Rasanya ada tangan yang panas sekali menarik tanganku, agar aku menutup pintu. Mau tidak mau aku tutup pntu dan segera keluar ruangan. Sempat aku lihat Bang Jay yang sedang membungkukkan badannya dan membiarkan Adrian menyodokkan kontolnya di pantat.. Gila! Adegan gila yang pernah aku lihat!
Jantungku belum tenang. Aku melangkah dengan tubuh masih menggigil. Ada apa dengan kamu Yadi? Tadi kamu biarkan matamu melihat kemaksiatan itu, sekarang tubuh kamu meresponnya.. Hampir jatuh aku ketika turun tangga.. Ingin aku menutup mata dan membuang semua bayangan Adrian dan Bang Jay yang sedang bergumul di bawah pancuran.. Tapi susah sekali. Aku malu untuk minta ampun lagi.. Zina mata yang kulakukan tadi.. Ya Allah.. Nafasku ngos-ngosan, bukan karena turun tangga, tapi respon tubuhku terhadap apa yang kulihat.. Pandanganku tidak bisa hilang dari bayangan itu..
Satpam yang kutemui ketika akan makan tadi sore tidak ada. Mungkin sedang sholat dia. Hampir jam sembilan malam. Ketika aku berusaha untuk melepaskan diri dari pikiran jorok, entah kenapa, ada saja hal yang jorok itu dengan mudahnya tampil di depanku. Ya Allah, aku tahu ini semua ujian untukku. Masih kuatkah niat aku untuk jauh dari dosa-dosa itu.. Tapi jangan yang begitu ya Allah. Kembali hatiku, pikiranku berdialog. Bantu aku mencari alternatif, keluar dari semua ini..
Angkot yang kunaiki terasa cepat mencapai perhentian bis yang biasa kunaiki. Malam sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang kulihat sedang bawa sajadah, baru pulang sholat tarwih, mungkin. Ketika bis jurusan tempat tinggalku datang, segera aku mengejarnya. Ketika naik, kupersilakan seorang cewek yang.. hm, lumayan manis, naik duluan. Wanginya terasa segar di hidungku. Aku mengikuti dia dari belakang mencari kursi kosong. Dapat kulihat wajah-wajah lelah penumpang bis ini.
Hanya ada dua kursi kosong di deretan kursi dua. Kembali aku persilakan dia duduk di pinggir. Dia menurut, walau sedikit ragu.
"Saya mau turun di Kramat," kataku menjelaskan kenapa mau duduk di sisi tengah. Kupikir dia akan turun di terminal terakhir jalur bis ini.
"O..?" hanya itu yang terucap di bibirnya. Bibir yang indah, dengan sapuan lipstik yang tipis.
Setelah beberapa saat terdiam, dia bergerak mengambil tas kecil yang di pangkuannya. Baru aku perhatikan, dia memakai celana jeans dan blus yang longgar kerah cina yang panjang warna krem. Dapat kulihat kerudung yang terlipat di tasnya. Dia menjawab teleponnya.
"Gue lagi di bis," katanya.
"Nggak usah. Lu tak usah repot.. Kan udah gue bilang, kita tidak usah temuan lagi.. Iya nggak apa-apa.. Nggak usah!" suara kencangnya membuat beberapa penumpang menoleh ke arah kami.
"Nggak usah. Lu sudah nggak bisa jadi teman gue.. Gue udah bilang, cukuplah yang gue sampaikan.. kalau lu nggak mau ngertiin, ya udah. Dua tahun gue udah biarin lu.. Ya udahlah.. Gue di bis. Nggak enak, orang pada liatin ke sini.. Ya nggak!"
Akhirnya dia mematikan HP-nya. Jantungku berdetak, membuat aku mengelus dada.
"Maaf," katanya melihatku kaget tadi. Sungguh, aku memang kaget, seperti aku yang dimarahinnya langsung.
Aku tersenyum.
"Serius sekali teleponnya. Sampe marah begitu.." Dia menghela nafasnya berusaha tenang.
"Biasalah.." katanya akhirnya setelah beberapa saat terdiam. Aku memang menunggu komentarnya..
