Gadis Ilalang


Namaku Ilalang. Itu nama sejenis rerumputan. Aku sengaja menggunakan nama ini, karena dalam pengamatanku tumbuhan ilalang gampang hidup dimana-mana. Berserak di pepinggiran jalan. Ia menjadi saksi dari setiap kejadian di sekelilingnya, tanpa harus menonjolkan diri. Tapi terus terang, ada juga kegetiran di situ. Ilalang tak pernah diperhatikan makhluk lain, tak sebagaimana tumbuhan mawar atau melati. Ia terkucil sendiri. Dan kadang, sesekali dalam hidupku aku juga merasakan itu. Jangan heran bila nanti di beberapa tulisanku, nada getir ini bakal kental terasakan. Anggap saja itu perspektif penulis yang tak perlu diindahkan.
DIARY (1): TERAMUK GELOMBANG
Pagi itu Lang mulai hari dengan hati gembira. Seperti biasa, Kamis ini ia musti siaran radio jam 12 siang. Siaran untuk mengantar pendengar menikmati istirahat makan siangnya. Lang paling suka siaran jam-jam segini, hanya perlu sesedikit mungkin bicara, dan lebih banyak memilih lagu dengan beat-beat rada tenang, sekedar membangun suasana istirahat yang nyaman.
……(sebuah opening tune terdengar)….Hallo kawan muda, jumpa lagi dengan Deva di 108.5 FM. Udah siap maksi atau masih terbenam dalam pekerjaan Anda? Terlalu banyak PR yang harus Anda kerjakan rupanya. Tak perlu berkeluh kesah, Deva akan menemani Anda hari ini hingga pukul 13 nanti dengan tembang-tembang manca negara…. dan sebagai pembuka terimalah Phil Collins dalam Both Side of the Story.
Jemari Lang menurunkan panel mike di mixer dan menaikkan volume CD player 2, dan menurunkan volume CD player 1 di track mixer secara bertahap, hingga fade in dan fade out antara opening tune dan intro lagu itu terdengar mulus di telinga.
Deva adalah nickname siaran Lang. Tanpa terasa hampir dua tahun ini suaranya mengudara menambah sibuk frekuensi di pelataran udara sana. Ia menikmati kegiatannya itu di antara kesibukannya kuliah dan mengasuh anak. Asal tahu saja, usia Lang baru 22 tahun, tapi gadis ini sudah naik nikah dua tahun yang lalu. Meski sudah menikah ia tetap melanjutkan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi negeri di kotanya itu.
Suaminya, Denni terpaut 15 tahun lebih tua dari Lang. Ia adalah salah satu dari penyiar senior di radio yang sama. Selain siaran, Denni juga menjadi AE di radio itu. Dari honor mereka inilah, kebutuhan keluarga itu terpenuhi.
Dari perkawinannya itu mereka dikarunia seorang anak laki-laki, Randu namanya, baru 1 tahun usianya. Bocah itu membetot simpati siapapun yang melihatnya. Wajahnya bundar lucu. Matanya belok seperti ibunya, menyiratkan kecerdasan. Lang sayang sekali kepadanya. Sesekali diajaknya bocah itu ke tempat kerjanya ini, tapi kebanyakan ia menitipkannya di rumah ibunya setiap ia berkegiatan.
Mulut Lang ikut bersenandung, ketika pintu boks siarannya terbuka.
“Lang, ntar malem elo jadi bisa rekaman gak,” kepala Abi muncul dari balik pintu itu. Abi adalah produser musik kontemporer di radio itu.
“Hmm…kayaknya bisa deh. Mulai jam 9 malam aja yach?”
“Oke, no problem. Ruang rekaman 2 bebas kok kita gunakan sampai jam berapapun,” tutur laki-laki itu.
“Kita jadi mo garap Enigma?” tanya Lang sambil memasukkan kaset ke CD satu, yang bakal jadi player lagu kedua.
“Yupp, itu aja. Ntar kita padukan dengan suara gambang. Aku pengen kita bereksperimen dengan gamelan jawa. Gimana menurut elo?”
