Gambar Gay Ciuman, Pertama kali ini aku menginjak tanah melayu, Malaysia. Di sana aku ditawari pekerjaan oleh sepupuku yang berprospek besar untuk masa depanku nanti, yaitu menjadi seorang penulis dan kamerawan.
“Kamu pastilah lulus nantinya.” Tegas sepupuku dengnan penuh keyakinan.
“Kau bercanda.” Balasku tak percaya.
“Aku tak bohong kau tahu!” Serunya kembali.
Sampai aku menerima pekerjaan itu di negeri Jiran, aku masih belum percaya aku bisa diterima, mungkin saja sepupuku memakai uang pelicin untuk menembus stasiun televisi yang megah itu.
Baru beberapa hari bekerja, aku sudah bisa menikmati yang namanya menginap di hotel mewah karena event besar yang diadakan tempat kerjaku. Maklumlah, saya orangnya kampungan, baru melihat sebuah monitor LCD 17 inchi tempatku mengedit film mataku sudah membelalak dan mulutku tak berhenti bertanya kepada orang yang ada di depan layarnya. Kali ini sepupuku yang bernama Hadi (23) itu berbusana bak seorang milyuner saja, dia mengenakan setelan jas putih dengan tuksedonya yang lux. Aku heran saja sambil melongo.
“Dia sakit tidak yah?” Pikirku sambil menggaruk kepala.
“Aku mau jadi manajermu saja ya Bang.” Katanya sambil memamerkan senyumnya yang lebar.
“Memang kenapa? Lagian ngapain pake-pake begituan segala?” Tanyaku saat ia tiba-tiba menarikku ke pintu yang menuju backstage studio 3.
“Kamu ditawarin sesuatu sama mister Canetti. Buruan!”.
Nama itu sangat asing ditelingaku, ‘Canetti’ itu nama yang sangat aneh pikirku?
Tak jauh dari pintu, seorang bapak-bapak berbaju pantai yang coraknya penari hula-hula_lagaknya seperti seorang germo_berdiri tegak menikmati rokoknya.
“Ini dia Pak Canetti”.
Hadi memperkenalkanku padanya, saat itu aku tidak tahu apa-apa.
“Hmm.. betul-betul barang bagus Hadi, kerja kamu sempurna.” Katanya dengan aksen yang aneh, dia bukan orang Malaysia rupanya.
Pak Canetti tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk bersalaman, aku reflek saja membalas salamnya.
“Saya Canetti Moreno dari Filipina, senang bertemu dengan anda tuan..?” Sapanya sekaligus bertanya.
“Aaa.. Nugroho, nama saya Nugroho.” Kemudian dia kembali tersenyum, tapi kali ini senyumnya aneh, seperti sedang menggoda wanita cantik saja.
Hari itu semuanya serba membingungkan, mulai dari sepupuku yang mulai bertindak konyol, lalu muncul Canetti yang tidak kalah anehnya juga. Aku tidak mengerti pembicaraan mereka saat itu, lalu mulai ‘agak’ jelas ketika ia membicarakan masalah penawarannya padaku. Pak Canetti ingin aku pergi ke filipina untuk menjadi kameramen di film yang beliau garap sekarang. Gajinya sudah tentu sangat menggiurkan bagi orang awam seperti saya. Apalagi akomodasi dan transportasi sudah ditanggung perusahaan beliau. Sepupuku ternyata sangat baik padaku, telah memberiku kesempatan dua kali, aku tidak tahu harus membalas dengan apa jasa-jasa yang ia berikan padaku. Tapi, yang menjadi pikiranku semalam suntuk adalah, apa maksud dari ‘barang bagus’ itu? Aku sama sekali tidak mengerti.
Sehari sebelum keberangkatan, saya dan Hadi sempat fitnes di gedung belakang kantor. Kami sedikit berbincang masalah pekerjaan-kesibukannya nanti setelah saya berangkat-dan mengapa ia begitu baik memberiku pekerjaan. Ia selalu tertawa saja dan menjawab ke arah yang jauh berbeda.
“Abang tak usah sungkan, saya baik karena saya sayang sama Abang.” Katanya sambil tersenyum.
