Jarum jam menunjukkan hampir ke angka 11, cukup lama kami tertidur tadi.

Perlahan kutinggalkan Josua dan Lenny, aku mandi untuk bersiap menemui tamuku berikutnya di Hotel Westin (sekarang JW Marriot) di Embong Malang. Josua dan Lenny baru bangun ketika aku sudah rapi berpakaian dan ber-make up.

"Sorry, aku ada janji siang ini, aku tinggal dulu ya" sapaku.
"Kamu tetap sexy meski sudah berpakaian, bahkan semakin membuat penasaran yang melihatnya" jawab Josua sambil menghampiriku, dipeluknya tubuhku dari belakang dan diremasnya buah dadaku.
"Wah banyak orderan nih" celetuk Lenny.
"Selamat bekerja sayang" bisik Josua tanpa melepaskan tangannya dari dadaku.
"sudah ah, ntar kusut pakaianku ini, aku nggak bawa ganti nih" jawabku sambil menggelinjang karena bibirnya sudah menempel di telingaku, akupun menghindar menjauh.

Setelah menerima pembayaan dari Josua, akupun meninggalkan mereka yang masih telanjang menuju ranjang lain dengan permainan yang lain pula.

Sejak kejadian itu, sengaja atau tidak, aku jarang bertemu berdua dengan Dibyo seperti sebelumnya, begitupun dengan istrinya, rasanya nggak ada muka untuk ketemu Wendy, kalaupun mereka ngajak jalan bareng, aku pastikan harus ada istrinya, selebihnya semua berjalan seperti biasa.

Akibatnya, aku justru lebih dekat dengan si Reno, adiknya yang terkenal Playboy itu, dengan wajah yang imut tak susah baginya untuk mendapatkan cewek dan aku yakin sudah tak terhitung cewek yang jatuh ke pelukannya dan berhasil dia bawa ke ranjang.

Lebih 2 bulan setelah kejadian itu, aku makan siang berdua dengan Reno di Bon Cafe, sungguh sial ternyata ketemu sama Josua yang menggandeng seorang gadis, atas ajakan Reno mereka akhirnya bergabung dengan table kami.

Kamipun makan sambil ngobrol berempat, entah keceplosan atau disengaja, Josua bercerita betapa hebat permainanku di ranjang, terutama permainan oral, dia kira aku sudah pernah melakukan dengan Reno. Reno yang selama ini mengenalku sebagai teman menatapku seakan tak percaya, aku menghindari tatapannya sambil mengumpat kelancangan Josua, tentu saja dalam hati.

"Selamat bersenang senang, sorry aku nggak bisa gabung dengan kalian, ada acara sama dia" kata Josua sambil menunjuk gadis disebelahnya.
"Dia senang rame rame lho, tanya Dibyo kalo kamu nggak percaya" bisiknya lagi sebelum meninggalkan kami.

Aku terdiam dengan muka memerah, malu karena kedokku dibongkar dihadapan temanku sendiri.

Sepeninggal Josua kami terdiam, entah apa yang terlintas dalam benaknya, kulirik sesaat, ternyata Reno melototi tubuhku, seakan berusaha menembus dibalik pakaianku.

"Kita pulang yuk" ajakku melihat suasana sudah nggak enak lagi.
"Lho, katanya mau shopping di Galaxy"
"Nggak jadi ah, lain kali aja" tolakku, dan kamipun beranjak pergi.

Sepanjang jalan kami sama sama terdiam hingga tiba didepan tempat kos, aku langsung turun tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Beberapa hari kemudian setelah aku selesai melayani tamu di Hotel Sheraton, kulihat missed call di HP-ku, dari Dibyo, entah kenapa aku kok ingin meneleponnya, padahal biasanya aku cuekin saja missed call dari dia.

"Ly, ketemu yuk, kangen nih" katanya dengan suara memelas tak seperti biasanya, pasti dia lagi ada maunya, dan aku yakin maunya tak jauh dari urusan ranjang.

Meski aku berusaha menghindari hal seperti ini, tapi tak dapat dipungkiri akupun merindukan keperkasaannya di atas ranjang, apalagi tamuku barusan tidak bisa memuaskanku, jadi sebenarnya ini hanyalah masalah timing yang tepat. Setelah berpura pura menolak dan dia terus merajuk, akhirnya aku sanggupi permintaannya.

"Oke Hotel Sheraton kamar 816" kataku karena tamuku tadi sudah pulang dan aku belum check out, sekalian saja kumanfaatkan sisa waktu yang ada, daripada terbuang sia sia, check in mahal mahal cuma dipakai 2 jam.

Baru saja HP kututup, dia telepon lagi.

"Ly, boleh nggak bawa teman"

Aku yang sudah tergadai nafsu karena birahi yang tak tertuntaskan barusan hanya mengiyakan tanpa tanya lebih lanjut siapa temannya.

Sambil menunggu kedatangannya, aku segarkan tubuhku dengan air hangat, berendam sejenak untuk menghilangkan rasa capek setelah hari ini melayani 3 tamu sejak pagi tadi. Belum setengah jam aku berendam, bel pintu berbunyi, pasti Dibyo sudah datang, pikirku.

Masih dengan telanjang, kubuka pintu dan aku langsung kembali masuk bathtub.

"Tunggu ya, aku mandi dulu biar segar dan wangi, santai saja anggap rumah sendiri" jawabku meneruskan acara berendam tanpa buru buru menyelesaikan, kalau dia nggak sabar pasti menyusulku ke kamar mandi. Ternyata dia tidak menyusulku hingga kuselesaikan mandiku. Tanpa mengenakan penutup, dengan telanjang aku ke kamar, bersiap untuk menumpahkan segala birahi dengan keperkasaan Dibyo.

