Rini meliukkan lehernya. Kepalanya menggiring bibirnya meluncur ke leher Pakde. Dia memberikan sedotan cupang di seputar leher dan kuduknya. Bulu-bulu Pakde tegak merinding.


Kecupan dan jilatan itu mendongkrak saraf-saraf birahinya. Dan bibir seta lindah terus merambat meluncur turun ke dadanya. Dia kecupi buah dada Pakde dan bibirnya serta lidahnya menggigit dan menjilati puting-puting susunya. Nampak betapa bibir-bibir mungil istrinya membuka dan mengatup mengecupi bukit-bukit dada itu. Sesekali lidahya menjulur untuk menjilati berbagai rasa yang keluar dari pori-pori tubuh Pakdenya. Kini yang didengar Herman adalah desis Pakde yang menahan geli birahi akibat ulah istrinya itu. Tak puas-puasnya Rini menyedoti dada Pakde. Terkadang rambatan bibirnya juga menepi ke kanan atau ke kiri dada hingga semburat aroma ketiak Pakdenya yang tampan itu menerpa hidung Rini.


Rambatan ciuman itu terus meluncur turun keperut Pakdenya. Bulu-bulu halus mulai Rini rasakan di lidahnya. Bulu-bulu itu tumbuh berkesinambungan dari arah lebih bawah lagi. Bulu-bulu itu menjadi awal bagi lidah dan bibir Rini memasuki wilayah kemaluan Pakde Karto. Nampak penisnya yang tegak kaku bak tugu Monas itu seakan mengganjal leher dan bahu Rini. Dengan pipinya Rini menyisihkan batang tegak kaku itu untuk membuka jalan menggiring bibirnya terus turun hingga ke selangkangan Pakde. Beberapa kali Pakde menyibak sebaran rambut Rini agar tidak mengganggu alur lidah dan bibirnya yang terus berkecipak menyedot dan menjilat. Dia rasakan sangat nikmatnya bak siput sawah yang sedang merambati wilayah selangkangannya.


Tentu saja kini posisi duduk Pakde harus disesuaikan dengan kejaran nikmat bibir Rini ini. Dia memerosotkan tubuhnya pada bantalan sofa itu untuk memberikan ruang yang lebih terbuka kepada Rini saat mulai menggarap kedua selangkangannya. Dan kini wajah Rini benar-benar terjebak dalam rimbunan bulu kemaluan di seputar selangkangan Pakde Karto. Sesekali nampak kepalanya menggeleng kecil untuk mendorong agar lidah atau bibirnya bisa menjangkau pori-pori selangkangan itu.


Nampaknya Pakde tak mampu menahan kegelian yang melandanya. Dengan kedua tangannya dia merengkuh dan menjambak rambut Rini. Dia merintih sambil seakan hendak mencabut-cabut akar rambut itu. Dan rintihan Pakde itu membuat Rini semakin ganas serta liar untuk meningkatkan serangan birahinya. Pipinya yang semula digunakan untuk menyisihkan penis, kini dia gunakan untuk menariknya kembali. Batangan penis Pakde yang tonggak kaku itu mulai dia jilati. Dia tusukkan lidah lembutnya pada lubang kencing Pakde. Lubang kencing yang nampak macam belahan jamur merang itu langsung merah merekah menahan desakan darah syahwat yang menjalari penisnya.


Betapa nikmat saat lidah menyentuh saraf-saraf peka pada lubang itu. Gelinjangnya membuat Pakdenya seakan melonjak dari tempat duduknya. Mungkin itu semacam kekagetan saraf menerima sentuhan lembut lidah Rini yang sangat merangsang syahwatnya. Dan kemudian Rini mengkulum seluruh kepala dan batang penis itu. Dia memompa, menyedot, menjilat, mengkulum tonggak bulat panas yang kaku dan berkilatan dengan urat-urat yang kasar mengelilingi seluruh geligirnya.


Pemilik tonggaknya mendesah keras dan merintih dalam gelombang nikmat yang datang bertubi.


Herman memperhatikan betapa mata istrinya merem melek menikmati kelakuannya sendiri itu. Dan juga bertanya, kenapa dia nggak pernah menerima perlakuan macam itu selama 3 tahun perkawinan ini?? Adakah ini karena kepiawaian Pakde Karto dalam menggiring birahi Rini? Sehingga membuat seluruh potensi syahwat istrinya terdongkrak keluar?


