Lee berjalan mengikutiku. Teriakan teman-teman kubalas dengan lambaian tangan saja. Waktu dalam perjalanan pulang Lee membeli 2 tin minuman labu merah dan menyuruhku menghabiskannya. Untuk hilangkan pengaruh akohol dan baunya di mulut, katanya. Rupanya dia sudah tahu maksudku mengajaknya pulang.
Sesampai di asrama aku kunci pintu asrama dari dalam sehingga tidak dapat dibuka dari luar. Lee memekik kaget ketika aku meraih tubuhnya dari belakang. Dia membalikkan badan dan ku angkat badannya. Lumayan berat juga. Kakinya melingkari pinggangku dan tangannya menekan bahuku. Kuangkat dia menuju kamarku lalu kujatuhan badan kami berdua di ranjangku. Dengan cepat kami melepaskan jaket dan sarung tangan masing-masing. Tinggal celana dan kaus saja yang melekat di tubuh kami.
Kami bergulingan di ranjang besiku. Saling meraba, meremas dan bibir kami berpagutan. Tangan kami saling menelusup ke balik celana. Jagoanku kini semakin pandai bercumbu. Sudah tidak kaku dan malu-malu lagi.
Aku berbaring tenang tanpa berbuat apa-apa. Kubiarkan Lee yang beraksi. Lee juga sudah dapat menguasai diri. Dia melakukan cumbuan dengan tenang. Tubuhku dihimpitnya, penis kami saling bergesekan dengan paha masing-masing. Sama-sama sudah mengeras. Kami berpandangan sejenak sebelum memulai ciuman. Kupejam mata, bersikap pasif. Kehangatan mulutnya kuresapi. Begitu nikmat terasa. Menjalar seluruh tubuhku.
Tetesan liurnya terasa lebih manis daripada madu di mulutku. Kubelai berkali-kali rambutnya. Dia menghentikan ciumannya. Menatapku. Kutarik wajahnya dan kuciumi pipinya kiri kanan dan keningnya sambil tetap ku belai rambutnya. Lee menghentikan aksiku dengan menggenggam kedua pergelangan tanganku dan meletakkan diatas kepalaku. Kurasakan geli-geli basah ketika lidahnya mulai menelusuri leherku disertai hisapan lembut, berputar-putar diselingi gigitan kecil yang membuat mataku terpejam-pejam. Lidahnya terus menelusur turun ke dadaku, dan berhenti di puting kananku.
"Uch, aah". Desahku menahan geli dan nikmat dari lidahnya yang menjilati dan menghisap putingku seperti menjilati permen.
Badanku bergetar. Menggelinjang. Penisku makin berdenyut kencang. Lee menindihku semakin kuat sambil mengoyangkan tubuhnya. Penis kami makin terasa saling menekan. Lee melakukan jilatannya ke puting kiriku juga. Dan diulanginya terus, bergantian kiri kanan. Aku kelojotan seperti orang sekarat. Aku mengerang seperti orang kesakitan, namun aku tidak berdaya menghentikan Lee karena kedua tanganku di genggamnya erat. Aku dapat bernafas lega saat Lee menghentikan jilatannya. Dan kini dia sibuk melepaskan celanaku. Kuangkat pantatku untuk memudahkan dia. Ditariknya celanaku sampai di lutut. Begitu celanaku melorot, tampaklah gundukan yang hendak meronta keluar dari CDku yang ketat. Lee menatapku sesaat.
Kemudian di terkamnya penisku yang masih didalam CD. Digigitinya pelan sambil di goyang-goyangkannya kepalanya. Buah pelirku juga tidak luput dari keganasannya. Setelah CDku basah oleh air liurnya, dikeluarkannya penisku dan dikulumnya sedikit-sedikit sampai akhirnya seluruh batangku tenggelam dalam mulutnya. Disedotnya sambil dimainkannya dengan lidahnya. Pelirku yang diremasnya membuat permainannya tambah sempurna. Mulutmya maju mundur memberi kenikmatan yang membuatku terasa di awang-awang. Selama 4 menit aku dibuatnya mendesah sampai kurasakan spermaku akan keluar.
Aku mau mencabut penisku, tapi rupanya Lee sudah tahu niatku dan digigitnya penisku sembari tangannya menekan badanku untuk kembali berbaring. Akhirnya kubiarkan aku di puaskan dulu oleh Lee. Dan aku berjanji untuk menuntaskan permainan cinta ini sampai Lee juga puas meski nafsuku nanti sudah down. Penisku makin membengkak di mulutnya. Lee dengan tangan kanannya mengusap-usap pahaku dan sedotannya makin di perkuat.
