Johan pun segera sadar apa maksud dua rekannya itu. Tapi dia ingin menggoda mereka, dan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dengan lagak bodoh ia pun bertanya, "Aku dari tadi melihat banyak hal. Tapi apa yang harus aku rahasiakan?"
"Dasar otak utang. Kamu kan tadi melihat apa yang sudah aku dan Iwan lakukan di kamar ganti itu!" bentak Tomi mencoba menggertak Johan.
Tetapi Johan tahu betul sifat dua sahabatnya itu. Karena itu, meskipun digertak seperti itu, dia pun tidak merasa takut. Ia yakin, Tomi hanya menggertak saja, maka ia pun tetap berpura-pura bego, "Oh maksud kalian, aku harus merahasiakan bahwa kalian sebenarnya homoseks, dan aku harus tidak boleh cerita ke orang lain, kalau kalian tadi asik dengan nafsu birahi oral seks di kamar ganti?" kata Johan sambil tersenyum-senyum nakal.
"Eh..! Hati-hati kamu bicara ya! Awas kamu ya, jangan seenaknya mengatakan kami ini homoseks. Tadi itu kan Cuma sekadar penyaluran libido saja" bentak Iwan tak mau kalah galak dibanding Tomi.
Ucapan Tomi itu bukannya membuat Johan ketakutan, tetapi malah membuat Johan tidak dapat menahan tawa. Ia pun langsung tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Iwan maupun Tomi. Ulah Johan itu justru membuat dua rekannya makin bingung, tak tahu lagi apa yang musti diperbuat.
"Wah, wah ternyata dua sahabatku ini galak-galak juga ya. Begini sajalah, kalian ini seharusnya berterima kasih padaku. Bukannya malah membentak dan main ancam begitu. Emangnya aku takut dengan gertakan kalian" kata Johan sembari menahan tawa.
Mendengar reaksi Johan itu, Iwan dan Tomi semakin bingung dan tidak bisa lagi berkata apa-apa. Mereka berdua hanya terdiam sambil menunduk lesu di sisi sisi kolam renang.
Merasa berada di atas angin, Johan pun melanjutkan kalimatnya, "Coba kalau tidak ada aku tadi, perbuatan kalian pasti bakal ketahuan pelatih yang galak itu. Bayangin aja, apa jadinya kalau pelatih melihat kalian sedang asik saling bercumbu dan mengisap kontol? Kalian pasti dikeluarkan dari klub renang, dan semua kelakuan kalian pasti akan diketahui semua teman di sekolah" ujar Johan, kali ini dengan mimik serius.
"Eng.. emm.. bukan gitu Jo, tapi.. tapi, benar juga katamu. Untung Cuma kamu yang melihat kami" ujar Iwan dengan nada lesu.
"Makanya, kalian jangan sok galak sekarang. Kelakuan kalian aku udah tahu" jawab Johan balas menekan dua rekannya.
"I.. iya, Jo, aku minta maaf ya, tapi janji ya, kamu jaga rahasia kami berdua" ucap Tomi memohon dengan wajah memelas.
"Ha.. ha.. tenang saja kawan. Bagaimanapun, kalian tetap sahabatku. Aku gak bakalan tega membongkar rahasia kalian. Lagi pula, sebenarnya.."
Belum sempat Johan menyelesaikan kalimatnya, Tomi segera menyela, "Akh.. terima kasih Jo.. terima kasih banget aku terharu mendengar ucapanmu."
Mendengar reaksi Tomi itu, Johan mendekati dua rekannya yang sedang berdiri berdampingan, kemudian melingkarkan tangannya pada pundak mereka.
"Iya, tenang aja kalian, tapi ada syaratnya lho" ujar Johan dengan tersenyum manis.
"Wah pakai syarat segala. Boleh aja deh kamu minta apa? Aku belikan khusus buat kamu. Asal kamu jangan terus memeras kami" ujar Iwan dengan cepat, juga dengan wajah memelas.
"Oh, bukan-bukan itu yang aku mau. Aku bukan serendah itu, tega memeras teman sendiri. Syaratnya gampang aja kok, dan kalian pasti juga akan senang."
"Ah.. apa itu Jo, katakan saja. Kami pasti akan memenuhinya, asal kamu tetap menjaga rahasia kami" ujar Tomi dengan penasaran.
"Gampang aja kok. Tiap kali kalian akan melakukan hubungan seks lagi, kalian harus mengajak aku" kata Johan sambil menatap dua wajah manis dihadapannya.
Tentu saja syarat itu membuat dua temannya itu terperanjat bukan main.
