Hari masih pagi. Matahari belum bersinar lama. Saat itu jam dinding kamar baru menunjukan pukul enam lebih sedikit. Aku bangkit dari tempat tidur. Kurasakan pinggangku sedikit linu. Mungkin akibat pertarungan cinta yang berlangsung dasyat tadi malam. Perlahan-lahan aku berjalan menuju kamar mandi. Kutengok Linda masih tertidur pulas menghadap ke dinding. Tubuhnya yang putih montok hanya ditutupi oleh selembar kain katun berwarna biru langit yang tipis.

Aku segera masuk ke kamar mandi yang masih terletak di dalam ruangan. Aku berdiri di depan kloset, melepaskan urine yang sudah tak dapat kutahan. Kurasakan air itu mengucur deras dari organ tubuhku yang mengeras dan panjang. Aku menggelinjang sesaat setelah air berwarna kekuningan itu terkuras habis, membuat organ tubuhku itu berangsur-angsur mengendur dan layu.

Aku lalu memutar sebuah tungkai penyiram air pada kloset. Kulihat air itu menjadi bergulung-gulung membentuk pusaran lalu menghilang ke dasarnya mengeluarkan bunyi yang berdesis. Aku membasuh sedikit kepala kemaluanku dengan air kemudian mencuci tanganku di sebuah westafel. Sejenak kuperhatikan bayanganku yang terpantul jelas pada cermin lebar yang terletak persis di hadapanku. Wanita itu memang betul-betul liar, pikirku. Sekujur badanku tampak habis matang-matang digigitnya meninggalkan bekas yang membiru.

Tak lama kemudian aku kembali ke tempat tidur. Aku mengambil sebuah celana pendek hitam yang terserak di bawah tempat tidur. Aku mengenakannya, menutupi auratku yang besar kecoklatan. Kulihat Linda masih tak bergerak. Posisi tidurnya belum berubah. Aku merebahkan tubuhku di sampingnya. Sekilas kudengar nafasnya hampir-hampir mendengkur, begitu teratur dan berirama. Aku pun lalu membalikkan badanku, membelakangi tubuhnya dan terbang ke alam mimpi.

Aku terbangun karena hawa udara yang terasa panas. Jam dinding kamar itu sudah menunjukan pukul duabelas kurang sedikit. Kulihat sebelahku telah kosong. Kiranya Linda telah pergi ke kantornya. Kepalaku terasa sedikit pening. "Akh..! Mimpi yang konyol", pikirku. Aku menyalakan sebuah kipas angin dari sebuah remote. Kurasakan udara menjadi lebih sejuk. Pikiranku menjadi teringat kembali pada mimpi yang sempat kualami.

Saat itu aku berada di sebuah bar. Aku lalu memesan segelas bir dan mulai larut menikmati suasana santai yang temaram saat itu. Tak lama muncul seorang wanita berpenampilan seksi yang tampak lucu dan ganjil karena usianya yang telah lanjut. Seorang nenek seksi yang lincah, menurutku. Ia lalu duduk di dekatku dan menyapaku. Saat itu dapat kulihat dengan jelas betapa tulang giginya telah habis, membuatku menjadi geli menahan tawa, apalagi ketika ia tersenyum-senyum memperhatikan bagian tubuh di bawah perutku. Aku berusaha tetap bersikap sopan meskipun kutahu wanita tua itu menaruh minat khusus pada organ yang tersembunyi di balik celana jeansku. Dasar nenek sinting, bathinku. Aku mengalihkan pandangan ke tempat lain, namun menjadi tersentak saat tangan penuh kerutan itu mulai meraba-raba di sekitar pangkal pahaku. Mulutku seakan terkunci rapat, tak dapat bicara ketika kemudian wanita itu berhasil mengeluarkan batang-tubuhku dari sarangnya dan kemudian membenamkan kepalanya di antara pangkal pahaku. "Oufh..!" Aku menghela napas sesaat. Saat itu yang kurasakan hanyalah ketegangan akan situasi di sekelilingku, bercampur rasa yang sulit dilukiskan oleh kata-kata.