“Yeeee…kan elo yang punya konsep. Soal gamelan kan aku blank sama sekali, jadi elo aja deh yang leading. Aku cukup bantuin elo meng-colect source suara yang lain, kay? Rekaman detak jantung gue jadi kepakai kan? Semalam aku juga sudah mampir kok ke Stasiun Tugu untuk ambil suasana pemberangkatan kereta. Jadi kayaknya udah lengkap deh kebutuhan kita,” jawab Lang nyerocos aja.
Abi menahan senyum melihat kata-kata keluar dari bibir gadis itu bak metraliur.
“Oh, okay,” sahut Abi sambil beranjak akan keluar boks siaran. “Tapi Lang…”
“Apa?”
“Elo serius nanti malam bisa kan?”
“Iya, serius dong, mosok main-main sih. Aku udah pamit kok ke Denni, dan dia bilang terserah, jadi ya lebih baik jalan lah,” jawab Lang. “Kenapa sih Bi?”
“Eeh, nggak apa-apa…ingin memastikan saja kau akan ada di sini malam ini,” kata Abi setengah terbata.
Lang sebenarnya agak heran melihat wajah Abi penuh keraguan. Tapi diam-diam ia bisa menebak apa yang ada di dalam hati laki-laki itu. Beberapa waktu ini dia mengamati perubahan sikap Abi kepadanya. Cara laki-laki itu memandangnya, gerak tubuhnya, suaranya ketika memanggil namanya, semua hanya mengacu ke satu arah, laki-laki itu mencintainya. Memang selama ini Abi masih berlaku sopan, menjaga jarak, tapi sebagai perempuan dewasa, ia tahu persis isi hati Abi.
Tiba-tiba ada rasa perih menyelinap….hhh….andaikata…..andaikata dia bisa membalas perasaan indah itu. Lang menjenguk isi dadanya sendiri, tatapan Abi selalu menembus relung hatinya. Kadang ia tergoda membiarkan dirinya terbuai dalam perasaan itu. Membiarkan tatap kasih Abi membasuh rasa kering yang ia rasakan dari perkawinannya sendiri. Tapi secepat niat itu terbersit di otaknya, secepat itu pula rasionya menolaknya. Tidak! Ia tak boleh terlena dengan tawaran madu yang sangat jadi bakal berbuah kepahitan itu. Dia bertekad menjaga kehormatannya sebagai seorang istri.
Dada Lang tiba-tiba terasa sesak. Beban, yang selama ini dirasakannya menyeruak. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres antara dia dan Denni, tapi ia tak mampu mendeskripsikan apa masalahnya. Ia hanya merasakan hubungan mereka dingin. Keintimannya …
Dengan Denni tak sehangat yang dia harapkan. Lang sangat suka dimanja, tapi suaminya biasa aja. Lang sangat ingin tidur sambil dipeluk, perlakuan yang menurutnya sangat biasa sebagai suami istri, tapi jangankan dipeluk, ketika tangannya menyentuh tangan Denni secara tidak sengaja dalam tidur seranjangan mereka, dengan cepat suaminya bergerak, seolah tak terencana meniadakan sentuhan itu. Tapi, Lang tahu persis, Denni menghindar!
Hhhh…apa yang salah dari dirinya? Ia memang tak begitu cantik, tapi wajahnya manis. Tubuhnya sintal berisi, terkesan enak dilihat malah. Tinggi berat 160/60 tak kentara di permukaan karena tubuhnya proporsional dan olahraga telah menjadikan badannya kencang. Moleg.
Otaknya pun cerdas. Tingkat kemampuan adaptasinya superhebat dan toleransinya sangat luas – hal yang sangat membantunya bertahan survive selama ini. Bahkan, ia menerima ketika ia harus bekerja karena gaji Denni tak cukup memenuhi kebutuhan mereka. Dan itu berarti dia harus membagi waktu antara bekerja, kuliah, dan mengurusi rumah!