Kemudian dia bercerita. Pelan suaranya, mungkin supaya orang sekitar dalam bis ini tidak dengar. Katanya dia punya teman akrab, hubungan sudah dua tahun. Yang jadi masalah si temannya ini kembali berhubungan dengan cowok gay, yaitu bosnya sendiri. Hubungan mereka bukan hubungan antar cowok biasa tapi hubungan pasangan gay. Aku tidak percaya dengan pengakuan cerita dia. Kenapa dia mau pacaran dengan cowok yang sudah ketahuan gay.
"Gay itu menurutku gaya hidup saja," jelasnya.
"Seperti gaya hidup vegetarian, yang tidak suka makan daging. Atau gaya hidup lainnya yang mau beramping-ramping. Gaya hidup yang tidak sesuai kodrat yang diberikan Tuhan." Bicaranya tegas dan jelas.
"Kalau gay, ya gaya hidup berhubungan seks hanya dengan sesama."
"Dan semua itu dapat saja kembali menjadi normal lagi," tambahnya, sambil melihat ke arahku.
"Iya kan? kalau vegetarian mau kembali makan daging, kan nggak masalah. Atau orang yang diet ketat, kembali ingin makan sesukanya. Kita manusia, kodratnya diciptakan Tuhan agar kita tidak susah.." Dia menarik nafasnya. Ada usaha untuk menenangkan diri, agar tidak terlalu emosi.
"Masak kalau kita suka pizza, kemudian berusaha dan harus jadi orang Itali? Kan enggak la ya. Kodrat kita memang suka makan, tapi tidak harus menjadi orang lain kan? Kita punya nafsu seks, tapi kan ada aturannya untuk menyalurkannya. Tuhan menciptakan kita dapat berpikir, maka gunakanlah."
Kami berdiskusi seperti dua sahabat yang lama kenal. Padahal, nama pun belum saling menyebutkan. Ini kebiasaanku, kalau bicara sama orang yang baru ketemu di tempat umum seperti ini. Nggak sopan kali ya? Aku setuju saja dengan apa yang disampaikannya. Katanya dia sudah membantu cowoknya agar mengerti, hubungan dengan bosnya itu salah. Tapi nyatanya pacarnya tetap berhubungan.
"Dan kupikir, hubungan itu dasarnya materi saja. Temanku itu rupanya merosoti harta bosnya.. Yang sudah sangat tergantung sama dia, itu yang sangat aku tidak suka. Itu sudah bukan gaya hidup lagi, tapi sudah penipuan.."
"Aku salut sama kamu, kamu bantu orang yang-boleh dibilang tidak normal. Jarang lho, ada cewek yang mau sama cowok yang gay," kataku. Dalam hati aku mau memastikan, adakah cewek yang mau sama aku, orang suka yang keindahan ciptaan Tuhan, khususnya cowok.
"Cowok itu macam-macam. Ada yang suka ML, suka marah, suka mabok, suka sama sesama. Dan suka macam-macam lagi. Jadi, tinggal dibantu saja, diberi pengertian mana yang benar mana yang salah. Bukannya dijauhi atau dimusuhi. Semua sifat dan nafsu itu kan kodrat dari Tuhan. Tidak bisa dibantah. Yang diperlukan ya, penyaluran yang benar saja," katanya menjelaskan.
Benar juga. Ada tips yang pernah kubaca, topik untuk berkenalan dengan seseorang jangan menyinggung masalah SARA, yaitu suku, adat, ras dan agama, kalau perlu tambah politik. Tapi malam ini kami bicara menyerempet sedikit ke agama. Selagi aku senang dan dia tidak masalah, percakapan kami lancar-lancar saja.
"Turun di Kramat kan?" dia mengingatkanku. Kendaraan di jalanan sudah tidak begitu rame.
"Iya, terima kasih. Turun dimana?" tanyaku bersiap berdiri.
"Sama, aku juga turun di Kramat," jawabnya yang membuat aku kaget.
Dengan senang hati kupersilakan dia jalan duluan untuk turun. Dalam hati, aku ucapkan syukur telah dipertemukan dengan cewek ini. Ini bukan kebetulan, tapi sudah aturan Tuhan. Di depan jalan masuk, aku bimbang, tapi entah kenapa 'rasa' itu tiba-tiba muncul.
