Pengalaman nyata ini terjadi kurang lebih 19 tahun yang lalu. Panggil saja aku Wita (nama samaran). Saat itu usiaku 24 tahun dan sudah mempunyai 2 anak yang masih balita. Untuk mengisi waktu aku bekerja sebagai salah satu manager pada perusahaan yang berkantor di kawasan Kebayoran Baru. Banyak orang mengatakan diriku cantik. Dengan tinggi badan 161 cm, berat badan 48 kg aku masih kelihatan seperti gadis remaja.
Sejak masih remaja nafsu seksku memang tinggi. Keperawananku telah direnggut oleh seorang pria mantan pacar pertamaku, saat aku berusia 17 tahun. Semasa pacaran dengan suamiku yang sekarang, sebut saja namanya Zali, kami berdua telah sering melakukan hubungan seks. Untungnya hubungan seks yang cukup kami berdua lakukan sebelum menikah itu tidak sampai membuahkan hasil. Aku bersyukur walau Zali mendapatkan diriku yang sudah tidak perawan lagi, ia tetap bertanggung jawab menikahiku.
Kecintaan suami terhadap kedua orang tuanya, menyebabkan kami sekeluarga tinggal di rumah mertua. Di rumah mertua juga masih tinggal empat orang adik ipar, dimana dua diantaranya adalah adik ipar laki-laki yang sudah dewasa. Pekerjaan yang digeluti suami, menyebabkan suamiku sering melakukan tugas dinas ke luar kota.
Kecintaan suami terhadap kedua orang tuanya, menyebabkan kami sekeluarga tinggal di rumah mertua. Di rumah mertua juga masih tinggal empat orang adik ipar, dimana dua diantaranya adalah adik ipar laki-laki yang sudah dewasa. Pekerjaan yang digeluti suami, menyebabkan suamiku sering melakukan tugas dinas ke luar kota.
Suatu hari, sekitar bulan Mei, suamiku mendapat tugas ke daerah untuk jangka waktu dua bulan. Beberapa hari sebelum keberangkatannya, tanpa diduga ia bertanya kepadaku, “Mam, seandainya Papa pergi untuk waktu yang cukup lama, apakah Mama tahan nggak ngeseks?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan suamiku itu, “Nggak lah Pap..”
Namun suamiku tetap mendesakku, dan selanjutnya berkata, “Papa nggak keberatan kok jika Mama mau selingkuh dengan pria lain, asalkan Mama mau dan pria itu sehat, Papa mengenalnya dan Mama jujur.”
Aku menjawab, “Mana mungkin lah Pap, siapa sih yang mau sama aku.”
Aku terkejut mendengar pertanyaan suamiku itu, “Nggak lah Pap..”
Namun suamiku tetap mendesakku, dan selanjutnya berkata, “Papa nggak keberatan kok jika Mama mau selingkuh dengan pria lain, asalkan Mama mau dan pria itu sehat, Papa mengenalnya dan Mama jujur.”
Aku menjawab, “Mana mungkin lah Pap, siapa sih yang mau sama aku.”
Kemudian suamiku menawarkan beberapa nama antara lain bosku, teman-teman prianya dan terakhir salah satu adik kandungnya (sebut saja namanya Ary, usianya lebih muda satu tahun dariku). Walaupun aku mencoba mengelak untuk menjawabnya, ternyata suamiku tetap merayuku untuk berselingkuh dengan pria lain. Pada akhirnya ia menawarkan aku untuk berselingkuh dengan Ary. Terus terang, Ary memang adik iparku yang paling ganteng bahkan lebih ganteng dari suamiku. Selain itu, Ary sering membantuku dan dekat dengan kedua anakku. Perasaanku agak berdebar mendengar tawaran ini dan saat itu pikiranku tergoda dan mengkhayal jika hal ini benar-benar terjadi.
Kemudian aku mencoba mencari tahu alasan suami menawarkan adiknya, Ary, sebagai pasangan selingkuhku. Tanpa kuduga dan bak halilintar di tengah hari bolong, suamiku bercerita bahwa sebelumnya tanpa sepengetahuanku ia pernah berselingkuh dengan adik kandungku yang berusia 19 tahun saat adikku tinggal bersama kami di kota M. Pengakuan suamiku itu menimbulkan kemarahanku. Kuberondong suamiku dengan beberapa pertanyaan, kenapa tega berbuat itu dan apa alasannya. Dengan memohon maaf dan memohon pengertianku, suamiku memberikan alasan bahwa hal itu dilakukan selain karena lupa diri, juga sebenarnya untuk menebus kekecewaannya karena tidak mendapatkan perawanku pada malam pengantin.