"Aach.. Aach.. Lee".
Kutekan kepalanya hingga mentok ke pangkal penisku saat semprotan spermaku tidak tertahan lagi. Lama aku terdiam sambil memejamkan mata. Meresapi kenikmatan yang baru saja kurasakan. Lee masih menjilati sisa-sisa sperma di penisku yang mulai mengendur.
"Kau telan semua, Lee?" Kupandang wajah yang telah memuaskanku.
Dia mengangguk, kelihatan bangga. Seperti pahlawan yang baru saja memenangkan pertempuran. Didekatkannya mukanya kepadaku. Kami kembali berciuman. Mulutnya beraroma anyir sperma, tapi makin membuat ciuman kami semakin mesra.
Sekarang giliranku untuk membuat Lee memuntahkan spermanya. Baru 2 menit aku menggumuli dan menciumi Lee, terdengar suara pintu asrama yang dipaksa terbuka. Tadi pintu itu aku kunci dari dalam. Jadi orang dari luar tidak dapat masuk. Tanpa dikomando kami cepat-cepat membereskan kembali pakaian masing-masing. Ternyata Song Min yang datang. Dia juga tidak suka minum bir, karena itu dia pulang awal.
"Kenapa pintunya di kunci?" Sambutnya saat aku membuka pintu untuknya.
"Kalian sedang buat apa?" Tanyanya curiga saat melihat Lee juga di dalam, sedang melihat TV.
"Melihat TV saja." Jawabku santai.
Aku duduk di sebelah Lee. Lee kemudian buru-buru masuk ke kamarnya. Ketika Song Min ganti pakaian di kamarnya, aku matikan TV dan masuk ke kamarku. Kudengar pintu kamarku dibuka. Kupejamkan mata pura-pura tidur. Seseorang duduk di tepi ranjangku. Memegang tanganku.
"Hui.." Suaranya lembut memanggilku.
Ternyata Song Min yang masuk. Aku tetap diam, namun dadaku mulai berdebar-debar. Aku mulai terangsang lagi. Selama ini Song Min yang satu department kerja denganku selalu berusaha mendapatkan hatiku. Dia sering mengucapkan kata cinta yang selalu aku balas dengan senyuman saja. Namun aku selalu membiarkan dia memijitku kalau waktu istirahat. Juga kalau dia mempermainkan jemariku sambil memandangi wajahku.
Yang penting dia tidak seperti Hyon Jae yang suka mencium pipiku di depan teman-teman. Aku malu diperlakukan begitu oleh anak yang lebih muda dariku. Di Korea, selisih umur 1 tahun saja sudah membuat perbedaan perlakuan. Hyon Jae yang baru 19 tahun seharusnya tidak boleh berbuat begitu kepadaku yang sudah 20 tahun. Kalau Song Min anaknya sopan dan lembut, tapi bukan sissy. Pakaiannya selalu trendy dan modis. Sesuai dengan tubuhnya yang ramping. Bibirnya tipis, hidungnya seperti hidung Andy Lau, tetapi matanya tidak sebagus mata Lee. Dia tidak pernah bercanda atau bertingkah urakan seperti teman-teman yang lain. Betul-betul tipe anak mami.
Dan malam ini. Saat asrama sepi dan Lee berada dikamar, merupakan kesempatan buatnya mendekatiku. Tangannya mulai menjamah rambutku. Kubiarkan saja.
"Hui.." Panggilnya lagi.
Tetap aku membisu. Tiba-tiba dia menindih dan memelukku serta menciumi wajahku. Aku terbangun dan pura-pura kaget. Tangannya menekanku. Memintaku tetap berbaring. Akhirnya ku biarkan saja dia menciumiku.
"Song Min, kamu ini kenapa. Nanti ada yang lihat kita." Ucapku tenang sambil tetap membiarkan dia menciumi leherku kiri kanan.
Dia tidak menjawab. Nafasnya terdengar memburu di telingaku. Kucoba menahan nafsuku. Aku takut ada yang masuk dan melihat kami. Apalagi kalau Lee yang masuk, bisa berantem kami nanti. Lalu aku dorong Song Min dan bangkit duduk di tepi ranjang.
Ku tenangkan dia dengan kupegang bahunya. Pandanganku kubuat seteduh mungkin agar dia tidak malu atau merasa bersalah.