Masih banyak sebenarnya kelebihan yang bisa dilukiskannya, tapi apa manfaatnya? Tidak ada! Suaminya tetap saja menganggapnya sebagai perabot rumah lainnya; meja, kursi, ranjang tidur, atau bak cuci yang bisa digunakannya, atau dibiarkannya penuh debu dan berlumut kerak.
Sementara, saat ini, kehadiran Abi begitu menggoda. Laki-laki itu begitu memahami dirinya. Ia tahu bagaimana membesarkan hati Lang, membuatnya tertawa dengan leluconnya yang kadang konyol itu. Abi kadang bahkan bisa menebak apa yang dipikirkannya tanpa ia menjelaskan panjang lebar.
Tapi….tapi….Abi bukan laki-laki bebas, ia suami Indi.
Abi dan Indi. Dua makhluk ini di mata Lang nyaris menakjubkan. Laki-laki itu kadang bercerita tentang kehidupannya dengan Indi yang penuh suka duka. Betapa Abi sangat mencintai istrinya itu, dengan caranya yang khas. Konsep cinta bagi Abi bukanlah sesuatu yang mengikat. Ia tak ingin mengikat Indi, sebagaimana ia haus akan kebebasannya sendiri. Abi mengaku kadang jatuh cinta kepada orang lain di luar istrinya, tapi ia menegaskan perasaannya kepada Indi tak berkurang sedikitpun. Ia mengaku jengkel ketika sesekali Indi tak dapat memahaminya dengan utuh.
Di sisi lain, Indi pun sering curhat kepada Lang! Ia mengeluhkan perilaku Abi yang sangat seniman dan impulsif, kadang bahkan kelewatan. Indi jengkel sekali ketika Abi beberapa kali mengaku cinta kepada perempuan lain, tanpa tedeng aling-aling! Ia mengakui perlakuan suaminya tak berkurang sedikitpun, tapi pengakuan semacam itu selalu membuat hatinya panas.
“Aku ini cuma perempuan Lang. Rasanya ingin aku mengakhirinya sampai di sini,” kata Indi suatu saat. Tapi, Lang tahu persis, Indi tak bisa dipisahkan dari Abi.
Hanya ketika Abi ada di depannya, Lang mencoba mendeskripsikan perasaan perempuan yang paling enggan dibandingkan, apalagi dimadu. Sedangkan sewaktu Indi yang curhat kepadanya, maka Lang menyarankan agar dia kuat, memahami bahwa suaminya tak pernah berniat buruk kepadanya. Toh selama ini Abi hanya menjadikan perempuan-perempuan lain itu sebagai pacarnya. Sekedar inspirasi buatnya menciptakan nada-nada, berkarya sebagai pemusik. Tidak kurang, tidak lebih.
Tiba-tiba terbersit perasaat perih….jangan-jangan, perhatian Abi kepadanya selama ini juga hanya bagian dari spirit itu? Sekali lagi Lang melihat ke dalam dirinya: Lang sang Deva, memang inspiratif. Dan…ia juga bukan orang bebas. Itu pasti….hhhh…
“Lang…Lang…hoii, ngelamunin apa sih?” panggilan Abi membuat ia tersadar. Apalagi ketika laki-laki itu memberi tanda kalau lagu yang diputarnya hampir habis. Sambil tersenyum kecut Lang sigap memutar lagu di CD satu, setelah memberi pengantar kata secukupnya. Dan ketika dilihatnya Abi masih berdiri di dekatnya, menunggu jawabannya, Lang hanya bisa mengangguk, mengisyaratkan kesanggupannya hadir nanti malam.
“Sehabis aku menidurkan Randu, kay”
Baru saja Abi meninggalkan ruangan itu, ketika tiba-tiba Emma memberi isyarat pada Lang, mengatakan ada telepon untuknya di line 3. Lang menjawab dengan isyarat nggak mau diganggu siarannya, tapi gerakan bibir Emma mengatakan telepon itu penting sekali.
“Hhhh…siapa lagi sih yang gak tahu aturan. Udah tahu aku baru siaran gini kok malah ngeganggu,” rutuknya, tapi diangkatnya juga gagang pesawat telepon yang terletak di samping kirinya itu.