Aku mencoba menanggapi alasannya, “Kenapa Papa dulu mau menikahiku..” Suamiku hanya menjawab bahwa ia benar-benar mencintaiku. Mendengar alasan tersebut, aku terdiam dan dapat menerima kenyataan itu, walau yang agak kusesalkan kenapa ia lakukan dengan adik kandungku. Selanjutnya suamiku berkata, “Itulah Mam mengapa Papa menawarkan Ary sebagai teman selingkuh Mama, tak lain sebagai penebus kesalahan Papa dan juga agar skor menjadi 1-1,” sambil ia memeluk dan menciumiku dengan penuh kasih sayang.
Aku mencoba merenung, dan dalam benakku muncul niat untuk melakukannya. Pertama, jelas aku menuruti harapan suami. Kedua, kenapa kesempatan itu harus kusia-siakan, karena selain ada ijin dari suami, juga akan ada pria lain yang mengisi kesepianku, lebih-lebih dapat memenuhi kebutuhan seksku yang selalu menggebu-gebu dan sangat tinggi. Sempat kubayangkan wajah Ary yang selama ini kuketahui masih perjaka. Ketampanannya yang ditunjang oleh fisiknya yang tegap dan gagah. Kubayangkan tentunya akan sangat membahagiakan diriku. Bermodalkan khayalan ini kuberanikan berkata kepada suamiku, “Boleh aja Pap, asal Ary mau..” Mendengar perkataanku tersebut, suamiku langsung memelukku dan akhirnya kami berdua melanjutkan permainan seks yang sangat memuaskan.
Sehari setelah suamiku berangkat ke luar kota, aku mulai berpikir mencari strategi bagaimana mendekati Ary. Selain memancing perhatian Ary di rumah, kutemukan jalan keluar yaitu minta tolong dijemput pulang dari kantor. Waktu kerja di kantorku dibagi dalam dua shift, yaitu shift pagi (08:00 – 14:30) dan shift siang (14:30 – 21:00). Rute pengantaran selalu berganti-ganti, karenanya jika aku mendapat giliran terakhir, pasti sampai rumah agak terlambat. Hal ini aku keluhkan kepada kedua mertuaku.
Mendengar keluhanku ini, kedua mertuaku menyarankan agar setiap kali pulang dari dinas siang, tidak perlu ikut mobil antaran, nanti Ary yang akan disuruh menjemputku. Hatiku begitu gembira mendengar saran ini, karena inilah yang kutunggu-tunggu untuk lebih dekat pada Ary. Sampai kedua kali Ary datang menjemputku dengan motornya, sikapnya padaku masih biasa-biasa saja, walau dalam perjalanan pulang di atas motor, kupeluk erat-erat pinggangnya dan sekali-kali sengaja kusentuh penisnya.
Suatu hari, pembantu rumah tanggaku terserang penyakit. Karena aku dinas siang, mertuaku menyuruhku membawanya ke rumah sakit bersama Ary. Sambil menunggu giliran pembantuku dipanggil dokter, aku dan Ary mengobrol. Dalam obrolan itu, Ary menanyakan beberapa hal antara lain berapa lama suamiku dinas di luar kota, dan apa aku tidak kesepian ditinggal cukup lama. Pertanyaan terakhir ini cukup mengejutkan diriku, dan bertanya sendiri dalam hati apa maksudnya. Tanpa sungkan aku memberanikan diri menjawab untuk memancing reaksinya. “Yakh sudah tentu kesepian donk Ri, apalagi kalau lama tidak disiram-siram.” sambil aku tersenyum genit. Entah benar-benar lugu atau berpura-pura, Ary menanggapinya, “Apanya yang disiram-siram..” Kujawab saja, “Masa sih nggak ngerti, ibarat pohon kalau lama nggak disiram bisa layu kan..” Ary hanya terdiam dan tidak banyak komentar, namun aku yakin bahwa Ary tentunya mengerti apa yang kuisyaratkan kepadanya.
