"Siapa bilang jadi artis itu enak? kalau orang tak menjalaninya sendiri, tak akan pernah tahu yang sebenarnya!".
Itu kata seorang teman pada suatu waktu lewat email yang dikirimkannya padaku. Semula, aku sempat terheran-heran membacanya, kupikir dia hanya sekedar berkelakar saja. Dalam keherananku, aku pun membalasnya dengan menyelipkan sebuah pertanyaan singkat yang membutuhkan sebuah jawaban yang sangat panjang dan sejelas-jelasnya:"Kenapa?"

Tiga hari kemudian dia mengirimkan sepucuk email balasan yang membuatku terperangah di depan komputer, aku bahkan sampai tak berkedip sekalipun ketika membacanya kata per kata. Kala itu, seakan aku dapat membayangkan bahwa aku sendiri yang berada dalam cerita yang merupakan curahan hatinya itu. Aku sebenarnya ingin menangis, kalau bisa. Tapi aku coba untuk mengontrol emosiku saat itu, apalagi aku berada di warnet yang kebetulan ramai pengunjung malam itu.

Andy (=nama samaran) adalah seorang penpal dari Jakarta yang aku kenal lewat dunia maya, internet. Dia yang pertama kali mengirimkan sepucuk email kepadaku beberapa hari setelah salah satu ceritaku dimuat di situs ini. Kebetulan, temanku yang satu ini adalah seorang cover boy di salah satu majalah remaja Aneka, dan juga bintang iklan dan sempat bermain dalam beberapa sinetron remaja. Tampangnya pasti sudah tak asing lagi dengan wajah orientalnya yang khas dan tampak cute, apalagi di kalangan the teenagers.

Yang berikut ini adalah curahan hatinya sendiri, berdasarkan apa yang dapat kutangkap dari ceritanya. Ia mengijinkan aku menyusunnya menjadi sebuah tulisan di situs ini, dengan syarat tidak menyinggung sedikit pun tentang identitas dan segala sesuatu yang khas dalam dirinya yang membuat para pembaca akan langsung dapat mengenalinya. Dan, sebagai seorang sahabat yang baik, aku akan menepati janjiku untuk menjaga rahasia ini. Jadi, aku harap para pembaca tak perlu menanyakan kepadaku", siapakah dia?" karena itu merupakan salah satu pertanyaan yang tak akan kujawab. Silahkan tebak sendiri, atau mungkin saja dia adalah orang yang duduk di dekat anda dan membaca cerita ini bersama dengan anda. Tak ada salahnya juga, sesekali curiga pada teman, iya kan? Ok, lebih baik aku ucapkan:"selamat membaca!" saja, semoga kalian suka dengan ceritanya.

*****

Langit ibukota masih tampak kemerahan saat itu, belum lagi matahari terbenam ketika aku baru keluar dari studio X untuk keperluan syuting iklan sebuah produk minuman kemasan. Senang sekali rasanya setelah sepanjang hari, aku harus beraksi di depan kamera dan menjalani syuting berulang kali yang cukup menguras tenagaku saat itu. Belum lagi, semalam aku pulang larut dan baru tidur jam 1 dini hari setelah syuting sinetron. Hampir setiap hari seperti ini, bahkan seolah sudah menjadi sebuah rutinitas harian. Di satu sisi, aku menyukai pekerjaanku ini karena inilah obsesiku sejak kecil, aku ingin menjadi seorang entertainer yang profesional. Tetapi, siapa yang mampu bertahan, kalau ternyata harus menjalaninya dengan kerja keras semacam ini, sementara anak-anak lain seusiaku bisa bersenang-senang di luar sana dan menghabiskan waktu dengan teman-teman mereka.

