena si Run yang maju mundur. Temannya yang sedang saya kulum juga tidak perlu bergoyang lagi karena tinggal menikmati gerakan kepala saya yang ke depan belakang. Tangannya ke mana mana terutama buah dada dan pantat saya berebut dengan si Run. Si Run keluar di dalam. Temannya juga keluar yang segera saya minum. Setelah mereka menarik kedua barang mereka dari tubuh saya pintu terbuka. Manol dan pacar saya masuk. Pacar saya ternyata sudah datang dari luar kota tapi dari tadi mengintip dari luar.

Sambil membuka pakainnya saya disuruh telentang diranjang oleh pacar saya dan segera disetubuhi dengan posisi berdiri dan tangan memegangi kedua kaki saya lebar lebar. Gerakannya kasar dan kencang sampai badan dan buah dada saya bergoyang goyang. Si Nur memutar mutar kelentit saya. Yang dua lagi menghisap buah dada saya kiri dan kanan. Tangan tangan mereka menggerayangi seluruh tubuh saya. Pacar saya mengubah ubah posisi barang dia di dalam kepunyaan saya untuk mencari cari titik paling peka yang dia mestinya sudah hapal. Diperlakukan begini oleh empat orang saya keluar banyak yang belum pernah sebelumnya sampai membasahi sprei dan lantai. Tak lama kemudian pacar saya keluar di dalam dan rebah di samping saya. Yang lain juga istirahat. Badan saya amat capek karena ini pertama kali disetubuhi empat orang. Tapi rasanya teramat puas dan sama sekali tidak menyesal. Sejak itu saya sering disetubuhi oleh pacar dan ketiga temannya ini beramai ramai atau digilir sambil ditonton. Pacar saya juga sama sekali tidak berkeberatan. Selesai.

Tamat

Besoknya, aku merasa waktu begitu lama berjalan. Hingga tiba jam 4 sore aku menanti telepon dari Erika. Aku mulai gelisah ketika 15 menit berlalu Erika belum menelepon juga. Aku mulai menghitung detik-detik yang berlalu hingga hampir setengah jam, namun tiba-tiba.. teleponku berbunyi. Seketika aku berlari menuju ruangan telepon. Dari seberang sana aku mendengar suara Erika yang kunanti-nantikan. Erika meminta maaf sebelumnya dan menyuruhku untuk menjemputnya di wartel dekat pertigaan menuju kampusku. Aku langsung menyambar kunci mobil lalu bergegas menuju wartel tempat di mana Erika sedang menungguku.

Aku memarkir mobil di depan wartel itu, dan tak lama berselang kulihat Erika dengan memakai kaos ketat warna orange bertuliskan Mickey Mouse di bagian dadanya serta celana jeans warna abu-abu. Erika langsung naik ke atas mobil setelah memastikan tidak ada orang lain yang mengenalnya di tempat itu.

Aku tersenyum memandangnya. Erika kelihatan begitu cantik hari ini. Bibirnya hari ini dipoles warna silver, bikin jantung ini semakin deg-degan. Segera kutancap gas menuju arah KG yang berhawa sejuk kira-kira 30 km dari kota Y.

Selama di perjalanan aku dan Erika bercerita tentang Heri dan Era, pacarku. Sampai di KG aku mengajak Erika makan pada sebuah rumah makan yang nuansa romantisnya sangat terasa. Aku tanpa canggung lagi memeluk pinggang Erika pada saat kami memasuki rumah makan tersebut. Erika juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Setelah memesan makanan dan minuman aku memeluknya lagi. Tanganku bergerilya di sekitar pinggangnya yang terbuka. Suasana lesehan yang ruangan yang dibagi-bagi beberapa tempat di rumah makan itu membuat aku bisa bertindak leluasa kepada Erika.

"Tadi malam mimpi lagi, nggak?" tanyanya.
"Nggak, tapi aku sempat membayangkanmu waktu aku lagi main sama Era," jawabku tanpa malu-malu.
Erika tertawa, sambil tangannya mencubit pinggangku. Hari sudah agak malam ketika kami meninggalkan tempat itu. Setelah berputar-putar di sekitar lokasi pegunungan, akhirnya aku memutuskan untuk menyewa sebuah kamar pada sebuah penginapan. Semula Erika menolak soalnya dia takut kalau kami tidak bisa menahan diri. Aku akhirnya meyakinkan Erika bahwa sebenarnya aku cuma ingin berdua saja dengannya, sambil memeluk tubuhnya, itu saja.

Akhirnya Erika mengalah. Dalam kamar penginapan itu Erika tampak jadi pendiam. Dia duduk di atas kursi sementara aku di atas tempat tidur. Aku mencoba menghiburnya dengan bertanya tentang kuliah serta keluarganya termasuk hubungannya dengan Heri. Selama aku bertanya dia cuma menjawab ya dan tidak, cuma itu yang keluar dari mulutnya. "Mas Doni pasti menganggap aku cewek murahan, ya kan?" akhirnya dia berbicara juga jadinya. Ternyata Erika masih belum bisa menerima perlakuanku dengan membawanya ke dalam penginapan ini. Namun aku tidak menyesal karena dalam pikiranku sebenarnya dia sudah tahu apa yang bakalan terjadi sejak kejadian kemarin pagi di kamar Heri. Tinggal bagaimana caranya aku menyeretnya ke atas ranjang tanpa ada pemaksaan sedikitpun.

"Ka, aku sudah bilang sejak kemarin kalau aku ingin berduaan saja bersamamu, memelukmu tanpa ada rasa takut, dan kurasa di sinilah tempatnya," jawabku mencoba memberikan pengertian kepadanya.
"Tapi apa Mas Doni sanggup untuk tidak melakukannya?" Erika menatapku tajam.
"Kalau kamu gimana?" aku malah balik bertanya.
"Aku tanya Mas Doni, kok malah balik nanya ke aku?" tanyanya agak ketus.
"Aku sanggup, Ka" tegasku.
Akhirnya dia tersenyum juga. Erika lalu berjalan ke arahku menuju tempat tidur lalu duduk di sampingku. Aku lalu merangkul tubuhnya lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur.
"Janji ya, Mas Don!" ujarnya lagi. Aku mengangguk.

