Aku mulai dapat merasa akan timbulnya "pipis enak". Dari dalam vaginaku, keinginan kencing ini mendesak-desak keluar. Kutarik kepala Surti yang masih terus menggeluti bibirku. Kudorongnya ke bawah, ke memekku. Aku ingin agar Surti memainkan jari-jarinya dalam kemaluanku di barengi dengan ciuman dan jilatannya pada bibir vaginaku. Surti cepat memahami. Tanpa melepaskan jari-jarinya dari lubang vaginaku, Surti melepas bibirnya dari bibirku untuk kemudian meluncur ke dada, perut, ke pusar ke jembut dan akhirnya menuju vaginaku.


Dengan meluruskan badannya agar berada di antara pahaku, dan dengan jari-jarinya yang terus menari-nari merangsang G spot-ku, Surti mendaratkan bibirnya ke vaginaku. Dia menciumi, menyedot dan menjilat-jilat bagian atas vaginaku.


Rasa ingin kencingku akhirnya meledak. Aku mendapatkan orgasme dari perilaku Surti yang sangat obsessive dan liar itu. Banyak sekali cairan birahi yang tumpah dari dalam vaginaku dan mengalir keluar. Untuk melampiaskan emosi birahiku, kutangkap kepala Surti, kuremas-remas rambutnya hingga dandanan rambutnya berantakan. Surti menjadi semakin liar saat menyedot cairan birahiku. Kepalanya digeleng-gelengkan dan ditekan-tekannya ke selangkanganku. Sedemikian bernafsunya bibirnya menyambut cairan kemaluanku. Seperti orang makan buah semangka yang merah ranum hingga kudengar mulut Surti mengeluarkan bunyi. Mulutnya yang indah menjilati dan meminum semua cairan birahiku yang meleleh keluar. Agar dapat lebih banyak menyedot cairan lendir itu, lidahnya menyeruak mengorek seluruh isi liang vaginaku.


Setelah orgasme, aku merasa lemas sekali. Seakan otot-ototku dilolosi dari tubuhku. Aku lunglai. Sebaliknya dengan Surti, yang dengan meminum semua cairan birahi dari lubang vaginaku, nafsunya bahkan semakin memuncak. Dia membiarkanku lunglai di ranjang, tetapi dia sendiri tidak menghentikan serangan nafsunya pada tubuhku. Ciuman dan lidahnya merambati seluruh permukaan pahaku. Dia tinggalkan cupang-cupang sedotannya pada pahaku. Sedotan-sedotannya terasa pedih pada kulitku, hingga terkadang kuangkat kepalanya dan menariknya untuk melepaskan bibirnya yang terasa seperti vacuum cleaner yang menancap di pahaku. Kemudian tanpa ayal dibalikkannya tubuhku agar tengkurap.


Dia benamkan mukanya ke celah bokongku. Dia cium habis-habisan bokongku. Dia masukkan lidahnya ke celah belahan pantatku. Dia berusaha menjilati duburku hingga aku sangat kegelian. Rasa lunglaiku jadi hilang. Birahiku pelan-pelan kembali timbul. Dia angkat pantatku hingga aku tertungging. Dengan posisi itu, di hadapan Surti kini telah terpampang pantatku dengan analnya yang menguak terbuka. Kubayangkan lubang pantatku yang kuncup dilingkari garis-garis lembut kemerahan menuju titik pusat lubang duburku. Tak ayal lagi hidung, bibir dan lidah Surti langsung merangsek pantatku untuk meraih kenikmatan. Aku bergetar dan merinding. Nafsu Surti menjadi sangat binal. Dia mendesah dan mendengus-dengus seperti anjing yang rakus saat menghadapi makanannya hingga tidak mau ada anjing lain yang mendekat karena khawatir akan merebut makanannya itu.


Sementara itu aku mulai kembali terbakar birahi. Lidah Surti yang terus menjilat duburku dan menusuk lubangnya membuatku diserang kegatalan erotis yang amat sangat di seluruh tubuhku. Surti sangat pintar mendongkrak libidoku.


Dengan menggerakkan tanganku ke belakang, aku berusaha meraih kepalanya. Saat akhirnya kudapat, kuremas kembali rambutnya yang memang sudah teracak-acak olehku sejak tadi. Kutekankan wajahnya ke analku. Aku ingin agar Surti lebih dalam lagi melahap duburku. Rupanya saat ini dia sedang menapaki puncak birahinya, racauan mulutnya tak henti-henti.


