Meskipun tampak Anna sangat cinta kepadaku, tetapi suaminya tidak pernah cemburu. Mungkin karena keinginan mereka untuk mendapatkan anak, sedangkan Dicky, suami Anna, tidak mungkin membuahi rahimnya, karena bibitnya lemah. Namun aku tetap menghormati mereka dan apabila ada orang lain di antara kami, kami bersikap biasa-biasa saja, sehingga tidak ada kecurigaan bahwa diam-diam, aku adalah suami gelap Anna di samping suami resminya yang tahu dan menghendaki keberadaanku di antara mereka.
Suatu pagi Anna meneleponku agar menginap di rumahnya, sebab Dicky mendadak diminta berangkat ke Surabaya selama 4 hari.
“Dicky memintamu untuk menemaniku selama ia ke Surabaya,” katanya. Aku bekerja seperti biasa, dan karena sibuk, aku lupa apa yang ia minta pagi itu.
Sekitar pukul 16, saat jelang pulang kantor, HP-ku berbunyi, kudengar suara Dicky, “Gus, ini aku, Dicky. Aku sudah di Surabaya. Tolong temani Anna dong, kasihan ia sendirian. Memang ia sudah minta keponakannya Sinta datang menemani, tapi Sinta bilang belum pasti, karena ia sibuk mau ujian semester sebentar lagi.” Aku ingat, Anna pernah cerita tentang ponakannya, Sinta, mahasiswa semester 7 suatu perguruan tinggi swasta.
“Wah, aku sibuk benar, pulang-pulang malam beberapa hari ini,” kataku. Memang banyak pekerjaan menumpuk di perusahaanku dan pulang paling cepat pukul 19, tetapi untungnya sekarang aku punya asisten yang bisa dipercaya, tetapi kadang-kadang aku kurang yakin, sehingga turun tangan sendiri. “Tapi, ok deh, kalau asistenku bisa handle kerjaanku, kuusahakan nanti,” kataku memberi sedikit harapan.
“Ok sobat. Sorry, merepotkan melulu. Sssttt, aku nggak tahu nih, kemarin Anna bilang ia udah seminggu telat, apa positif ya?” katanya agak berbisik. “Wah, bagus dong, ntar lagi kalian bakal dapat momongan,” kataku, walaupun dalam hati ada rasa tak enak, sebab jika benar begitu, berarti itu adalah benihku, sebab dokter sudah menyatakan Dicky sulit menghamili Anna. “Maaf lho, cuma pesan aja, mana tahu benar, biar kalian jaga-jaga kalau ntar malam kumpul. Ok gitu dulu ya, aku udah ditunggu Kepala Cabang Surabaya nih. Bye,” katanya menutup percakapan kami.
Setelah memanggil asistenku dan menjelaskan bahwa aku puas dengan kinerjanya dan ingin mempromosikannya lebih jauh, maka kukatakan agar ia lebih serius menangani tugas kami. Kubilang ada saudara yang harus kutemani beberapa malam, hingga tidak pulang malam seperti hari yang sudah-sudah. Tentu saja asistenku merasa bangga atas kepercayaanku dan mengiyakan apa yang kuminta, tetapi tetap saja kudekati rekan kerjaku satu bagian agar diam-diam mengamati kerjaannya. Aku pun bisa pulang lebih awal. Pukul 17 aku pulang, sudah tidak sabar bertemu Anna. Kuhitung-hitung, hampir sebulan tidak ketemu mereka. Saat baru keluar kantor, HP-ku berdering, saat kuangkat terdengar suara Anna, “Gus, udah pulang belum? Kamu langsung ke rumahku ya? Ntar mandi di sana. Besok kerja pakai baju Dicky aja!” pintanya. “Ok deh, tapi aku mampir dulu ke rumah, nyalain lampu teras,” kataku.