Aku kini memeluk tubuh Erika dengan posisi menyamping sedang Erika menghadap langit-langit kamar. Kucium pipinya sambil jemariku membelai-belai bagian belakang telinganya. Matanya terpejam seolah menikmati usapan tanganku. Kupandangi wajahnya yang manis, hidungnya yang mancung lalu bibirnya. Tak tahan berlama-lama menunggu akhirnya aku mencium bibirnya. Kulumat mesra lalu kujulurkan lidahku. Mulutnya terbuka perlahan menerima lidahku. Lama aku mempermainkan lidahku di dalam mulutnya. Lidahnya begitu agresif menanggapi permainan lidahku, sampai-sampai nafas kami berdua menjadi tidak beraturan.

Sesaat ciuman kami terhenti untuk menarik nafas, lalu kami mulai berpagutan lagi dan lagi. Tangan kiriku yang bebas untuk melakukan sesuatu terhadap Erika kini mulai kuaktifkan. Kubelai pangkal lengannya yang terbuka. Kubuka telapak tanganku sehingga jempolku bisa menggapai permukaan dadanya sambil membelai pangkal lengannya. Bibirku kini turun menyapu batang lehernya seiring telapak tanganku meraup buah dadanya. Erika menggeliat bagai cacing kepanasan terkena terik mentari. Suara rintihan berulang kali keluar dari mulutnya di saat lidahku menjulur menikmati batang lehernya yang jenjang.

"Mas Don, jangan..!" Erika mencoba menarik telapak tanganku yang kini sedang meremas-remas buah dadanya. Aku tidak peduli lagi. Lagian dia juga tampaknya tidak sungguh-sungguh untuk melarangku. Hanya mulutnya yang melarang sedang tangannya cuma memegang pergelangan tanganku sambil membiarkan telapak tanganku terus mengelus dan meremas buah dadanya yang montok membusung.

Suasana alam pegunungan yang dingin saat ini sangat kontras dengan keadaan di dalam kamar tempat kami bergumul. Aku dan Erika mulai kegerahan. Aku akhirnya membuka kaosku sehingga bertelanjang dada. "Ka, aku ingin melihat buah dadamu, Sayang.." ujarku sambil mengusap bagian puncak payudaranya yang menonjol. Dia menatapku. Mestinya aku tidak perlu memohon kepadanya karena saat itupun aku sudah membelai dan meremas-remas buah dadanya, tapi entah kenapa aku lebih suka jika Erika membuka kaosnya sendiri untukku. "Tapi janji Mas Don ya, cuma yang ini aja," katanya lagi. Aku cuma mengangguk, padahal aku tidak tahu apa yang mesti kujanjikan lagi.

Erika akhirnya membuka kaos ketat warna orange-nya di depanku. Aku terkagum-kagum menatap gundukan daging di dadanya yang tertutup oleh BH berwarna hitam. Payudara itu begitu membusung, menantang. Buah dada Erika naik turun seiring dengan desah nafasnya yang memburu. Sambil berbaring Erika membuka pengait BH-nya di punggungnya. Punggungnya melengkung indah. Aku menahan tangan Erika ketika dia mencoba untuk menurunkan tali BH-nya dari atas pundaknya. Justru dengan keadaan BH-nya yang longgar karena tanpa pengait seperti itu membuat payudaranya semakin menantang. Payudaranya sangat montok sama seperti yang selama ini kubayangkan.

"Buah dadamu bagus, Ka" aku mencoba mengungkapkan keindahan pada tubuhnya. "Pantes si Heri jadi tergila-gila sama Erika," pikirku. Perlahan aku menarik turun cup BH-nya. Mata Erika terpejam. Perhatianku terfokus ke puting susunya yang berwarna kecoklatan. Lingkarannya tidak begitu besar sedang ujungnya begitu runcing dan kaku. Kuusap putingnya lalu kupilin dengan jemariku. Erika mendesah. Mulutku turun ingin mencicipi buah dadanya. "Egkhh.." rintih Erika ketika mulutku melumat puting susunya. Kupermainkan dengan lidah dan gigiku. Sekali-sekali kugigit putingnya lalu kuisap kuat-kuat sehingga membuat Erika menarik rambutku. Puas menikmati buah dada yang sebelah kiri, aku mencium buah dada Erika yang satunya yang belum sempat kunikmati. Rintihan-rintihan dan desahan kenikmatan silih berganti keluar dari mulut Erika. Sambil menciumi buah dada Erika, tanganku turun membelai perutnya yang datar, berhenti sejenak di pusarnya lalu perlahan turun mengitari lembah di bawah perut Erika.

Kubelai pahanya sebelah dalam terlebih dahulu sebelum aku memutuskan untuk meraba bagian kewanitaannya yang masih tertutup oleh celana jeans ketat yang dikenakan Erika. Aku secara tiba-tiba menghentikan kegiatanku lalu berdiri di samping ranjang. Erika tertegun sejenak memandangku, lalu matanya terpejam kembali ketika aku membuka jeans warna hitam yang kukenakan. Sengaja aku membiarkan lampu yang menyala terang agar aku bisa melihat secara jelas detil dari setiap inci tubuh Erika yang selama ini sering kujadikan fantasi seksku. Aku masih berdiri sambil memandang tubuh Erika yang tergolek di ranjang, menantang. Kulitnya yang tidak terlalu putih membuat mataku tak jemu memandang. Perutnya begitu datar. Celana jeans ketat yang dipakainya telihat terlalu longgar pada pinggangnya namun pada bagian pinggulnya begitu pas untuk menunjukkan lekukan pantatnya yang sempurna.

