Tiga bulan sesudah dilantik selaku Direktur Cabang sebuah BUMN di kota X, penyakitku kambuh. Keinginan berdandan sebagai perempuan terus mengejar sanubariku. Bagaimana caraku agar keinginan ini bisa kudapatkan tanpa mengganggu atau mengancam karirku sebagaimana selama hampir 10 tahun ini aku mampu manyimpan rapat-rapat karakter serta hobbiku tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Tidak juga istri maupun keluargaku dan tidak juga teman kantor serta para relasiku.

Aku punya locker di kantorku dengan kunci password yang ditanggung aman. Disitu aku simpan dalam satu tas ukuran sedang berbagai perabot wanita. Dari busana yang ringkas dan praktis, wig, kosmetik, parfum. Bahkan aku juga menyimpan dildo yang kubeli saat melawat ke Hongkong. Dildo yang berbentuk kontol Negro yang gede panjang.

Pada waktu-waktu tertentu di sore hari sesudah para pegawai pulang, ketika hasrat syahwatku hadir namun kondisi pekerjaan tidak memungkinkan aku bersenang-senang, aku keluarkan dildo itu. Dengan sepengetahuan Satpam bahwa aku kerja lembur, aku menginci pintu ruanganku dan kucopot pakaianku hingga setengah telanjang.

Aku dirikan dildo karet yang bisa duduk di lantai itu dan aku oleskan 'baby oil' pada bonggol kepala dan batangnya. Dengan mengkhayal seolah sedang diperkosa budak Negro, aku mendorongkan pantatku dan menekan kontol palsu itu masuk ke lubang duburku. Aku bisa mengerang karena enaknya sambil ngocok kontolku hingga spermaku muncrat di lantai. Duuhh.. Nikmatnya tak terkira.

Pada Jumat jam 7 malam aku tasku yang berisi perabot wanita kuambil dari lockernya. Aku cangking turun dari kantor dan kulemparkan ke bagasi BMW-ku. Aku ingin bersenang-senang di akhir pekan ini. Aku cukup keluar kantor dan mencari parkir yang aman untuk dandan. Biasanya aku parkir di basement Hotel Mandarin dengan membayar tiket parkir dua ribu rupiah.

Untuk kondisi macam ini aku sudah menyiapkan perangkat dan pakaian wanita yang serba praktis. Aku bisa cukup mengganti kemejaku dengan blus kembang-kembang yang ada di tasku. Atau apabila diinginkan ada juga rok bawahan yang praktis yang akan menggantikan celanaku. Demikian pula untuk make up dan wig-nya.

Sepuluh menit kemudian aku sudah ber-'metamorphosis'. Aku bukan lagi Ir. John Emil, MA yang direktur Cabang BUMN. Aku sudah berubah menjadi Emilia, waria favorit Taman Lawang.

Dengan BMW yang sama kini aku keluar dari basement Mandarin untuk meluncur ke jalan Kebumen dimana aku bisa memarkir mobilku dengan aman. Aku pilih tempat ini, agar kalau ada yang ngenali mobilku nampak seakan aku sedang bertamu di salah satu rumah elite di tempat itu. Aku akan keluar dari mobilku dengan sepatu hak tinggiku. Sembari menyodorkan Rp. 50 ribu sama tukang parkir aku meninggalkan mobilku menuju gerombolan teman-teman senasib dan sepenganggungan sebagai sesama waria di Taman Lawang.

Dari jauh, karibku Elsye nampak melambaikan tangan. Aku nyamper ke sana. Duuhh.. Betapa sangat merindukan suasana ketemu para sahabat di tempat ini.

"Hai, kemana aza kamu? Sudah begitu lemong. Sibuk dengan job ya?".

Demikian kami saling bertegur sapa. Mereka sama sekali nggak tahu siapa sesungguhnya aku. Aku ajak teman-teman ke warung Wak Mun di samping gardu. Aku traktir mereka makan atau minum sepuasnya. Aku bilang ada sedikit rejeki.

Pada saat itulah muncul Sony, anak buahku di kantor. Dia adalah Purchasing Manager yang hampir setiap hari harus memberikan laporan kegiatannya padaku. Tentu saja aku hampir pingsan dengan kehadirannya. Tanpa kuduga tiba-tiba.. Srokk.. Dia telah duduk di seberang mejaku. Adakah dia sengaja mengikuti aku dan mau mempermalukanku? Aku hendak lari menghindar namun posisi dudukku tak memungkinkan. Aku berada di tengah teman-temanku. Akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah pasrah.

Sony terus memandangi aku. Dan aku tertunduk untuk tidak tertatap matanya. Aku yakin dia tahu bahwa aku adalah boss-nya. Aku merasa nasibku kini berada di ujung tanduk. Dan Sony akan mendorong aku ke pinggir jurang yang kemudian dengan tertawanya yang lepas dia akan mendorong aku terjun menjemput mautku. Aku gemetar. Wajahku pucat pasi. Keringat dinginku mengalir deras.