Setelah mampir menyalakan lampu, aku naik motor Hondaku ke rumah mereka. Jam tanganku menunjukkan waktu hampir pukul 20 ketika tiba di sana. Dengan kunci gerbang dan pintu rumah yang mereka berikan kupegang, aku tidak perlu menunggu Anna membukakan pintu bagiku. Setelah mematikan sepeda motor, kubuka gerbang dan mendorong motor ke samping rumah mereka. Aku menuju pintu depan dan kuambil kunci, tetapi ketika akan kubuka, ternyata pintu tidak terkunci. Aku masuk tapi rumah itu tampak sepi, suara TV terdengar agak keras di ruang tengah/keluarga. Aku menuju ke sana. Kupanggil Anna, tidak ada sahutan. “Mungkin ia tertidur,” pikirku sambil melangkah ke arah kamar tidur mereka. Saat ada di depan pintu kamar yang agak terbuka, kudengar desahan-desahan suara perempuan, “Wah, jangan-jangan Anna sedang birahi, hingga masturbasi!” kataku dalam hati, tetapi setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata bukan hanya suara seorang perempuan, tetapi dua orang. “Oh, mungkin si Henny lagi main sama Anna nih?” Kucoba mengintip dari celah-celah pintu yang sedikit terbuka. Tampak di temaram lampu kamar tidur Anna dalam keadaan berdiri, sedang berciuman dan berpelukan dengan seorang perempuan lain, lebih tinggi daripada dia, sehingga kupikir tak mungkin Henny. “Lho, siapa lagi teman Anna kali ini? Apa Dicky tahu?” tanyaku pada diri sendiri. Perempuan lain yang bersama Anna mengenakan celana panjang, tetapi baju atasnya sudah tersingkap hampir lepas; sedangkan Anna sudah bertelanjang dengan handuk yang terjatuh di dekat kakinya.
Wajahku memerah, tetapi agar mereka tidak tahu aku sudah mengintip, aku berjingkat-jingkat ke pintu depan, pura-pura baru datang dan berteriak memanggil nama Anna dan berdiri di ruang tamu.
“Annnn, Anna! Di mana sih nih orang?”
“Eh udah datang Gus? Duduk dulu ya, aku sedang ganti baju di kamar,” kudengar suara Anna.
Tak berapa lama kemudian Anna sudah keluar kamar dengan mengenakan daster, sedangkan perempuan yang bersamanya tadi mengikuti dari belakangnya.
Terdengar Anna berkata padaku, “Gus, ini Sinta, ponakanku yang masih kuliah. Dia bilang tadi tidak bisa datang, eh ternyata jadi datang. Sin, ini Agus, teman SMU Tante dulu.”
Kusambut tangan halus si perempuan sambil menyebutkan namaku, “Agus.”
“Sinta,” katanya sambil tersenyum manis dengan lesung pipit di pipinya. Kami agak lama bersalaman, hingga Anna menyadarkan kami, “Sinta baru juga datang, belum ada setengah jam. Kamu pasti belum makan, ya kan Gus? Kita makan dulu yuk!”
“Pelit amat sih An, koq punya ponakan cantik tidak pernah dikenalin?” kataku seolah menyesali sambil berjalan ke arah ruang makan mendahului mereka.
“Ponakanku ini kan sibuk melulu, bisa diitung dengan jari berapa kali ia kemari,” papar Anna.
“Idiiihh Tante, namanya juga anak sekolah, kan waktunya habis buat belajar,” Sinta membela diri.
Kami makan bertiga. Usai makan kami duduk di ruang tengah sambil makan buah anggur. Kata Anna, “Gus, Sinta ini udah kayak adikku sendiri walaupun masih terbilang ponakan jauh. Cuma dia yang ngerti hidupku dan suka memberikan support.”
“Ah, Tante bisa aja. Apa nggak kebalik tuch? Kan Tante dan Oom Dicky yang selama ini membantu kuliah Sinta?” tangkis ponakannya.
“Itu sih tak seberapa dibanding perhatian kamu yang suka menjadi tempat Tante curhat,” kata Anna sambil mengganti acara TV dengan video. Ia mengambil BF dari rak dan setelah duduk di samping Sinta, kami bertiga menikmati buah anggur sambil menonton film itu. Entah sudah disengaja, Anna menyetel film di mana seorang lelaki berciuman dan berpelukan dengan dua orang perempuan. Adegan berikutnya tidak lain menuju pada permainan threesome. Si lelaki menciumi salah bibir satu perempuan sedangkan perempuan yang lain menciumi payudara temannya, turun ke perut dan pahanya lalu lama menciumi vagina temannya itu.
Tangan kanan Anna kulihat sesekali diletakkan di paha kiri Sinta. Aku melirik Sinta, entah ia tahu kulirik atau tidak, ia tetap menatap ke layar TV sambil menikmati anggur. Tubuh Anna semakin merapat ke tubuh Sinta dan wajahnya mendekati leher Sinta. Anna tidak menghentikan aksinya, malah mulai menciumi pipi dan leher Sinta, bahkan beberapa kali mencuri-curi cium bibir Sinta. Sinta membalas ciuman Tantenya, agak lama mereka berciuman. Anna menciumi leher Sinta hingga membuat Sinta mendesah dengan tatapan mata sayu menatapku penuh arti. Ciuman panas Anna semakin turun ke bagian atas payudara Sinta dan jari-jari Anna turut bekerja merabai dan mengelus-elus wajah, pipi, punggung dan pinggul Sinta. Tangan Sinta tak mau ketinggalan, melakukan aksi yang sama terhadap Tantenya. Mereka berdua berbuat begitu seolah-olah tak ada orang lain lagi bersama mereka. Desahan mereka semakin kerap terdengar.