Selesai urusan pembantuku, kami semua kembali ke rumah. Seperti biasa jam 14:00 aku sudah dijemput kendaraan kantor. Sekitar jam 16:00 aku menerima telepon dari Ary. Selain mengatakan akan menjemputku pulang, ia juga menyinggung kembali kata-kataku tentang ‘siram menyiram’. Kukatakan padanya, “Coba aja terjemahkan sendiri..” Sambil tertawa di telepon, Ary berkata, “Iya deh nanti Ary yang siram..”
Tepat jam 21:00, Ary sudah datang menjemputku dengan motornya. Dalam perjalanan, kutempelkan tubuhku erat-erat dengan melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku mencoba memancing reaksi Ary dengan menyentuhkan jari-jari tanganku ke penisnya. Kurasakan penisnya menjadi keras. Saat berada di depan Taman Ria Remaja Senayan, Ary membelokan motornya masuk. Aku sedikit kaget, dan mencoba bertanya, “Ri, kok berhenti di sini sih..?” Ary menjawab, “Nggak apa-apa kan, sekali-kali mampir cuci pemandangan, sekalian ngobrol lagi soal siram-siraman.” Aku mengangguk dan menjawab, “Iya boleh juga Ri..”
Setelah parkir motor, tanpa sungkan, Ary menggandeng pinggangku sambil berjalan, dan aku tak merasa risih mendapat perlakuan ini. Setelah berhenti sebentar membeli dua cup coca cola dan popcorn, sambil bergandengan aku dibawa Ary ke tempat yang agak gelap dan sepi. Dalam perjalanan, kulihat beberapa pasangan yang sedang asyik masyuk bercinta, yang mebuat nafsu seksku naik.
Setelah mendapat tempat yang strategis, tidak ada orang di kiri kanan, kami berdua duduk bersebelahan dengan rapat. Kemudian Ary membuka pembicaraan dengan kembali mengulangi pertanyaannya. “Berapa lama Mas Zali tugas di luar kota.?”
Kujawab, “Yah.. katanya sih dua bulanan, memang kenapa Ri?
“Apa Wita nggak akan kesepian begitu cukup lama ditinggal Mas Zali?” kata Ary.
“Yah tentunya normal dong kesepian, apalagi nggak disiram-siram.” kuulangi jawaban yang sama sambil kupandang wajah Ary dengan ekspresi menggoda.
“Apa Wita nggak akan kesepian begitu cukup lama ditinggal Mas Zali?” kata Ary.
“Yah tentunya normal dong kesepian, apalagi nggak disiram-siram.” kuulangi jawaban yang sama sambil kupandang wajah Ary dengan ekspresi menggoda.
Tiba-tiba Ary meletakkan tangannya di pundakku dan dengan beraninya menarik wajahku. Kemudian ia mencium pipi dan melumat bibirku dengan penuh nafsu. Diriku seperti terbang, kulayani lumatan bibirnya dengan penuh nafsu pula. Sambil berciuman, dengan lirih Ary bertanya, “Oh Wita sangat cantik, boleh nggak Ary mengisi kesepian Wita?”
Sebagai jawaban kubisikkan di telinganya, “Oh.. Ri, boleh saja, Wita memang kesepian dan butuh orang yang dapat memuaskan..”
Sebagai jawaban kubisikkan di telinganya, “Oh.. Ri, boleh saja, Wita memang kesepian dan butuh orang yang dapat memuaskan..”
Sambil berciuman, tangan Ary membuka kancing bajuku dan memasukkan tangannya di balik kutangku sambil meremas-remas buah dadaku dan memilin-milin puting susuku. Tubuhku menggelinjang menahan rangsangan tangannya. Kemudian tangannya terus turun ke bawah, dari balik rokku dan celana dalamku yang sudah basah, ia memasukkan jari-jari tangannya mempermainkan klitorisku. Nafsuku semakin naik, dengan lirih aku mengerang, “Oh.. oh Ri, aduh Ary pinter sekali.. oh.. puaskan Wita Ri.. Oh..” Dengan semangat Ary mempermainkan vaginaku sambil kadang-kadang ia melumat bibirku. Tubuhku terasa terbang menikmati permainan jari-jari tangannya di vaginaku. Kurasakan satu dan akhirnya dua jari Ary masuk ke dalam lubang vaginaku. “Oh.. Ri.. aduh.. enaknya Ri.. oh terus Ri..” aku mengerang menahan kenikmatan. Mendengar eranganku, kedua jari tangan Ary makin mengocok lubang vaginaku dengan gerakan yang sangat merangsang.
