"Begitu ya, Mbak?" tanya Moogie pada 'mbak' yang sudah menyalakan lagi rokoknya itu. 'Mbak' itu menganggukkan kepalanya dan melanjutkan dengan suara nge-bass, "Iya. Lah kita ini kan ngga pernah minta dilahirkan jadi pria, eh, waria. Seharusnya mereka-mereka ngga berhak buat ngusir kita dari jalanan. Jangankan ngusir, ngelirik kaya ngelirik setan aja forbiden, bo."
"Setuju, Mbak!" sahut Moogie dengan wajah serius, membuatku setengah mati menahan tawa. Beberapa saat kemudian 'mbak' itu mengantar kami keluar, tak lupa membungkuskan empat buah lemper yang sejam lalu dibelinya di warung depan, "Makasih ya, jarang loh ada orang mau ngobrol sama kami, kecuali yang memang sepaham." Moogie menganggukkan kepalanya, sementara aku sibuk mengalihkan pandangan mataku dari mata si 'mbak' yang penuh godaan.

"Gimana, Ray? Hebat kan performanku?"
"Hebat, kayak Jialing," ucapku sebelum tertawa.
Moogie meruncingkan bibirnya dan mengalihkan wajahnya, "Kamu sih, sentimen melulu."
"Ngga kok," sahutku cepat, "kamu luar biasa, sampai si mas, eh, Mbak itu terpesona dan berapi-api."
Moogie tertawa mendengar selorohanku.
"Ray, gua laper."
"Mojok gih."
"Emang mau e'e?"
"Tuh lemper."
"Ngga kenyang."
"Tambah ban serep."
"Lapeerr!!"
Sampai akhirnya aku terpaksa menepikan mobilku, menelusuri trotoar untuk mencari warung pecel Madiun, seperti yang diminta tuan puteri. Wanita memang menyusahkan. Mungkin itu sebabnya aku tak pernah mau terikat dengan satu wanita pun dalam hidupku.

Keesokan malamnya

"Asik, ya," seru Moogie padaku menyela musik hingar-bingar dan teriakan vokalis di bawah kami. Dengan tersenyum kuanggukkan kepalaku. Senyum sebal, sebab tadi di depan pintu masuk Mirzha dan Greg sempat menatapku dengan heran. Bagaimana tidak heran? Jam sembilan ke Cafe Pink? Untungnya, dengan alasan pekerjaan akhirnya aku terlepas dari berjuta pertanyaan dan gelak tawa.

"Ray!" Kubalikkan tubuhku dan menatap ke arah suara di belakangku. Upay berlari dan memelukku, sebelum mencium kedua pipiku, "Gimana kabarnya?"
"Masih hidup, ngapain kamu di sini jam segini?" sahutku tertawa.
"Ditelepon anak-anak, katanya ada orang aneh datang."
Langsung tawaku meledak. Tawa sebal, apalagi.
"Siapa nih?" tanya Upay ketika melihat Moogie di sebelahku yang juga menatapnya.
Moogie mengulurkan tangannya, "Moogie."
"Upay," sahut Upay dengan senyum mengembang, "Ray, gebetan kamu boleh juga kali ini."
"Enak saja," ucapku ketus, "dia ini yang menggantikan Jay di kantor. Aku cuman bawa dia ke sini untuk ngenalin yang namanya 'tempat kerja'."
"Oh, iya, bagaimana kabarnya Jay?"
"Entahlah," nadaku terdengar lesu, "sudah lupa kali ya?"
"Aku kok dicuekin?" Moogie terdengar memprotes. Upay langsung tertawa.
"Ray, aku pinjam dulu yah."
Dengan tertawa kuanggukkan kepalaku. Upay langsung menyeret Moogie menghilang di balik kerumunan manusia.