"Kuantar ya..?" tawarku, sedikit ragu.
"Ya, kalau tidak keberatan. Nggak jauh dari sini kok. Kita jalan saja.." rupanya dia menunggu aku menawarkan diri. Walau dia sangat berharap ada yang mau mengantar, paling tidak dari persimpangan jalan di depan, yang jadi markasnya anak-anak Ambon. Memang rada serem sih..
Sambil berjalan, kami berbincang lagi. Sekarang dia mau ke rumah sepupunya sebagai usaha menghindar dari temannya yang suka dengan sesama itu. Dia merasa apa yang telah diusahakannya sudah sia-sia. Dia memang tidak menuntut temannya langsung berubah, tapi usaha pelan-pelan untuk berubahpun, selama dua tahun, tidak terjadi apa-apa yang berarti. Temannya belum dapat untuk 'pindah total' ke dunia yang normal. Dia merasa sudah tak bisa apa-apa lagi.
Aku suka dengan keterbukaannya terhadapku. Juga tehadap pendapatnya yang menerima kekurangan seorangi cowok yang suka sesama. Dia katakan, saat sekarang banyak cewek yang mau menerima cowok yang bermasalah itu, asal memang dapat terus menjaga diri untuk tidak berlaku tidak normal lagi. Begitu katanya. Ada segi positif cowok yang punya kepribadian yang suka sesama itu, cuma dia tidak katakan terus terang.
Ada sekitar dua puluh menit kami berjalan, baru sampai ke rumah yang dituju. sudah hampir jam 12 tengah malam. Jarak rumahnya dari jalan depan tadi, dibandingkan ke tempat kostku juga sama. kalau ke tempat kostku, belok di gang pertama tadi.
Entah kenapa, ada rasa lega dan nyaman setelah aku bertemu dengan Elga, begitu dia menyebut dirinya. Aku berkenalan dengan keluarga sepupunya itu. Elga terus terang kalau baru kenal aku ketika tadi di bis kepada saudara sepupunya itu. Mereka tentu saja agak terkejut dengan kebaikanku mau menemani dan mengantar Elga. Kukatakan kalau itu keharusan kita sebagai sesama.
Keluarga yang baik, begitu penilaianku. Aku tidak lama di rumah saudaranya itu. Tapi aku ingin untuk datang lagi, pada saat yang lebih baik. Entah kenapa timbul keyakinanku untuk berusaha membuang 'ketidaknormalanku'. Aku harus total 'pindah dunia', seperti Elga bilang sama cowoknya yang gay itu, kalau mau kembali 'normal'. Terima kasih Tuhan, telah mempertemukan aku dengan Elga.
Aku ingat apa yang telah kulakukan beberapa hari belakangan ini sebagai usahaku untuk 'berubah'. Semua yang berbau porno sudah kubuang. Yang belum aku lakukan, dan agak berat adalah: menjauh dari teman-teman serta lingkungan yang akan selalu menggodaku, atau paling tidak, mudah untuk ingat lagi 'kenikmatan semu' itu. Aku harus pindah kerja dan pindah tempat tinggal. Aku harus ganti nomor HP. Yang jelas, usaha ini aku akan serahkan semua kepada Tuhan, biar Tuhan yang bantu aku, lewat siapa saja di dunia ini, agar aku menjadi umatnya yang benar. Amin!
Malam ini, aku sholat malam dengan khusuk. Kunyatakan dosa-dosaku pada Tuhan dan kuminta pengampuannya. Semua rasanya seperti diputar ulang di mataku. Ya Tuhan, betapa berdosanya aku! Sombongnya aku sebagai umatmu! Air mataku mengalir deras, tubuhku terguncang kencang ketika sujud yang lama sekali. Sholatku penuh isak tangisku. Aku begitu cengeng malam ini. Segala pengampunan itu seperti tumpah malam ini. Rasanya aku malu untuk memperlihatkan wajahku kepada Tuhan. Aku harus jadi diriku sendiri, yang berjalan di jalur yang lurus untuk dapat anugerah nikmat Tuhan. Aku adalah Yadi!

Tamat