Dan akhirnya, beberapa menit kemudian karena tak tahan, aku mencapai orgasme. “Oh Ri, aagh.. Wita keluar Ri..” Kujilati seluruh permukaan wajah Ary dan kulumat bibirnya dengan nafsuku yang masih tinggi. Ary masih tetap memainkan kedua jarinya di dalam vaginaku. Begitu hebatnya permainan kedua jari tangan Ary yang menyentuh daerah-daerah sensitif di dalam lubang vaginaku, membuatku orgasme sampai tiga kali.
Kelihatannya Ary begitu bernafsu dan saat itu ia mengajakku bersetubuh.
“Wita.. boleh nggak Ary masukkan lontong Ary ke dalam apem Wita?”
Walau aku sebenarnya juga menginginkannya, namun aku khawatir dan sadar akan bahaya kalau ketahuan satpam Taman Ria. Kujawab saja, “Jangan di sini Ri, bahaya kalau ketahuan satpam, nanti di rumah saja ya Yang..”
“Benar nih jangan bohong ya.. dan bagaimana caranya?” tanya Ary.
Kujawab saja, “Nanti kamar nggak dikunci, masuk aja Ri, yang penting jangan ketahuan orang rumah.”
“Wita.. boleh nggak Ary masukkan lontong Ary ke dalam apem Wita?”
Walau aku sebenarnya juga menginginkannya, namun aku khawatir dan sadar akan bahaya kalau ketahuan satpam Taman Ria. Kujawab saja, “Jangan di sini Ri, bahaya kalau ketahuan satpam, nanti di rumah saja ya Yang..”
“Benar nih jangan bohong ya.. dan bagaimana caranya?” tanya Ary.
Kujawab saja, “Nanti kamar nggak dikunci, masuk aja Ri, yang penting jangan ketahuan orang rumah.”
Akhirnya Ary setuju dengan tawaranku itu. Mengingat waktu sudah menunjukkan jam 22:10 kami berdua sepakat pulang. Sebelum meninggalkan tempat, sambil berdiri kami berdua berpelukan erat, saling melumat bibir dan lidah. Sambil bergandengan mesra, tanpa khawatir kalau ada orang yang kenal melihatnya, kami berdua berjalan menuju parkir motor. Dalam perjalanan pulang, kupeluk erat tubuh Ary, sambil jari-jari tangan kananku membelai dan meremas-remas lontongnya dari balik celananya. Sesampainya di rumah, selesai mandi kukenakan daster tidurku tanpa celana dalam, dan kusemprotkan parfum di tubuhku, siap menanti pria yang akan mengisi kebutuhan seksku. Kulihat kedua anakku sudah tidur pulas. Kemudian kira-kira jam 23:30 kumatikan lampu kamar dan kurebahkan tubuhku di tempat tidur terpisah dari tempat tidur anak-anakku. Sambil tidur-tidur ayam, kunantikan Ary masuk ke kamarku. Sekitar jam 01:00, kulihat pintu kamar yang sengaja tidak kukunci secara perlahan dibuka orang. Kulihat Ary dengan sarung masuk. Setelah ia menutup kembali pintu kamar dan menguncinya, ia menuju tempat tidurku dan langsung menindih tubuhku dan menciumi wajah serta bibirku. Sambil menciumiku, tangannya menggerayangi vaginaku. Ary berkata, “Wah sudah siap nih ya.. nggak pakai celana dalam..” Tak berapa lama Ary mengangkat dasterku dan mempermainkan klitorisku dan sesekali memasukkan jarinya ke lubang vaginaku, membuatku melayang dan vaginaku cepat banjir.