“Terima kasih, saya sangat menghargainya.” Balasku kembali.
Saat itu pertama kali kulihat wajahnya menjadi pucat pasi dan sedih. Atau mungkin hanya perasaanku saja.
Tiba hari keberangkatanku, Pak Canetti sudah menunggu di loket boarding pass. Penampilannya kali ini jauh berbeda, dia sudah lebih rapi dengan kemeja biru dan celana kainnya. Hadi bahkan mengantarku sampai di gerbang.
“Abang pergi dulu yah. Jaga diri baek-baek” Seruku padanya.
Kemudian setelah kukeluarkan koperku dari bagasinya Hadi tiba-tiba memelukku dengan erat, dan dia malah menangis seperti anak kecil.
“Lho-lho, kok.. kok.. kamu kenapa, kamu ini sudah besar, hoi! Denger enggak sih?”.
Hadi mengabaikan kata-kataku, dia semakin mempererat pelukannya.
“Hati-hati ya Bang.” Jawabnya saat masih memeluk erat tubuhku.
Aku hanya bisa pasrah melihat tingkahnya. Hadi yang berpostur proporsional dan atletis seperti ini, jika menangis tetap saja terlihat seperti bayi. Akhirnya ia melepas pelukannya, lalu aku pergi menuju ke arah Pak Canetti. Hadi tak henti-hentinya melambai-lambaikan tangannya melihat kepergianku. Tingkah aneh Hadi membuatku berpikir kalau dia itu anak yang rapuh, walaupun umurnya cuma lima tahun lebih muda dariku, mungkin karena sejak kecil dia tidak dibesarkan oleh orang tua kandungnya melainkan orang tua angkatnya di Malaysia.
Pikiranku buyar ketika melihat pesawat yang akan kutumpangi. Wah! -sifat udikku kumat lagi- pesawatnya sangat besar dan mewah. Saat memasuki badan pesawat, saya agak bingung melihat seat tempatku akan duduk, lalu seorang pramugari mengarahkanku menuju bangku di daerah depan. Malangnya tempat ini adalah kompartemen untuk penumpang yang merokok. Tambah lagi, saya alergi rokok. Saat kami duduk di bangku masing-masing, Pak Canetti merogoh sakunya dan mengeluarkan rokok dengan label ‘dick’. Seingatku dick itu salah satu kosa kata bahasa inggris.
“Maaf Pak, saya asma.” Keluhku pada Pak Canetti.
Ia akhirnya paham dan mengurungkan niatnya untuk merokok.
“Anda tidak merokok rupanya, nanti aku mintakan tempat dibelakang.”
“Ah tidak usah Pak, itu bukan masalah.”
“Kau yakin?” Tanyanya memastikan.
“Sudah cukup nyaman bagi saya Pak.”
Perjalanan memakan waktu 90 menit, dan akupun mulai bosan. Untung pesawatnya dilengkapi fasilitas yang beragam, mulai dari TV satelit, musik hingga ke cergam. Sedangkan Pak Canetti, ia tidak jarang curi-curi pandang ke arahku. Terkadang dia memandang lekat-lekat wajahku, menilik tubuhku, dan seringkali dia memperhatikan anu-ku. Aku pura-pura saja tidak tahu, tapi ubun-ubunku serasa tersengat listrik karena tidak tahan. Akhirnya aku tidur saja sambil menutup mukaku dengan jaket agar dia tidak ‘curi-curi’ lagi.
Setibanya di bandara, kami berjalan hingga sampai di lapangan parkir. Kami telah ditunggu oleh sederetan mobil Corvette hitam, saat itu saya terus menelan liur karena keheranan, ini seperti kontrak besar saja. Nyaman sekali rasanya jika transportasinya juga ditanggung, apalagi kalau diantarnya pakai mobil semewah ini_kayak raja sehari_Lalu kami diantar sampai ke PNA (Phillippines News Agency) yang bercokol di pusat kota Manila. Pak Canetti masuk dan menjemput dua orang pria dari dalam gedung. Mereka serombongan dengan kami, dan sepertinya mereka adalah pegawai di kantor berita itu. Setelah kedua pria itu masuk ke mobil mereka, kami melanjutkan perjalanan. Kami menyusuri jalan keluar kota hingga ke sebuah pedalaman yang banyak ditanami pohon akasia, artinya kita ada di dataran yang cukup tinggi.