"Hah?! Apa kamu bilang? Aku gak salah dengar?!" ujar Iwan spontan, tidak percaya dengan pendengarannya.
"Kamu serius Jo? Kamu jangan permainkan kami terus dong. Please, please.." timpal Tomi tak kalah kaget.
"Duh kalian ini gimana sih? Kok sekarang jadi bego begini. Aku serius kok. Aku juga mau ikutan permainan seks kalian. Aku juga ingin merasakan enaknya kontolku kalian hisap sampai pejuku muncrat" jawab Johan tak kalah cepat.
"Tapi, tapi.. kamu kan, kamu" ujar Iwan tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, karena otaknya benar-benar sedang bingung.
Sementara Tomi juga bengong, berdiri mematung, tak mempercayai peristiwa yang serba mengejutkan itu. Mereka bertiga berdiri terdiam beberapa saat di pinggir kolam renang. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing, sampai tak peduli lagi dengan tatapan belasan pasang mata dari rekan-rekan mereka yang sudah selesai berganti pakaian dan satu persatu mulai meninggalkan kolam renang, hingga kolam renang itu pun sudah sunyi, tinggal mereka bertiga yang masih berdiri mematung. Kemudian terdengar suara lirih dari mulut Tomi.
"Jo, kalau kamu ingin merasakan kenikmatan yang kami rasakan, bukankah itu menjadikanmu homoseks juga, seperti kami?" ujar Tomi dengan nada ragu dan takut.
"Ah.. soal itu gak usah kalian pikirkan. Tenang sajalah, aku juga sama saja seperti kalian. Aku juga gay seperti kalian" sahut Johan tanpa sedikitpun keraguan mengenai jati dirinya yang sebenarnya.
"Hah?!" lagi-lagi Tomi dan Iwan serempak menunjukkan reaksi terkejut mereka.
"Jadi.. jadi kamu ini kamu ini.. gay juga?!" sekali lagi, Tomi dan Iwan kompak menanyakan hal yang sama.
"Memang iya, sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan hal ini pada kalian. Tapi aku takut, kalian malah memusuhiku, dan tidak mau lagi bersahabat denganku" ujar Johan kalem, sambil tetap tersenyum manis.
"Ah.. Ternyata, kita bertiga memang sama saja" sahut Iwan. Sambil menghembuskan nafas lega, Iwan pun memberikan senyum termanisnya untuk Johan.
"Jadi kamu serius ingin menikmati hubungan badan bersama kami?" tanya Tomi mencoba meyakinkan dirinya.
"Iya dong aku serius banget. Bahkan sudah sejak lama aku memimpikan bisa bermain seks bersama kalian" jawab Johan.
"Tapi tapi Jo.." belum sempat Iwan menyelesaikan kalimatnya, Johan sudah menyela, "Tapi kenapa Wan, memangnya ada apa?" tanya Johan.
Iwan tak segera menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya ia menatap lekat-lekat wajah Tomi yang ada di samping kirinya. Beberapa saat dua cowok manis itu saling bertatapan mata, tanpa berkata sepatah katapun.
"Duh kalian ini kenapa sih? Kok tiba-tiba jadi aneh gini? Kalau gak mau ya udah, aku gak maksa kok" ujar Johan dengan nada keheranan bercampur kesal.
"Jangan, jangan marah gitu dong Jo. Maksud kami bukan menolak kehadiranmu. Cuma.., Cuma sebenarnya.. sebenarnya.. Emm.. kami.. ini sudah.. emm" Iwan tidak dapat menyelesaikan kalimatnya karena dipenuhi keraguan dan bingung memilih kata-kata yang tepat.
"Iya.. Jo.. sebenarnya kami berdua sudah tiga bulan ini sepakat untuk menjalih hubungan cinta" ujar Tomi menyambung kalimat Iwan yang tidak sempat selesai tadi.
"Oh.. begitu, jadi ngerti aku. Untung kalian mau mengakui hubungan kalian. Ternyata kalian selama ini sudah pacaran ya?" ujar Johan dengan nada cemburu.
"Maafkan.. kami Jo, bukannya kami bermaksud membuatmu cemburu. Tapi memang begitu kenyataannya" balas Iwan dengan lembut.
Sambil memeluk erat bahu Johan, Iwan berusaha menghibur hati Johan yang sedang kecewa.
"Kamu mau kan memaafkan kami, Jo? Tapi kami masih tetap menjadikanmu sebagai sahabat kami yang paling dekat dan paling baik."
