Akhirnya aku menyetop bus yang melewatiku, akhh.. Ternyata aku lebih mudah menemui jalan keluar dari pada pertama kali aku memasuki hutan tersebut dan mencari tempat Persugihan tersebut. Aku bisa menempu perjalanan hanya setengah hari, yah setengah hari saja.
Bapak menyambutku dengan cemas, sudah 3 bulan lebih ternyata aku tidak pulang, wah begitu lamanya, yah benar juga karena wajahku sudah penuh dengan bulu-bulu, yah aku berewokan saat itu, tapi untungnya aku telah mencukurnya saat aku tiba di terminal, di Kota tempatku berada.
"Apa syarat yang diminta Eyang?", tanya Bapak setelah aku katakan bahwa aku berhasil menemui tempat tersebut dan menjumpai Penunggunya.
Bapak sedikit lega saat menjawab pertanyaannya, bahwa bukan nyawa yang diminta Eyang sebagai tumbal, dan aku menceritakan syarat yang diminta makhluk tersebut.
"Baik, Bapak bersedia menjadi syarat pertamamu Le", ucap Bapak meyakinkan.
"Pak?", tanyaku menatapnya tajam, dengan tatapan tidak tega.
"Kalo, kamu berhasil khan Bapak juga yang menikmatinya, sudahlah.. Bapak bersedia kok, Bapak akan mandi dulu, pakai minyak wangi biar kamu tambah yakin dengan Bapak", ucap laki-laki tersebut tersenyum.
Aku menatap Bapak yang meninggalkanku, membawa handuk dan ember kecil yang berisi peralatan mandi di dalamnya. Laki-laki yang sedikit kurus, yang selama hidupnya tidak pernah merasakan kebahagian, usianya yang sudah mencapai 60 tahun tersebut tetap tegar dengan penderitaan yang diterimanya.
Saat aku kembali ke rumah dari MCK yang tidak begitu jauh dari kediaman kami, kediaman di pinggir rel Kereta dengan teman-teman kami, pemukiman yang disebut-sebut daerah kumuh dengan hanya berdindingkan tepas dan tambalan-tambalan kerdus sebagai dindingnya, dengan berbagai profesi yang bermacam-macam untuk memenuhi kebutuhan perut yang sejengkal ini, yang harus mengorbankan martabat.
Sebagai pemulung, penarik becak seperti aku dan Bapakku, pengamen, pengemis, dan malam hari ibu-ibu merangkap lonte atau tukang pijit di lokasi kami sendiri. Tiap malam memang selalu ramai di tempat tersebut, bencong-bencong, lonte kelas teri pada berkeliaran saat malam di lokasi tersebut untuk memuaskan laki-laki hidung belang, yah termasuk aku juga. Tetapi hidupku akan berubah, dimulai hari ini, yah aku yakin dengan mantap.
Aku masuk ke dalam rumah ternyata Bapak sudah sampai duluan, berbaring di lantai yang hanya beralaskan tikar dan.. Dan Bapak telah melepaskan pakaiannya, telanjang bulat telentang, tersenyum memandangku.
"Ayo Ko", ucapnya.
Melihat Bapak yang telanjang bulat, nafsuku tiba-tiba timbul, bangkit, akhh.. Aku mengelus-elus dadaku dan tanpa sabar lagi, celana pendek yang aku kenakan langsung aku perosoti, mendekati Bapak, meraba-raba totongnya yang menciut dengan batang yang kecil, akhh.. Nafsuku menggelora, entah kenapa serasa ini bukan diriku, namun tanganku terus meremas-remas batang totongnya.
Nafsuku yang memuncak tersebut langsung kulampiaskan dengan mengemut batang kontol Bapak yang mulai bereaksi, bertambah panjang dan besar, Aku terus mengisap-isapnya dengan pelan hingga totong Bapak habis kutelan sampai ke pangkalnya, dan menariknya ke atas, kontol Bapak terlepas dari mulutku, batangnya tidak begitu keras lagi karena usianya mungkin.
Batang kontolnya mulai kujilati dari ujung kepala kontolnya yang besar membengkak hingga pangkalnya, dan biji totongnya menjadi sasaranku berikutnya, ku telan kuemut seperti permen sambil kutarik-tarik, batang kontol Bapak kembali ku telan, kubetot di dalam mulutku, hingga Bapak mendesah kuat memuntahkan maninya yang kental di dalam mulutku. Kontolnya begitu kuat menyemprotkan maninya dan sangat kental, akh.. Ternyata Bapak sudah lama tidak ngentot hingga maninya mengental begini.
Bapak nampaknya begitu puas, aku menaiki tubuhnya, dadanya yang berotot tersebut aku duduki, dan kumasukan batang kontolku ke mulutnya, menyuruhnya untuk menelan kontolku. Bapak mengikuti saranku untuk mengisap-isap batang kontol ku, melumatnya habis, mengisap-isapnya, akhh.. Aku menggeliat keenakan sambil mengelus-elus dadaku, lama Bapak mengisap-isap batang kontolku tapi puncak kenikmatan belum aku rasakan, hingga Bapak harus mengubah beberapa posisi untuk mengisap-isap batang kontolku, mengocok-ngocok kontolku dengan mulutnya agar maniku keluar dan ditelannya, yah harus keluarkan dan harus ditelan oleh orang yang memenuhi syarat pertamaku untuk korban yang pertama.