"Jadi Jay ngga kembali lagi?" tanya Dedy padaku sejam kemudian di bar.
Dengan mengangkat bahu kunyalakan rokok di bibirku, "Mungkin tidak."
"Sayang sekali. Ngga ada yang ngeramein bar."
"Ngga ada yang dikerjain maksudmu."
Dedy tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha. Eh, itu gebetan kamu datang."
Kupalingkan wajahku dan melihat Moogie menghampiri bersama Upay.
"Upay!" seruku gusar saat melihat wajah Moogie yang kemerahan.
"Nyantai aja dech," ucap Upay seraya mengedipkan matanya. Moogie tertawa kecil dan mengambil kursi di sebelahku.
"Kamu minum apa di bawah?"
Moogie menatap Upay yang mengedipkan matanya, "Ngga ada?"
"Kok begitu?" ucapku gusar lalu melirik Upay.
"Singapore Sling dan Gin Tonik. Tapi bukan aku yang nyampur loh, Ray. Tanyain sama bartender yang di bawah."
Ya ampun!!

Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas saat aku memegangi lengan Moogie dan membukakan pintu mobil. Moogie tersenyum-senyum dan mendudukkan dirinya, seolah tidak merasakan apapun. Dengan menggelengkan kepala kutatap Upay yang masih sibuk menggaruk kepalanya.
"Lihat nih," ucapku sebal, "bagaimanaku harus bilang sama orang tuanya?"
"Ya buat dia sadar dulu," desis Upay lirih sambil tersenyum misterius.
"Hhh," desahku lalu melangkah menuju ke sisi lain mobil, "aku pulang."
"Daahh," seru Upay sebelum aku masuk, "salam buat Moogie kalau dia sadar."
Kalau dia sadar.

Dalam perjalan pulang

"Kamu marah ya, Ray?"
"Nggak," jawabku pendek, lebih mengkonsentrasikan benakku ke jalan.
"Marah."
"Nggak.
"Maraahh! Keliatan kok."
"Ngga tuh, ngga ngerasa."
Mendadak Moogie menarik pipiku, "Nih supaya ngga marah."
"Aduh," seruku gusar dan menggelengkan kepalaku lalu menatapnya. Gadis itu menekuk tubuhnya dan memandang dengan gaya tak bersalah, "Tuh, marah kan?"
Entah apa yang kurasakan saat itu, aku pun tak tahu. Mendadak kutarik setir mobil dan menepikan mobilku.
"Ray? Ada apa?" tanya gadis itu menegakkan tubuhnya.
"Ada ini," ucapku pendek seraya memiringkan tubuhku dan mengecup bibirnya.
"Mmhh," gadis itu melenguh saat bibirku menyentuh bibirnya. Sejenak bisa kurasakan otot-otot pundak yang kusentuh melemas. Hanya sekejap, sebelum otot-otot itu mengencang kembali. Moogie menyentakkan tubuhku.
"Ray. Apaan sih!"
"Pingin nge-sun aja."
"Kurang ajar." Wajah gadis itu terlihat serius dan.. gusar?
Dengan tertawa kuinjak pedal gas dan membiarkan mobilku melaju perlahan di jalanan yang mulai sedikit sepi. Kubiarkan keheningan menyela diantara kami. Menunggu sepatah pertanyaan.

"Maksud kamu tadi apa?" Nah, betul juga kan.
"Ngga apa-apa, pingin nge-sun aja. Aku kan sudah bilang tadi."
"Kan ada alasannya."
"Kenapa?" tanyaku meliriknya, "Kamu suka?"
"Gila apa?" sergah gadis itu. Kulirik dari spion penumpang, gadis itu meraba-raba bibirnya dengan pandangan keluar jendela.
"Aku salah?" tanyaku beberapa saat kemudian.
"Ngga salah lagi. Kamu kurang ajar."
"Kamu tahu kenapa?"
Moogie diam saja. Kuputar lagi setir mobil dan berhenti. Moogie langsung memiringkan tubuhnya menghadapku, "Apa!"
Dengan tertawa kutatap wajahnya, "Karena kamu mabuk, dan karena kamu menggemaskan."
Moogie terlihat kehabisan kata-kata.

"Aku ngga mabuk."
"Iya kamu mabuk," tawaku, "mau bukti?"
Moogie menatapku. Dasar yang namanya gadis, kalau sudah kena perangkap ngga bisa mikir, "Apa coba?"
"Nih," setengah memaksa kudorong tubuhku ke arahnya dan melumat bibirnya sekali lagi. Moogie mencoba menahan tubuhku dengan kedua tangannya. Kembali kurasa tubuhnya melemas sesaat, lima detik matanya terpejam sebelum ototnya kembali mengencang, mendorongku kasar dan menampar."Hey," seruku seraya menghindari ayunan tangannya. Dengan tersenyum kutatap matanya yang mulai berkaca-kaca, "kamu belum pernah dicium?" Mendadak kulihat air mata mengalir di pipinya. Moogie menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Berarti belum. Hati-hati kucondongkan lagi tubuhku dan menarik kedua lengannya membuka.