Kulirik Anna sudah melabuhkan bibir dan lidahnya pada payudara kiri Anna yang sudah terkuak dari cup BH-nya, sedangkan payudara kanannya diremas-remas jari-jari tangan kanan Anna yang memeluk lewat belakang tubuh Sinta. Sekilas kulihat ukuran payudara yang membusung milik Sinta. Aku menelan ludah, kubayangkan betapa nikmatnya mengisap putingnya, pastilah payudara itu lebih kenyal daripada milik Tantenya yang sudah kawin sekian tahun. Berikutnya, jari-jari Anna dengan lincahnya sudah memelorotkan baju atas Sinta dan BH-nya pun dibuka tanpa perlawanan. Lidah dan bibir Anna semakin turun ke perut Sinta. Sambil menciumi perut ponakannya, Anna berkata padaku, “Gus, koq nonton aja? Tidak mau gabung nich?”
Aku berdiri dan mendekati mereka. Pertama-tama kucium bibir Sinta. Untuk ukuran mahasiswi kurasa sudah begitu mahir ia memagut bibirku. Aku agak menahan diri tidak berlama-lama ciuman, tapi kedua tangan Sinta langsung memegang belakang kepalaku dan menarikku untuk berciuman lagi. Lidahnya menjulur dan masuk ke dalam mulutku. Kubalas dengan lilitan lidah yang tak kalah panasnya. Lalu ia mengarahkan bibir dan lidahnya ke pipi dan belakang telingaku sambil kedua tangannya merabai dadaku dan perlahan-lahan membukai kancing bajuku.
Setelah bajuku berhasil ia tanggalkan, bibirnya menciumi dadaku dan mencari putingnya. Lidahnya menggelitik dan giginya kadang-kadang mengigit lembut. Geli rasanya tetapi nikmat. “Pintar juga gadis ini,” batinku, “lmunya mirip Tantenya.” Kulihat di bawah, Tantenya mulai merabai pinggul Sinta dan berusaha membuka celana panjangnya. Sinta menggerakkan pinggul dan pantatnya memberikan kesempatan Tantenya menurunkan celananya. Anna ternyata tidak hanya membuka celana panjang Sinta, tetapi juga celana dalam Sinta yang berwarna merah. Kulirik sekilas ke bawah, kuperhatikan vagina Sinta ditumbuhi sedikit rambut, persis seperti Anna.
Anna menciumi paha Sinta dan entah apa yang ia lakukan, hingga Sinta makin kuat merintih. “Sssshhhh ….. ya … ya … gitu Tante, aaahhhh …. Ooooohhh … enak banget sayang .…… aaakhhhh ….. ssshshhh …………” Bibir Sinta terus bermain di dadaku, habislah kedua putingku digigitinya, walaupun sedikit sakit, tapi rasa nikmat yang ditimbulkannya lebih besar mengalahkan rasa sakit itu. Sambil memegang pinggangku dengan kedua tangannya agar menaikkan tubuhku, jilatan lidah dan bibir Sinta pada dadaku semakin turun ke perut. Dengan lincah tangannya bergerak ke arah celanaku dan membuka ikat pinggangku. Setelah berhasil membuka ikat pinggang, ia menurunkan risleting celanaku hingga penisku yang sudah tegang sejak melihat mereka berdua di kamar, tak dapat menyembunyikan diri lagi kecuali dibalut celana dalamku. Sambil menurunkan celana panjangku, bibirnya ia arahkan pada penisku yang masih terbungkus celana dalam. Sesekali ia arahkan bibirnya memagut kepala penisku, lalu batangnya pun dikerjai oleh mulutnya sambil jari-jarinya menyusup masuk lewat bawah dan merabai testisku. Lama berbuat demikian sambil mendesah menikmati permainan Anna pada vaginanya, kemudian dengan sekali sentakan, ia lepaskan celana dalamku hingga aku tak mengenakan sehelai benang pun. Kini kami berdua benar-benar telanjang bulat, sementara Anna masih berpakaian.
Tiba-tiba Sinta menarik lengan Anna ke atas dan mendorong tubuh Tantenya sambil berkata, “Tante curang, kami udah buka semua, tapi Tante belum apa-apa!”