"Kamu sakit Mil", Dessy yang rupanya memperhatikanku menyaksikan perubahan wajahku dan keringat dinginku.

Aku cepat bangkit dan menghindarkan perhatian khusus dari teman-temanku. Aku berusaha menjauh dari warung Wak Mun. Aku melepaskan diri dari perhatian Sony. Namun tindakanku itu justru menghasilkan sebaliknya. Ketika aku ber-akting seakan menunggu tamu, tiba-tiba dari belakang Sony menegur aku.

"Hai Emil..", dan langsung meraih kemudian meremasi tanganku.

Terus terang aku kembali nyaris pingsan. Namun saat aku merasakan remasan tanganku, aku tersadar. Aku rasa sejak awal tadi perasaan takut dan khawatir telah mendominasi diriku. Sony yang tiba-tiba muncul di depanku aku pandang sebagai ancaman bagiku. Aku berprasangka buruk dan akibatnya siksaan batin memukul aku. Aku bernafas panjang, rasa sesak di dadaku mengurang. Aku mencoba membalas remasan Sony.

Sebenarnya tanpa sepengetahuannya selama ini aku mendendam syahwat birahi pada Sony. Setiap aku bertemu dia, kecenderungan seksualku yang memang keperempuan-perempuanan mengkhayal seandainya aku berkesempatan satu ranjang dan sama-sama bertelanjang, aku akan mempersembahkan nikmat seksual pada Sony. Aku siap menjadi budak seksnya. Aku akan menjilati tubuhnya yang sangat macho dan menawan itu.

Tampang dan postur Sony mengingatkan aku pada Herman Felani, yang bintang film itu. Dia memiliki pesona seksual. Aku rela untuk menyedoti apapun yang keluar dari tubuh Sony. Aku akan menciumi seluruh bagian-bagian tubuhnya. Aku akan menjilati dan mengulum bulu-bulu tubuhnya. Aku akan membiarkan keringat larut dalam ludahku untuk kemudian menyedotinya.

Namun sehari-hari di kantor, hal itu tak mungkin aku ungkapkan. Aku adalah atasannya. Dan sebagai Direktur Cabang, aku dikenal berwibawa di depan jajaran karyawanku. Dan mati-matian aku usahakan untuk tak akan ada issue atau rumor negatif tentang aku di lingkungan kantorku dan karirku secara umum.

Sony merapat ke tubuhku dan berbisik, "Ke Hotel yok..".

Aku yang baru saja terbebas dari was-was dan rasa takut tidak langsung mengiyakan. Terus terang aku ingin berasyik masyuk dengannya. Saat ini yang kuperlukan adalah terhapusnya sama sekali rasa was-was dan menakutkan tadi. Sony lebih merapatkan ke tubuhku hingga aku merasakan adanya tonjolan di celananya yang mendesak pantatku. Kontol Sony telah tegak kaku.

"Ke Hotel yok.. Aku pengin menjilati kamu..", rayuan vulgarnya dilemparkan ke aku. Dan aku langsung rontok. Hasrat birahiku terdongkrak oleh rayuan vulgar dari anak buahku sendiri itu. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ini akan terjadi pada diriku. Dan anak buahku yang memiliki pesona seksual itu nyata kini terpesona padaku.

Rasanya kami akan saling memacu gelora syahwat kami. Kami yang saling terpesona akan menumpahkan segala hasrat terpendam kami. Dan yang terpenting adalah aku mulai yakin Sony sama sekali tidak mengetahui siapa sebenarnya aku. Dan aku yakin, seandainya dia tahu, dia tak akan memiliki keberanian untuk berlaku macam yang sedang dia lakukan padaku sekarang ini.

Kini aku berani memandang matanya. Dan aku melihat di kedalaman pusat matanya, seorang lelaki yang doyan kontol sedang dilanda hasrat birahi yang dahsyat. Lelaki itu bernama Sony yang adalah anak buah Ir. John Emil, MA di kala siang hari. Yang malam ini mengalami 'methamorphosis' menjadi Emilia, waria favorit Taman Lawang.

Dengan naik taksi, dia berhasil membawa aku ke Motel Cempaka Putih. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, tak berhentinya Sony menggarap tubuhku. Dia 'nyungsep' di dadaku dan mengisapi pentil susuku. Aku bergelinjangan. Itulah pemanasan hasrat seksual atau semacam 'foreplay' untuk memasuki pergulatan tanpa batas di ranjang motel nanti.

Apabila ada acara di luar kantor aku hampir selalu menjadi leader dan membayari semua akomodasi dan makan minum yang dikeluarkan. Namun kali ini, Sony menjadi leader. Aku geli memikirkannya. Kini dia membayar semuanya demi bisa mendapatkan pelampiasan syahwatnya padaku. Kalau dia tahu.. Ha ha..