“Hallo,” ucap Lang.
“Apakah aku bicara dengan Lang?” suara laki-laki terdengar di seberang sana. Suaranya agak tidak jelas, seolah si penelpon sengaja menyamarkan suaranya. Nadanya juga bukan bersahabat, menggoreskan perasaan tak enak di hati Lang.
“Betul, siapa ini?”
“Tidak penting siapa aku. Kau lebih baik segera meluncur ke hotel Andika, kamar 120.” Suara laki-laki itu terdengar tegas tak terbantahkan.
“Sekarang? Tidak bisa, aku siaran. Lagian untuk apa sih?” tanya Lang penasaran. Enak saja orang menyuruh-nyuruh dia. Emangnya mo dikemanakan jam siarannya.
“Terserah!!!! Tapi kau akan menyesal setengah mati kalau tidak ke sana sekarang juga. Ini berkait dengan masa depan rumah tanggamu!” suara itu semakin tandas, dan “klik…tuuutt…tuuutt…” telepon itu putus. Tampaknya laki-laki itu meletakkan teleponnya.
Lang tak habis pikir, untuk apa ia ke hotel itu? Apa sih yang bakal dilihatnya di sana? Apa yang dimaksud laki-laki tadi? Berkait dengan kehidupan rumah tangganya, kehidupan yang mana? Kehidupan ‘tanpa rasa’ yang ia pertahankan? Tapi suara laki-laki misterius di balik telepon tadi menyiratkan ancaman, ada nada yang membuat hatinya mencelos tak enak. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Randu? Tapi tidak, ini pasti bukan karena anak semata wayangnya itu. Lantas?
Segera Lang memencet nomor telepon rumahnya, mencari Denni, tapi tak ada seorangpun yang mengangkat telepon itu. Rumah kosong. Kemana Denni? Bukankah tadi ini pamit nggak ngantor karena kepalanya pusing?
Sambil mengganti lagu demi lagu, tanpa lagi menggubris kata pengantar, Lang meneruskan pencariannya ke rumah orangtuanya. Ketika ibunya mengangkat telepon di seberang sana, Lang sedikit lega karena ternyata Randu di titipkan di sana.
“Setengah jam yang lalu Denni ke sini menitipkan Randu, trus mau ke dokter katanya,” Ibu Lang menjawab. Ke dokter? Tidak biasanya Denni ke dokter hanya untuk sekedar sakit kepalanya yang biasa itu.
“Lang….” Ibunya memanggil di balik telepon.
“Ya?”
“Eh…eh…kalian baik-baik saja kan? Tidak ada sesuatu antara kau dan Denni kan?” suara ibunya terdengar berhati-hati sekali.
“Tentu saja tak ada apa-apa di antara kami. Memang kenapa sih?” tegas Lang.
“Hhhh, tidak. Tidak apa-apa,” jawab ibunya.
Tapi jawaban ibunya itu bukannya menenangkan hatinya, justru semakin membuatnya terkesiap. Ia merasa ibunya menyembunyikan sesuatu. Pasti ada apa-apa. Pasti.
*****
wahai setan iblis penghuni neraka, bagi aku hangat nikmat dunia, mabokkan kesadaran dalam iming-iming, jebloskan nurani dalam kemaruk nafsu birahi
Dua tubuh itu bergumul sedemikian liar. Mereka saling berciuman, si laki-laki tampak gemas. Terlihat sesekali ia menggigiti bibir bawah si perempuan, sampai Windy, gadis itu berteriak manja. Dan ia membalas perlakuan itu dengan sama panasnya.