Puas memandang tubuh Erika, aku lalu membaringkan tubuhku di sampingnya. Kurapikan untaian rambut yang menutupi beberapa bagian pada permukaan wajah dan leher Erika. Kubelai lagi buah dadanya. Kucium bibirnya sambil kumasukkan air liurku ke dalam mulutnya. Erika menelannya. Tanganku turun ke bagian perut lalu menerobos masuk melalui pinggang celana jeans Erika yang memang agak longgar. Jemariku bergerak lincah mengusap dan membelai selangkangan Erika yang masih tertutup celana dalamnya. Erika menahan tanganku ketika jari tengah tanganku membelai permukaan celana dalamnya tepat diatas kemaluannya, basah. Aku terus mempermainkan jari tengahku untuk menggelitik bagian yang paling pribadi tubuh Erika. Pinggul Erika perlahan bergerak ke kiri, ke kanan dan sesekali bergoyang untuk menetralisir ketegangan yang dialaminya.

"Mas Don, nanti kita terlalu jauh, Mas.." ujarnya perlahan sambil menatap sayu ke arahku. Melihat matanya yang sayu ditambah dengan rangsangan yang dialami Erika menambah redup bola matanya. Swear, aku semakin bernafsu melihatnya. Aku menggeleng lalu tersenyum. Dibilang begitu aku malah menyuruh Erika untuk membuka celana jeans yang dipakainya.

Tangan kanan Erika berhenti pada permukaan kancing celananya. Kelihatannya dia ragu-ragu. Aku lalu berbisik mesra ke telinganya kalau aku ingin memeluknya dalam keadaan telanjang seperti yang selama ini aku mimpikan. Erika lalu membuka kancing dan menurunkan reitsliting celana jeans-nya. Celana dalam hitam yang dikenakannya begitu mini sehingga rambut-rambut keriting yang tumbuh di sekitar kemaluannya hampir sebagian keluar dari pinggir celana dalamnya. Aku membantu menarik turun celana jeans Erika. Pinggulnya agak dinaikkan ketika aku agak kesusahan menarik celana jeans Erika. Posisi kami kini sama-sama tinggal mengenakan celana dalam. Tubuhnya semakin seksi saja. Pahanya begitu mulus. Memang harus kuakui tubuhnya begitu menarik dan memikat, penuh dengan sex appeal.

Erika menarik selimut untuk menutupi permukaan tubuhnya. Aku beringsut masuk ke dalam selimut lalu memeluk tubuh Erika. Kami berpelukan. Kutarik tangan kirinya untuk menyentuh batang kejantananku. Dia terkejut mendapatkan kemaluanku yang tanpa penutup lagi. Memang sebelum masuk ke dalam selimut, aku sempat melepaskan celana dalamku tanpa sepengetahuan Erika. Aku tersenyum. "Oh.." Erika semakin kaget ketika tangannya menyentuh kemaluanku yang tegang.

"Kenapa, Ka?" tanyaku pura-pura tidak mengerti. Padahal aku tahu dia pasti terkejut karena merasakan kejantananku yang kokoh. Erika tersenyum malu. Kemaluanku yang panjangnya kira-kira 18 cm serta agak gemuk membuat Erika malu tapi mau, ditambah takut, mungkin. Erika mulai berani membelai dan menggenggam kejantananku. Belaiannya begitu mantap menandakan Erika juga begitu piawai dalam urusan yang satu ini.

"Tangan kamu pintar juga ya, Ka," ujarku sambil memandang tangannya yang mengocok senjataku.
"Ya, mesti dong!" jawabnya sambil cekikikan.
"Mas Doni sama Era satu minggu bisa main berapa kali, Mas?" tanyanya sambil terus mengurut-urut batang zakarku.
"Setiap ketemu pasti main, kalau kamu sama Heri?" aku malah balik bertanya.
Mendapat pertanyaan seperti itu entah kenapa nafsuku tiba-tiba semakin liar namun aku tetap bertahan untuk sementara waktu sebelum menyetubuhinya. Erika akhirnya bercerita kalau Heri ternyata suka main perempuan, padahal bukankah sudah ada dirinya? Mau berapa kali Heri meminta, Erika pasti melayaninya. Akhirnya aku jelaskan kalau cowok memang begitu. Sudah dari sononya. Sama seperti aku, kenapa masih menginginkan Erika padahal Era siap melayaniku setiap waktu. Sambil memberikan perjelasan begitu jari-jariku yang nakal masuk dari samping celana dalam langsung menyentuh bukit kemaluan Erika yang sudah basah. Telunjukku membelai-belai klitorisnya sehingga Erika keenakan.

"Kamu biasa ngisep nggak, Ka?" tanyaku tanpa malu-malu lagi. Erika tertawa sambil mencubit batang kemaluanku. Aku meringis.
"Kalo punya Mas Doni mana bisa?" ujarnya.
"Kenapa memangnya?" tanyaku penasaran.
"Nggak muat di mulutku," selesai berkata demikian Erika langsung tertawa kecil.
"Kalau yang dibawah, gimana?" tanyaku lagi sambil menusukkan jari tengahku ke dalam lubang kemaluannya. Erika merintih sambil menahan tanganku. Jariku sudah tenggelam ke dalam liang senggamanya. Aku merasakan liang kewanitaannya berdenyut menjepit jariku. Ugh, pasti nikmat sekali kalau kemaluanku yang diurut, pikirku. Matanya memandang tajam ke arahku.

Bersambung . . . .

Sengaja aku menyamarkan nama-nama yang tertulis di dalam kisahku ini untuk menjaga segala kemungkinan adanya orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan dari kejadian ini, saya memohon agar alamat e-mail ini disamarkan. Disamping itu aku juga takut kalau-kalau temen, pacar, juga temen pacarku yang secara langsung terlibat dalam kejadian ini malah bisa menjadi bumerang untuk menuntutku.

Kejadian ini berawal sekitar bulan September 1999 yang lalu. Tanggal berapa tepatnya aku sudah lupa. Aku mempunyai seorang teman yang sangat dekat denganku, sebut saja namanya Heri. Aku dan Heri sama-sama kuliah di kota Y pada sebuah universitas swasta yang sama pula. Karena kami satu kampus, maka kami sering bertemu baik waktu kuliah maupun di luar lingkungan kampus.