"Jangan menangis ah, nanti kalau ketahuan mamamu bisa berabe."
Moogie masih menggosok-gosok kedua matanya. Dengan tertawa kecil kutundukkan kepalaku dan kembali menempelkan bibirku di bibirnya. Moogie mengeluh sesaat, tubuhnya mengejang sebelum akhirnya melemas dalam dekapanku. Kukulum bibirnya lembut, membiarkan lidahku menjelajahi rongga-rongga mulutnya. Kurasakan tubuh gadis itu bergetar dan matanya tetap terpejam. Aku? Tentu saja buka mata, lagipula kan ekspresi wanita saat dicium itu merupakan sebuah pemandangan yang menurutku menyenangkan.

Kubiarkan gadis itu terlena selama kurang lebih dua menit dalam dekapan dan kuluman bibirku, sebelum kuangkat lenganku dan menyentuh kulit lehernya. Kubelai dan kupijat lembut lehernya, perlahan dengan penuh kehangatan. Kuraba dengan jemariku, dari telinga, dagu, sampai ke batas kerah kaus ketat yang dikenakannya. "Ray," desah gadis itu saat jemari telunjukku menyusup masuk dan menekan permukaan payudaranya yang terasa mengeras. "Ssshh," desahku, "nikmatin aja." Kukeluarkan jariku dan mengangkat kedua lengan gadis itu, melingkarkannya di leherku. Kembali kubuat gadis itu memejamkan matanya dengan kembali melumat bibirnya. Perlahan kuletakkan telapak tanganku di perutnya, memijat halus dan merangsak mencari tepian bajunya. Tubuh gadis itu bergetar saat telapak tanganku menyusup ke balik bajunya dan meraba kulit perutnya.

"Sudah, Ray," desahnya lirih.
"Belum," desahku balik di bibirnya.
Kutelusuri kulit perutnya dengan jemariku dan perlahan menuju payudaranya yang masih terbalut bra kain. Moogie mendesah saat kutangkupkan jemariku di payudaranya dan memijatnya halus. Kutekan perlahan dan kulepaskan, seolah sedang membuat adonan kue. Moogie mendesah berulang-ulang, rangkulannya di leherku mengencang. Kuturunkan bibirku dan menjilati lehernya, gadis itu menggelinjang. Kuangkat tepi bawah bajunya dan merogoh kaitan bra di punggungnya. Moogie seperti tersentak saat kulepaskan pengait bra-nya.

"Sudah, Ray," desahnya dengan nada lirih dan panik. Moogie mencoba meronta, tapi segera kulumat bibirnya, "Please." Mana tahan dia kalau didesah seperti itu. Dengan lembut kususupkan jemariku ke balik bra-nya yang sudah longgar. Moogie menggerakkan tubuhnya sedikit ketika jemariku menyentuh puting payudaranya yang sudah mengeras. "Hhh," Moogie mendesah panjang sementara matanya mulai berkerut. Kulepaskan bibirku dan menundukkan tubuhku, memperhatikan bentuk payudara gadis itu dengan seksama. Besar, mungkin tiga puluh enam B. Kupejamkan mataku dan menutup puting susunya dengan bibirku, membuat gadis itu menggelinjang. Dengan tangan kiriku kutarik sisi kiri bajunya sehingga memperlihatkan kesemua payudaranya. Bergantian kukecupi puting susunya, sementara Moogie mendesah tak karuan.

Setelah merasa puas, kuangkat tubuhku dan membetulkan kembali letak bra dan bajunya. kukecup bibir gadis itu dan Moogie membuka matanya. Perlahan air mata menetes di pipinya, "Apa itu tadi, Ray?" Suaranya bergetar. "Karena kamu begitu menggemaskan," senyumku dan kembali mengecup bibirnya. Kutarik tubuh gadis itu dan memeluknya. Moogie menyusupkan kepalanya ke dadaku dan terisak. Aku sampai sekarang tidak pernah mengerti mengapa gadis-gadis selalu terisak saat seorang pemuda pertama kali menyentuh mereka. Aneh, ya?

