Pengalaman ini terjadi sekitar tujuh tahun lalu. Saat itu aku masih bujangan dan tinggal bersama orang tuaku di kota X. Di sebuah kawasan yang tergolong padat penduduk. Jarak antara satu rumah dengan lainnya berhimpitan dan cenderung kumuh. Maklum kebanyakan yang tinggal dari kalangan ekonomi papan bawah.


Persis di belakang rumahku, tinggal keluarga Pak Was. Pria yang berprofesi sebagai penarik becak ini hidup bersama Bi Nah istrinya dan anak bungsunya Karni yang masih balita. Sedang kedua anak mereka yang lain, Sri dan Drajat, telah merantau ke Jakarta dalam usia yang masih cukup belia.


Bi Nah punya usaha sampingan menjual kupon judi, semacam "Togel" yang populer sekarang ini. Hingga di rumahnya selalu banyak orang baik untuk merumus maupun memasang taruhan. Termasuk aku yang sering diminta untuk menulis dan mencatat taruhan pemasang dengan upah beberapa ribu rupiah. Sedang Pak Was, kalau sedang tidak narik becak lebih senang mabuk dengan Pak Dal, temannya yang berprofesi sebagai tukang kayu. Rumah Pak Dal berjarak sekitar delapan rumah dari rumah Pak Was.


Lama bergaul dengan keluarga Pak Was aku merasakan adanya keganjilan. Yakni soal hubungan Pak Dal dan Bi Nah. Keakraban keduanya, sepertinya tidak lazim. Di samping mereka sering ngobrol intim dan berbisik-bisik, beberapa kali aku memergoki tangan Pak Daliri meraba dan meremas pantat Bi Nah. Tentu saja saat Pak Wasjud tidak di rumah.


Saat itu usia Bi Nah menjelang 40 tahun. Memang sih wajahnya tidak tergolong cantik dan berkulit sawo matang. Namun dengan sosoknya yang tinggi besar dan berbuah dada menantang, wanita itu memang masih mampu menggetarkan syahwat laki-laki. Aku malah sering dibuat kelabakan bila melihat kancing dasternya yang terbuka mempertontonkan sebagian busungan payudaranya. Cara berpakaian Bi Nah memang sering sembarangan. Tetapi apa mungkin Pak Dal punya hubungan khusus dengan Bu Nah mengingat ia teman akrab Pak Was? Pikiran dan pertanyaan semacam itu sering melintas-lintas dalam anganku yang akhirnya terjawab juga.


Malam itu, sekitar pukul 22.30 WIB, terlihat Pak Was menaiki sepada onthel milik Pak Dal. Ia melintas melewati depan rumahku. "Mau kemana Pak?" sapaku. Ia berhenti, "Ini Rin mau beli sate dan anget-anget," jawabnya. Lalu sebelum kembali menggenjot pedal sepada yang dinaikinya, "Nanti kamu ke rumah ya, ikut makan sate," ujarnya lagi dan aku mengiyakan.


Aku senang dengan tawarannya itu karena memang sedang lapar. Tetapi kemana membeli sate dan minuman keras di malam selarut ini? Memang ada, tetapi jaraknya lebih dari tiga kilometer. Apa Pak Was harus pergi ke tempat sejauh itu? Ah, masa bodo yang penting kalau dapat bisa ikut makan.


Karena tawaran Pak Was, kendati aku yakin ia belum sampai, aku bermaksud ke rumah tetanggaku itu. Aku keluar lewat pintu dapur dengan membawa kunci agar mudah kalau mau pulang. Rumah Pak Was memang behimpit dengan pintu dapur rumahku dan hanya dibatasi lontrong sempit. Saat berada di lontrong kudengar suara mencurigakan. Suara mendesah Bi Nah yang diselingi suara lain dari laki-laki. Sepertinya suara Pak Dal. Arah suara itu datangnya dari kamar Pak Was dan istrinya.


Aku jadi ingin tahu. Bercampur kecurigaan yang selama ini kupendam, dengan berjingkat kudekati bagian kamar rumah Pak Was yang berdinding bambu. Aku merapat ke dinding. Jelas kudengar arahnya dari dalam kamar. Maka segera kucari lubang untuk mengintip yang tidak begitu sulit kudapatkan karena cukup banyak dindingnya yang berlubang.


Ah, benar seperti yang kukira. Bi Nah dengan Pak Dal memang selingkuh. Di kamar itu kulihat Bi Nah duduk di pangkuan Pak Dal yang terduduk di tepian ranjang. Keduanya sama-sama telanjang tanpa sehelai benang menutupi tubuh. Bahkan mulut Pak Dal tengah asyik mengulum dan menghisapi puting susu sebelah kiri Bi Nah. Sedang tangannya menggerayang dan meremasi yang sebelah kanan. Sesekali dipilin-pilinnya putingnya yang coklat kehitaman dan tampak mencuat.