Anna baru berdiri tegak, ketika Sinta memeluk tubuhnya dan mencium bibirnya tanpa dapat ditolak. Mereka berciuman lama dan jari-jari Sinta mulai mencoba membuka daster Tantenya. Aku tak mau ketinggalan, aku berlutut di dekat mereka dan merabai tumit Anna, semakin naik ke betisnya dan mengelus-elus pahanya, makin ke atas hingga ke pangkal pahanya. Saat jari-jariku sampai di situ, aku sadari bahwa Anna tidak mengenakan celana dalam sama sekali. Vaginanya terasa mulai lembab dan kucari tonjolan kecil di atas vaginanya. Ketika jari-jariku menemukan klitorisnya, Anna memekik lirih, “Aaaahhhh ….. sssshhh ….. enak Gus!”
Kedua tangan Sinta menarik daster Anna ke atas. Kutoleh ke arah atas, daster itu dibuka Sinta dan dilemparkan ke sofa. Kulihat Anna kini sudah sama-sama telanjang dengan kami berdua, sebab ternyata ia tidak pakai BH pula. Sinta tidak lagi mencium bibir Anna, tetapi sudah merabai dan mengisap puting payudara Anna. Kupastikan Anna takkan kuat berdiri sebentar lagi karena diserang dari dua arah.
Demi memastikan dugaanku, kuarahkan lidah dan bibirku pada klitoris dan vagina Anna. Sentuhanku membuat Anna menggeliat-geliat. “Aaaaahhhh …. ssssshhhh ….. eeehhh …. mmmpppfff … uuuhhhh …..” Makin lama tubuhnya tak kuat lagi berdiri dan perlahan-lahan turun ke dekatku. Kupeluk tubuhnya sambil mencium bibirnya dan meremas payudara dengan putingnya yang sudah tegang. Kuarahkan bibirku pada payudaranya, kuisap dengan lembut, tetapi kedua tangannya malah menekan belakang kepalaku kuat-kuat ke dadanya. Isapan bibir dan jilatan lidahku semakin kuat, hingga putingnya dan sebagian payudaranya kutelan dalam mulutku. Meskipun payudara Anna tidak terlalu besar, tetapi jika kumasukkan ke dalam mulutku, masih tersisa sebagian di luar.
Sinta melihat aksi kami berdua, menambah panas suasana dengan membalas dendam mencium vagina Tantenya. Anna kini terbaring di karpet diserang oleh ponakannya dan suami gelapnya. “Oooouhhhh ….. aaaahhh ….. “ desahnya di sela-sela gelinjang tubuhnya. Tiba-tiba ia berdiri dan menarik tangan kami berdua, “Kita ke kamar aja, biar lebih enak.” Kulepaskan tangannya membiarkan mereka duluan ke kamar, setelah mematikan video dan memunguti pakaian-pakaian kami yang bertebaran di sana-sini, kuikuti mereka ke kamar.
Sesampainya di kamar, kulihat mereka berdua sudah berbaring di ranjang dalam posisi enam sembilan. Anna di bawah, sedangkan Sinta di atasnya. Desahan keduanya silih berganti mengiringi permainan bibir, lidah dan jari-jari mereka saling merangsang dan mengajak mencapai kenikmatan. Aku duduk di rias Anna sambil melihat aksi mereka berdua. Desahan mereka semakin kuat, apalagi ketika kulihat bukan hanya lidah dan bibir Sinta beraksi di vagina dan mengisap sesekali klitoris Anna, tetapi juga menusuk-nusuk liang analnya. Mungkin Anna berbuat serupa pada ponakannya, sebab mata Sinta sampai membeliak-beliak di sela-sela aksinya terhadap Tantenya. Aku beranjak ke arah kepala Anna. Kulihat lidah Anna terjulur memasuki liang vagina Sinta sedangkan jari telunjuk kanannya masuk keluar anal Sinta.
Tanganku ikut membantu Anna, meremas-remas pantat Sinta dan sesekali melakukan gerakan menampar, hingga Sinta mengaduh nikmat.
