Cerita ini terjadi ketika aku masih usia 15 tahun. Aku yang baru saja lulus SMP bingung mau kemana, melanjutkan sekolah nggak mungkin sebab Bapakku sudah satu tahun yang lalu meninggal. Sedangkan Ibuku hanya penjual nasi bungkus di kampus dan kedua kakakku pergi entah bagaimana kabarnya. Sebab sejak pamitan mau merantau ke Pulau Bali nggak pernah ada kabar bahkan sampai Bapak meninggalpun juga nggak tahu. Adik perempuanku yang masih kelas dua SD juga membutuhkan biaya.Berangkatlah aku ke kota Jember tepatnya di perumahan daerah kampus. Aku terkagum-kagum dengan rumah juragan baruku ini, disamping rumahnya besar halamannya juga luas. Juraganku namanya Pak Dikin, Ia Jajaran direksi Bank ternama di kota Jember, Ia mempunya dua Anak Perempuan yang satu baru saja berkeluarga dan yang bungsu kelas 3 SMA namanya Septi, usianya kira-kira 18 tahun. Sedangkan istrinya membuka usaha sebuah toko busana yang juga terbilang sukses di kota tersebut, dan masih ada satu pembantu perempuan Pak Dikin namanya Bik mie usianya kira-kira 27 tahun.
Teman Septi banyak sekali setiap malam minggu selalu datang kerumah kadang pulang sampai larut malam, hingga aku tak bisa tidur sebab harus nunggu teman Non Septi pulang untuk mengunci gerbang, kadang juga bergadang sampai pukul 04.00. Mungkin kacapekan atau memang ngantuk usai bergadang malam minggu, yang jelas pagi itu kamar Non Septi masih terkunci dari dalam. Aku nggak peduli sebab bagiku bukan tugasku untuk membuka kamar Non Septi, aku hanya ditugasi jaga rumah ketika Pak Dikin dan Istrinya Pergi kerja dan merawat tamannya saja.
Pagi itu Pak Dikin dan Istrinya pamitan mau keluar kota, katanya baru pulang minggu malam sehingga dirumah itu tinggal aku, Bik mie dan Non Septi. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 tapi Non Septi masih belum bangun juga dan Bik mie sudah selesai memasak.
“Rano, aku mau belanja tolong pintu gerbang dikunci.”
“Iya Bik!” jawabku sambil menyiram tanaman didepan rumah. Setelah Bik mie pergi aku mengunci pintu gerbang.
Setelah selesai menyiram taman yang memang cukup luas aku bermaksud mematikan kran yang ada di belakang. Sesampai didepan kamar mandi aku mendengar ada suara air berkecipung kulihat kamar Non Septi sedikit terbuka berarti yang mandi Non Septi. Tiba-tiba timbul niat untuk mengintip. Aku mencoba mengintip dari lubang kunci, ternyata tubuh Non Septi mulus dan susunya sangat kenyal, kuamati terus saat Non Septi menyiramkan air ke tubuhnya, dengan perasaan berdegap aku masih belum beranjak dari tempatku semula. Baru pertama ini aku melihat tubuh perempuan tanpa tertutup sehelai benang. Sambil terus mengintip, tanganku juga memegangi penisku yang memang sudah tegang, kulihat Non Septi membasuh sabun keseluruh badannya aku nggak melewatkan begitu saja sambil tanganku terus memegangi penis. Aku cepat-cepat pergi, sebab Non Septi sudah selesai mandinya namun karena gugup aku langsung masuk ke kamar WC yang memang berada berdampingan dengan kamar mandi, disitu aku sembunyi sambil terus memegangi penisku yang dari tadi masih tegang.
Cukup lama aku di dalam kamar WC sambil terus membayangkan yang baru saja kulihat, sambil terus merasakan nikmat aku tidak tahu kalau Bik mie berada didepanku. Aku baru sadar saat Bik mie menegurku,
“Ayo.. ngapain kamu.”
Aku terkejut cepat-cepat kututup resleting celanaku, betapa malunya aku.
“Ng.. nggak Bik..” kataku sambil cepat-cepat keluat dari kamar WC. Sialan aku lupa ngunci pintunnya, gerutuku sambil cepat-cepat pergi.