Ternyata Ary juga sudah siap dengan tidak memakai celana dalam. Digesek-gesekannya lontongnya yang sudah mengeras di pahaku sambil jari-jari tangannya mempermainkan vaginaku. Kubalas gerakan Ary dengan meremas-remas dan mengocok lontongnya. Nafsuku semakin naik, begitu juga Ary karena nafasnya terdengar semakin memburu. Sambil tersengal-sengal, ia melenguh, “Oh.. oh.. Wita.. Ary sudah nafsu.. Wita haus kan.. Ary masukkan ya..” Aku pun sudah tidak tahan, “Oh Ri.. masukkan cepat lontongnya.. Wita sudah nggak tahan.. Ohh Ri..”
Kemudian, “Slep..” kurasakan lontong Ary yang lebih besar dan panjang dibandingkan lontong suamiku itu masuk dengan mudah masuk ke dalam lubang vaginaku yang sudah benar-benar basah itu. Kurasakan lontongnya sampai menyentuh dinding vaginaku yang terdalam. “Oh.. Ri.. aduh enaknya Ri.. oh gede Ri..” aku merintih, sambil kupeluk erat tubuh Ary. Kudengar pula rintihan Ary sambil menurun-naikkan lontongnya di dalam vaginaku. “Oh.. oh.. agh.. Wita, enak sekali apem Wita.. oh.. aagh..” Dari cara permainannya, aku merasakan Ary belum berpengalaman dalam hal seks dan kelihatannya baru pertama kali ia berbuat begini. Mungkin karena begitu nafsunya kami berdua kurang lebih 10 menit menikmati hujaman lontong Ary, aku sudah mau mencapai orgasme. “Oh.. agh.. aduh Ri.. cepatkan tusukannya Ri.. Wita mau keluar.. oh…aagh..” Kurasakan Ary pun sudah mau orgasme. “Oh.. agh.. Mbak, Ary juga mau keluar.. oh.. aaaghh..” Tak lama kemudian, berbarengan dengan keluarnya spermaku, kurasakan semburan sperma yang keluar dari penis Ary yang masih perjaka, keras dan berkali-kali memenuhi lubang vaginaku.
Kami berdua berpelukan erat merasakan kenikmatan yang tiada taranya ini. Kubisikkan di telinga Ary, “Terima kasih Ri, Mbak puas sekali..” Ary pun berbisik, “Aduh Wita, baru pertama kali ini Ary rasakan enaknya apem.. Wita puas kan..” tambahnya.
Kemudian, Ary mencabut lontongnya dari dalam lubang vaginaku. Aku berusaha menahannya karena aku ingin nambah lagi. Ary berbisik, “Besok-besok aja lagi, sekarang Ary harus keluar.. takut ada orang yang bangun..” Setelah mengecup kening dan pipiku, Ary permisi keluar. Kubisikkan di telinganya, “Hati-hati ya Ri.. jangan sampai ketahuan orang lain..” Walaupun belum begitu puas, tapi hatiku bahagia bahwa Ary akan mengisi kesepian dan memenuhi kebutuhan seksku selama suami di luar kota. Dalam hati aku pun mengucapkan terima kasih kepada suamiku atas ijinnya dan pilihannya yang tepat.
Setelah kejadian pertama ini, hubungan seksku dengan adik suamiku ini terus berlanjut. Sayangnya hal ini kami berdua lakukan di rumah, karena saat itu memang tidak pernah terpikir untuk main di luar misalnya di Motel. Saking puasnya menikmati permainan seks dari Ary, aku lupa akan jadwal kalender KB yang selama ini kugunakan. Sedangkan setiap kali Ary menyetubuhiku, spermanya selalu ditumpahkan di dalam vaginaku. Aku sendiri memang tidak menginginkan sperma Ary ditumpahkan di luar, karena justru merasakan semburan dan kehangatan sperma Ary di dalam vaginaku, merupakan suatu kenikmatan yang luar biasa. Akibatnya setelah beberapa kali melakukan hubungan, aku sempat terlambat 6 hari datang bulan (mens). Hal ini kuceritakan kepada Ary, saat kami mengobrol berdua di paviliun. Khawatir benar-benar hamil, kuminta Ary mengantarku ke dokter untuk memeriksakannya. Pada mulanya Ary tidak setuju, dan ingin mempertahankan kehamilanku. Aku tidak setuju dan tetap ingin menggugurkannya.