Setelah itu, aku kembali mendekati kepala Sinta yang masih terus melakukan aksinya. Merasakan kehadiranku di dekatnya membuat Sinta mengulurkan tangan dan menarik pahaku agar mendekat. Kini bibir dan lidahnya mendekati penisku dan menciumi penisku. Mula-mula lidahnya mengait-ngait lubang kencingku dan menciumi leher penis, jilatannya turun ke batang penis hingga pangkal paha, berhenti di sana lalu lidahnya menggelitik sela-sela pahaku hingga kurasa geli. Lalu tangannya memegang batang penisku dan memasukkan kepala penis ke dalam mulutnya. Topi bajaku habis diisap hingga lehernya, lidahnya bermain keliling kepala penis yang amat peka dengan sentuhan. Sambil menyedot kuat-kuat kepala penisku, lidahnya bermain-main menjilati kepala dan leher penisku. Rasa nikmat semakin melandaku. Rasanya permainan mereka dan isapan Sinta membuatku makin terangsang hebat, tetapi aku tak ingin menyerah kalah oleh sedotan mulutnya. Kulepaskan isapannya dan kupagut bibirnya sambil sebelah tanganku meremas-remas kedua payudaranya dan tanganku yang lain merabai vagina Anna.
Kemudian kumintakan ijin Anna, kutarik lengan Sinta ke arahku hingga tubuhnya terangkat dari atas tubuh Anna. Kutempatkan dirinya tepat di atas tubuhku, sedemikian rupa hingga penisku tepat berada di gerbang liang kenikmatannya. Sambil menciumi bibirnya dan meremas-remas payudaranya, kurabai kedua belah pantatnya. Sementara itu, kurasakan tangan Anna memegang dan mencium penisku, lalu dengan perlahan-lahan ia arahkan penisku tepat berhadapan dengan vagina ponakannya. Merasakan kepala penisku sudah tepat di depan vaginanya, Sinta mulai menurunkan tubuhnya, hingga vaginanya mulai menelan penisku. Gerakannya masih perlahan, tetapi ketika ciumanku makin turun ke leher dan payudaranya, ia semakin menggelinjang. Putingnya kuisap bergantian kiri dan kanan. Kucoba memasukkan seluruh payudara kanannya ke dalam mulutku tapi tak berhasil. Kugigit-gigit lembut putingnya dan bongkahan payudaranya yang membusung. Lebih kenyal dan lebih putih daripada payudara Anna. Kedua tanganku kugunakan meremas-remas pantatnya. Jari-jari telunjukku kupakai sesekali mengait-ngait bagian belakang vaginanya mengambil sedikit cairannya yang menetes di sana. Cairan itu kubalur seputar liang analnya dan mulailah jariku mengait-ngait analnya. Masuk keluar perlahan-lahan, dan setelah mendapat pelumas yang cukup, jariku masuk lebih dalam hingga Sinta merintih, “Oookkkhh, enak banget Gussss???? Sssshhh …. aaaakkhhh …. Uuuukkkhhh …”
Anna mendekati kepala Sinta dan menciumi bibirnya sambil meremas-remas pantat Sinta, yang analnya terus kumainkan. Dengan serangan mulutku pada payudaranya, Anna pada bibirnya, tanganku pada analnya dan yang terutama, penisku pada vaginanya, membuat Sinta melolong semakin tinggi, “Aaahhh … uuuuhhh …. sssshhhh … ooooouuuggghh ….. ” Gerakan pinggulnya semakin kuat menghentak naik turun di atas perutku. Kuangkat pinggul dan pantatku menyambut gerakan tubuhnya hingga tubuhnya terangkat lebih tinggi, membuat penisku menghunjam dalam-dalam ke vaginanya. Hal itu kulakukan beberapa kali, hingga beberapa saat kemudian ia menjerit, “Gussss ….. aku dapet ….. aahhhhh!”
Kurasakan aliran darahku memompa dahsyat ke dalam penisku dan dengan erangan yang kuat kumasukkan penisku sedalam-dalamnya ke dalam vaginanya, sambil kubisikkan ke telinganya “Sama-sama sayang, aku juga sudah sampai ….. aaaaahhhhh…. Aku cabut ya?” tanyaku.
“Jangan, biarin aja. Aku lagi nggak subur koq. Ahhhh…. oooouggghh….” desisnya sambil menahan tubuhku agar tidak melepaskan diri dari himpitan tubuhnya.
Semprotan spermaku kurasakan berlangsung sangat kuat dan rasanya begitu banyak cairan yang keluar bercampur dengan cairan vaginanya.
Anna yang melihat kami berdua sudah orgasme, sekonyong-konyong beringsut ke arah bawah tubuh kami dan menjilati cairan yang meleleh di sela-sela paha kami berdua. Habislah cairan vagina Sinta dan spermaku dijilatinya. Lalu ia mendekati Sinta dan berbagi cairan itu sambil berciuman.