Esoknya usai aku menyiram taman, aku bermaksud ke belakang untuk mematikan kran, tapi karena ada Bik mie mencuci kuurungkan niat itu.
“Kenapa kok kembali?” tanya Bik mie.
“Ah.. enggak Bik..” jawabku sambil terus ngeloyor pergi.
“Lho kok nggak kenapa? Sini saja nemani Bibik mencuci, lagian kerjaanmu kan sudah selesai, bantu saya menyiramkan air ke baju yang akan dibilas,” pinta Bik mie.
Akhirnya akupun menuruti permintaan Bik mie. Entah sengaja memancing atau memang kebiasaan Bik mie setiap mencuci baju selalu menaikkan jaritnya diatas lutut, melihat pemandangan seperti itu, jantungku berdegap begitu cepat
“Begitu putihnya paha Bik mie ini” pikirku, lalu bayanganku mulai nakal dan berimajinasi untuk bisa mengelus-ngelus paha putih Bik mie.
“Heh! kenapa melihat begitu!” pertanyaan Bik mie membuyarkan lamunanku
“Eh.. ngg.. nggak Bik” jawabku dengan gugup.
“Sebentar Bik, aku mau buang air besar” kataku, lalu aku segera masuk kedalam WC, tapi kali ini aku tak lupa untuk mengunci pintunya.
Didalam WC aku hanya bisa membayangkan paha mulus Bik mie sambil memegangi penisku yang memang sudah menegang cuma waktu itu aku nggak merasakan apa-apa, cuma penis ini tegang saja. Akhirnya aku keluar dan kulihat Bik mie masih asik dengan cucianya.
“Ngapain kamu tadi didalam Ran?” tanya Bik mie.
“Ah.. nggak Bik cuma buang air besar saja kok,” jawabku sambil menyiramkan air pada cuciannya Bik mie.
“Ah yang bener? Aku tahu kok, aku tadi sempat menguntit kamu, aku penasaran jangan-jangan kamu melakukan seperti kemarin ee..nggak taunya benar,” kata Bik mie
“Hah..? jadi Bibik mengintip aku?” tanyaku sambil menunduk malu.
Tanpa banyak bicara aku langsung pergi.
“Lho.. kok pergi?, sini Ran belum selesai nyucinya, tenang saja Ran aku nggak akan cerita kepada siapa-siapa, kamu nggak usah malu sama Bibik ”
Kuurungkan niatku untuk pergi.
“Ngomong-ngomong gimana rasanya saat kamu melakukan seperti tadi Ran?” tanya Bik mie.
“Ah nggak Bik,”jawabku sambil malu-malu.
“Nggak gimana?” tanya Bik mie seolah-olah mau menyelidiki aku.
“Nggak usah diteruskan Bik aku malu.”
“Malu sama siapa? Lha wong disini cuma kamu sama aku kok, Non Septi juga sekolah, Pak Beny kerja?” kata Bik mie.
“Iya malu sama Bibik, sebab Bibik sudah tahu milikku,” jawabku.
“Oalaah gitu aja kok malu, sebelum tahu milikmu aku sudah pernah tahu sebelumnya milik mantan suamiku dulu, enak ya?”
“Apanya Bik?” tanyaku
“Iya rasanya to..?” gurau Bik mie tanpa memperdulikan aku yang bingung dan malu padanya.
“Sini kamu..” kata Bik mie sambil menyuruhku untuk mendekat, tiba-tiba tangan tangan Bik mie memegang penisku.
“Jangan Bik..!!” sergahku sambil berusaha meronta, namun karena pegangannya kuat rasanya sakit kalau terus kupaksakan untuk meronta.
Akhirnya aku hanya diam saja ketika Bik mie memegangi penisku yang masih didalam celana pendekku. Pelan tapi pasti aku mulai menikmati pegangan tangan Bik mie pada penisku. Aku hanya bisa diam sambil terus melek merem merasakan nikmatnya pegangan tangan Bik mie. lalu Bik mie mulai melepas kancing celanaku dan melorotkanya kebawah. Penisku sudah mulai tegang dan tanpa rasa jijik Bik mie Rangkok dihadapanku dan menjilati penisku.