"Aku mau tidur, nih. Sudah mengantuk." Ucapku kepadanya dengan suara yang lembut tapi tegas.
"Kamu juga harus tidur. Sebentar lagi teman-teman pasti pulang." Lanjutku sambil mengusap rambutnya.
Seperti seorang Kakak kepada adiknya. Kalau soal bersikap sebagai Kakak, itu memang sifatku karena aku terbiasa menghadapi Adik-adikku yang bandel-bandel. Dan lagi aku kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari papaku, karena itu aku berusaha untuk memberikan kasih sayang. Terutama kepada yang lebih muda dariku. Aku selalu memperlakukannya seperti adikku. Aku kurang bergaul dengan orang yang lebih tua, karena biasanya mereka selalu merasa lebih dari yang muda. Sehingga naluriku sebagai seorang Kakak tidak dapat tersalurkan. Dengan wajah kecewa Song Min pun keluar dari kamarku. Tiba-tiba aku merasa kasihan kepadanya. Aku selalu merasa sedih kalau terpaksa harus mengecewakan orang.
*****
Beri aku tempat buat impianku menetap
Di angkasa yang kau berikan kuingin selamanya berada
Beri aku persimpangan asalkan masih ada jalan
Ketika kau perlu impian aku ada disana
Telah ku jalani segalanya namun semua hampa belaka
Kehidupan adalah sepi yang tak berakhir
Dalam kepedihan hati aku berjalan tanpa sesalan
Melewati semua yang ada di hatimu
Saat daun merah mengecup musim gugur
Itulah saat paling sepi dalam hidupku
Kulalui putaran waktu jatuh bangun di depanmu
Saat musim gugur meninggalkan daun merah sendirian
Kusadar bahwa aku hanya sebuah impian buatmu
Namun engkau adalah keabadianku
*****
Aku menggeliat malas sebelum bangkit dari ranjangku. Hari minggu ini akan terasa sepi. Pukul 7 tadi Lee membangunkanku untuk menemaninya menemui kakaknya di In Chon. Katanya kakaknya baru saja menilfon dan menyuruhnya datang. Dengan alasan sakit kepala aku menolak. Bukan apa, aku cuma malas menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang pasti nanti kakaknya tanyakan.
Selama ini orang Korea mengenal Indonesia dari acara petualangan setiap hari minggu pagi yang pastinya menampilkan tempat-tempat setengah primitif. Dimana orang-orang disana masih memakai cawat saja dan bahkan kaum wanitanya masih bertelanjang saja. Karena itu banyak orang yang tidak percaya kalau aku ini orang Indonesia. Yang paling menyedihkan ada yang menanyakan adakah TV dan pesawat terbang di Indonesia.
Ada kejadian lucu saat aku merokok dalam asrama. Waktu itu aku baru sampai di Korea dan masih ada rokok tembakau yang aku bawa. Saat aku mulai mengepulkan asap rokokku, satu persatu dari mereka berlarian keluar. Ada yang masuk kekamar dan yang mencoba bertahan terus membuka jendela agar angin dapat masuk. Padahal saat itu udara sudah mulai dingin. Ternyata mereka tidak tahan dengan bau asap tembakau yang menyengat. Sementara mereka biasa dengan rokok putih.
Kulihat asrama sepi. Tak seorangpun yang kelihatan. Mungkin mereka sedang makan di dapur karena sekarang sudah pukul 11. Selesai mandi kulihat teman-teman sudah berdandan untuk pergi keluar. Beberapa orang asyik melihat TV. Diantara mereka aku melihat Song Min. Dia melirik padaku sekilas. Mungkin dia malu atas peristiwa semalam. Kuhampiri dia dan duduk di belakangnya. Kutarik tubuhnya dan kudekap. Aku mencoba membuatnya santai seperti tidak terjadi apa-apa. Tak lama kemudian kamipun berbincang dan bergurau seperti biasa.
Menjelang siang teman-teman mulai keluar satu persatu. Sedang yang lain tidur siang. Song Min mengajak aku pergi ke kota Pu Pyong, namun aku tolak. Karena akupun mulai mengantuk. Cuaca yang dingin begini memang saat yang tepat untuk tidur. Apalagi kalau ada yang dipeluk. Saat aku berbaring untuk tidur, Song Min datang dan duduk di sampingku. Kubuka mataku. Song Min cengengesan memandangku.
"Kamu mau apa dekat-dekat?" Tanyaku sambil tersenyum menahan tawa, karena aku sudah tahu maksudnya.
Bersambung . . . . .