Setelah aku lulus SMA, aku melanjutkan studi di Bandung. Kebetulan aku diterima di sebuah PTN yang terkenal di Bandung. Mengenai hubunganku dengan Tante "U" di kota asalku sudah berakhir sejak kepindahan keluarga Oom "U" ke Medan, dua bulan menjelang aku ujian akhir SMA. Namun kami masih selalu kontak lewat surat atau telpon.
Perpisahan yang sungguh berat, terutama bagiku, mungkin bagi Tante U hal itu sudah biasa, karena hubungan sex buat dia hanya merupakan suatu kebutuhan biologis semata, tanpa melibatkan perasaan. Namun lain halnya denganku, aku sempat merasa kesepian dan rindu yang amat sangat terhadapnya, karena sejak pertama kali aku tidur dengannya, hatiku sudah terpaut dan mencintainya.
Sejak aku mengenal Tante U, aku mulai mengenal beberapa wanita teman Tante U, mereka semuanya sudah berkeluarga dan usianya lebih tua dariku. Wanita lain yang sering kutiduri adalah Tante H; dan Tante A seorang janda cina yang cantik. Jadi semenjak kepindahan Tante U ke Medan, merekalah yang menjadi teman kencanku. Karena Tante H dan Tante A sudah berstatus janda, maka tidak ada kesulitan bagi kami untuk mengatur kencan kami.
Hampir setiap hari aku menginap di rumah Tante H. Dengan Tante H boleh dikata setiap hari aku melakukan hubungan intim tidak mengenal waktu dan tempat. Pagi, siang sore atau malam, di kamar, di ruang tamu, di dapur bahkan pernah di teras belakang rumahnya. Teradang kami main bertiga, yakni aku, Tante H dan Tante A. Di rumah Tante H benar-benar diperas tenagaku. Sesekali waktu aku harus melayani teman Tante H yang datang ke sana untuk menghisap tenaga mudaku. Aku sudah tidak perduli lagi rupanya, aku dijadikan gigolo oleh Tante H. Pokoknya asal aku suka mereka, maka langsung kulayani mereka.
Suatu saat aku bertemu dengan seorang gadis. Cantik dan sexy banget body-nya. Dian namanya, teman adik perempuanku. Dengan keahlianku, maka kurayu dan kupacari Dian. Suatu hari aku berhasil mengajaknya jalan-jalan ke suatu tempat rekreasi. Di suatu motel, akhirnya aku berhasil menidurinya. Aku agak kecewa, rupanya Dian sudah tidak perawan lagi. Namun perasaan itu kupendam saja. Kami tetap melanjutkan hubungan, dan setiap kali bertemu, maka kami selalu melakukan hubungan badani.
Rupanya Dian benar-benar ketagihan denganku. Tidak malu-malu dia mencariku, dan bila bertemu langsung memintaku untuk menggaulinya. Tapi aneh, Dian tidak pernah mengajakku, bahkan melarang aku datang ke rumahnya. Kami biasa melakukan di motel atau hotel melati di kotaku, beberapa kali aku mengajak Dian ke rumah Tante H. Kuperkenalkan Tante H sebagai familiku, dan tentunya aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk bercumbu dengannya di kamar yang sering aku dan Tante H gunakan bercumbu.
Suatu hari, entah kenapa, tiba-tiba Dian memintaku untuk main ke rumahnya, katanya dia berulang tahun. Dengan membawa seikat bunga dan sebuah kado aku ke rumahnya. Aku pencet bel pintu dan Dian yang membukakan pintu depan. Aku dipersilakan duduk di ruang tamu. Segera Dian bergegas masuk dan memanggil mamanya untuk diperkenalkan padaku. Aku terkejut dan tergagu melihat mamanya, sebab perempuan itu. Ya.. mamanya Dian sudah beberapa kali tidur denganku di rumah Tante H.
Mama Dian nampak pias wajahnya, namun segera mama Dian dapt cepat mengatasi keadaan. Mama Dian berlagak seolah-olah tidak mengenalku, padahal seluruh bagian badannya sudah pernah kujelajahi. Beberapa saat Mama Dian menemani kami ngobrol. Dengan sikap tenangnya aku pun menjadi tenang pula dan mampu mengatasi keadaan. Kami ngobrol sambil bercanda, dan nampak terlihat bahwa Mama Dian benar-benar seorang Ibu yang sayang pada putri tunggalnya itu.
Keesokan harinya, Mama Dian menemuiku. Di ruang tamu rumah Tante H, Mama Dian menginterogasiku, ingin tahu sudah sejauh mana hubunganku dengan Dian. Aku tidak mau segera menjawab, tanganku segera menarik tangannya dan menggelandang tubuhnya ke kamar. Dia berusaha melepaskan peganganku, namun sia-sia, tanganku kuat mencekal, sehingga tidak kuasa dia melepaskan tangannya dari genggamanku.