“Ach.. Bik.. geli,” kataku sambil memegangi rambut Bik mie.
Bik mie nggak peduli dia terus saja mengulum penisku, Bik mie berdiri lalu membuka kancing bajunya sendiri tapi tidak semuanya, kulihat pemandangan yang menyembul didepanku yang masih terbungkus kain kutang dengan ragu-ragu kupegangi. Tanpa merasa malu, Bik mie membuka tali kutangnya dan membiarkan aku terus memegangi susu Bik mie, dia mendesah sambil tangannya terus memegangi penisku. Tanpa malu-malu kuemut pentil Bik mie.
“Ach.. Ran.. terus Ran..”
Aku masih terus melakukan perintah Bik mie, setelah itu Bik mie kembali memasukkan penisku kedalam mulutnya. aku hanya bisa mendesah sambil memegangi rambut Bik mie.
“Bik aku seperti mau pipis,” lalu Bik mie segera melepaskan kulumannya dan menyingkapkan jaritnya yang basah, kulihat Bik mie nggak memakai celana dalam.
“Sini Ran..,” Bik mie mengambil posis duduk, lalu aku mendekat.
“Sini.. masukkan penismu kesini.” sambil tangannya menunjuk bagian selakangannya.
Dibimbingnya penisku untuk masuk ke dalam vagina Bik mie.
“Terus Ran tarik, dan masukkan lagi ya..”
“Iya Bik” kuturuti permintaan Bik mie, lalu aku merasakan seperti pipis, tapi rasanya nikmat sekali.
Setelah itu aku menyandarkan tubuhku pada tembok.
“Ran.. gimana, tahu kan rasanya sekarang?” tanya Bik mie sambil membetulkan tali kancingnya.
“Iya Bik..”jawabku.
Esoknya setiap isi rumah menjalankan aktivitasnya, aku selalu melakukan adegan ini dengan Bik mie. Saat itu hari Sabtu, kami nggak nyangka kalau Non Septi pulang pagi. Saat kami tengah asyik melakukan kuda-kudaan dengan Bik mie, Non Septi memergoki kami.
” Hah? Apa yang kalian lakukan! Kurang ajar! Awas nanti tak laporkan pada papa dan mama, kalian!”
Melihat Non Septi kami gugup bingung, “Jangan Non.. ampuni kami Non,” rengek Bik mie.
“Jangan laporkan kami pada tuan, Non.”
Akupun juga takut kalau sampai dipecat, akhirnya kami menangis di depan Non Septi, mungkin Non Septi iba juga melihat rengekan kami berdua.
“Iya sudah jangan diulangi lagi Bik!!” bentak Non Septi.
“Iy.. iya Non,” jawab kami berdua.
Esoknya seperti biasa Non Septi selalu bangun siang kalau hari minggu, saat itu Bik mie juga sedang belanja sedang Pak Beny dan Istrinya ke Gereja, saat aku meyirami taman, dari belakang kudengar Non Septi memanggilku,
“Ran!! Cepat sini!!” teriaknya.
“Iya Non,” akupun bergegas kebelakang tapi aku tidak menemukan Non Septi.
“Non.. Non Septi,” panggilku sambil mencari Non Septi.
“Tolong ambilkan handuk dikamarku! Aku tadi lupa nggak membawa,” teriak Non Septi yang ternyata berada di dalam kamar mandi.
“Iya Non.”
Akupun pergi mengambilkan handuk dikamarnya, setelah kuambilkan handuknya “Ini Non handuknya,” kataku sambil menunggu diluar.
“Mana cepat..”
“Iya Non, tapi..”
“Tapi apa!! Pintunya dikunci..”
Aku bingung gimana cara memberikan handuk ini pada Non Septi yang ada didalam? Belum sempat aku berpikir, tiba-tiba kamar mandi terbuka. Aku terkejut hampir tidak percaya Non Septi telanjang bulat didepanku.
“Mana handuknya,” pinta Non Septi.
“I.. ini Non,” kuberikan handuk itu pada Non Septi.
“Kamu sudah mandi?” tanya Non Septi sambil mengambil handuk yang kuberikan.