Begitu akrabnya kami sampai urusan mencari cewek pun kami sering pergi berdua. Hingga suatu saat Heri bener-bener jatuh cinta dengan seorang gadis yang juga kuliah di salah satu akademi di kota Y juga, hubungan kami jadi agak renggang. Entahlah sejak berpacaran dengan Erika, nama pacarnya Heri itu, Heri begitu cemburuan. Memang harus kuakui kalau Erika memang termasuk cantik. Disamping itu Erika memang terlalu cantik untuk ukuran temanku, Heri itu. Padahal kalau menurutku, sih adalah hal yang biasa kalau cowok jelek pacarnya cantik. Kuharap temen-temen pembaca juga setuju.

Kukatakan Erika cantik bukanlah penilaianku secara subjektif. Teman-temanku yang lain juga bilang begitu. Bagi kaum lelaki yang memandang mata Erika boleh jadi langsung birahi. Percaya atau tidak mata Erika begitu sayu seolah-olah minta digituin ditambah lagi dengan bibirnya yang seksi dan suka digigit-gigit kalau Erika sedang gemes. Tapi memang Erika cewek matre. Dasarnya aku berkata demikian karena sebelum pacaran dengan Heri, Erika punya pacar yang jauh lebih ganteng dari temanku, Heri. Erika juga pernah bilang kepadaku kalau lebih baik cowok nggak usah ganteng tapi kaya dibanding cowok ganteng tapi kere. Nah, lho..

Pagi itu aku kebetulan ada perlu sama Heri mengenai masalah kuliah. Aku mengendarai sepeda motor menuju kost Heri yang jaraknya kira-kira 2 km dari kontrakanku. Sesampainya di kost Heri, aku melihat garasi tempat mobil Heri biasa diparkir dalam keadaan kosong yang menandakan Heri sedang keluar. Namun aku tidak mengurungkan niatku untuk bertemu dengan Heri.

Setelah aku memarkir sepeda motor teman yang kupinjam, aku masuk menuju ruang tamu yang pada saat itu pintunya dalam keadaan terbuka langsung menuju ke kamar Heri. Di dalam rumah itu ada 4 kamar dan kamar Heri yang paling pojok. Masing-masing kamar kelihatan tertutup pertanda tidak ada kehidupan di dalam rumah itu. Aku ingin menulis pesan di pintu kamar Heri karena memang aku sangat perlu dengannya. Samar-samar terdengar suara televisi dari dalam kamar Heri pertanda ada seseorang di dalam kamarnya. Aku memastikan kalau yang di dalam kamar itu adalah Erika, pacar Heri. Aku mengetuk pintu perlahan sambil memanggil nama temanku. Tidak beberapa lama kemudian pintu dibuka kira-kira sekepalan tangan dan kulihat wajah Erika nongol dari celah pintu yang terbuka.

"Eh, Mas Doni.. Herinya kuliah Mas," jawabnya sebelum aku bertanya. Entah mengapa pikiranku jadi negatif ketika menatap mata Erika yang sayu itu. Aku sambil tersenyum menatapnya.
"Jam berapa pulangnya, Ka?" tanyaku sekedar berbasa-basi.
"Mungkin jam 2 nanti, tapi mungkin bisa lebih lama, soalnya Heri sering molor sih waktunya," jawabnya agak kesal.
Saat itu kira-kira jam 10 pagi berarti Heri pulang kira-kira 4 atau 5 jam lagi, pikirku nakal.

Aku mencoba mencari bahan pembicaraan yang kira-kira bisa memperpanjang obrolan kami agar aku bisa lebih dekat dengannya. Agak lama aku terdiam. Aku memandang matanya, bibirnya yang basah. Bibirnya yang dipoles warna merah menambah sensual bibirnya. Semakin lama aku melihatnya semakin aku terangsang. Sungguh, jantungku deg-degan saat itu.Mata Erika tidak berkedip sekejap pun membalas tatapan mataku.

"Anak-anak ke mana semua, Ka?" tanyaku menanyakan anak-anak kost yang lain setelah agak lama kami terdiam.
"Mas Doni mau cari Heri atau.." kata-katanya terputus tapi aku bisa menerjemahkan kelanjutan kalimatnya dari senyuman di bibirnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk to the point aja.
"Aku juga pengen ketemu denganmu, Ka!" jawabku berpura-pura.
Dia tertawa pelan, "Mas Doni kenapa, sih?" Dia memandangku.
"Boleh aku masuk, Ka? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu," jawabku lagi.
"Sebentar, ya Mas Don, kamarnya berantakan!"

Erika lalu menutup pintu di depanku. Tidak beberapa lama berselang pintu terbuka kembali lalu dia mempersilakan aku masuk ke dalam kamar. Aku duduk di atas kasur yang digelar di atas lantai. Erika masih sibuk membereskan pakaian-pakaian yang bertebaran di atas sandaran kursi belajar. Aku menatap tubuh Erika yang membelakangiku. Saat itu dia mengenakan kaos ketat warna kuning yang memperlihatkan pangkal lengannya yang mulus. Aku memandang pinggulnya yang ditutup oleh celana pendek. Tungkainya panjang serta pahanya bulat dan mulus. Kemaluanku jadi tegang memandang semuanya ditambah khayalanku seandainya aku membelai-belai kedua pangkal pahanya.

Kemudian Erika duduk di sampingku. Lututnya ditekuk sehingga celananya agak naik ke atas membuat pahanya semakin terpampang lebar. Kali ini tanpa malu-malu aku menatapnya dengan sepengetahuan Erika. Dia mencoba menarik turun agak ke bawah ujung celananya untuk menutupi pahanya yang sedang kunikmati.