"Aku sudah siaap" teriakku sambil melompat ke ranjang, dan baru kusadari ternyata yang duduk di sofa bukanlah Dibyo melainkan si Reno, adiknya.

Begitu tersadar, aku berusaha menutupi tubuhku dengan apa yang ada disekitarku, tapi terlambat, Reno sudah menubruk tubuh telanjangku dan menindihnya.

"Ly, nggak usah sok alim, aku selalu membayangkan sejak diceritakan Josua tempo hari, kebetulan saat kutanya Dibyo dia malah ngajak membuktikan" bisiknya sambil menindih tubuhku, akupun tak bisa berontak.

Didekap tubuh Reno yang atletis ditambah wajah imut yang menempel dekat wajahku, akupun takluk akan kekuatannya, disamping itu akupun tak sunggu sungguh untuk berontak, hanya reaksi spontan melihat laki laki yang tidak diharapkan melihat tubuh telanjangku.

"Oke.. Oke, mana Dibyo" tanyaku.
"Sebentar lagi dia datang, aku disuruh tunggu di lobby tapi kupikir lebih baik langsung aja aku bisa ngobrol sambil nunggu kedatangannya, ternyata aku mendapatkan lebih dari yang kuharapkan" jawabnya sambil mengendorkan dekapannya.

Begitu dekapannya longgar, kudorong tubuhnya hingga terjengkang telentang, ganti aku menindihnya.

"Kalian bersaudara memang nakal, ini namanya jebakan pada teman sendiri" kataku setelah menguasai emosiku.
"Tapi nggak marah kan?" jawab Reno, aku hanya menjawab dengan ciuman pada bibir Reno dan dia membalas dengan bergairah, sedetik kemudian tangannya sudah berada di dadaku, menjelajah dan meremas remas.
"Ih nakal ya" bisikku disela lumatan bibirnya.
"Tapi suka kan" balasnya, kulumat bibirnya sambil mempermainkan lidahku hingga bertaut lidah dengan lidah.

Reno kembali membalik dan menindih tubuhku, bibirnya beranjak menyusuri pipi dan leherku, berhenti pada kedua puncak bukitku.

"Bagus.. Kencang dan padat.. Indah" pujinya sambil mengulum dan menyedot putingku.

Aku mendesah geli meskipun cumbuannya tak sepintar kakaknya tapi cukup membuatku mendesah melayang. Bibir dan lidahnya sudah sampai ke perut dan terus turun hingga ke selangkangan, aku menjerit ketika lidahnya menyentuh klitorisku, tapi dia justru semakin memperlincah gerakan lidahnya, dan akupun semakin menggeliat dalam kenikmatan.

Aku tak tahu mana yang lebih lihai bermain oral apakah dia atau kakaknya karena Dibyo belum pernah melakukannya padaku, siapapun yang lebih pintar yang jelas Reno telah membuatku melayang karena jilatannya pada vaginaku.

"Eh, kamu kok masih pake pakaian gitu, curang deh, sini aku lepasin" kataku ketika sadar bahwa dia belum melepas pakaiannya.

Kudorong tubuh Reno hingga telentang lalu aku melucuti pakaiannya satu persatu hingga menyisakan celana dalamnya yang tampak menonjol pada bagian selangkangan, ketika kuraba dan kuremas tonjolan itu, begitu keras menegang. Segera kulorot celana dalamnya dan aku terkaget melihat ukuran kejantanannya, tidak terlalu panjang bahkan relativ lebih pendek dari umumnya tapi diameternya begitu besar, tak cukup tanganku melingkarinya.

Membayangkan penis besar itu akan memasuki vaginaku, tiba tiba otot vaginaku terasa berdenyut denyut dengan sendirinya. Ini bukanlah penis terbesar yang pernah kupegang, tapi dengan panjang yang tidak terlalu maka penis itu kelihatan begitu gede di genggamanku, dan otot vaginaku semakin berdenyut keras melihat postur tubuhnya yang berotot, ramping dan sexy, jauh lebih menggairahkan tubuhnya dibandingkan kakaknya, apalagi rambut kemaluannya dicukur habis, pentesan banyak gadis yang tergila gila padanya.

Kukocok dan kuremas remas sebentar penis tegang di genggamanku, lalu kususuri lidahku pada seluruh batang dari ujung hingga pangkal, dia mulai mendesis kenikmatan.

Agak susah aku memasukkan penis itu ke mulutku tapi dengan segala usaha akhirnya penis itupun bisa meluncur keluar masuk membelah bibir mungilku. Sembari mendesah, tangannya tak henti menekankan kepalaku pada selangkangannya, seakan memaksaku untuk memasukkan penisnya lebih dalam ke mulutku.

Kami berganti posisi 69, aku di atas, tidak seperti saat pertama kali bercinta dengan Dibyo yang penuh kecanggungan dan kekakuan, kali ini aku bebas lepas mencurahkan segala expresiku untuk menikmati bercinta dengan Reno.

Gerakan lidah Reno yang liar kubalas dengan sapuan liar pula pada penisnya, aku lebih sering menjilati dari pada mengulum batang gede itu.

Puas saling bermain oral, Reno kembali menelentangkan tubuhku, posisi tubuhnya sudah siap untuk segera melesakkan penisnya. Jantungku tiba tiba berdetak kencang seiring otot vaginaku berdenyut ketika kepala penis yang besar itu mulai menyapu bibir vagina.


Bersambung . . . . . .