“Be..belum Non.”
“Kalau belum, ya.. sini sekalian mandi bareng sama aku,” kata Non Septi.
Belum sempat aku terkejut akan ucapan Non Septi, tiba-tiba aku sudah berada dalam satu kamar mandi dengan Non Septi, aku hanya bengong ketika Non Septi melucuti kancing bajuku dan membuka celanaku, aku baru sadar ketika Non Septi memegang milikku yang berharga.
“Non..,” sergahku.
“Sudah ikuti saja perintahku, kalau tidak mau kulaporkan perbuatanmu dengan Bik mie pada papa,” ancamnya.
Aku nggak bisa berbuat banyak, sebagai lelaki normal tentu perbuatan Non Septi mengundang birahiku, sambil tangan Non Septi bergerilya di bawah perut, bibirnya mencium bibirku, akupun membalasnya dengan ciuman yang lembut. Lalu kuciumi buah dada Non Septi yang singsat dan padat. Non Septi mendesah, “Augh..”
Kuciumi, lalu aku tertuju pada selakangan Non Septi, kulihat bukit kecil diantara paha Non Septi yang ditumbuhi bulu-bulu halus, belum begitu lebat aku coba untuk memegangnya. Non Septi diam saja, lalu aku arahkan bibirku diantara selakangan Non Septi.
“Sebentar Ran..,” kata Non Septi, lalu Non Septi mengambil posisi duduk dilantai kamar mandi yang memang cukup luas dengan kaki dilebarkan, ternyata Non Septi memberi kelaluasaan padaku untuk terus menciumi vaginanya.
Melihat kesempatan itu tak kusia-siakan, aku langsung melumat vaginanya kumainkan lidahku didalm vaginanya.
“Augh.. Ran.. Ran,” erangan Non Septi, aku merasakan ada cairan yang mengalir dari dalam vagina Non Septi. Melihat erangan Non Septi kulepaskan ciuman bibirku pada vagina Non Septi, seperti yang diajarkan Bik mie kumasukkan jemari tanganku pada vagina Non Septi. Non Septi semakin mendesah, “Ugh Ran.. terus Ran..,” desah Non Septi. Lalu kuarahkan penisku pada vagina Non Septi.
Bless.. bless.. Batangku dengan mudah masuk kedalam vagina Non Septi, ternyata Non Septi sudah nggak perawan, kata Bik mie seorang dikatakan perawan kalau pertama kali melakukan hubungan intim dengan lelaki dari vaginanya mengeluarkan darah, sedang saat kumasukkan penisku ke dalam vagina Non Septi tidak kutemukan darah.
Kutarik, kumasukkan lagi penisku seperti yang pernah kulakukan pada Bik mie sebelumnya. “Non.. aku.. mau keluar Non.”
“Keluarkan saja didalam Ran..”
“Aggh.. Non.”
“Ran.. terus Ran..”
Saat aku sudah mulai mau keluar, kubenamkan seluruh batang penisku kedalam vagina Non Septi, lalu gerkkanku semakin cepat dan cepat.
“Ough.. terus.. Ran..”
Kulihat Non Septi menikmati gerakanku sambil memegangi rambutku, tiba-tiba kurasakan ada cairan hangat menyemprot ke penisku saat itu juga aku juga merasakan ada yang keluar dari penisku nikmat rasanya. Kami berdua masih terus berangkulan keringat tubuh kami bersatu, lalu Non Septi menciumku.
“Terima kasih Ran kamu hebat,” bisik Non Septi.
“Tapi aku takut Non,” kataku.
“Apa yang kamu takutkan, aku puas, kamu jangan takut, aku nggak akan bilang sama papa” kata Non Septi. Lalu kami mandi bersama-sama dengan tawa dan gurauan kepuasan.
Sejak saat itu setiap hari aku harus melayani dua wanita, kalau di rumah hanya ada aku dan Bik mie, maka aku melakukannya dengan Bik mie. Sedang setiap Minggu aku harus melayani Non Septi, bahkan kalau malam hari semua sudah tidur, tak jarang Non Septi mencariku di luar rumah tempat aku jaga dan di situ kami melakukannya.