"Oohh.., oh, ohh, enakk.., enhakk.., Mbak Marinii..".


Kulihat, entah dari mana, tangan kirinya telah menggenggam plastik bening panjang, semacam pipa padat. Itu adalah dildo. Dia tusukkan dildo itu pada lubang vaginanya. Dia mencium dan menjilat analku sambil membayangkan kontol lelaki yang menusuk memeknya. Nampak tangannya mengocok-ngocokkan dildo yang besar dan panjang itu ke vaginanya sendiri. Rintihan dan desahan erotis yang menandakan derita dan siksa nikmat sedang melanda sanubari Surti. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantunya, kecuali dengan ikut mengerang dengan suaraku yang histeris.


"Teruss Surtii.., teruuss.., Surtikuu".


Saat puncak itu datang, Surti menjepitkan dildonya di antara kedua kakinya yang dirapatkan. Kemudian seakan sedang menyetubuhi kontol lelaki yang telentang di ranjang, dia naik turunkan pantatnya untuk membenamkan dildo ke memeknya. Sementara itu tangannya merengkuh erat-erat pinggangku untuk memantapkan posisi wajahnya hingga bibir dan lidahnya terus menciumi dan menjilati duburku. Dia meremas dan menancapkan kuku-kukunya ke bukit pinggulku ketika orgasmenya datang. Dia menjerit dengan keras. Tanganku memperkeras jambakan pada rambutnya untuk membantu mendorong birahinya ke puncak yang paling tinggi. Kemudian Surti rubuh, demikian juga denganku. Aku telentang menghela nafas. Untuk beberapa menit kami saling diam. Sunyi.


"Terima kasih Mbak Marini. Mbak cantiik sekali".


Masih dalam keadaan telentang, Surti mengeluarkan suara sambil melepas senyumnya dan menengok ke arahku. Aku sambut dengan tanganku yang meraih tangannya. Kami saling bersentuhan dan saling meremas.


"Aku lapar, Mbak", kata Surti.


Aku berusaha bangun. Aku sendiri juga lapar dan haus. Kami bersama-sama bangkit dari ranjangku. Dengan kain dan handuk seadanya yang kusambar dari kamarku untuk menutupi tubuh kami, kami menuju dapur dan membuka lemari es.


Kuambil juice orange dingin. Kutuangkan segelas untuk Surti dan segelas untukku sendiri. Kami beristirahat dan minum. Surti lalu mengeluarkan bungkusan dari kantong plastik Carrefour yang dibawanya. Ada kue kering yang siap saji. Dia buka dan kami melahapnya.


Pada kesempatan itu kamu kembali saling pandang dan saling melempar senyum. Kulihat Surti mengamati bagian-bagian tubuhku. Dan aku juga mengamati bagian-bagian tubuhnya. Kami saling mengagumi. Kami saling meraba bagian-bagian tubuh pasangan kami dengan penuh semangat birahi. Aku sangat mengagumi pahanya yang sangat sintal itu. Sebelum bergerak terlalu jauh dan menyadari bahwa badan kami harus tetap tampil segar, kami sepakat untuk makan dulu. Kami beranjak melihat bahan makanan yang tersedia. Melihat oleh-oleh Surti, kami sepakat untuk membuat sirloin steak kesukaanku. Kunyalakan kompor untuk menumis bumbu dan sayuran pelengkapnya. Surti merendamnya dalam saus daging steak kemudian membakarnya. Dengan 2 gelas red wine, 2 gelas juice apple yang kutemukan masih tersedia di lemari es, kami melahap sirloin steak 200 gram kami hingga kenyang. Sebagai penutup kusediakan irisan buah mangga dingin seporsi besar. Kami tertawa, mengingat betapa rakusnya kami di ranjang maupun di meja makan. Surti mengatakan kalau dirinya makan banyak masih masuk akal. Tetapi kalau dia melihatku juga makan sebanyak yang dia makan, dia merasa heran, kemana saja makanan yang telah kutelan hingga perutku tetap langsing?


"Atau di sini, ya?", kelakarnya sampil tangannya meraup nonokku yang memang montok menggembung.


Aku tertawa. Kami saling berseloroh. Usai makan dan puas berseloroh, Surti berdiri dari kursinya menuju ke belakang kursiku dan kurasakan saat hidungnya mencium kepalaku.


"Sayang, aku ingin lagi, sayang..", sambil tangannya turun ke dadaku meremas payudaraku dan terus memilin-milin puting-putingku.