Kukunci pintu kamar dan segera kuangkat dan rebahkan tubuhnya di atas kasur. Segera kulucuti pakaianku hingga aku telanjang bulat, dan segera kutindih tubuhnya. Dia meronta dan memintaku untuk tidak menidurinya, namun permintaanya tak kuindahkan. Aku terus mencumbunya dan satu persatu pakaiannya kulucuti, dan akhirnya aku berhasil memasukkan penisku di vaginanya. Begitu penisku melesak masuk, maka Mama Dian bereaksi, mulai membalas dan mengimbangi gerakanku. Akhirnya kami berpacu mengumbar nafsu, sampai akhirnya Mama Dian sampai pada puncak kepuasan.
Peluhku bercucuran menjatuhi tubuh Mama Dian, kuteruskan hunjaman penisku di vaginanya. Mama Dian mengerang-erang keenakkan, sampai akhirnya orgasme kedua dicapainya. Aku terus genjot penisku, aku benar-benar kesal dan marah padanya, karena aku tahu dengan kejadian itu maka bakalan usai hubunganku dengan Dian, padahal cinta mulai bersemi di hatiku.
Sambil terus kugenjot penisku di vaginanya, kukatakan padanya bahwa Dian juga sudah sering aku tiduri, namun aku sangat mencintai, menyayangi bahkan ingin menikahinya. Aku katakan semua itu dengan tulus, sambil tidak terasa air mataku menetes. Akhirnya dengan hentakan yang keras aku mengejan kuat, menumpahkan segala rasa yang kupendam, menumpahkan seluruh air maniku ke dalam kemaluannya. Badanku terasa lemas, kupeluk tubuh Mama Dian sambil sesenggukan menangis di dadanya. Air mataku mengalir deras, Mama Dian membelai kepalaku dengan penuh rasa sayang. Kemudian dikecup dan dilumatnya bibirku.
Tubuhku berguling telentang di samping kanan tubuhnya. Mama Dian merangkul tubuhku, menyilangkan kaki kiri dan meletakkan kepalanya di dadaku. Terasa kemaluannya hangat dan berlendir menempel di perutku, tangan kirinya mngusap-usap wajahku. Tidak henti-hentinya mulutnya menciumku.
Sambil bercumbu, kuceritakan semua kisah romance-ku, hingga aku sampai terlibat dalam pergaulan bebas di rumah Tante H. Dengan sabar didengarnya seluruh kisahku, sesaat kemudian kembali penisku menegang keras. Segera tanganku bergerilya kembali di liang kemaluannya, selanjutnya kembali kami berpacu mengumbar nafsu kami. Kami bercumbu benar-benar seperti sepasang pengantin baru saja layaknya. Seolah tidak ada puasnya. Sampai akhirnya kami kembali mencapai puncak kepuasan beberapa kali.
Setelah babak terakhir kami selesaikan, Mama Dian bangkit dan menggandengku menuju kamar mandi, kami mandi berendam bersama di kamar mandi sambil bercumbu. Sambil berendam kami bersenggama lagi. Setelah puas, kami menumpahkan hasrat kami, kami keringkan tubuh kami dan segera berpakaian. Nampak sinar puas membias di wajah Mama Dian.
Dengan bergandeng tangan kami keluar kamar, kupeluk pinggangnya dan kuajak menuju ke ruang tamu. Kami duduk berdua, kemudian berbincang mengenai kelanjutan hubunganku dengan Dian. Mama Dian ingin agar hubunganku dengan Dian diakhiri saja, walaupun kami sudah begitu jauh berhubungan, sekalipun Dian sudah hamil karenaku. Dia memberikan pandangan tentang bagaimana mungkin aku menikahi Dian, sedangkan aku dan Mama Dian pernah berhubungan layaknya suami istri, sebab bagaimanapun kami akan tinggal serumah. Bagaimana mungkin kami melupakan begitu saja affair kami, rasanya tidak mungkin.
Aku dapat mengerti dan menerima alasan Mama Dian, namun aku bingung bagaimana cara menjelaskan kepada Dian. Aku tidak sanggup kalau harus memutuskan Dian. Akhirnya aku mengatakan ideku pada mama Dian. Selanjutnya selama beberapa hari aku tidak menemui dan sengaja menghindari Dian. Mamanya memberitahu kalau Dian saat ini dalam keadaan hamil 2 bulan akibat hubungannya denganku.
Pada suatu hari, aku ditelpon Mama Dian. Dia memberitahu kalau Dian sedang menuju ke rumah Tante H untuk mencariku. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Saat itu Tante H sedang menyiram tanaman kesayangannya di kebun belakang, segera kuhampiri dia dan kuajak dia ke kamar yang biasa aku dan Dian pakai untuk berkencan. Kulucuti seluruh pakaian Tante H dan juga pakaianku sendiri, selanjutnya kami bersenggama seperti biasanya.
Tidak berapa lama Dian datang dan langsung menuju ke kamarku. Terdengar pekik tertahan dari mulutnya saat melihat adegan di atas ranjang, dimana aku dan Tante H sedang asyik bersenggama. Terdengar pintu kamar dibanting, Dian pulang ke rumah dengan hati yang amat terluka. Tante H merasa tidak tega dengan kejadian itu, Tante H memintaku untuk segera menyusul Dian, namun tidak kuhiraukan, bahkan aku semakin keras dan cepat menghentakan penisku di liang kemaluannya.