Keesokan paginya dengan diantar Ary, aku memeriksakan diri ke suatu rumah sakit bagian kandungan. Ternyata hasil pemeriksaan tidak bisa keluar hari itu juga, dan harus menunggu tiga hari. Sampai dua hari setelah pemeriksaan dokter, ternyata mens-ku masih belum datang. Aku tidak sabar dan khawatir jika ternyata aku benar-benar hamil. Hal ini kuutarakan kepada Ary dan kuminta ia membantu membelikan satu botol bir hitam untukku. Keesokan harinya, Ary menyerahkan bir hitam itu kepadaku, dan malamnya kuminum. Tiga hari setelah minum bir hitam tersebut, mens-ku datang.
Setelah mens-ku selesai sekitar 7 hari, aku dan Ary melanjutkan lagi hubungan seks seperti biasanya. Praktis selama dua bulan ada 18 kali aku dan Ary berhasil melakukan hubungan seks yang memuaskan dengan aman tanpa ketahuan keluarga di rumah. Keinginan untuk melakukannya setiap hari sulit terlaksana, mengingat situasi rumah yang tidak memungkinkan. Dari sekian kali hubungan seksku dengan Ary, seingatku ada tiga kali yang benar-benar sangat memuaskan diriku. Selain kejadian yang pertama kali, hubungan seksku dengan Ary yang sangat memuaskan adalah sewaktu kami berdua melakukan di suatu siang hari dan saat malam takbiran. Kejadian di siang hari itu, yaitu saat aku selesai mandi dan bersiap-siap berhias diri mau pergi ke kantor. Saat itu kedua mertuaku dan adik-adik iparku yang lain sedang tidak ada di rumah. Yang ada hanya Ary, yang kebetulan sudah pulang dari kantornya, karena hari Jumat. Kedua anakku asyik bermain dengan pengasuhnya.
Tanpa sepengetahuanku, saat aku memakai make-up, tiba-tiba Ary masuk kamarku yang tidak terkunci. Setelah menutup pintu kembali dan menguncinya, dari belakang ia memelukku, melepaskan handuk yang membungkus tubuhku, sehingga aku dalam posisi telanjang bulat. Diciumnya pundak belakangku, sambil tangannya memainkan kedua payudaraku, dan turun mempermainkan vaginaku. Akibatnya, aku tak tahan dan vaginaku cepat basah. Segera kubalikkan tubuhku dan kupeluk serta kulumat bibir Ary dengan penuh nafsu. Kemudian kubuka reitsleting celananya dan kutanggalkan celana panjang dan celana dalamnya. Kemudian aku jongkok di hadapannya, sambil meremas, menjilati, dan mengulum lontongnya dalam mulutku.
Setelah kurasakan lontongnya semakin keras, kudorong tubuh Ary duduk di tepi tempat tidur. Kemudian aku berdiri membelakanginya, dan setengah jongkok kupegang dan kuarahkan lontongnya masuk ke dalam lubang kewanitaanku yang sudah basah itu. Kuturun-naikkan dan kuputar pinggulku untuk merasakan nikmatnya lontong Ary yang telah masuk seluruhnya dalam lubang vaginaku. Sambil bergoyang itu, aku merintih dan berdesah, “Oooh.. aaaghh..” Ary tak mau ketinggalan, ia membantu menurun-naikkan pinggulku dan kadang-kadang meremas-remas kedua buah dadaku. Kurang lebih tiga menit dengan posisi ini, terasa aku sudah mau orgasme. Kupercepat gerakan turun naik dan goyangan pinggulku, dan saat itu Ary merintih, “Oh.. oh.. Wita, Ary mau keluar.. oh..”
Akhirnya berbarengan dengan keluarnya spermaku, kurasakan lontong Ary menyemprotkan spermanya dengan keras memenuhi lubang vaginaku. Tubuhku terasa terbang merasakan semprotan yang hangat dan nikmat itu. Kemudian kukeluarkan lontong Ary dari lubang vaginaku. Kulihat masih cukup keras. Dengan penuh nafsu kujilati, kuhisap lontong Ary yang masih basah diselimuti campuran sperma kami berdua.