Aku melenguh pelan. Aku mendongakkan wajahku ke belakang hingga menghadap wajahnya. Wajahnya langsung menjemput wajahku hingga bibirku bertemu bibirnya. Kami saling mencium. Tangan kanannya turun ke selangkanganku untuk meremas nonokku yang menggunung itu, sementara tangan kirinya tetap meremas payudaraku. Aku menggelinjang kembali. Birahiku terbit kembali. Ciuman Surti yang semakin penuh perasaan dan mendalam semakin mendongkrak libidoku. Suara desahan kami saling bersahutan.


Kini aku ingin mengekspresikan diriku. Aku ingin mengekspresikan obsesiku. Aku ingin meraih sendiri kenikmatan madunya Surti. Aku ingin menciumi buah dadanya yang nampak sangat ranum di balik blusnya itu. Aku juga ingin menciumi ketiak, perut, pahanya yang sangat sintal, selangkangan, celana, kelentit maupun vaginanya. Aku jadi terbakar. Aku berdiri dari kursiku. Kembali kubimbing Surti ke peraduanku. Aku tak tahan lagi menahan gejolak libidoku sendiri. Aku ingin menumpahkan seluruh obsesiku.


Kodorong dia agar telentang di tempat tidur. Dia langsung memahami keinginanku. Dia menunggu. Tanganku menarik lembaran handuk yang membungkus tubuhnya. Tubuh jangkung indah itu kini telanjang bulat di hadapanku. Aku meneguk air liurku. Aku merangkaki tubuhnya. Kulumat bibirnya sepenuh perasaan. Kunyanyikan "gita cinta" dari gebu birahiku. Kutenggelamkan wajahku ke buah dadanya yang besar. Lidah dan bibirku dengan liar mengecup dan menjilat bukit-bukit sensual milik Surti itu. Kuhisap-hisap puting payudaranya. Dia kini mendesah dan menjerit kecil. Dia angkat kedua tangannya ke atas hingga nampak ketiaknya yang terbuka. Dia menginginkanku agar menjilati ketiaknya. Aku menyambutnya dengan sepenuh geloraku. Kubenamkan wajahku ke lembah ketiaknya. Bau kecut alami ketiaknya seketika menyergap hidungku.


Surti mengeluarkan desah dan rintih yang sangat mengundang birahi. Kemudian aku mulai merayap ke bawah. Kujilat perutnya yang langsing. Pusarnya kuhisap-hisap. Ludahku kuyup menutupi dataran perutnya yang lembut itu. Aku turun lagi hingga kurasakan jembut halusnya pada lidahku. Aku turun lagi kemudian bangkit. Aku ingin memulainya dari yang paling bawah. Aku turun ke lantai. Kuraih kakinya. Inilah kesukaanku. Kujilati kaki-kakinya, jari kakinya, telapak kakinya. Kemudian aku merayap naik menjilati betisnya. Kusedot pori-porinya. Kubuat agar kuyup dengan ludahku.


Aku terus naik ke pahanya. Aku serasa menghadapi lapangan luas untuk bibir dan lidahku bermain. Paha si jangkung yang sangat sintal kini terpampang bebas di hadapanku. Aku merebahkan diri di situ. Aku mulai mencium dan menjilatinya. Aku tak ingin satu titikpun terlewat dari kecupan dan jilatanku. Aku bergetar dan menggigil. Aku menikmati lembah birahi yang sangat kudambakan. Saat wajahku sampai di selangkangannya, aroma dan semerbak wangi vaginanya demikian menusuk hidungku. Aku terus menjilat dan mengendusnya.


Kini kutemukan kemaluannya yang menggelembung indah di antara selangkangannya. Bibirku langsung merasakan demikian getas kemaluannya. Bibir-bibirnya merekah keras menahan darah yang mengalir di sana. Kelentit atau itilnya juga mengeras. Itilnya yang besar dan kencang itu kukulum. Lidahku menembus lubang vaginanya. Kembali Surti mendesah dan merintih dengan sangat menggairahkan. Dia menggelinjang. Tubuhnya menggeliat kuat-kuat hingga aku sering terlempar. Pantatnya terangkat menjemput lidahku agar menjilat lebih dalam lagi ke nonoknya. Tangannya meremasi bantal.


"Ampun Mbak Mar.., ampun Mbak Mar..", hanya itu yang dia racaukan berulang-ulang.


Bersambung...