Aku memandangi mereka berdua berciuman di bawah himpitan tubuh Sinta. Penisku kutekan ke atas hingga membuat Sinta mendongakkan kepala dan mengerang, “Aaaaaahhhh Gussss … kau apain lagi memekku, sayang???” Aku tidak menjawab selain menghunjamkan dalam-dalam penisku.
Usai berciuman, tiba-tiba Anna menarik tubuh Sinta dari atas badanku dan memintaku menyetubuhinya dengan posisi nungging. Ia menelungkup dengan pantat yang agak terangkat ke atas hingga tampak vaginanya menampakkan pemandangan yang sangat indah. Aku mengamati vaginanya, sedikit basah rambutnya, pertanda cairannya pun sudah mulai banyak menetes di dalam.
Kupegang kedua pinggulnya dan perlahan-lahan kuarahkan kepala penisku ke lubang vaginanya. Saat masuk hingga leher penis, kucabut lagi, kumasukkan lagi, demikian seterusnya, hingga ia merintih sambil memohon, “Gus, jangan siksa aku sayang! Masukin semuanya dongggg!” Pantatnya ia dorong ke belakang agar penisku masuk semakin dalam, tetapi aku justru menarik pantatku hingga usahanya tidak berhasil.
“Iya nich, koq jahat banget sih sama Tanteku?” usik Sinta sambil meremas-remas payudara Tantenya dan mencium bibirnya.
“He .. he … he .. kita kan menunggu momen yang tepat,” kataku bercanda sambil meremas-remas pantat Anna dan kembali mendekatkan penis ke vaginanya.
Kutekan penisku memasuki vaginanya dan tidak kutolak ketika pantatnya mundur agar penisku masuk makin dalam. Tekanan pantatku ke depan dan mundurnya pantatnya membuat penisku makin dalam merambah ke vagina Anna. “Ooooohhh, nikmatnya Gusssss…. Rasanya seperti sudah seabad tidak main denganmu, sayang!!!” desisnya.
Aku hanya tersenyum mendengar gurauannya di sela-sela birahinya yang semakin memuncak. Kugerakkan pantatku makin kuat hingga penisku masuk keluar dengan mantap. Sedangkan Sinta di atas sana menyorongkan vaginanya untuk diciumi lagi oleh Tantenya. Ia berbaring hingga Anna dapat leluasa mencium dan menjilati vaginanya. Rintihan kedua perempuan itu beradu kuat membuat aku makin terangsang dan mempercepat gerakan tubuhku.
“Lagi Gus, lebih kuat lagi … Ayo donggg!!!!” rengek Anna.
Hentakan penisku sedalam-dalamnya kulakukan beberapa kali membuat kepala Anna mendongak. Sinta yang melihat Tantenya semakin tinggi mencapai puncak kenikmatan, bangkit dan dengan sedikit mengangkat tubuh Tantenya, ia masuk di bawah tubuh Anna dengan kepala terlebih dahulu, hingga akhirnya kepalanya tepat berada di bawah vagina Anna. Diperhadapkan pada keadaan begitu, Anna semakin birahi. Ia ciumi habis-habisan vagina Sinta yang ada di bawahnya, sedangkan klitorisnya diciumi dan dijilati Sinta dari arah bawah. Sesekali kurasakan bibir dan lidah Sinta mencium dan menjilati penisku saat berada di luar vagina Anna. Serangan Sinta tidak hanya pada kemaluan kami berdua, tetapi tangannya bermain meremas-remas pantat dan payudara Anna. Akhirnya tak kuat lagi menahan diri, Anna menjerit saat mencapai orgasme, “Aaaaakkkkhhh, aku dapet …. Oooooohhhhh … Uuuuuhhhh … SSSSsssshhhhhh …. Aaaaaaahhhhh!” Cairan vaginanya terasa semakin banyak membanjir membasahi penisku dan jilatan lidah Sinta dari bawah membuat penisku kembali memuntahkan peluru disertai geramanku, “Anna sayang, aku juga nih……. Oooooohhhhhh!!!”
Tubuh Anna menjatuhi Sinta, apalagi tubuhku turut menindih dari atas, membuat Sinta megap-megap dan melepaskan diri dari himpitan kami, “Gila, ada dua gajah ngamuk di atasku!” candanya sambil mencari penisku dan menjilatinya hingga bersih. Setelah itu, ia dekati vagina Tantenya dan melakukan hal yang sama.
“Wah dinas kebersihan melakukan perannya,” seloroh Anna sambil menikmati perbuatan ponakannya.
Kami bertiga tertawa dan kemudian berbaring bersisian dalam keadaan telanjang. Aku di tengah, sedangkan Sinta di kananku dan Anna di kiriku. Sesekali kami bertiga berciuman, lidah kami bertemu dan berpagutan dengan ganasnya sambil berpelukan.