Namun aku yang memang membawa dendam pesona aku mencoba mengambil peran aktif. Begitu memasuki kamar motel yang romantis ini aku langsung memagutinya. Dia menyambut dengan pagutannya pula. Kemudian aku merosot jongkok.

"Mas, copoti dulu pakaiannya ya, nanti lecek. Istri Mas bisa curiga".

Aku melepasi sepatu dan kaos kakinya, ikat pinggangnya, kemejanya, celananya, celana dalamnya. Aku seperti istri setia yang menyambut suami tercintanya. Aku sangat menikmati peranku.

Dan kini terpampang tubuh telanjang Sony. Tak kuasa aku menahan diriku. Aku jamah kontolnya yang wooww.. Demikian tegak kaku. Ukurannya normal. Namun kontol itu merupakan bagian pesona seksual yang tak terpisahkan dari postur dan tampang Sony. Aku mengelusinya dan kemudian menciumnya.

Aku menjadi sangat dahaga. Aku keranjingan. Kontol Sony menyeret aku dalam badai nafsu birahiku. Aku dorong dia rebah ke ranjang. Aku menciuminya, menjilatinya, menggigit-gigit dan mengulumnya. Kontol itu aku isep dan kulum dari pangkalnya hingga ke bonggol kepalanya. Aku jilati lubang kencingnya. Aku mendesah dan merintih,

"Mass.. Kontolmu Mas.. Aku mencintai kontolmuu..", sambil kumasukkan bonggol kepalanya ke mulutku. Aku mulai mengulumnya dan kemudian memompakan ke mulutku. Mulutku merasakan asin precum campur keringatnya.

Aku terus memompa sambil memainkan lidahku. Sony mendesah-desah. Tubuhnya menggeliat menahan gelinjang. Tangannya meremasi kain seprei atau sarung bantal motel itu. Pantatnya mengejat naik turun menjemputi mulutku. Hingga tiba-tiba Sony menyambar rambutku dan seakan hendak mencabik-cabiknya sambil meracau hebat,

"Anjing jalanan kamu.. Emut terus kontolku.. Kamu minum yaa.. spermakuu.. Ooaarrcchh..", sambil menekan kepalaku hingga kontolnya menekan lubang tenggorokanku. Sony mendapatkan ejakulasinya.

Spermanya yang panas dan kental muncrat menyirami langit-langit mulut dan tenggorokanku. Kontolnya berkedut-kedut memompakan cadangan air maninya. Aku langsung menjadi sibuk. Mulutku menampung semprotan air maninya dan aku berusaha merasakan cairan kental panas itu dengan lidahku. Aku juga langsung menelannya.

Kami sama-sama rubuh ke ranjang. Nafas-nafas panjang terdengar memenuhi kamar motel itu. Aku masih terkapar kelelahan saat Sony bangun dan merangkulkan tangannya ke dadaku. Aku merasakan geloranya masih berkobar menyala-nyala. Dia menyedoti puting susuku. Inilah titik lemahku. Aku langsung terbangun. Hasrat syahwatku kembali terbangkit. Lidah Sony yang menyapu dan bermain di puting susuku menggelinjangkan tubuhku.

Kini Sony yang sibuk bekerja. Aku merasakan lidahnya yang melata di dadaku. Dia mengecupi buah dada dan wilayah igaku. Dia menciumi dengan rakus ketiakku. Dia nampaknya keranjingan dengan bulu ketiakku. Ciuman dan jilatan lidah terus melumat turun ke perutku. Disapunya pusarku dengan lidahnya.

Tanpa ragu dia melumati selangkanganku. Dia menaikkan kakiku hingga melipat dan menyentuh dadaku. Dia mengincar lubang pantatku. Dia jilati dan sedot apa-apa yang didapatkannya dari analku. Aku menggelinjang hebat. Rasanya saraf-saraf birahiku dilolosi oleh tingkah Sony ini.

Kemudian dia dorong tubuhku agar aku nungging. Aku tahu apa yang dia mau. Aku tiarapkan kepala dan dadaku ke kasur dan mengangkat pantatku tinggi-tinggi. Sony dengan rakus menjilat dan menyedoti lubang analku sebelum akhirnya bangun dan menaiki aku seperti joki pada kudanya. Dia menyodomi pantatku.

Aku suka sekali dengan gayanya. Berbeda sebagaimana Sony di siang hari yang begitu 'tolol', nampaknya, pada malam ini, dengan memacu aku sebagai kuda tunggangnya, dia meraih rambutku untuk dijadikan tali kendalinya. Dia memompakan kontolnya ke pantatku hingga rasa pedih dan panas yang menerpa dinding anusku sejuk tersiram oleh spermanya.

Kami keluar motel sekitar jam 11 malam sesudah 2 jam terus menerus saling melemparkan dendam syahwatnya. Entah berapa banyak aku minum spermanya dan dia minum spermaku. Dia mengantar aku kembali ke Taman Lawang. Dia juga minta aku menunggunya di malam akhir pekan depan. Tentu saja aku langsung menyetujuinya.

Tamat