Rambut Rini yang panjang sering menghalangi pandangan Herman pada apa yang sedang berlangsung. Nampaknya Rinilah yang sekarang ganti memanjakan Pakde Karto dengan oralnya. Dia ciumi dan jilat bijih-bijih pelir Pakde. Lidahnya bolak-balik melata merambati pangkal hingga ujung kemaluan yang tegak kaku itu. Pakde Karto tidak keliru membaca perempuan. Betul-betul kini dia serasa terbang melayang diangkasa nikmat. Apa yang kini sedang dilakukan Rini sesuai dengan bacaannya. Rini adalah perempuan seksual yang sangat galak dan panas. Perempuan dengan betis 'merit' macam istri Herman ini tak mudah dipuaskan. Oleh karenanya pada garapan awal tadi Pakde Karto pusatkan pada bagaimana Rini bisa cepat disambar syahwatnya hingga tinggal kehendaknya sendirilah yang akan mendorong cepat atau lambat datangnya orgasmenya. Dan itu sudah terjadi.


Kini perempuan ini sudah kembali menimba birahinya. Kenikmatan orgasme beruntun yang dia rasakan tadi membuatnya ketagihan. Lihat, kini dia akan berusaha orgasmenya berulang kembali. Dia pikir dengan merangsang penisnya Pakde Karto akan cepat mengejar nafsunya. Dan harapan Rini untuk digenjoti lagi oleh Pakde akan kesampeyan. Tetapi dia keliru. Pakde Karto bukan anak kemarin sore. Dia bukan Herman. Kenikmatan yang kini diberikan Rini akan di 'follow up' di mulut Rini sendiri. Kini Pakde sedang mengamati dengan penuh nafsu bagaimana mulut cantik mungil Rini mengecupi penisnya. Dia mengamati bibir-bibir seksi istri Herman ini berkecipak melahap batang penisnya. Dia ingin bibir ini nantinya belepotan oleh semprotan spermanya. Dia ingin sekali menumpahkan air maninya ke mulut Rini. Dia pengin menyaksikan bagaimana Rini menenggak cairan kentalnya. Ya, dia ingin sekali. Bahkan dia mungkin akan sedikt paksa Rini untuk menjilati cairan kentalnya yang tercecer. Itulah nafsu hewaniah Pakde Karto yang kini merundung dirinya. Tangan-tangannya kembali mengelusi lembut kepala Rini, sementara khayalan birahinya terbang melesat ke awang-awang untuk menjemput puncak-puncak nikmatnya. Dia mulai mengerang dan mendesis. Dan Rini terjebak.


Dia menikmati erang dan desis Pakde dengan cara lebih meliarkan jilatan dan gigitan-gigitannya.


Tetapi situasi berikutnya berubah. Kendalinya terlepas dan diambil alih Pakde Karto. Tanpa mau melepas rengkuhan Rini pada penisnya Pakde bangkit dari sofa empuk itu. Dibimbingnya Rini untuk naik kesofa dengan kepalanya bersandar pada ke bantalannya. Dengan penisnya yang tak pernah lepas dari mulut lembut Rini, kini posisi Pakde berada di atasnya dengan selangkangnnya mengangkang di atas dada Rini. Sementara Rini masih berpikir bahwa sesaat lagi Pakde akan merambati tubuhnya untuk menusukkan kembali kemaluannya pada vaginanya.


Tetapi sekali lagi harapan Rini ini keliru. Kini Pakde seperti sedang kerasukan nikmat dan merasakan bagaimana seakan spermanya datang dari seribu arah menjalari berjuta saraf-saraf di seputar selangkangannya untuk meledak dan tumpah di mulut Rini. Dan ketika batas batas sarafnya telah terlanggar oleh birahi, dengan suara erangan yang keras dari mulutnya dengan disertai tangan-tangannya yang kuat menekan kepala Rini agar tetap terpaku di sofa selama penis Pakde tetap menghunjam-hunjam ke rongga mulut Rini, Pakde telah siap menyemprotkan air maninya ke mulutnya. Dan Rini memang tak lagi mampu berkutik. Tekanan tangan Pakde terlampau kuat untuk ditolak. Akhirnya dia menyadari apa yang Pakde mau. Dia langsung pasrah. Bahkan selintas dia sempat berpikir tentang Herman. Biarlah Herman menyaksikan apa yang memang dia harus saksikan.


Sperma Pakde tumpah ruah menyemprot membanjir memenuhi mulutnya. Anggukan-anggukan penis Pakde menandai setiap semprotan spermanya. Mulut manis mungil Rini tak mungkin menampung seluruhnya. Sebagian tertelan membasahi tenggorokannya, sebagian lainnya muncrat tercecer ke dagunya, dadanya dan juga ke jok kulit sofa buatan Italy itu. Saat akhirnya Rini benar-benar menjilati sperma yang tercecer dia ingat kembali saat bersama Pandi di Parangtritis itu. Dan Pakde Kartopun terpenuhi harapannya.