Rombonganku singgah di bungalo yang besar, awalnya kukira ini adalah pemberhentian pertama, tapi nampaknya, setelah para kru yang jumlahnya cuma 3 orang termasuk saya beserta kedua pria tadi dan Pak Canetti mulai berbenah, ternyata bungalo ini adalah lokasi syut-nya. Sayapun ikut berbenah dan mengangkut barang-barangku ke dalam. Kami dipersilahkan masuk oleh Pak Canetti dan diberi instruksi kalau jam 3 sore ada meet di balkon depan. Kami diberi kesempatan untuk beristirahat di kamar masing-masing.
Saya segera masuk ke kamar yang berlabel ‘crew’, dan setelah kubuka, mataku terbelalak lagi. Bungalo ini mewah juga, kamarnya saja seperti kamar hotel, ada jendela besar yang menghadap langsung ke arah pemandangan alam yang hijau, ada radiator pula, kamar mandinya dilengkapi pemanas air dan tambah lagi ada sebuah fasilitas komputer untuk keperluan internet atau office. Kurebahkan badanku ke kasurnya yang empuk dan hangat. Huuh..! Kulepas nafas panjang. Saat itu aku melamun sejenak, tapi tatkala ada suara kasak-kusuk dari ruangan sebelah, lamunanku sirna seketika. Karena penasaran, saya menempelkan telingaku untuk menguping. Sayangnya, walaupun terdengar jelas tetapi mereka memakai bahasa setempat yang sama sekali aku tidak mengerti. Karena belum puas, aku mengendap-endap kedepan pintu dan mengintip lewat celah kunci atau celah pintu untuk mengintip ke dalam. Walaupun aku tahu ini melanggar privasi, tapi aku menjadi semakin penasaran karena tahu kalau yang ada di kamar sebelah adalah kedua pria dari PNA tadi.
Kedua pria itu tinggi besar, berbadan kokoh, atletis dan berwajah tampan. Aku pikir mereka adalah aktor di film ini. Aku sudah mencium dari awal kalau-kalau ini adalah bisnis kotor, yaitu penggarapan film biru. Tapi anehnya, kenapa tidak ada aktrisnya yah?. Masih asik mengintip, tiba-tiba pintu terbuka. Salah satu pria tadi memergokiku rupanya, dia menatapku dengan wajah tidak senang.
“Maaf, kukira aku salah ruangan, mungkin kamarku yang disebelahnya.”
Mendengar kata-kataku, pria itu malah mengerutkan keningnya. Rupanya ia tidak mengerti dengan ucapanku. Kemudian ia meminta untuk berkenalan, ia memberikan namanya dan nama rekannya. Mereka adalah Brad (20) dan Reno (22), keduanya warga negara Singapura. Kami berbincang-bincang dalam bahasa inggris sedikit saja (karena aku agak kurang dalam bahasa inggris), cuma untuk tambah-tambah ikatan relasi katanya.
Setelah rapat kerja di balkon, akhirnya Pak Canetti mengaku kalau ini adalah film biru (hanya padaku karena memang saya tidak tahu dari awal). Tetapi saya terima saja, mumpung dapat pengalaman ‘behind the scene’-nya film biru. Lalu Pak Canetti meneruskan bahwa film ini berjudul Tromang, itu diangkat dari nama produk gel pelicin. Tambah lagi perkenalan pemainnya adalah Brad dan rekannya, lalu mereka tiba-tiba saja berciuman di depan kami semua. Itu membuatku terkejut bukan mainnya. Ternyata ini film gay!
Jadwal syut-nya cuma 2 hari, itu untuk durasi 70 menitan saja. Karena itu, malamnya saya mempersiapkan diri dengan perlengkapanku, sekaligus memikirkan kedua pria itu yang tidak kusangka adalah homo, pantas saja perangai Pak Canetti terhadapku begitu aneh dan misterius, lalu.. bagaimana dengan Hadi, aku masih bingung dengan sikapnya itu terhadapku. Tapi setidaknya, aku sudah mengerti arti ungkapan ‘barang bagus’ yang dilontarkan Pak Canetti padaku. Bukannya GR sendiri loh.