Tante H mengerang-erang keenakan, mengimbangi dengan gerakan yang membuat penisku semakin cepat berdenyut. Kami mencapai orgasme hampir bersama, aku berguling dan menghempaskan badanku ke samping Tante H. Mataku menerawang jauh menatap langit-langit kamar, air mataku bergulir membasahi pipiku. Inilah akhir hubunganku dengan Dian, akhir yang amat menyakitkan. Dian pergi dariku dengan membawa benih anakku di rahimnya. Musnah sudah impian dan harapanku untuk membina rumah tangga dengannya.
Tante H menghiburku, dia mengingatkan aku bahwa aku sudah membuat keputusan yang benar. Jadi tidak perlu disesali. Didekapnya tubuhku, aku menyusupkan wajahku ke dada Tante H, ada suatu kedamaian di sana, kedamaian yang memabukkan, yang membangkitkan hasrat kelelakianku lagi. Sesaat kemudian kami berpacu lagi dengan hebat, hingga beberapa kali Tante H mencapai puncak kepuasan. Aku memang termasuk tipe pria hypersex, dan mampu mengatur timing orgasmeku, sehingga setiap wanita yang tidur denganku pasti merasa puas dan ketagihan untuk mengulangi lagi denganku.
Beberapa hari kemudian aku terima telpon Dian. Sambil terisak, Dian pamit padaku karena dia dan mamanya akan pindah ke Surabaya. Aku minta alamatnya, tapi Dian keberatan. Dari nada suaranya nampak Dian sudah tidak marah lagi padaku, maka aku memohon padanya untuk terakhir kali agar dapat aku menemuinya. Dian mengijinkan aku menemuinya di rumahnya, segera aku meluncur ke rumahnya. Untuk inilah saat terakhir aku berjumpa dengan kekasihku.
Kupencet bel pintu, Mama Dian membuka pintu dan mempersilakan aku masuk. Nampak wajahnya masih berbalut duka dan kesedihan, dia amat merasa bersalah karena menjadi penyebab hancurnya hubunganku dengan Dian. Mama Dian menggandengku menuju ruang keluarga, nampak Dian kekasihku duduk menungguku.
Melihatku, Dian bangkit dan menghampiriku, tidak kusangka pipiku ditamparnya dengan keras. Kubiarkan saja agar rasa kesal dan tertekan di hatinya terlampiaskan. Dian berdiri bengong setelah menamparku, dilihat tangannya dan pipiku bergantian seolah tak percaya akan apa yang dia lakukan. Tiba-tiba ditubruk dan dipeluknya badanku, dibenamkan wajahnya ke dadaku sambil sesenggukan menumpahkan tangisnya. Aku peluk tubuhnya dan kuelus rambutnya.
Agak lama kami demikian, kami menyadari bahwa saat inilah saat terakhir bagi kami untuk bertemu. Mama Dian mendekat dan merangkul kami berdua dan membimbing kami untuk duduk di kursi panjang. Kami bertiga duduk sambil berpelukan, Mama Dian di tengah, kedua tangannya memeluk kami berdua.
Akhirnya kesunyian di antara kami terpecahkan dengan ucapan Mama Dian. Mama Dian mengatakan memberi kesempatan pada kami untuk memutuskan, apakah akan kami lanjutkan hubungan kami atau kami putuskan sampai disini saja. Berat sekali rasanya, jika kami teruskan hubungan kami maka berarti aku memisahkan jalinan kasih ibu dan anak tunggalnya ini. Aku menyerahkan keputusan akhir pada Dian. Sambil terisak, Dian akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, saat kuingatkan bahwa di rahimnya ada benih anakku, Dian menjawab biarlah, ini sebagai tanda cinta kasih kami berdua, Dian akan tetap memelihara kandungannya dan akan membesarkan anak itu dengan kasih sayangnya.
Beberapa saat kemudian aku berpamitan, dengan berat Dian melepaskan pelukanku, namun sebelum kami berpisah, sekali lagi Dian memintaku untuk menemaninya. Ditariknya aku ke kamarnya, dan dengan penuh kasih sayang, dibukanya pakaianku dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Kami berdiri berpelukan dengan tanpa sehelai benang menempel pada tubuh kami. Kucumbui Dian kekasihku untuk terakhir kalinya, kugenjot penisku di vaginanya dengan lembut dan penuh perasaan, aku khawatir kalau-kalau genjotanku akan menyakitkan anakku yang ada di rahimnya.
Semalam kami bercengkerama, pada pagi keesokan harinya aku berpamitan. Dengan perasaan yang amat berat, dilepas kepergianku. Aku berpamitan pula pada Mama Dian, kucium punggung tangannya sebagai tanda kasih anak ke ibunya, ditengadahkan wajahku dan dikecupnya keningku dengan penuh rasa sayang. Aku menitipkan anakku pada Dian, dan mohon padanya agar memberi kabar saat kelahirannya nanti. Sampai disitulah akhir hubunganku dengan Dian dan mamanya.
Bersambung . . . . .