Herman terbengong-bengong menyaksikan bagaimana nafsu liarnya Rini di atas sofa bersama Pakde Karto itu. Benar-benar tak habis mengerti, bahwa Rini yang kesehariannya cantik dan lembut itu bisa berubah menjadi malaikat seks yang dengan ganas membawa prahara birahi untuk menenggelamkan nafsu Pakdenya kedalam nikmat syahwat yang tak pernah dia berikan pada siapapun sebelumnya. Pakde Karto merasa bahwa menganggap lunas hutang suaminya amat sepadan dengan apa yang di berikan Rini kepadanya. Dielusinya dengan penuh kasih sayang kepala Rini yang kini bersandar di dadanya. Pakde mendapatkan kepuasan yang luar biasa dengan hadirnya Rini ini.


Dari balik pot-pot yang tidak jauh dari sofa Pakde dan istrinya Herman terduduk loyo. Sekali lagi ia semakin tak mampu berkilah lagi. Kepengecutannya sebagai lelaki membuat semakin tak mungkin mampu menyaingi kelebihan Pakdenya. Kesalahannya yang membuat tenggelam dalam judi togel itu membuat dia benar-benar tak lagi merasa punya hak untuk marah maupun cemburu. Dia akan sepenuhnya menerima apa yang dilakukan Pakde pada isterinya. Dari berbagai sudut dia sudah salah dan kalah total. Apalagi nampaknya Rini sendiri akhirnya demikian menikmati hubungannya dengan Pakde. Mungkin juga bagi Rini Pakde lebih bisa memberikan kepuasan nafsunya dibanding dia. Ya, sudahlah..


Yang kini masih dia miliki adalah hak untuk ikut menikmati. Dia jadi begitu menyala birahinya kalau melihat isterinya di'entot' orang lain. Dia sangat terobsesi saat melihat wajah isterinya begitu histeris oleh kenikmatan syahwat yang diterima dari Pakde. Dia sangat terobsesi pula saat melihat isterinya begitu rakus menjilati dan minum air mani Pakde Karto. Rasanya Herman juga ikut merasakan bagaiman lendir hangat Pakdenya mengalir membasahi tenggorokan isterinya. Dan lepas dari semua hal itu, yang benar-benar melegakan Herman sekarang adalah lunasnya hutang-hutangnya dari Pakde Karto. Dia kini siap menjalani hidup baru tanpa beban hutang-hutang. Dia kini bertekad untuk tidak lagi main togel. Dia akan mencoba menepis godaan teman-temannya. Atau mungkin dia tak akan bergaul lagi dengan mereka. Karena merekalah kini Herman merasa sengsara. Dan nyatanya pada saat seperti ini mereka tak mampu membantu apapun.


Terlihat Pakde dan isterinya bangkit dari sofa menuju ke kamarnya. Adakah mereka akan melanjutkan permainannya. Sangat mungkin. Bukankah situasi macam begini yang Pakde impikan sejak pertama kali beberapa waktu yang lalu dia melihati Rini tanpa berkedip. Dan bagi Rini, bukankah lelaki macam Pakde ini yang telah terbukti bisa memuaskan syahwat birahinya?!


Dan bagi Herman, apa yang bisa dibuat selain kembali ke lubang pengintaian di balik dinding kamarnya?! Rupanya sate kambing tadi telah memberikan semangat dan kekuatan pada semua orang.


Dari kamarnya Herman melihat Rini langsung rebah ke ranjang. Dalam jubah tidurnya yang nyaris tak dipakai secara utuh, Rini setengah tengkurap memeluki bantalnya. Nampak kaki dengan paha dan betisnya yang tersingkap dari pakaiannya terjuntai ke tepian ranjang. Dan Pakde dengan jubah tidurnya yang telah terbuka pula siap menyusul. Tetapi tidak. Pakde tidak menyusul naik ke ranjang. Pakde kini simpuh di lantai tepat di ujung kaki Rini. Apa yang akan dia lakukan? Ah, ini sangat menarik, pikir Herman.


Pakde pelan menjamah kemudian mengelusi kaki Rini. Dia raba betisnya yang 'merit' itu. Kemudian nampak kepalanya menunduk. Pakde mencium kaki Rini. Mencium telapak kakinya. Menciumi kemudian menjilati. Kemudian juga mengulumi jari-jari kakinya. Jari kaki Rini yang selalu terawat apik itu demikian indahnya dalam kuluman Pakde. Dan Rini seakan kena stroom ribuan watt langsung berteriak mendesisi-desis.


Dia terbangun-bangun menahan geli yang menjalari kakinya. Tanpa terpengaruh oleh ulah isterinya nampak Pakde sangat tenang. Ditahannya dengan tangannya yang kuat kaki-kaki Rini sehingga berontaknya tidak membuat lepasnya kaki dalam pagutannya. Jilatan dan kuluman bibir dan lidah Pakde semakin meratai telapak kaki dan mulai naik ke betisnya. Gelinjang nikmat membadai menghempas-hempaskan gelegak nafsu Rini.


Bersambung...