Terkadang aku berpikir kalau aku ini sebenarnya tergolong kuper alias kurang pergaulan, hanya saja tak banyak orang yang menyadarinya. Kebanyakan orang akan berpikir sebaliknya karena profesiku sebagai"selebritis". Jujur saja, sebenarnya aku tak begitu senang diberi julukan selebritis. Bagiku, itu adalah sebuah tanggung jawab yang besar yang hanya akan menambah bebanku, sebab seorang selebritis, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, pasti akan menjadi seorang public figure yang menjadi sorotan banyak orang. Otomatis, seorang selebritis tak pantas untuk punya cacat cela sedikit pun dalam dirinya agar ia bisa menjadi role model yang baik bagi banyak orang. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seorang selebritis sejati dengan keadaanku sekarang? Aku sungguh tak pantas untuk menjadi seorang panutan.

Petang itu sebenarnya masih terlalu siang untuk pulang, lagi pula jarang-jarang aku pulang syuting jam segitu. Paling-paling pulang sore hanya untuk mandi, setelah itu kembali lagi ke lokasi syuting dan baru pulang larut malam. Tapi hari itu beda, malamnya aku memang tak ada jadwal syuting. Jadi, aku punya waktu untuk sekedar menyegarkan otak sambil jalan-jalan malam itu. Tapi, dengan siapa? itu yang jadi masalah berikutnya. Aku paling malas kalau jalan-jalan sendirian, paling tidak harus dengan teman-teman smu-ku dulu. Aku kangen dengan tawa mereka, setelah tak bertemu selama 2 mingguan belakangan ini.

Setelah pulang ke rumah dan mandi, aku pun mencoba untuk menelepon salah seorang temanku, Justin, untuk mengajaknya jalan-jalan malam itu.
Lama sekali telepon tak diangkat, sehingga aku pun lantas memutuskan untuk menghubungi nomor HP-nya saja.

"Aku lagi di Thamrin. Ok, sebentar aku mampir ke tempatmu!" sahut Justin sebelum ia menutup teleponnya. Aku belum sempat bertanya, ia bersama siapa saat itu, tapi yang jelas ia tak sendirian karena aku mendengar suara seseorang di telepon. Paling-paling ia bersama Denny atau Ricky, pikirku.

Jam setengah tujuh, tiba-tiba kudengar suara klakson di depan rumahku. Sebuah sedan Jaguar hitam sudah parkir tepat di depan pagar rumahku, jelas itu bukan mobil Justin. Tak mungkin Jeep 80-an berubah menjadi Jaguar dalam dua minggu ini selama aku tak bertemu dengan Justin, pikirku iseng.

"Dy, kenalin, ini Boni!"

"Andy!" kataku sambil menjulurkan tangan.

"Yah, tentu saja. Bagaimana aku tak mengenalimu?" sahut Boni. Aku hanya tersenyum mendengarnya, aku tak ingin besar kepala dan merasa begitu terkenal di mata banyak orang. Tapi ternyata topi dan kacamata yang kupakai tidak bisa menyembunyikan identitasku di mata Boni, ia masih mengenali wajahku.

"Kita mau kemana?" tanyaku kemudian setelah mengambil tempat di jok belakang.

"Ke PS! Tapi, kita makan dulu. Boni mau traktir nih!" gurau Justin sambil main mata ke arah Boni. Yang bernama Boni itu sebenarnya tidak seumuran kami, usianya sudah 26 tahun, lebih tua 5 tahun dari kami. Tapi tampangnya lumayan juga, mukanya bersih dan berpostur atletis sekalipun tak seganteng Jerry Yan, but he's good looking. Dan lebih lagi, tampak jelas kalau ia anak orang tajir.

Tak lama kemudian, Justin melajukan mobil Boni menuju salah satu cafe langganan Boni yang tak jauh dari Plaza Senayan. Usai ke kafe, kami masih sempat cuci mata di Plaza Senayan dan berkeliling kota. Kami bertiga menghabiskan waktu sambil jalan-jalan sampai larut malam, dan hampir jam 12 malam ketika kami memutuskan untuk pulang.

Namun, tiba-tiba Boni bermain mata pada Justin. Aku tak mengerti apa maksudnya, tampaknya Boni mengingatkan sesuatu pada Justin. Karena sesudah itu Justin langsung memutar balik mobilnya.