Windy sejak lama memang menginginkan laki-laki yang saat ini mencumbuinya itu. Paras laki-laki itu begitu tampan menarik. Kulitnya yang kuning langsat dan tubuhnya yang kekar itu membuatnya mimpi setiap malam. Dulu ia hanya bisa memandanginya saja. Situasinya jelas tidak memungkinkan dia mendapatkan perhatian dari lelaki itu. Tapi Seiring berjalannya waktu, Windy tahu harapannya tak bertepuk sebelah tangan. Setiap laki-laki itu datang ke rumah menitipkan ananknya, sinyal-sinyal saling terpancarkan dari kerling mata mereka. Mereka akhirnya berpacaran diam-diam. Dan ia tak keberatan ketika si lelaki mengajaknya bersebadan. Nafsunya sendiri selalu berkobar setiap dia berdekatan dengannya.
Lidah laki-laki itu kini berpindah menjilati payudara Windy, membuatnya menggelinjang penuh kenikmatan. Putingnya mengeras, nafasnya pendek-pendek, sudah tak beraturan, tanda nafsunya sudah di puncak. Laki-laki itu kemudian menyambar pinggang si perempuan agar lebih ke atas, tangannya menyambar sebuah bantal yang terletak tak berjauhan, mendorongnya ke bawah pantat si gadis. Tubuh telanjang gadis itu agak melengkung terganjal bantal, dan tanpa basa-basi laki-laki itu memegang kejantanannya, mengarahkan ke vagina si gadis. Kembali ia menindih tubuh langsing itu, menancapkan kejantanannya ke kemaluan yang masih sempit.
Laki-laki itu masih ingat betul. Ini kali ketiga ia menyetubuhi gadis ini. Dan tercetak dibenaknya betapa persetubuhan pertama telah memuaskan hatinya. Gadis itu masih perawan, dan dia, dia lah yang memerawaninya. Betapa beruntungnya dia. Dan kini, ia kembali bersetubuh dengan Windy. Gadis yang begitu muda, paling baru 17 tahun usianya.
Dengan posisi pantat terganjal, klitoris Windy yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga ketika si lelaki kembali melanjutkan hujaman kelelakiannya, ia menggelinjang dan memekik merasakan sensasi yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang barusan. Apalagi si laki-laki terus merangsang putingnya. Sesekali menggigitnya.
Windy menceracau di tengah kenikmatannya. Ditingkahi lenguhan si lelaki yang menggenjot pinggulnya lebih cepat. Dan tubuh-tubuh itu kembali bergerak ritmis, saling bergumul satu sama lain.
Persenggamaan itu hampir selesai, ketika sebuah ketukan terdengar di pintu kamar. Tak ada respon. Mereka tetap melecut nafsu demi nafsu untuk ke puncak. Ketukan itu kembali menggema. Masih didiamkan. Mereka ingin menyelesaikan senggamanya dulu. Sebodo dengan siapapun yang mengetuk kamar itu.
Ketukan itu berulang lagi, lebih keras. Gangguan berikutnya.
“Siapa?” teriak Denni gusar. Gelegak birahinya terhenti.
“Room service,” terdengar lamat-lamat suara seorang wanita dari luar.
Flash. Suara itu seperti pernah di dengarnya. Seperti suara……, ah, pasti bukan dia, nggak mungkin dia tahu aku ke sini. Selak kata hatinya sendiri menghibur. Toh ia tadi sudah memastikan situasinya aman untuk pergi ke tempat ini. Tangan si lelaki kini meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia memberi tanda kepada kekasihnya yang masih tergolek setengah tidur agar bergegas masuk, bersembunyi di kamar kecil yang menyatu dengan kamar hotel itu. Windy pun beranjak menurut.
Dengan enggan laki-laki itu bersijingkat mendekat ke lubang fisheye di pintu yang memungkinkannya meneropong situasi luar.
Kekasihnya yang kini berdiri di pintu kamar mandi, yang berdekatan dengan pintu kamar itu menatapnya dengan pandangan bertanya,
“Siapa?” gerak bibir Windy berbisik
“Nggak ada siapa-siapa kok,” bisik si lelaki menyeringai dan segera ditariknya tubuh bugil si wanita ke dalam pelukannya. Mereka kembali berciuman penuh nafsu, berusaha meluncaskan kembali birahi yang tertunda. Tapi, sebuah ketukan,…bukan ketukan…tapi gedoran kembali mendarat di pintu kamar itu. Gedoran itu bertalu-talu, menuntut agar pintu dibuka.