Tak berapa lama kemudian lontong Ary kembali keras. Kemudian kuminta Ary menyetubuhiku dari belakang. Dengan menopangkan kedua tanganku di atas meja hias dan posisi menungging, kusuruh Ary memasukkan lontongnya ke dalam lubang vaginaku dari belakang. Betapa nikmatnya kurasakan lontong Ary menghunjam masuk ke dalam lubang vaginaku, kemudian sambil meremas-remas kedua buah dadaku, Ary mempercepat tusukan lontongnya. Dari cermin yang berada di hadapanku, kulihat gerakan dan ekspresi wajah Ary yang sedang mempermainkan lontongnya di dalam lubang vaginaku. Situasi ini menambah naiknya birahiku. Kurang lebih tiga menit merasakan tusukan-tusukan lontongnya, aku tak tahan ingin orgasme lagi. Aku merintih, “Aduh.. oh.. agh.. Ri, tembus Ri.. aagh.. Wita mau keluar lagi, cepatkan Ri.. oh.. aaghhh..” Ternyata Ary pun mau keluar. Ia pun merintih, “Oh.. augh.. Wita, Ary juga mau keluar.. aduh.. Wita.. bareng ya.. oh..” Beberapa saat kemudian, secara bersamaan aku dan Ary mencapai orgasme. Kurasakan kembali semprotan sperma Ary yang hangat dan nikmat lubang vaginaku.
Setelah itu, kami berdua berpelukan dengan mesra. Aku berkata, “Nakal ya..” Ary mencium pipi dan keningku kemudian pamit keluar. Kemudian aku pun keluar ke kamar mandi untuk membasuh vaginaku. Jam 14:00, jemputan mobil dari kantorku datang. Malamnya sesuai janji via telepon, kembali Ary masuk ke kamarku dan menyetubuhiku secara terburu-buru, karena khawatir ada yang memergoki. Walau dalam keadaan terburu-buru, persetubuhanku dengan Ary yang dilakukan setiap dini hari itu, cukup memuaskan, karena paling tidak setiap bersetubuh itu aku bisa orgasme minimal satu kali dan merasakan semprotan sperma Ary di dalam vaginaku.
Selanjutnya, persetubuhanku dengan Ary yang benar-benar memuaskan dan menyebabkan aku lemas tak berdaya adalah saat malam takbiran. Pada malam itu, aku menginap di rumah orang tuaku. Sesuai janji via telepon Ary datang menjengukku. Kami berdua duduk mengobrol merayakan takbiran di rumah. Kedua orang tuaku menyuruhku menawarkan bir kepada Ary. Selesai acara TV, ayahku pergi keluar rumah dan ibuku masuk tidur. Kini di ruang tamu, tinggal aku dan Ary duduk berdua ngobrol sambil menikmati bir sepuas-puasnya. Karena pengaruh bir, kurasakan nafsu seksku mulai naik. Kemudian aku pamit sebentar, melihat kedua anakku sekalian mengecek Ibuku. Aku mengganti bajuku dengan daster dan kutanggalkan celana dalamku. Setelah kuketahui ibuku sudah pulas tidur dan keadaan aman, aku kembali ke ruang tamu, duduk di sebelah Ary.
Tak lama kemudian Ary sudah memelukku, menciumiku sambil bertanya apa ibuku sudah tidur. Mengetahui ibuku sudah tidur, Ary mulai menggerayangi vaginaku dengan jari-jari tangannya sambil melumat bibirku. Aku menggelinjang dan merintih, “Oh.. Ri.. enak sekali.. Ri.. oh terus Ri..” Aku tak mau kalah dan kuremas-remas lontongnya dari luar celana yang membuat lontongnya semakin keras. Kemudian kusuruh Ary berdiri, kubuka reitsleting celana panjangnya dan sekaligus celana dalamnya. Kulihat dan rasakan lontong Ary lebih keras dan besar dari biasanya.