Setengah jam kemudian Sinta minta aku menindih tubuhnya dari atas dengan posisi klasik. Kedua tangannya memegangi kedua pergelangan kakinya hingga pahanya terpentang lebar dan memperlihatkan vaginanya yang indah. Kumasukkan penisku ke dalam vaginanya sambil menaruh kedua kakinya ke atas pundakku. Hal itu membuat penisku masuk lebih dalam. Anna melihat kami sambil bertepuk tangan, “Hebat, kalian berdua cocok nich, sama-sama kuat!”
“Ah, Tante bisa aja … aaaakhhhh …. Oooouuugghhh … Tante malah lebih kuat lagi, bisa melayani dua laki-laki sekaligus pada waktu yang bersamaan!” katanya di sela-sela desahannya.
Aku tersenyum sambil meneruskan aksiku memasuk-keluarkan penis ke dalam vagina Sinta. Pasti tidak ada rahasia lagi di antara mereka ini, sebab Sinta pun sudah tahu rahasia kami bertiga, Tante, Oomnya dan aku. Kali ini Sinta agak lama mencapai orgasme, hingga aku terheran-heran sebab segala cara sudah kupakai agar ia mencapai puncak. Usai gaya klasik, kuserang vaginanya dengan posisi miring dengan posisinya berbaring, kaki kirinya berada di bawah paha kananku, sedang kaki kanannya kupegang sambil berlutut memasukkan penisku. Setelah itu, kumiringkan tubuhnya dan kuserang dari arah belakang. Setelah itu, aku berlutut dan kutarik tubuhnya berlutut menindih aku dalam posisi berhadapan. Sambil memasukan penis, kuciumi bibirnya dan kuremas-remas kedua payudaranya. Ia masih bertahan, sehingga akhirnya kutelungkupkan tubuhnya dan kuserang vaginanya dari arah belakang. Kedua belah pantatnya kupegangi kuat-kuat, kuremas, lalu setelah posisi penisku mantap berada di dalam vaginanya, kedua pundaknya kupegangi dengan tanganku agar maju mundur mengikuti gerakan penisku. Kali ini ia tidak dapat lagi bertahan, rintihannya semakin meninggi, apalagi Tantenya mengambil posisi di depannya dan mengerjai payudaranya. Kuambil alih permainan bibir dan lidah Tantenya dengan meremas-remas kedua payudaranya dari belakang sambil terus menghentakkan penisku maju mundur dari belakang pantatnya, hingga kemudian Anna cukup puas hanya dengan memagut bibir Sinta. Pantatnya semakin kuat terdorong ke belakang menyambut penisku yang maju mundur dengan kuatnya. Dan dengan suatu sentakan kuat, kutanamkan penisku ke dalam vaginanya hingga kurasakan di ujung vaginanya, kepala penisku menyentuh sesuatu yang berdenyut-denyut meremas-remas lembut. Sedangkan dinding vaginanya meremas-remas batang penisku sambil mengeluarkan cairan yang semakin banyak. “Aku dapet lagi Tante, ooooooouuuugggghhhh …..…..” rintihnya sambil memegang belakang kepala Tantenya sambil mencium kuat-kuat bibir Anna. Anna menyambut ciuman itu sambil meremas-remas payudara Sinta.
Sinta menjatuhkan tubuhnya menelungkup dan kutindih dari atas sambil membiarkan penis masih berada di vaginanya. Setelah itu, kuangkat tubuhku berbaring di sampingnya.
Anna yang melihatku sudah berbaring terlentang, merebahkan tubuhnya di atas tubuhku dengan posisi kepala menghadap penisku. Diciuminya dan dijilatinya penisku sambil mengocok-ngocok batangnya. Sinta yang menyadari aksi Tantenya bangun dan melakukan hal yang sama. Kini kedua perempuan itu menempatkan kepala mereka dekat pahaku dan bergantian mencium dan menjilati penisku. Kedua testisku tak luput dari sasaran mereka, kadang-kadang malah dimasukkan ke dalam mulut dan diisap. Aku kembali mengawang karena ulah mereka, sehingga kembali menyemprotkan sperma yang meskipun tidak sebanyak tadi lagi, tetapi ketika keluar, cukup menyibukkan kedua mulut mereka yang berebutan menjilati cairan yang keluar dari penisku. Rasanya habis seluruh cairan dari persediaanku dimanfaatkan mereka berdua. Kami bertiga berbaring sambil berpelukan dan tertidur hingga dinihari.