"Mas Doni mau bicara apa, sih?" katanya tiba-tiba.
Saat itu otakku berpikir cepat, aku takut kalau sebenarnya aku tidak punya bahan pembicaraan yang berarti dengannya. Soalnya dalam pikiranku saat itu cuma khayalan-khayalan untuk bersetubuh dengannya.
"Mmm.. Ka.. aku beberapa hari ini sering bermimpi," kataku berbohong. Entah dari mana aku mendapatkan kalimat itu, aku sendiri tidak tahu tetapi aku merasa agak tenang dengan pernyataan itu.
"Mimpi tentang apa, Mas?" Kelihatannya dia begitu serius menangapiku dilihat dari caranya memandangku.
"Tentang kamu, Ka," jawabku pelan.
Bukannya terkejut, malah sebaliknya dia tertawa mendengar bualanku. Sampai-sampai Erika menutup mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar terlalu keras.
"Emangnya Mas Doni mimpi apa sama aku?" tanyanya penasaran.
"Ya.. biasalah, kamu juga pasti tahu," jawabku sambil tertunduk.

Tiba-tiba dia memegang tanganku. Aku benar-benar terkejut lalu menolehnya.
"Mas Doni ini ada-ada saja, Mas Doni kan sudah punya pacar, lagian aku juga kan sudah punya pacar, masa masih mau mimpi-mimpiin orang lain?"
"Makanya aku juga bingung, Ka. Lagian kalaupun bisa aku sebenarnya nggak ingin bermimpi tentang kamu, Ka," jawabku.
Kami sama-sama terdiam. Kuremas jemari tangannya lalu perlahan kuangkat menuju bibirku. Dia memperhatikanku pada saat aku melabuhkan ciuman mesra ke punggung tangannya. Aku menggeser posisi dudukku agar lebih dekat dengan tubuhnya. Aku memandangi wajahnya. Mata kami berpandangan. Wajahku perlahan mendekati wajahnya, mencari bibirnya, semakin dekat dan tiba-tiba wajahnya berpaling sehingga mulutku bendarat di pipinya yang mulus. Kedua tanganku kini bergerak aktif memeluk tubuhnya.

Tangan kananku menggapai dagunya lalu mengarahkan wajahnya berhadapan dengan wajahku. Kuraup mulutnya seketika dengan mulutku. Erika menggeliat pelan sambil menyebutkan namaku.
"Mas Don, cukup Mas!" tangannya mencoba mendorong dadaku untuk menghentikan kegiatanku.
Aku menghentikan aksiku lalu pura-pura meminta maaf kepadanya.
"Maafin aku, Ka.. aku nggak sanggup lagi jika setiap malam memimpikan dirimu."
Aku pura-pura menunduk lagi seolah-olah menyesali perbuatanku.
"Aku mengerti Mas Don, Aku juga nggak bisa menyalahkan Mas Doni karena mimpi itu."
Aku menatap wajahnya lagi. Ada semacam kesedihan di wajahnya hanya saja aku tak tahu apa penyebabnya. Pipinya masih kelihatan memerah bekas cumbuanku tadi.

"Aku juga ingin membantu Mas Doni agar tidak terlalu memikirkanku, tapi.." kalimatnya terputus. Dalam hati aku tersenyum dengan kalimat ingin membantu yang diucapkannya.
"Ka, aku cuma ingin pergi berdua denganmu, sekali saja.. agar aku bener-bener bisa melupakanmu," kataku memohon.
"Kita kan sama-sama sudah punya pacar, Mas Don, nanti kalau ketahuan gimana?"
Nah, kalau sudah sampai disini aku merasa mendapat angin. Kesimpulannya dia mau asal jangan sampai ketahuan sama pacarnya. Batinku tertawa penuh kemenangan.
"Seandainya ketahuan aku akan bertanggung jawab, Ka" setelah itu aku memeluknya lagi. Dan kali ini dia benar-benar pasrah dalam pelukanku. Malah tangannya ikut mambalas memeluk tubuhku. Telapak tanganku perlahan mengelus punggungnya dengan mesra sementara bibirku tidak tinggal diam menciumi pipi lalu turun ke lehernya yang jenjang. Erika mendesah. Kuciumi kulitnya dengan penuh nafsu. Mulutku meraup bibirnya. Erika diam saja. Kulumat bibirnya lalu kujulurkan lidahku perlahan seiring mulutnya mempersilakan lidahku untuk menjelajah rongga mulutnya. Nafasnya mulai tidak teratur ketika lidahku memilin lidahnya.

Kesempatan ini kugunakan untuk membelai buah dadanya. Perlahan telapak tanganku kutarik dari punggungnya melalui ketiaknya. Tanpa berhenti membelai telapak tanganku kini sudah berada pada sisi buah dadanya. Aku benar-benar berahi saat itu. Apalagi aku sudah sering membayangkan kesempatan seperti saat ini bersamanya.

Kini telapak tanganku sudah berada di atas gundukan daging di atas dadanya. Besar juga pikirku, kalau tidak salah dari kebiasaan tanganku menggenggam payudara cewekku mencoba menduga-duga payudaranya ukuran 34. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, justru yang seperti ini yang paling nikmat.

Pada saat tanganku mulai meremas buah dadanya yang sebelah kanan tangan Erika mencoba menahan aksiku. Payudaranya masih kencang dan padat membuatku semakin bernafsu untuk meremas-remasnya.
"Mas Don, jangan sekarang Mas.."
"Aku takut.." katanya berulang kali.
Aku juga merasa tindakanku saat itu betul-betul nekat, apalagi pintu kamar masih terbuka setengah. Jangan-jangan ada anak kost lain yang melihat perbuatan kami. Wah, bisa gawat jadinya.

Aku akhirnya berdiri dari tempat dudukku untuk menenangkan suasana. Soalnya bagaimanapun juga Erika sudah bisa kunikmati, tinggal menunggu waktu yang tepat. Lagian aku bukanlah tipe laki-laki yang suka terburu-buru dalam berbagai hal, khususnya dalam masalah seks.