Beberapa kali memang aku sempat melihat buah dada wanita itu. Tetapi hanya sebagian. Terutama bila ia tidak mengancingkan semua kancing dasternya. Terlebih bila di rumah, ia memang kerap tidak mengenakan kutang. Tetapi melihat keseluruhannya jauh lebih indah. Besar dan nampak masih kenyal. Pantas Pak Dal begitu asyik dengan mainannya itu sampai Bi Nah mendesah dan menggelinjang.


Jakunku turun naik dan degup jantungku kian terpacu saat Pak Dal mengganti permainan. Lepas dari buah dada Bi Nah, tangan Pak Dal merosot dan merayap ke paha dan selangkangan wanita itu. Bi Nah merenggangkan kaki. Seperti memberi kemudahan pada pasangannya untuk beraksi. Kini, kemaluan wanita itulah yang menjadi sasaran obok-obok tangan Pak Dal. Karena keterbatasan penerangan di dalam kamar, aku memang tidak bisa melihat secara detail bentuk kemaluan Bi Nah. Terlebih segera tertutup tangan Pak Dal yang mulai mengusap dan mungkin mencolek-coleknya. Namun sepintas, dari kehitaman yang nampak, aku yakin memek Bu Nah lebat tertutup oleh rambut yang tumbuh di sekitarnya.


Keseluruhan bangun tubuh Bi Nah memang aduhai. Setidaknya begitu pendapatku saat itu. Betapa tidak, postur tubuhnya tinggi besar montok dan berisi. Susunya juga besar, mengkal, meskipun agak turun. Serasi dengan pinggangnya yang ramping namun makin ke bawah makin membesar. Kakinya panjang indah menyerupai kaki belalang dengan paha yang nampak kekar. Ah, ingin rasanya aku jadi Pak Dal, bisa memangku dan mengusap apa yang ingin kupegang. Tak terasa kontolku jadi ikut tegang dan nafas menjadi tak teratur.


Bi Nah turun dari pangkuan Pak Dal. "Kang ayo kita mualai. Nanti Kang Was keburu datang lho," kata wanita itu. Malam itu Bi Nah nampak lebih cantik dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Biasanya rambutnya lebih banyak digelung.


"Ah, tidak mungkin Nah. Beli sate dan minumannya kan cuma di tempat biasa. Paling dia belum sampai ke tukang sate itu. Dan katanya kamu mau ngemut iniku?" Pak Dal menjawab sambil menunjukkan kontolnya yang mengacung di selangkangannya. Ternyata punya Pak Daliri tidak besar-besar amat. Hanya ukurannya memang cukup panjang. Namun, dibandingkan dengan milikku, aku yakin masih kalah jauh. Punyaku, di samping berukuran besar, pernah kuukur diameternya sampai 5 CM lebih. Panjangnya juga mendekati 20 CM. Mungkin karena tubuhku yang bongsor.


"Ah besok saja. Takut Kang Was keburu datang. Makanya kalau mau diemut tidak usaha gerayangan dulu jadinya lama. Dan lagi aku sudah pengin," ujar Bi Nah. Ia naik ke ranjang dan langsung tiduran mengangkang. Melihat lawannya sudah bersiap Pak Dal tak bisa menolak. Disusulnya Bi Nah dan langsung menindih wanita itu. Untung posisi tidur mereka persis membelakangi tempatku mengintip. Hingga aku bisa melihat semuanya, seperti close up yang sering tampil dalam film BF yang pernah kutonton.


Meski tak cukup jelas terlihat, kulihat penis Pak Dal dengan mudah menerobos masuk ke lubang vagina Bi Nah. Lalu seiring dengan pantat Pak Dal yang mulai naik turun, penisnya menjadi terayun keluar masuk dalam lubang memek itu. Penis Pak Dal nampak mengkilat, mungkin karena terlumuri cairan yang ada di dalam liang sanggama pasangannya. Keduanya nampak mendesah, menikmati permainan yang tengah dilakukannya. Sambil terus mengayun pantatnya, tangan Pak Dal tak henti bermain di payudara istri Pak Was. Sesekali tangan Bi Nah meremas pantat Pak Dal dan mencoba menekannya. Mungkin agar hunjaman penis pasangannya masuk lebih dalam.


Permainan menjadi semakin panas ketika kulihat pinggul Bi Nah mulai bergoyang. Goyangan pinggul dan pantatnya nampak memutar berirama. Ia bergoyang sambil merintih dan mendesah. Tak urung aku jadi makin terpengaruh. Sambil terus menatap ke dalam kukocok dan kuremas-remas sendiri kontolku seraya membayangkan nikmatnya digoyang istri Pak Was.


Pengaruh goyang pinggul Bi Nah rupaya juga berimbas pada Pak Dal. Pria itu mulai merintih-rintih dan tusukan kontolnya pada memek pasangannya menjadi kian cepat. Akhirnya, tubuhnya mengajang dan ia melenguh panjang. Rupanya ia telah mendapatkan puncak kenikmatannya. Dan itu bersamaan dengan keluarnya mani dari kontolku yang membaur dengan rasa nikmat yang ikut kurasakan. Sedang Bi Nah yang terus menggoyang tubuh bagian bawahnya, setelah sesaat mengejang dijambaknya rambut kepala Pak Dal. Kepala pria pasangannya itu dibenamkannya ke payudarannya untuk akhirnya sama-sama terdiam dan ambruk dengan peluh berleleran di sekujur tubuh mereka. Suasana terasa hening sesaat.