"Ray?" sela gadis itu setelah aku mengantarnya ke depan pintu.
"Ya?" tanyaku sambil tetap memasang senyum di wajahku.
"Cuman begitu saja?"
Kutundukkan kepalaku dan tertawa, "Ya kamu tebak sendirilah artinya apa."
Lalu kuangkat kepalaku dan mengecup bibirnya. Moogie tidak menolak. Menyenangkan membiarkan gadis itu hanyut dalam kesimpulannya sendiri. Aku tidak berjanji apa-apa, bukan?

Lusanya di kantor

"Kamu mau kopi?" tanya Moogie kepadaku. Kuanggukkan kepalaku. Gadis itu tersenyum lalu bangkit menuju dispenser.
Jodi mendekatiku dan berbisik, "Eh, kau apain tuh si Moogie, kok kalian jadi mesra amat?"
Dengan tersenyum kuangkat bahuku, "Mana kutahu?"
"Dasar," umpat Jodi lalu kembali ke mejanya saat Moogie kembali dengan secangkir kopi.
"Thanks," ucapku padanya.
Moogie tersenyum dan duduk di sebelahku. Perlahan gadis itu mengangkat lengannya dan menyusupkannya ke lenganku. Hangat. Tapi memang begitu seharusnya, kalau seorang gadis menganggapmu pacarnya. Tul ngga?
"Ehm, ehm," mendadak suara Pak Herman terdengar di belakang kami. Moogie langsung menarik lengannya dan membuka-buka lembaran editing di hadapannya. Dengan tersenyum simpul kubalikkan wajahku menatap Pak Herman yang menggelengkan kepalanya. "Sini, Ray," ucap si Boss seraya menuju ke ruang kantornya. Dengan menggaruk kepala kuangkat tubuhku dan mengikutinya.

"Jadi kamu apain anak itu?"
"Wah, saya ngga ngapa-ngapain kok, Bos," ucapku dengan wajah tak bersalah.
"Masa? Ngaku aja deh," ucap Pak Herman dengan melirik tajam.
"Hehehe," tawaku iseng seraya menggaruk lagi kepalaku, "yang namanya cinta."
"Aduh," Pak Herman menepuk kepalanya, "aku sudah menduga hal ini akan terjadi."
"Lha ya salahnya siapa loh, Bos?" tanyaku membela diri.
"Ingat, Ray. Be profesional."
"Iya. Saya tahu."
Masa?

Beberapa hari kemudian, 26 Juni 2001

"Ach," Moogie menggelinjang saat kugigit pahanya. Gadis itu tertawa melihat senyuman di bibirku, "nakal." Dengan tertawa kuangkat kakinya dan menjilat belakang lututnya. Moogie berusaha mengangkat punggungnya dn menggapai rambutku, "Geli, Ray."
"Hehehe," sambil tetap tertawa kuletakkan kakinya kembali dan mengecupi pahanya sampai ke bagian celana dalamnya yang berwarna biru muda. Moogie menjerit lirih saat kugigit lembut kain yang menutupi kemaluannya. Kuulurkan tanganku dan meraih buah dadanya, meremas dengan lembut.Desahannya terhenti saat kuangkat tubuhku dan mengambil tempat di sisinya.
"Moogie," ucapku lirih.
"Ya?" gadis itu membuka matanya dan menatapku. Kukecup bibirnya.
"Sini tanganmu."
Gadis itu tersentak saat jemarinya menyentuh batang kemaluanku yang mengeras di balik celana dalam yang kukenakan. "Kenapa?" tanyaku sambil tetap tersenyum. Moogie melirik ke bawah dan menggumam, "Keras."
Kontan saja aku tertawa mendengar pengakuannya yang khas anak baru tau sex.
"Masukin," ucapku setengah memerintah. Moogie menyusupkan jemarinya ke balik celana dalamku, dan beberapa saat kemudian aku sudah mengajarkan tujuh puluh lima persen dari semua ilmu me-masturbasi cowok padanya. Tentu saja tidak termasuk 'blow job', mana ada lagi cewek lugu yang pertama kali diajarkan langsung mau? Hehehe..