Aku kini duduk di kursi menghadap Erika sedangkan Erika masih di atas kasur sambil memperbaiki rambut dan kaosnya kuningnya yang agak kusut.
"Mas Doni mau ngajakku ke mana, sih," Erika menatap wajahku.
"Pokoknya tempat di mana tidak ada orang yang bisa mengganggu ketenangan kita, Ka," jawabku sambil memandang permukaan dadanya yang baru saja kuremas-remas. Erika duduk sambil bersandar dengan kedua tangan di belakang untuk menahan tubuhnya. Payudaranya jadi kelihatan menonjol. Aku memandang nakal ke arah buah dadanya sambil tersenyum. Kakinya diluruskan hingga menyentuh telapak kakiku.

"Tapi kalau ketahuan.. Mas Doni yang tanggung jawab, ya" katanya mencoba menuntut pernjelasanku lagi. Aku mengangguk.
"Terus kapan jalan-jalannya, Mas Don?" "Gimana kalo besok sore jam 4?" tanyaku.
"Ketemu di mana?" tanyanya penasaran.
"Kamu telepon aku dari wartel lalu aku akan menjemputmu di wartel itu, gimana?" tanyaku lagi.
Dia tersenyum menatapku, "Wah, Mas Doni ternyata pintar banget untuk urusan begituan."
Aku tertawa.
"Tapi aku nggak mau kalau Mas Doni nidurin aku," tegasnya.
Aku terkejut namun pura-pura mengiyakan, soalnya tadi aku merasa besok aku sudah bisa menikmati kehangatan tubuh Erika. Makanya besok sengaja aku memilih waktu sore hari karena aku ingin mengajaknya menginap. Namun aku diam saja, yang penting dia sudah mau aku ajak pergi, tinggal penyelesaiannya saja. Lagian ngapain dia mesti minta tanggung jawab seandainya aku tidak berbuat apa-apa dengannya, pikirku lagi. Ah, lihat besok sajalah.

Akhirnya aku mesti pulang ke rumah, di samping memang Erika juga menyuruhku segera pulang karena dia juga takut kalau tiba-tiba Heri memergoki kami sedang berdua di kamar. Namun sebelum pulang aku masih sempat menikmati bibir Erika sekali lagi waktu berdiri di samping pintu. Aku malah sempat menekan tubuh Erika hingga punggungnya bersandar di dinding. Kesempatan ini kugunakan untuk menekan kejantananku yang sedari tadi butuh penyaluran ke selangkangannya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena situasinya memang tidak memungkinkan.

Di rumah aku gelisah terus. Kemaluanku tegang terus membayangkan apa yang telah dan bakal aku lakukan terhadap Erika. Akhirnya sore itu aku menjemput pacarku Era untuk melampiaskan nafsuku yang sudah tidak terkendali lagi. Bersama Era aku mencoba berfantasi sedang bersetubuh dengan Erika. Untung saja Era tidak tahu kalau sebenarnya aku sedang membayangkan Erika karena pada saat orgasme mulutku mengerang memanggil nama Erika.

Bersambung . . . . .

Namaku Anto (samaran) seorang karyawan swasta berumur 33 tahun. Dalam kehidupan pergaulan sehari-hari aku sering menjadi perhatian di lingkungan tempat aku bekerja, selain pergaulan yang luwes, aku memiliki postur yang bisa dikatakan lumayan. Dengan warna kulitku yang putih, tinggi 170 dan berat sekitar 67 Kg serta single, tidaklah sulit bagi diriku untuk mencari teman-teman baru.

Di perusahaan tempat aku bekerja, ada salah seorang teman wanita yang (pernah) menjadi perhatianku. Sebut saja namanya Anita. Dalam pergaulannya, Anita juga seorang yang luwes, oleh sebab itu dia di tempatkan oleh pimpinan perusahaan di bagian marketing, yang sebelumnya adalah teman satu bagian dengan aku.

Awal tahun 2003 yang lalu Anita melangsungkan pernikahannya dengan seorang teman kuliahnya. Walaupun sekarang sudah menikah, Anita tetap seperti yang dulu, luwes dan anggun. Walaupun postur tubunya bukanlah tipe seorang yang bertubuh tinggi dan langsing, tapi dia memiliki kharisma tersendiri. Dengan kulit yang putih, payudara sekitar 34 serta betis yang indah, senyumnya yang menawan, tidak mengherankan bila menjadi perhatian para lelaki.

Kedekatan diriku dengan Anita berawal sejak dia bekerja pada bagian yang sama denganku 3 tahun yang lalu. Sejak dia pindah bagian (lantai berbeda walaupun dalam satu gedung) dan menikah, aku jadi jarang sekali bertemu. Paling hanya berbicara melalui telpon atau saling kirim email. Kami sering bercakap-cakap mengenai kantor dan kadang-kadang menjurus ke hal yang pribadi. Karena Anita kadang-kadang berkeluh kesah mengenai masalah-masalah kantor, yang sering membuat pikirannya cemas. Dan hal itu terbawa dalam keluarga. Rasa cemas Anita terkadang memang berlebihan, yang membuat sampai awal tahun 2004 ini belum ada tanda-tanda bahwa dirinya hamil. Setiap ada anggota keluarga atau temannya yang bertanya mengenai hal itu, menambah gundah dirinya. Segala upaya termasuk konsultasi kepada dokter sudah dilakukan, tetapi hasilnya tetap nihil. Rasa cemas dan bersalah timbul pada diri Anita, karena selalu menjadi bahan pertanyaan khususnya dari pihak keluarga. Aku sering kali memberi semangat dan dukungan kepadanya untuk selalu belajar menerima apa adanya dalam situasi apapun. Bila ada sesuatu pikiran yang membuat gundah Anita, aku selalu dapat membuat dirinya lupa dengan masalahnya. Aku selalu dapat membuat dirinya tertawa, dan terus tertawa. Pernah suatu ketika, Anita tertawa sampai berlutut dilantai sambil memegang perutnya karena tertawa sampai keluar air mata dan sakit perut!!