"Mau kemana lagi?" tanyaku tak mengerti.

"Tenang saja. Cuma sebentar kok!" sahut Justin sambil cengar-cengir.

Ternyata, Justin membawa kami ke salah satu"pusat jajan" di Jakarta Pusat, tempat transaksi seks yang merupakan salah satu tempat yang masih ramai di tengah malam seperti saat itu. Tak berapa lama, mobil dihentikan di pinggir trotoar dan seorang pria berpenampilan parlente mendekati mobil kami. Aku hanya diam saja saat itu, hal begituan memang bukan bagianku, aku bahkan tak pernah mencoba-coba untuk lewat tempat ini di waktu malam sebab aku dengar tempat ini memang dipakai sebagai tempat mangkal para gigolo ibukota.

Tidak lama, Boni terlibat tawar menawar dengan pria itu. Karena rupanya Boni akhirnya bersedia membayar tarif 3 juta yang dipatok oleh pria itu. Dan singkat cerita, Boni"membawa" pria berusia kurang lebih 24 tahunan itu. Pria itu didudukkan di sebelahku, di jok belakang. Aku sendiri memilih untuk memojok ke dekat pintu, sambil mengalihkan pandanganku dari pria di sebelahku itu. Tapi, ternyata pria itu berkali-kali mencuri-curi pandang ke arahku seolah-olah sedang mengamatiku. Kemudian, ia memberanikan diri memegang pundakku dan bertanya", Kamu Andy yang bintang iklan itu yah?"

Jantungku rasanya langsung mau copot ketika mendengar pertanyaan itu. Aku tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Aku tak mungkin berbohong. Lama aku hanya diam saja, pura-pura tak mendengar. Namun, tetap saja pria itu ngotot dengan pertanyaannya. Akhirnya, aku pun mengangguk saja. Setelah itu, kami pun berkenalan dan baru kuketahui kalau namanya Ryan. Tentang profesinya, sudah jelas tak perlu kutanyakan lagi, aku malas berbasa-basi kalau aku sudah tahu.

Malam itu, ternyata mereka bertiga hendak menginap di apartemen Boni. Semula, aku minta diantar pulang saja ketika mereka mengajakku menginap bareng. Tapi, Justin dan Boni malah mendesakku terus, bahkan Justin ngotot membawaku ke apartemen Boni, ia mengendarai mobilnya sama sekali tak menuju arah rumahku. Akhirnya aku pun menyerah juga, lagi pula kupikir toh besok aku mulai syuting agak siangan jadi aku bisa saja kalau menginap di rumah Boni malam ini. Tapi apa yang mereka akan lakukan dengan seorang gigolo di apartemen Boni nantinya, aku tak berani membayangkannya. Yang jelas, malam ini pastilah akan terjadi pertempuran seru di dalam kamar apartemen Boni.

Benar saja, sesampainya di dalam kamar apartemen Boni yang mewah. Boni langsung mengambil empat buah kondom dari laci meja di dekat ranjangnya, ia membagikannya pada kami bertiga.

"Tidak, Bon. Sorry, Aku tak ikut kalian!" kataku saat Boni menyodorkan kondom kepadaku.
Aku mengembalikan kembali kondom itu ke tangan Boni, namun Boni malah mencengkeram tanganku dan memaksaku untuk menerimanya.

"Pakai saja. Kau belum pernah tau nikmatnya kan?" kata Boni sambil nyengir.
Saat itu, betul-betul adalah pergumulan yang sangat berat dalam batinku. Aku pernah bersumpah untuk tak mau melakukannya lagi sejak Om James (=baca artikel: Obsesi sang model) meninggalkanku beberapa tahun silam.