“Kamu pastilah lulus nantinya.” Tegas sepupuku dengnan penuh keyakinan.
“Kau bercanda.” Balasku tak percaya.
“Aku tak bohong kau tahu!” Serunya kembali.
Sampai aku menerima pekerjaan itu di negeri Jiran, aku masih belum percaya aku bisa diterima, mungkin saja sepupuku memakai uang pelicin untuk menembus stasiun televisi yang megah itu.
Baru beberapa hari bekerja, aku sudah bisa menikmati yang namanya menginap di hotel mewah karena event besar yang diadakan tempat kerjaku. Maklumlah, saya orangnya kampungan, baru melihat sebuah monitor LCD 17 inchi tempatku mengedit film mataku sudah membelalak dan mulutku tak berhenti bertanya kepada orang yang ada di depan layarnya. Kali ini sepupuku yang bernama Hadi (23) itu berbusana bak seorang milyuner saja, dia mengenakan setelan jas putih dengan tuksedonya yang lux. Aku heran saja sambil melongo.
“Dia sakit tidak yah?” Pikirku sambil menggaruk kepala.
“Aku mau jadi manajermu saja ya Bang.” Katanya sambil memamerkan senyumnya yang lebar.
“Memang kenapa? Lagian ngapain pake-pake begituan segala?” Tanyaku saat ia tiba-tiba menarikku ke pintu yang menuju backstage studio 3.
“Kamu ditawarin sesuatu sama mister Canetti. Buruan!”.
Nama itu sangat asing ditelingaku, ‘Canetti’ itu nama yang sangat aneh pikirku?
Tak jauh dari pintu, seorang bapak-bapak berbaju pantai yang coraknya penari hula-hula_lagaknya seperti seorang germo_berdiri tegak menikmati rokoknya.
“Ini dia Pak Canetti”.
Hadi memperkenalkanku padanya, saat itu aku tidak tahu apa-apa.
“Hmm.. betul-betul barang bagus Hadi, kerja kamu sempurna.” Katanya dengan aksen yang aneh, dia bukan orang Malaysia rupanya.
Pak Canetti tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk bersalaman, aku reflek saja membalas salamnya.
“Saya Canetti Moreno dari Filipina, senang bertemu dengan anda tuan..?” Sapanya sekaligus bertanya.
“Aaa.. Nugroho, nama saya Nugroho.” Kemudian dia kembali tersenyum, tapi kali ini senyumnya aneh, seperti sedang menggoda wanita cantik saja.
Hari itu semuanya serba membingungkan, mulai dari sepupuku yang mulai bertindak konyol, lalu muncul Canetti yang tidak kalah anehnya juga. Aku tidak mengerti pembicaraan mereka saat itu, lalu mulai ‘agak’ jelas ketika ia membicarakan masalah penawarannya padaku. Pak Canetti ingin aku pergi ke filipina untuk menjadi kameramen di film yang beliau garap sekarang. Gajinya sudah tentu sangat menggiurkan bagi orang awam seperti saya. Apalagi akomodasi dan transportasi sudah ditanggung perusahaan beliau. Sepupuku ternyata sangat baik padaku, telah memberiku kesempatan dua kali, aku tidak tahu harus membalas dengan apa jasa-jasa yang ia berikan padaku. Tapi, yang menjadi pikiranku semalam suntuk adalah, apa maksud dari ‘barang bagus’ itu? Aku sama sekali tidak mengerti.
Sehari sebelum keberangkatan, saya dan Hadi sempat fitnes di gedung belakang kantor. Kami sedikit berbincang masalah pekerjaan-kesibukannya nanti setelah saya berangkat-dan mengapa ia begitu baik memberiku pekerjaan. Ia selalu tertawa saja dan menjawab ke arah yang jauh berbeda.
“Abang tak usah sungkan, saya baik karena saya sayang sama Abang.” Katanya sambil tersenyum.
“Terima kasih, saya sangat menghargainya.” Balasku kembali.
Saat itu pertama kali kulihat wajahnya menjadi pucat pasi dan sedih. Atau mungkin hanya perasaanku saja.