“Aduh.. wow.. kok lebih keras dan besar Ri lontongnya?” Ary berterus terang bahwa sorenya ia minum jamu kuat laki-laki sebagai persiapan untuk memuaskan diriku. Kuhisap, kujilati dan kukulum lontongnya dengan penuh nafsu. Karena tak tahan lagi, kudorong tubuh Ary duduk di sofa. Aku duduk di atas pangkuannya. Kemudian kupegang dan arahkan lontongnya ke dalam vaginaku. “Wow.. aduh Ri.. gede banget dan enak Ri, lontongnya.. aduh.. oohh..” aku mengerang. Sambil kulumat bibirnya, kunaik-turunkan pinggulku agar dapat merasakan gerakan, tusukan dan denyutan lontong Ary. Sekitar dua menit kugoyang, akhirnya aku mencapai orgasme karena tak tahan merasakan lontong Ary yang lebih keras dan besar dari biasanya. Kemudian kami berdua merubah posisi dengan doggy style. Kurang lebih tiga menit, lagi-lagi aku tidak tahan dan orgasme untuk yang kedua kalinya. Setelah beristirahat sebentar, kami berdua merubah posisi dengan berdiri. Lontong Ary masih keras dan ia belum keluar sama sekali. Lagi-lagi, mungkin karena pengaruh bir dan nafsu yang menggebu, aku mencapai orgasme yang ketiga kalinya.
Dengan masih mempertahankan lontongnya yang keras dan panjang di dalam vaginaku, Ary menggendongku masuk ke kamar tidurku. Direbahkan tubuhku di kasur di atas lantai yang sudah kusiapkan. Masih kurasakan nikmatnyan dan orgasmeku yang keempat kalinya saat Ary menyetubuhiku dengan posisi di atas. Setelah itu aku tak ingat lagi dan menyerah pasrah menerima tusukan-tusukan lontong Ary.
Mungkin lebih dari 10 kali aku mencapai orgasme, dan aku tak tahu berapa kali Ary keluar. Saat terbangun kira-kira jam 5 pagi, terasa kepuasan yang amat sangat pada diriku walau kakiku rasanya gontai dan lemas. Kurasakan juga kehangatan sperma Ary yang masih ada di dalam vaginaku. Tak disangka selingkuhku di malam takbiran dengan Ary adik suamiku adalah yang terakhir, karena beberapa hari kemudian, suamiku sudah kembali ke rumah.
Sekembalinya suami di rumah, malam harinya suami mengajakku bersetubuh. Sambil bersetubuh, suami bertanya apakah jadi selingkuh dengan Ary. Karena memang sudah diijinkannya, aku berterus terang mengaku. Pada mulanya suamiku agak marah, mungkin tersinggung, tapi akhirnya ia memaafkanku. Sejak saat itu hubunganku dengan Ary praktis terputus. Namun, Ary masih mencoba mendekatiku dan berusaha mengajakku untuk berhubungan lagi. Hal itu ia lakukan beberapa kali via telepon saat suamiku ke kantor. Walau sebenarnya aku sendiri masih menginginkannya, namun ajakan Ary tersebut terpaksa kutolak. Selain suasana rumah memang tidak memungkinkan, aku juga khawatir jika suamiku akan marah karena ia belum mengijinkan lagi.
Peristiwa perselingkuhanku dengan adik ipar atas saran dan ijin suami menjadi pengalaman yang manis sampai saat ini. Lebih dari itu, jika suami mengungkit-ungkit lagi masalah ini dan minta aku menceritakannya kembali, bukannya marah yang kudapat darinya, malah sebaliknya kasih sayang yang makin besar.
Setiap kali akan meniduriku, untuk merangsang dirinya, suamiku selalu meminta aku untuk menceritakan kembali pengalaman selingkuhku dengan adiknya itu. Ia kerap bertanya posisi apa saja yang aku dan Ary lakukan saat berhubungan seks, berapa kali aku klimaks, bagaimana rasanya vaginaku menerima semburan sperma Ary dlsb. Untuk membahagiakannya, kuceritakan semuanya secara jujur. Setiap kali mendengar ceritaku itu, nafsu seks suamiku semakin meningkat dan ia meminta aku mempraktekannya kembali dengan menganggap dirinya sebagai Ary. Terus terang, gairah seksku pun semakin meningkat saat harus membayangkan dan mempraktekan kembali cara-cara hubungan seksku dengan Ary.
Ternyata perselingkuhan tidak selalu merusak keharmonisan rumah tangga. Mungkin ada benarnya jika orang menerjemahkan arti kata ‘selingkuh’ sebagai ‘selingan indah keluarga utuh’.