Boni dan Justin memang tak pernah tahu perihal hubunganku dengan om James, yang mereka tahu hanyalah aku seorang model yang sukses, tanpa mengetahui siapa yang ada di balik kesuksesanku dan telah mengangkatku dari jurang kemiskinan ke suatu tempat yang menjadi impian banyak orang. Mereka menyangka kalau aku seorang anak muda yang alim dan tak banyak tingkah seperti mereka, jadi dianggapnya aku tak berpengalaman untuk urusan permainan liar itu. Syukurlah, kalau mereka menganggapku seperti itu. Namun bagiku, seolah-olah aku hidup dalam kemunafikan saja saat itu. Aku ibarat sebuah kuburan yang bercat putih di luar, namun penuh tulang belulang dan kebusukan di dalamnya.

Habis itu, Boni mulai melancarkan aksinya (Baru kuketahui kalau Boni ternyata seorang gay yang hiperseks), Ia menghantar Ryan menuju ranjang asmaranya. Di sanalah, Ryan ditidurkan dalam posisi terlentang dan kemudian Boni mulai mempreteli pakaian Ryan satu per satu sampai pemuda itu hanya mengenakan celana dalam birunya saja. Bagian tubuh yang pertama diserang Boni tentulah sesuatu yang kelihatan menonjol di balik CD yang sangat seksi, yaitu tak lain adalah kontol Ryan yang cukup besar itu. Boni langsung mencaploknya dengan mulutnya dan menghisapnya dari bagian luar celana dalam Ryan. Sesekali lidahnya bermain-main di seputar pusar dan kedua selangkangan Ryan yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang berwarna hitam lebat. Pemuda itu memang tergolong pria berbulu yang seksi.

Sementara itu, aku dan Justin yang duduk di sofa dekat jendela hanya memelototi aksi Boni dan Ryan itu tak berkedip, sebuah tontonan live yang gratis. Justin bahkan menggesek-gesekkan tangannya di kemaluannya, tak puas dari bagian luar, ia pun mulai memasukkan tangannya ke dalam sela-sela celananya. Sempat kulirik sebentar ketika Justin memasukkan tangannya itu, ia sepertinya sangat menikmati permainan solonya itu untuk merangsang libidonya sendiri.

Tapi tiba-tiba diluar dugaan, Justin menggenggam tanganku dan memandunya untuk ikut memegang kemaluannya yang sudah full ereksi saat itu.

"Buka, Dy. Aku horny banget!" pinta Justin agar aku membukakan restsleting celananya.
Dengan agak gugup, aku pun menurut saja. Entah kenapa, aku jadi seperti robot saat itu, mungkin saja karena aku pun sedang terangsang sekali saat itu. Apalagi kulihat, Ryan dan Boni sudah bergulingan di atas ranjang sambil saling melumat satu sama lain tanpa berpakaian lagi, keduanya sudah telanjang bulat!

Aku membantu Justin membuka restsleting celananya dan juga kancing bajunya. Setelah itu kupelorotkan celananya, sehingga ia hanya mengenakan baju yang terbuka dan celana dalam saja. Kemudian tanpa terkontrol lagi, aku langsung mendaratkan ciumanku yang pertama ke bibir Justin yang seksi. Sementara itu, tanganku bergerilya di seputar dadanya dan kemaluannya secara bergantian.

Kuselipkan tanganku ke balik kemejanya dan kemudian kuremas-remas kedua puting susunya, sambil sesekali diiringi remasan-remasan pada bagian pinggang dan sentuhan-sentuhan maut ke seluruh bagian dadanya yang bidang itu. Sementara itu, tanganku yang satu lagi meremas-remas bagian belakang kepala Justin. Kami berdua saling menghisap, saling melumat, saling menggigit dan bermain lidah.

Kurasakan desahan nafas Justin yang membuatku makin terangsang untuk terus menikmati tubuhnya, ia sesekali menggeliat-geliat di atas sofa sambil mendekapku dengan erat. Justin lalu memasukkan tangannya ke dalam celanaku, ia meraba-raba kontolku yang sudah tegang dan basah oleh cairan precum saat itu. Ia lantas meremas-remasnya dengan gemas, sebelum akhirnya ia pun membuka celanaku dan membuatku panthless saat itu.