Tiba hari keberangkatanku, Pak Canetti sudah menunggu di loket boarding pass. Penampilannya kali ini jauh berbeda, dia sudah lebih rapi dengan kemeja biru dan celana kainnya. Hadi bahkan mengantarku sampai di gerbang.
“Abang pergi dulu yah. Jaga diri baek-baek” Seruku padanya.
Kemudian setelah kukeluarkan koperku dari bagasinya Hadi tiba-tiba memelukku dengan erat, dan dia malah menangis seperti anak kecil.
“Lho-lho, kok.. kok.. kamu kenapa, kamu ini sudah besar, hoi! Denger enggak sih?”.
Hadi mengabaikan kata-kataku, dia semakin mempererat pelukannya.
“Hati-hati ya Bang.” Jawabnya saat masih memeluk erat tubuhku.
Aku hanya bisa pasrah melihat tingkahnya. Hadi yang berpostur proporsional dan atletis seperti ini, jika menangis tetap saja terlihat seperti bayi. Akhirnya ia melepas pelukannya, lalu aku pergi menuju ke arah Pak Canetti. Hadi tak henti-hentinya melambai-lambaikan tangannya melihat kepergianku. Tingkah aneh Hadi membuatku berpikir kalau dia itu anak yang rapuh, walaupun umurnya cuma lima tahun lebih muda dariku, mungkin karena sejak kecil dia tidak dibesarkan oleh orang tua kandungnya melainkan orang tua angkatnya di Malaysia.
Pikiranku buyar ketika melihat pesawat yang akan kutumpangi. Wah! -sifat udikku kumat lagi- pesawatnya sangat besar dan mewah. Saat memasuki badan pesawat, saya agak bingung melihat seat tempatku akan duduk, lalu seorang pramugari mengarahkanku menuju bangku di daerah depan. Malangnya tempat ini adalah kompartemen untuk penumpang yang merokok. Tambah lagi, saya alergi rokok. Saat kami duduk di bangku masing-masing, Pak Canetti merogoh sakunya dan mengeluarkan rokok dengan label ‘dick’. Seingatku dick itu salah satu kosa kata bahasa inggris.
“Maaf Pak, saya asma.” Keluhku pada Pak Canetti.
Ia akhirnya paham dan mengurungkan niatnya untuk merokok.
“Anda tidak merokok rupanya, nanti aku mintakan tempat dibelakang.”
“Ah tidak usah Pak, itu bukan masalah.”
“Kau yakin?” Tanyanya memastikan.
“Sudah cukup nyaman bagi saya Pak.”
Perjalanan memakan waktu 90 menit, dan akupun mulai bosan. Untung pesawatnya dilengkapi fasilitas yang beragam, mulai dari TV satelit, musik hingga ke cergam. Sedangkan Pak Canetti, ia tidak jarang curi-curi pandang ke arahku. Terkadang dia memandang lekat-lekat wajahku, menilik tubuhku, dan seringkali dia memperhatikan anu-ku. Aku pura-pura saja tidak tahu, tapi ubun-ubunku serasa tersengat listrik karena tidak tahan. Akhirnya aku tidur saja sambil menutup mukaku dengan jaket agar dia tidak ‘curi-curi’ lagi.
Setibanya di bandara, kami berjalan hingga sampai di lapangan parkir. Kami telah ditunggu oleh sederetan mobil Corvette hitam, saat itu saya terus menelan liur karena keheranan, ini seperti kontrak besar saja. Nyaman sekali rasanya jika transportasinya juga ditanggung, apalagi kalau diantarnya pakai mobil semewah ini_kayak raja sehari_Lalu kami diantar sampai ke PNA (Phillippines News Agency) yang bercokol di pusat kota Manila. Pak Canetti masuk dan menjemput dua orang pria dari dalam gedung. Mereka serombongan dengan kami, dan sepertinya mereka adalah pegawai di kantor berita itu. Setelah kedua pria itu masuk ke mobil mereka, kami melanjutkan perjalanan. Kami menyusuri jalan keluar kota hingga ke sebuah pedalaman yang banyak ditanami pohon akasia, artinya kita ada di dataran yang cukup tinggi.