Kiranya mulut tak bergigi itu telah begitu hebat merangsang organ tubuhku sehingga menjadi bertambah besar dan panjang. Aku mengatur nafasku satu-satu, sedikit terengah merasakan bibir-bibir itu melumat-lumat sekujur batang kejantananku yang menjadi keras dan semakin mengeras. Ternyata wanita tua itu memang betul-betul terampil mengolah kejantanan laki-laki keluar masuk di dalam mulutnya. Daya sedotnya begitu sempurna dan memiliki irama yang teratur dan konstan. Aku menjadi terpejam-pejam menahan rasa yang sulit diredam. Anehnya, pengunjung bar yang lain tampak sama sekali tak peduli dengan aktivitas konyol yang berlangsung saat itu. Hal itu membuatku semakin menikmati mulut kenyal itu melahap kejantananku dalam-dalam. "Ahh..!" Gerakannya benar-benar halus dan matang. Tangannya pun mulai mengusap-usap kedua bola zakarku, dipermainkannya lembut sambil sesekali digelitiknya dengan kuku-kuku jarinya yang panjang. Kurasakan ujung kemaluanku mulai berdenyut-denyut siap memuntahkan laharnya. Aku menarik napas panjang. Aku hanya dapat memegangi kepala wanita tua itu, membenamkannya dalam-dalam ke bawah perutku.

Saat-saat kritis itu semakin dekat. Aku berada di ambang puncak sampai beberapa detik kemudian, "Yeaahh..!" Aku memuntahkan lava putih yang mengental di dalam mulutnya. Wanita itu menjadi tersedak, membuat lava itu meluap-luap keluar dari mulutnya, sementara aku terhempas ke puncak kenikmatan.

"Kring.. kring!" Suara telepon kuno itu seketika membuyarkan pikiranku. Aku segera bangkit mengangkat telepon yang terletak di atas sebuah meja rias di sudut ruangan. Aku merasakan suatu keganjilan. Kulihat celana pendek hitamku tergeletak pada sebuah bangku kecil di depan meja rias itu. Aneh, pikirku. Aku mencoba untuk mengingat-ingat kembali. "Kring.. kring..!" Suara telepon itu kembali mengejutkanku.
"Ya, Hallo..!" sapaku datar.
Aku menarik napas sesaat.
"Hei, Roy.. kamu sudah bangun?" kudengar suara Linda di ujung sana.
Aku masih belum dapat berkonsentrasi. Pikiranku menjadi kacau.
"Hei, Roy.. kamu baru bangun yah!" Suara perempuan itu terdengar manja.
"He eh..!" jawabku singkat.

Selanjutnya aku hanya mendengarkan pembicaraannya tanpa banyak berkata-kata. Ia menceritakan hari-harinya di kantor siang itu, mengutarakan rencananya nanti malam, dan menceritakan aktivitas tambahan yang dilakukannya tadi pagi. Aku menjadi sedikit terkejut, sekaligus menemukan jawaban atas keganjilan yang kurasakan.
"Sorry ya, Roy..!" katanya merajuk.
Aku tak menyahut. Ia lalu meneruskan kata-katanya.
"Aku tak tahan melihat Si Tommy yang menonjol di balik celanamu.. tapi kamu masih tidur, nyenyak sekali..!" Ia berhenti, tak melanjutkan kata-katanya.

Terdengar di ujung sana perempuan itu menarik napas. Ia melanjutkan kata-katanya dengan suara berat.
"Yahh.. lalu kuajak saja dia bermain-main dengan mulutku, Roy..!"
Aku masih tak menyahut. Aku hanya menarik napas dalam-dalam.
"Tapi kamu suka kan, Roy..?" Kata-katanya terdengar jelas setengah merayu. Aku terbatuk kecil.
"Nggak masalah kok, Lin.. aku suka itu!" ujarku datar diikuti tawa kami berbarengan.
Tak lama kemudian kami mengakhiri pembicaraan itu, setelah sebelumnya Linda menegurku, dengan suara bernada keras.
"Hehh.. aktifin tuh handphone-nya..!"
"Klik!"

Tamat