Suatu hari (aku lupa persisnya) minggu ke 2 di bulan Februari 2004 yang lalu, Anita menelponku melalui HP. Pada saat itu aku baru saja sampai di rumah, setelah seharian bekerja.

"Haloo Nitaa.. Lagi dimana lu? Tumben nih malem-malem nelpon, hehehehe.." kataku kemudian.
"Lagi di rumaah. Lagi bengong-bengong, laper and cuapek buanget nih, tadi gue ada meeting di Kuningan (jalan kuningan-Jakarta) dari siang, lu sendiri masih dikantor?" kata Anita kemudian.
"Nggak laah, baru aja sampai di rumah. Eh, lu dirumah bengang-bengong ngapain sih? Emang di rumah lu kaga ada beras, sampai kelaperan gituh?" candaku kemudian.
Disana Anita terdengar tertawa renyah sekali,
"Hehehehe.. Emang benar-benar nih anak!! Gue capek karena kerja! Terus belum sempet makan dari pulang kantor!!"
"Ooo, gitu. Gue kira lu capek karena jalan kaki dari kuningan ke rumah!" kataku kemudian.
"Eee, enak aja!! Ntar betis gue besar sebelah gimana?"
"Lhaa kan, tadi gue bilang jalan kaki, bukan ngangkat sebelah kaki terus loncat-loncat? Kenapa betis lu bisa besar sebelah?"
Disana Anita hanya bisa tertawa, mendengar kata-kataku tadi.
"Sudah lu istirahat dulu Nit, jangan lupa makan, mandi biar wangi. Seharian kan sudah kerja, capek, ntar kalau lu dikerjain ama laki lu gimana, sementara sekarang aja lu masih capek?" aku bicara seenaknya saja sambil meneguk minuman juice sparkling kesukaanku.
"Kalau itu mah laeen.. Gue enjoy aja!! Nggak usah mandi dulu laki gue juga tetep nempel. Lagian sekarang laki gue nggak ada, kok. Lagi ke Australia.." kata Anita kemudian.
"Ke Autralia? Wah, enak amat! Gini hari jalan-jalan kesono sendirian, lu kok kaga ikut? Ngapain Nit, beli kangguru ya?" tanyaku seenaknya.
"Eh, ni anak dodol amat sih!! Urusan kantornya lah!!" kata Anita sengit, sementara aku hanya cekikikan mendengar Anita berkata sengit kepadaku.
"So anyway, seperti pertanyaan gue tadi, lu tumben Nit, malem-malem gini telpon. Baru kali ini kan?" tanyaku.
"Iya, gue mau ngobrol aja ama lu. Abis disini sepi.. nggak ada yang bisa diajak ngomong" lalu Anita menceritakan apa-apa saja yang menjadi pembicaraan dalam meeting tadi. Seperti biasa, aku diminta pendapat dalam masalah kantor yang sedang ditangani, dalam sudut pandang aku tentunya.

Tak terasa, kami berbicara sudah satu setengah jam yang kemudian kami berniat mengakhiri, dan berjanji akan di teruskan esok harinya di kantor. Sebelum aku menutup telpon, tiba-tiba Anita menanyakan sesuatu kepadaku,
"Eh, gue mau tanya dikit dong, boleh nggak? Tapi kalau lu nggak mau jawab, nggak apa-apa.."
"Apa?" tanyaku kemudian.
"Maaf Nto, kalau gue boleh tanya, Hmm.. Lu pernah ML nggak?".

Mendengar pertanyaan seperti itu aku sedikit kaget, karena walaupun pembicaraan aku dan Anita selalu apa adanya dan kadang bersifat pribadi, tapi belum pernah seperti ini.

"Ngg, pernah.. Kenapa Nit?" tanyaku ingin tahu.
"Nggak, cuma tanya doang.. Lu pertama kali ML kapan, pasti ama cewe lu yah?" tanya Anita.
"Gue pertama kali ML waktu SMA, sama teman bukan ama cewe gue, lu sendiri kapan?"
Mendengar jawaban ku tadi Anita langsung berkata,
"Gue sih, waktu kuliah. Itu juga setelah TA, sama Randy (suaminya). Rasanya gimana Nto, ML pertama kali?" tanya Anita.
"Lhaah, lu sendiri waktu ML pertama kali gimana?".
"Awalnya sih, sakit. Tapi enak juga.. Hehehe. Abis Waktu itu Randy buru-buru amat. Maklum waktu itu kami takut ketauan..".
"Emang lu ML dimana, di kantor RW?"
"Hahaha, nggak lah!! Gue lakuin di ruang tamu rumah gue sendiri. Waktu itu lagi nggak ada orang lain. Pembantu gue juga lagi keluar rumah"
"Wah, ternyata waktu gue ke rumah lu kemarin, gue nggak sangka duduk di sofa yang pernah digunain untuk perang antar kelamin.."

Anita hanya tertawa mendengar celotehanku itu. Kemudian kami saling bercerita mengenai pengalaman kami masing-masing, sampai dengan masalah posisi yang paling disukai dan yang tidak disukai dalam berhubungan intim. Kami juga sama-sama bercerita kalau kadang-kadang melakukan masturbasi apabila keinginan sudah menggebu dan tidak tertahankan.

"Wah, Nto.. kalau lu abis mastur, jangan dibuang sembarangan dong, kasiankan, anak lu pada teriak-teriak di got. Mending lu bungkus terus kirim ke gue aja, kali-kali bermanfaat"
"Emang lu mau sperma gue, bawanya gimana? Dibungkus? Kaya bawa nasi rendang! Kirim lewat apa dong? Mending langsung tuang ke lu langsung. Praktis dan nyaman, hehehehe".
"Week, mengharap amat! Lu yang nyaman, tapi gue yang nggak aman!! Nggak, gue cuma mau sperma lu aja" celetuk Anita dengan sengit.
"Sudah ah, gue mau mandi dulu terus tidur, besok kita kan masih kerja.." kata Anita kemudian. Setelah itu kami sama-sama berpamitan untuk menutup telpon.