Bapak memintaku untuk berdiri dan sambil duduk laki-laki tersebut mengisap-isap batang totongku, mengocok-ngocoknya di dalam, hingga.. Akupun mulai merasakan kegelian yang sangatt.. Tubuhku mengejang dan bergetar, seiring tersebut aku merasakan maniku moncrot ke dalam mulut Bapak.. Croott.. Croott.. Croott..
Atas perintahku, mani terakhir yang menempel di lobang kencingku harus dijilat habis, tanpa ada sisa mani lagi yang keluar.
Permainan aku lanjutkan dengan menyodomi bapak, kedua kakinya aku angkat dan meletakkannya pada bahuku, dengan perlahan kutekan pantatku, hingga merobek burit Bapak, laki-laki tersebut menggigit bibirnya menahan sakit, pantatnya robek mengeluarkan darah, yah.. Sempurna, syarat yang bagus untuk awalnya, burit Bapak masih perawan, itu juga syarat yang diminta.
Batang kontolku telah amblas ke dalam lobang pantat Bapak dan aku mulai menggerak-gerakan pantatku maju mundur, menyodok-nyodok lobang pantatnya dengan cepat.
"Ahh.. Ahh.. Aahh..", desahku, menikmatinya, batang kontolku dijepit begitu kuat, membuat geli saat menyodok lobang pantat Bapak, aku terus melakukannya..
Bapak menahan sakit dengan menggigit bibirnya. Aku terlalu buas malam itu, aku sudah tidak sadar lagi bahwa Bapakku sendirilah yang aku sodomi, aku ciumi, kulumat bibirnya dengan bersemangat. Bapak menungging dengan bertumpu dengan kedua lutut dan tangannya, dari belakang aku sodomi burit Bapak kembali, aku menyodok-nyodok lobang pantatnya dengan cepat, kunikmati enaknya.. gelinya..
Dari arah samping dengan posisi berbaring, kulakukan lagi menyodomi lobang pantat Bapak, tangannya kuletakkan ke leherku, aku terus melumat bibirnya, menciuminya, dengan penuh birahi sambil terus menyodok-nyodok lobang pantatnya, hingga akhirnya puncak kenikmatan akan aku rasakan, dan akhirnya desah panjang mengakhiri permainanku, setelah puas akhirnya dan berbaring di samping tubuh Bapak, memeluknya, dan tidak merasakan apa-apa lagi dan aku tertidur dengan pulas.
Seperti biasa, aku menarik becak, dan pagi itu juga demikian, aku begitu segar, akhh.. Bersemangat.. Sangat, sangat bersemangat. Aku meninggalkan Bapak yang masih tertidur dengan pulas. Saat aku bangun tadi, merasa terkejut juga aku dalam keadaan telanjang bulat demikian juga Bapak, tapi peduli setan, ucapku, yang penting aku begitu senang dan semangatnya hari ini.
Siang itu aku begitu bergairah sekali, bergairah.. Saat melihat Paijo temanku, dia penarik becak juga seperti aku, entah kenapa aku begitu bernafsu sekali melihat badannya yang kekar, padat berisi tersebut. Gairahku tidak tertahan sampai membuat tubuhku berkeringat, gatal-gatal seperti mau tumbuh bulu, tubuhku menggeliat-geliat, sambil mendesah seperti ular yang mendesis melihat mangsanya.
"Kenapa, Ko.. Joko.. Kenapa kau ini?", tanya temanku lagi.
"Entahlah, agak panas aku rasa hari ini", jawabku menyembunyikan kegelisahan nafsuku.
"Kita mandi saja di empang sana, aku juga mau mandi, gerah sekali", ucap Paijo.
Akhirnya becak kami kayuh menuju empang, di mana kami sering mandi, dan kesempatanku untuk melampiaskan nafsuku pada temanku ini, nafsu setanku. Dan benar saja aku mendapat kesempatan untuk itu, tanpa sadar atau Paijo yang terbawa oleh pikiranku menjadi bernafsu sekali, kami bercumbu di dalam empang, dan aku menyodomi burit Paijo yang juga masih perawan, tanpa ada yang mengetahuinya aku terus memuaskan nafsuku hingga croorrtt.. Maniku moncrot untuk kedua kalinya di dalam lobang pantat Paijo dengan permainan yang sangat lama.
"Wah, gila sudah sore", ucap Paijo tidak sadar, tentu saja aku sudah memakai pakaianku dengan lengkap.
"Gila, apa aku ketiduran di empang ini, masa sampai sore mandi sih, bisa-bisa tidak dapat setoran nanti, yang dapat semprotan bini gua", ucap Paijo, aku menahan tawa.
Bersambung . . . .