Besoknya Sinta pergi ke kampus, sedangkan aku dan Anna berangkat kerja. Malam harinya kami habiskan lagi dengan mereguk kenikmatan bertiga. Tiga malam berturut-turut kami melakukan permainan gila dan kegilaan itu semakin bertambah, ketika Dicky pulang dari Surabaya dan meminta Sinta dan aku menginap semalam lagi agar ia juga tidak hanya main dengan istrinya, tetapi juga dengan ponakan istrinya.
Saat bermain berempat ini, benar-benar luar biasa, sebab Sinta dengan penis buatan menyetubuhi Tantenya, Anna, sementara aku dari bawah menancapkan penisku ke dalam anal Anna, dan mulut Anna dipenuhi oleh penis Dicky. Mungkin ada sedikit bakat lesbi pada diri Sinta. Diperlakukan demikian, membuat Anna juga ingin mencoba, sehingga iapun meminta aku dan Dicky memegangi tangan dan kaki Sinta dan memasukkan penis buatan yang diikat di pangkal pahanya dan berbuat seakan-akan sedang memperkosa Sinta. Setelah itu, Anna memintaku menyetubuhinya dengan posisi ia di atas dan aku berbaring di bawah, kemudian ia minta Sinta memasukan penis buatan tadi ke dalam analnya lalu meminta penis suaminya untuk ia lumat habis-habisan. Babak berikutnya merupakan babak di mana kudengar jeritan terkuat keluar dari mulut Anna saking hebatnya kenikmatan yang ia alami, sebab setelah ia mencapai orgasme, Sinta berbisik padaku dan Dicky agar tidak memberikan istirahat bagi Anna. Usai mengerjai Anna pada analnya, aku memasukkan penisku pada vagina Anna, lalu suaminya menindih tubuh Anna yang memasukkan penisnya juga ke dalam vagina Anna, sehingga vagina Anna dimuati oleh dua penis sekaligus dari kedua pria yang sama-sama ia cintai, dan posisi teratas Sinta memasuki anal Anna dengan penis buatan. Ketika itu, jeritan Anna benar-benar luar biasa. Ia memekik-mekik nikmat bahkan tak rela penis kami keluar dari vaginanya, meskipun ia sudah orgasme. Suaminya yang menyerah duluan, mencabut penisnya, tetapi aku masih bertahan, lalu meminta Sinta berbaring dengan Tantenya di atasnya dan dildo yang dipakainya ia masukkan ke anal Anna, sementara aku menancapkan penisku ke vagina Anna. Kali itu, Anna benar-benar mengalami multiorgasme, saking nikmatnya, air matanya menetesi wajahnya. Kisah ini akan kuceritakan di lain kesempatan.
Masih ada kisah lain yang juga merupakan cerita tersendiri, di mana Sinta menginap di rumah Anna, saat Anna pergi keluar kota selama dua hari. Anna sendiri yang meminta Sinta menemani Dicky dan aku. Sinta yang tahu ada sedikit sifat homo pada diri Dicky kemudian menunggangi tubuh Dicky dan memasukkan dildo ke dalam anal Dicky dan memintaku menyetubuhinya dari belakang. Orgasme yang melanda Dicky diikuti oleh orgasme Sinta masih dilanjutkan lagi oleh kami berdua dengan Sinta. Setelah melepaskan diri dari Dicky, Sinta memintaku menggendongnya, lalu dengan style monyet menggendong anaknya, kami bersetubuh. Pekikan kenikmatan Sinta keluar ketika kedua pahanya kunaik-turunkan sambil berjalan selangkah demi selangkah mengitari kamar Dicky dan Anna.
Di lain waktu, Sinta yang ketagihan dengan kekuatanku dan Tantenya, Anna, pernah berlibur bertiga ke Bali waktu Dicky workshop selama dua minggu ke Jerman. Atas saran Anna, kami mengajak juga Henny bersama-sama kami. Kami menginap di satu hotel dengan mengambil dua kamar. Aku dan Anna seolah-olah suami istri, sedangkan Henny dan Sinta sekamar. Namun malamnya, Henny dan Sinta merayap masuk ke kamar kami dan di sanalah kami berempat mereguk kenikmatan memuaskan dahaga. Menginaplah kami tiga malam di Bali. Dasar ketiga perempuan itu benar-benar kuat, luluh lantak rasanya badanku dikerjai tiga malam berturut-turut. Untungnya aku rajin memelihara badan dan mengkonsumsi vitamin, hingga mampu memuaskan mereka bertiga sekaligus. Kisah ini akan kuceritakan lain kali.