Setelah usai permainan lumat melumat, Justin berjongkok di depanku dan memulai lumatan yang baru yaitu melumat kontolku. Bagai diburu nafsu yang membara, Justin terus memainkan kontolku di mulutnya, ia menghisapnya keluar masuk dan menjilatinya seolah sedang menikmati es krim cone. Sesekali ia mengocoknya.

"Argh!" desahku ketika rasa nikmat tak kuasa lagi untuk kutahan.

Kurasakan kenikmatan tiada tara ketika kulit pembungkus rudalku bergesekan dengan liang mulut Justin. Apalagi ketika ia membawanya keluar masuk mulutnya. Sampai pada puncaknya ketika cairan kelelakianku mulai menyemprot dan bertumpahan memenuhi mulutnya. Aku langsung lemas saat itu seiring dengan mengendurnya urat-urat pada kontolku.

Sebagai seorang gigolo profesional yang sudah punya jam terbang tinggi, Ryan pun tak kalah liar dibandingkan Boni. Ia mencoba memuaskan pelanggannya itu dengan jurus-jurus mautnya. Dalam keadaan telanjang bulat di atas kasur, Ryan lantas menindih paha Boni sambil memegang secangkir lemon juice di tangannya. Setetes demi setetes, ia menumpahkannya di dada dan perut Boni, dan sesudah itu ia membungkuk dan menjilatinya dari tubuh Boni.

Boni pun terlihat menggelinjang-gelinjang dan mendesis tak kuasa menahan rasa geli bercampur nikmat saat itu. Ryan terus bergerilya di seputar dada dan perut Boni dengan lidahnya. Kemudian, lagi-lagi Ryan menindih tubuh Boni, mereka saling melumat lagi dengan bibir mereka, sementara kontol mereka saling digesek-gesekkan di bagian bawah sana.

Selanjutnya tak banyak yang bisa kuceritakan tentang malam itu, aku tak begitu ingat semuanya. Yang jelas, malam itu aku pun sempat menikmati permainan seorang gigolo, dan itu untuk yang pertama kali dan terakhir bagiku. Jujur saja, aku tak sanggup mengimbangi permainan orang-orang semacam Ryan dan Boni yang kelewat hiperseks. Tapi lain halnya dengan Justin, aku senang bermain dengannya. Karena sejak malam itu, kami masih sering mengulanginya dan menghabiskan waktu bersama.

Justin pun kini menjadi sudah menjadi bf-ku, dan tak ada seorang pun di sekeliling kami yang curiga ketika kami jalan bersama, karena mereka rata-rata sudah tahu kalau kami bersahabat sejak lama. Jadi mereka pikir, kami hanyalah sepasang sahabat karib, yah kuharap tetap seperti itu saja! Karena mau atau tidak, suka atau tidak, orang akan tetap memanggilku "selebritis", jadi aku harus selalu kelihatan tampil baik di depan mata mereka. Hanya saja kalau boleh mengajukan permintaan saat ini, aku hanya ingin minta satu hal saja", jangan panggil aku selebritis!"

Tujuanku mengungkapkan semua ini bukan apa-apa atau untuk mencari sensasi, sebab aku rasa aku sudah tak perlu lagi mencari popularitas dan sensasi karena semuanya sudah kudapatkan dan itu tak ada gunanya bagiku. Tetapi, aku hanya sekedar mau mengingatkan kalian bahwa jika ingin menjadi seorang selebritis, siapkanlah mental yang cukup agar tak sampai terjerumus kepada hal-hal yang seharusnya tak perlu terjadi, sebab kehidupan selebritis tak sekedar bicara tentang popularitas, keglamoran dan kemewahan, melainkan juga berbicara tentang sebuah tantangan yang sangat complicated yang akan membuatmu langsung diperhadapkan pada pilihan: hidup atau mati, digilas atau menggilas, dan lain sebagainya.

Tamat