Si lelaki gusar kegiatan erotisnya terganggu, ia lepaskan pelukannya pada dari tubuh kekasihnya dan tangannya membuka pintu, siap menyemprot siapapun yang ada di luar. Tapi, ketika pintu itu telah setengah membuka, si lelaki spontan pucat. Jantungnya seolah copot melihat Lang, istrinya telah berdiri di luar dengan wajah kaku.
Lang mendorong pintu kamar hotel itu agar terbuka lebih lebar. “Aku menjemput Windy, dia ada di dalam bukan?” tanyanya dengan suara bergetar. Kentara sekali ia menahan tangis. Mukanya dingin, tak menunjukkan ekspresi apapun. Ketika dilihatnya Windy adik kandungnya berdiri terpaku tanpa busana di depannya ia cuma berbisik lemah.
“Pulang..”
Tak terbantahkan.
Lang tak lagi dapat menahan airmatanya mengalir di pipi. Ia membalik tubuhnya dan berjalan terhuyung menjauh dari kamar itu. Tubuhnya gemetar menahan tangis yang menyesakkan dadanya. Perasaannya beku. Kenyataan pahit yang baru saja dihadapinya telah membuat otaknya berkabut tak mampu diajak berpikir apa-apa. Kenapa mesti Windy? Kenapa harus adik kandungnya?
Di tengah isaknya, perlahan gontai Lang meninggalkan hotel itu. Berjalan kaki…. berjalan, dan berjalan. Arah bukan lagi penting. Ia bahkan tak peduli hendak kemana kakinya membawa. Orang-orang memandangnya heran, perempuan dengan derai airmata tanpa suara. Ia tak lagi peduli. Mereka hanya sosok tanpa makna.
Lang kebingungan merasakan rasa sakitnya. Tak pernah ia siap dengan perasaan seperti ini.
“Aku harus mengalahkan tikaman rasa perih ini! Lang, kau tidak boleh patah hanya karena kejadian ini. Kuat Lang, kuat,” bibirnya berkemik lirih, berulang-ulang ia berkata pada dirinya sendiri. Tangisnya tanpa terasa berhenti.
Lang mencoba mengebaskan perasaannya. Dibiarkannya ingatannya semakin membeku. Tanpa sadar ia memblokir memorinya, mengubur dalam-dalam fakta yang tidak ingin dihadapinya. Bahkan di kemudian hari, ia tak ingat bagaimana ia sampai di hotel itu, dan menggunakan kendaraan apa.
Lang hanya ingat ketika Abi mengguncangkan tubuhnya yang terpaku diam. Merebut gagang telepon yang masih dipegangnya kuat. Menariknya keluar dari boks siaran, dan meminta penyiar lain menggantikan siarannya yg terhenti 2-3 menit tanpa suara.
Terngiang jawaban ibunya, yang akhirnya menjawab desakannya….
“Lang, tadi tidak lama setelah Denni pergi,…eh, eh…Windy juga tiba-tiba pamitan mau pergi ke tempat temannya,”
Lang diam…menunggu.
“Dan perasaanku tidak enak melihat kepergian adikmu itu,”
Dada Lang menyesak mendengar itu. Denny & Windy…sama sekali tak terpikir di benaknya. Mrngkinkah terjadi sesuatu di antara mereka? Inikah yang dimaksud si misterius tadi?
“Aku harus tahu,” bisik Lang pada dirinya sendiri. Dan tak dipedulikannya lagi kelebatan orang yang melarangnya pergi.
Ternyata kekhawatirannya terjawab. Sangat menyakitkan.
Dan Lang sang Deva……hanya bisa menangis. Hanya menangis. Tangis tanpa suara, tanpa airmata. Tangis yang bahkan semakin tidak menemukan katupnya. Apalagi ketika ia tahu nanti, bahwa darah perawanannya lah yang jadi momoknya selama ini.
(Tuhan, kapan kau renggut darah perawanku?)