"Sekarang begini," kuangkat tubuhku yang sudah telanjang bulat dan meraih celana dalam yang dikenakannya.
"Ih, jangan," Moogie meronta dan memegangi celana dalamnya.
"Kamu ngga percaya sama aku?" tanyaku dengan wajah serius.
Moogie mengerang, "Ngga gitu, Ray. Masa gini masih kurang?"
"Kurang dong," ucapku sambil tersenyum lalu menarik paksa lagi celana dalamnya hingga aku bisa melihat kemaluannya yang tertutupi bulu-bulu lebat kehitaman.
"Hutan," desisku sebelum tertawa terbahak-bahak. Moogie langsung bangkit berdiri dan mencari-cari celana dalamnya. Serta merta kupeluk tubuhnya dan berbisik, "Aku kan hanya bercanda." Gadis itu mengeliat dengan bibir runcing berusaha melepaskan dirinya dari pelukanku.Dengan tertawa kecil kutarik dagunya dan mengecup bibirnya. Kutempelkan dadaku di dadanya, merasakan puting susunya mengeras di dadaku. Moogie mengerang lirih dan dalam sekejap tubuhnya melemas. Kulumat bibirnya beberapa saat, sebelum mengulurkan tanganku dan meremas payudaranya.Kutekan dada gadis itu dan memaksanya berbaring kembali dalam posisi terlentang. Kulumat bibirnya dengan lembut, berusaha membuat gadis itu benar benar terlena. Kunaikkan sebelah kakiku dan menindih kakinya. Moogie menggeliat saat mendadak kunaikkan tubuhku ke atas tubuhnya.

"Ach," desisnya dengan mata membeliak, "jangan Ray. Jangan begini."
"Kenapa," desahku seraya menatap matanya. Perlahan kubuka kedua kakinya sekuat tenaga --karena dia menahannya-- dan menempelkan batang kemaluanku vertikal di atas permukaan kemaluannya, "ngga sampai masuk, kan?"
Moogie mengeluh saat batang kemaluanku menekan permukaan liang kemaluannya. Perlahan kugerakkan pinggulku menekan-nekan. Moogie mendesah dan mengerang lirih. Kulumat bibirnya dan mengangkat pahanya ke sisi tubuhku. "Jangan, Ray."
"Ngga kok, ngga masuk. Percaya deh," bisikku lirih ditelinganya.
Moogie memejamkan matanya dan mengigit bibir bawahnya saat gerakan pinggulku semakin cepat menekan dan menekan lagi. Berulang-ulang sampai kurasakan sekujur tubuhku mengejang tersengat aliran listrik yang memuntahkan spermaku di atas perutnya. Moogie mendesah tak karuan berusaha mengatur nafasnya. Kuletakkan kepalaku di payudaranya dan mengecup perlahan permukaan dadanya. Kutarik lengan gadis itu dan melingkarkannya di leherku.

"Moogie," bisikku lirih.
"Ya," sahut gadis itu nyaris tak terdengar.
"Kamu marah?"
"Ya," jawaban gadis itu pendek dan terdengar jujur.
"Kamu tahu sesuatu?"
Tidak ada sahutan. Gadis itu menunggu.
Kuangkat kepalaku dan mendekati telinganya.
"Kamu yang pertama kali dalam hidupku. Di mana aku berani melakukan ini dengan seorang wanita. Dan kamu tahu kenapa, karena aku benar-benar sudah menyayangi kamu. Walaupun hanya dalam waktu sekian minggu."
"Bohong," gadis itu masih memejamkan matanya.
Kupegang pipi gadis itu dan menolehkannya ke arahku, "Lihat mataku."
Moogie membuka matanya. Dan kutatap matanya. Dalam. Dalam sekali, setengah mencoba menghipnotis. Beberapa saat kami saling pandang sebelum tawa meledak di antara kami. Tawaku tawa girang. Tawanya diiringi air mata saat kupeluk tubuhnya.
"Aku sayang kamu, Ray."
"Hmm?" desahku seraya mengecup ubun-ubun kepalanya.
Dan itu masih juga bukan sebuah respons positif.

Sepuluh hari? Kenapa tidak?
Hanya butuh sedikit keberanian untuk berekspresi.


Tamat