Rombonganku singgah di bungalo yang besar, awalnya kukira ini adalah pemberhentian pertama, tapi nampaknya, setelah para kru yang jumlahnya cuma 3 orang termasuk saya beserta kedua pria tadi dan Pak Canetti mulai berbenah, ternyata bungalo ini adalah lokasi syut-nya. Sayapun ikut berbenah dan mengangkut barang-barangku ke dalam. Kami dipersilahkan masuk oleh Pak Canetti dan diberi instruksi kalau jam 3 sore ada meet di balkon depan. Kami diberi kesempatan untuk beristirahat di kamar masing-masing.
Saya segera masuk ke kamar yang berlabel ‘crew’, dan setelah kubuka, mataku terbelalak lagi. Bungalo ini mewah juga, kamarnya saja seperti kamar hotel, ada jendela besar yang menghadap langsung ke arah pemandangan alam yang hijau, ada radiator pula, kamar mandinya dilengkapi pemanas air dan tambah lagi ada sebuah fasilitas komputer untuk keperluan internet atau office. Kurebahkan badanku ke kasurnya yang empuk dan hangat. Huuh..! Kulepas nafas panjang. Saat itu aku melamun sejenak, tapi tatkala ada suara kasak-kusuk dari ruangan sebelah, lamunanku sirna seketika. Karena penasaran, saya menempelkan telingaku untuk menguping. Sayangnya, walaupun terdengar jelas tetapi mereka memakai bahasa setempat yang sama sekali aku tidak mengerti. Karena belum puas, aku mengendap-endap kedepan pintu dan mengintip lewat celah kunci atau celah pintu untuk mengintip ke dalam. Walaupun aku tahu ini melanggar privasi, tapi aku menjadi semakin penasaran karena tahu kalau yang ada di kamar sebelah adalah kedua pria dari PNA tadi.
Kedua pria itu tinggi besar, berbadan kokoh, atletis dan berwajah tampan. Aku pikir mereka adalah aktor di film ini. Aku sudah mencium dari awal kalau-kalau ini adalah bisnis kotor, yaitu penggarapan film biru. Tapi anehnya, kenapa tidak ada aktrisnya yah?. Masih asik mengintip, tiba-tiba pintu terbuka. Salah satu pria tadi memergokiku rupanya, dia menatapku dengan wajah tidak senang.
“Maaf, kukira aku salah ruangan, mungkin kamarku yang disebelahnya.”
Mendengar kata-kataku, pria itu malah mengerutkan keningnya. Rupanya ia tidak mengerti dengan ucapanku. Kemudian ia meminta untuk berkenalan, ia memberikan namanya dan nama rekannya. Mereka adalah Brad (20) dan Reno (22), keduanya warga negara Singapura. Kami berbincang-bincang dalam bahasa inggris sedikit saja (karena aku agak kurang dalam bahasa inggris), cuma untuk tambah-tambah ikatan relasi katanya.
Setelah rapat kerja di balkon, akhirnya Pak Canetti mengaku kalau ini adalah film biru (hanya padaku karena memang saya tidak tahu dari awal). Tetapi saya terima saja, mumpung dapat pengalaman ‘behind the scene’-nya film biru. Lalu Pak Canetti meneruskan bahwa film ini berjudul Tromang, itu diangkat dari nama produk gel pelicin. Tambah lagi perkenalan pemainnya adalah Brad dan rekannya, lalu mereka tiba-tiba saja berciuman di depan kami semua. Itu membuatku terkejut bukan mainnya. Ternyata ini film gay!
Jadwal syut-nya cuma 2 hari, itu untuk durasi 70 menitan saja. Karena itu, malamnya saya mempersiapkan diri dengan perlengkapanku, sekaligus memikirkan kedua pria itu yang tidak kusangka adalah homo, pantas saja perangai Pak Canetti terhadapku begitu aneh dan misterius, lalu.. bagaimana dengan Hadi, aku masih bingung dengan sikapnya itu terhadapku. Tapi setidaknya, aku sudah mengerti arti ungkapan ‘barang bagus’ yang dilontarkan Pak Canetti padaku. Bukannya GR sendiri loh.