TGF (Thanks God is Friday), hari itu aku melakukan seperti biasanya. Walaupun aku terasa mengantuk, tapi aku senang dan bekerja dengan semangat sekali karena besok dan lusa libur. Seperti janji semalam, aku makan siang dengan Anita untuk melanjutkan pembicaraan masalah kantor yang sedang dihadapinya. Aku dan Anitapun berangkat bersama, menuju restoran yang menyajikan masakan Thailand di bilangan Jakarta Selatan. Sepanjang perjalanan dan di tempat tujuan pembicaraan kami hanya berkisar masalah pekerjaan yang serius, sekali-kali bercanda dan tertawa. Tidak ada satupun topik yang mengungkit-ungkit pembicaraan akhir di telepon semalam. Sampai pada saat kami diperjalanan pulang, kami hanya diam seribu bahasa. Mungkin karena Anita masih mengingat pembicaraan yang tadi dibicarakan. Kalau aku sih, sedang mengingat-ingat rencana apa yang akan dilakukan liburan nanti. Entah apa yang ada di benak Anita, mungkin pusing liat kemacetan lalu lintas yang sedang dihadapi, maklum dia yang jadi sopir. Sementara aku bersantai-ria disampingnya sambil mendengarkan lagu slow R&B.

"Kenapa sih, kok ngelirik gue terus?" kata aku tiba-tiba, karena aku perhatikan dari sudut mataku, Anita sering melirik ke arah aku.
"Ge-Er aja sih lu? Gue cuma liatin jalan, bukan liat lu! Jalan kan macet, jadi gue bingung mau ambil arah mana?" celetuk Anita.
"Weleh, muka liat jalan, kok biji mata lu ke arah gue? Emang, tampang gue kaya pengamen yah?". Anita tertawa mendengar celotehan aku tadi.
Kemudian dia berkata, "Nto, lu benar mau kirimin ke gue?".
"Kirimin apa sih?".
"Itu-tu, .. Pembicaraan kita semalem.." kata Anita.
"Tentang mastur.."

Aku langsung memalingkan wajahku ke Anita, bingung
"Mastur? Ooo, yang itu. Emang kenapa sih Nit? Lu emang ingin benih gue?".
"Sebenernya bukan itu, gue cuma ingin punya anak doang. Cuma gue bingung harus gimana?"
"Mungkin sekarang belum rezeki lu, kali Nit. Lu jangan nyerah gitu donk! Suatu saat nanti, kalau rezeki lu sudah dateng, pasti juga dapet kok. Sabar ajah, ya Nit" kataku.
"Jadi maksudnya, lu nggak mau kasih kesempatan ke gue? Maaf ya, Nto? Bukannya gue sudah kehilangan akal sehat, gue cuma mau tes aja. Gue tahu lu orangnya bisa dipercaya. Apapun yang terjadi nanti, gue percaya lu nggak berubah memandang diri gue. Tetep bisa jadi teman gue. Makanya gue perlu lu".
"Wah Nita, kalau nanti hamil beneran gimana? Serem aja kalau sampai ketauan.. Gue kan, jadi nggak enak ama keluarga lu?".
"Biarin aja, itung-itung sebagai bukti kalau gue bisa hamil!".

Setelah Anita berkata tadi aku berpikir, si Anita gila juga nih, pikirku. Aku tahu, kami memang sama-sama dekat, tapi hanya sebatas teman biasa. Aku hanya takut, nanti setelah kejadian, salah satu dari kami bisa muncul perasaan berbeda. Walupun Anita percaya aku tidak seperti itu, tetap saja aku ragu. Memang aku tidak memungkiri, ingin sekali tidur dengannya. Tapi perasaan itu aku tahan, karena bisa merusak hubungan kami nantinya. Paling kalau sudah tidak terbendung, ujungnya hanya masturbasi. Aku memang doyan sekali dengan yang namanya sex. Tapi aku tidak mau obral cinta demi sex semata. Oleh sebab itu, permintaan Anita ini bisa saja mengubah suasana. Tapi setelah aku pikir-pikir, apa salahnya aku coba. Toh, dari dulu memang aku ingin sekali melihat lekuk tubuhnya..

"gimana To, bisa nggak?" kata Anita tiba-tiba yang membuyarkan lamunanku.
"Bisaa.. Ya pasti gue bisa aja dong! Wong enak kok, main perang-perangan".
"Heh, enak aja! Kata sapa lu, kita ML? Gue kan cuma bilang minta sperma lu? Bukan berarti kita main sex! Dan gue minta kita bersikap obyektif yah, ingat gue sudah punya keluarga".
"Jadi kita nggak nge-sex? Gimana caranya? Emang lu mau minum sperma gue, yang ada sih lu cuma kenyang, bukannya bunting!" kataku mulai bingung.
"Hush, jijik ah, omongan lu. Gimana caranya lu hanya keluarin sperma lu nanti, terus langsung masukin ke punya gue".
"Waah, susah amat proyeknya! Tapi okelah, kita coba aja yah" akupun menyanggupi, karena aku berpikiran, akan berusaha paling tidak bisa melihat bentuk tubuhnya yang membuat penasaran selama ini. Kemudian dalam pembicaraan selanjutnya, kamipun sepakat untuk bertemu esok harinya di salah hotel bintang 3 di arah yang berbeda dengan daerah rumah kami di wilayah Jakarta selatan.

Hari Sabtu pun tiba. Setelah istirahat yang cukup, pagi-pagi sekali aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk tujuanku nanti. Setelah aku tiba di hotel tersebut, aku langsung check-in. Kemudian menunggu di kamar hotel setelah sebelumnya aku memberitahu Anita bahwa aku sudah sampai. Lama sekali Anita tidak muncul, sudah hampir 3 jam aku menunggunya sambil menonton acara music di TV kamar. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, ketika tiba-tiba ada ketukan halus dari pintu kamarku.

Bersambung . . . .