"Iya Jo, kamu jangan marah ya. Maafkan kami ya" timpal Tomi dengan nada prihatin, saat melihat mata Johan mulai berkaca-kaca.
Johan pun tak dapat menahan kesedihannya. Ia pun tak kuasa menahan tangisnya. Air matanya satu persatu mulai meleleh di pipinya.
"Ak.. akku ngerti kok. Kalau kalian memang saling mencintai, aku bisa ngerti. Aku gak mau lagi gangguin hubungan kalian.." ujar Johan sambil terisak, kemudian membalikkan badan, dan melangkah menuju ruang ganti, meninggalkan dua sahabatnya yang sedang terdiam.
Beberapa saat, Iwan dan Tomi masih berdiri mematung berdiam diri, sampai terdengar Tomi berujar lirih, "Wan.. sayangku aku gak tega melihat kesedihan Johan. Bagaimanapun dia sahabat kita, Wan."
"Iya Tom, Johan selama ini sungguh baik pada kita. Dia banyak membantu dan selalu setia kawan. Aku gak tega juga Tom" ujar Iwan sambil menghela nafas panjang, kemudian menghembuskannya kuat-kuat, seolah ingin melepaskan beban berat yang menyesaki dadanya.
Mereka pun kembali terdiam beberapa saat. Sampai kemudian, "Tom, kamu tahu gak apa yang aku pikirkan?" ujar Iwan sambil menatap wajah kekasihnya dengan mata berbinar, dan tersenyum-senyum simpul. "Hemm dari senyumanmu itu, aku bisa menebak arah pikiranmu, dan rasanya aku setuju dengan apa yang kamu pikirkan."
"Kalau kamu tahu, apa? Coba tebak" ujar Iwan sambil tersenyum dan menyandarkan kepalanya ke bahu Tomi dengan manja.
"Kalau tidak salah, kamu ingin membuat cinta segitiga di antara kita, dengan melibatkan Johan kan?" ujar Tomi ragu.
"Tepat sekali Tom. Kamu setuju kan? Daripada kita kehilangan sahabat terbaik kita, apa salahnya kita mau membagi cinta di antara kita."
"Aku sih setuju saja. Asalkan, Johan memang benar-benar juga mencintai kita. Aku tidak ingin, kita hanya menjadi tubuh tempat dia melampiaskan nafsu birahinya saja" ujar Tomi dengan nada tegas.
"Benar Tom, persis itu juga yang aku pikirkan. Jadi kita bisa tetap saling berhubungan tanpa ada beban lagi. Dan tidak ada lagi saling cemburu di antara kita" ujar Iwan dengan nada girang dan mata berbinar-binar.
"Oke saja sih, tetapi, tetapi.." Tomi pun kembali ragu.
"Kenapa Tom, apa lagi yang kamu ragukan?" tanya Iwan sambil memeluk pinggang Tomi yang ramping dan seksi.
"Bagaimana dengan hubungan seks kita? Apakah kita harus selalu melakukannya bertiga?" ujar Tomi tidak yakin.
"Ya jelas dong Tom. Kita harus melakukannya selalu bertiga. Tidak boleh di antara kita hanya melakukan hubungan seks berdua, sementara satu di antara kita tidak mengetahui atau tidak ikut. Kalau satu tidak ada, berarti tidak boleh ada seks, biar tidak ada kecemburuan lagi di antara kita bertiga" ujar Iwan panjang lebar berusaha menghapus keraguan di benak kekasihnya.
"Hemm aku pikir adil juga ya. Kecuali kalau satu di antara kita memang benar-benar tidak bisa ikut making love, karena sedang pergi keluar kota misalnya" sahut Tomi sambil tersenyum, "Dan.. rasanya hemm.. memang lebih asik dan lebih menyenangkan kalau kita melakukan threesome" sambung Tomi sambil tersenyum nakal.
"Ha.. ha.. dasar kamu ini. Otakmu ngeres ternyata kamu mau juga threesome. Apa selama ini aku kurang memuaskan buatmu?" sahut Iwan sambil memeluk erat tubuh kekasihnya, kemudian mencium bibir Tomi dengan sangat mesra.
"Akh kamu sih selama ini sangat memuaskan, malah sering membuatku kewalahan. Makanya, kalau ada Johan, dia pasti bisa mengimbangi nafsu kudamu itu" balas Tomi tak mau kalah, sambil membalas ciuman mesra Iwan.
"Udah, udah Tom, yuk kita susul Johan mumpung dia belum pulang" ujar Iwan sembari menarik tangan Tomi.
Bersambung . . . .