Bi Nah yang telah turun dari ranjang memungut dasternya yang teronggok di lantai. Namun Pak Dal berusaha mencegah. Pantat besar wanita itu diremasnya dan berusaha ditariknya mendekat. "Sudah ah, nanti gampang diulang lagi. Dan jangan lupa ya janjimu untuk membelikanku cincin," kata Bi Nah sambil keluar dari kamar. Mungkin ke kamar mandi membersihkan diri. Sedang Pak Dal, dengan ogah-gahan turun dari ranjang dan kembali mengenakan pakaiannya.


Aku tidak langsung masuk ke rumah Pak Was kendati kudengar Bi Nah dan Pak Dal telah bercengkerama di ruang depan dengan pintu yang sengaja dibuka. Kutunggu Pak Was diujung jalan, baru bersama laki-laki itu aku masuk menemui pasangan selingkuh yang baru menikmati indahnya sorga dunia. Aku bersikap seolah tidak mengetahui apa yang telah terjadi hingga Bi Nah dan Pak Dal tidak curiga. Hanya, aku sering tidak bisa mengalihkan tatapanku pada busung dada istri Pak Was. Pukul 02.00 dini hari aku keluar dengan Pak Dal yang mulai mabuk karena minuman keras yang ditenggaknya.


Pak Dal tidak hanya mendatangi Bi Nah saat suaminya beli sate dan arak. Tapi di siang hari, saat suaminya mencari penumpang bisa saja ia melakukannya. Sebab sebagai penjual kupon judi, rumah Pak Was selalu dikunjungi mereka yang hendak merumus dan menebak angka jitu yang akan dipasangnya termasuk Pak Dal. Bisa saja saat sepi mereka jadi punya kesempatan untuk melakukannya. Aku pernah melihat Pak Dal keluar dari rumah Pak Was suatu siang, namun saat aku masuk kulihat Bi Nah hanya membalut tubuh dengan kain panjang dengan rambut acak-acakan dan tengah bersiap mandi.


Mangintip kamar Bi Nah akhirnya menjadi kebiasaanku di malam hari. Memang tidak selalu kutemukan adegan wanita itu tengah bersenggama. Sebab bungan seks Pak Was dan istrinya tergolong jarang. Mungkin karena usia atau kerja keras yang harus dilakukannya. Tetapi kalau Pak Was beli sate atas perintah Pak Dal, dipastikan ada permainan panas dan itu telah kubuktikan lebih dari sepuluh kali dan menjadikanku kian terobsesi pada wanita setengah baya itu.


Suatu hari, seperti biasa semenjak sore aku membantu Bi Nah melayani pembeli kupon judi. Sampai akhirnya harus membuat rekapan angka-angka yang dibeli para pemasang. Namun hingga pukul 21.00 malam Pak Was tak kunjung datang. Padahal dia yang biasanya menyetor uang dan data rekapan pada agen. "Kok Pak Wasjud belum datang Bi?" Bi Nah tengah menidurkan Karni, si bungsu anaknya di kamarnya.


"Pak Was diajak Pak Dal nonton wayang. Paling mereka pasang judi kopyok sampai pagi. Nanti yang setor Bibi. Dibonceng kamu ya Rin pakai sepedanya Pak Dal?" Aku mengangguk. Inilah kesempatan itu, pikirku membathin. Ya kesempatan meminta layanan dari Bi Nah. Tetapi bagaimana caranya? Apa dia tidak marah? Sebab mungkin di matanya aku masih remaja ingusan kendati sosokku tinggi besar. Ah, yang penting aku berani menyampaikan, pikirku lagi tanpa terucapkan.


Dalam perjalanan pulang dari menyetor ke agen kupon judi aku sengaja memperlambat kayuhan pedal. "Kalau Pak Dal dan Pak Was nonton wayang jadi tidak ada acara makan sate ya Bi?" Ujarku memberanikan diri.


"Iya memang. Kalau kamu pengin sate, upahmu kan bisa digunakan untuk membeli beberapa tusuk. Nanti biar Bi Nah tambahi sedikit," jawa Bi Nah, tak tahu arah pembicaraanku.


"Tetapi kan kurang asyik," ujarku lagi.


"Kurang asyik bagaimana?"


"Kalau yang beli sate Pak Was kan aku bisa asyik nonton film BF-nya Bi Nah dan Pak Dal," kataku lebih menegaskan.


Jleg! Bi Nah langsung turun dari boncengan tetapi sambil memegangi sepeda yang kukendarai. "Maksudmu soal film BF itu apa Rin, Bibi benar tidak tahu," ujarnya keras. Ia agak panik.


"Anu lho Bi, sebenarnya aku sering ngintip Bibi saat begituan dengan Pak Dal,"


Bersambung...