camar itu melayang menuju masa silam
melintasi cakrawala di hatiku
mengusik kembali pepuing kenangan lalu
bolehkah merindu, salahkah membenci
cinta telah membeku di genggamanku
asmara usang berdebu di dekapanku
camar tua telah kehilangan arah
pelabuhan hati tiada dijumpai
mengarungi sepi mengais mimpi
penantian ini tiada pasti
*****
Autumn 96
Malam ini angin yang berhembus terasa lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya. Aku berjalan terseok-seok dari ssato Kafe tempat teman-teman biasa minum. Orang-orang yang berlalu lalang di jalan tampak merapatkan jaket mereka dan berjalan tergesa-gesa agar cepat sampai di rumah mereka.
Reaksi alkohol yang telah aku minum membuatku tidak begitu terganggu dengan udara malam ini. Hari ini mandorku mengajak teman-teman satu department kerja untuk minum bersama sekalian menyambut kedatanganku sebagai pekerja baru di tempat itu. Hampir lima botol besar bir aku habiskan untuk bersulang bersama teman-teman.
Saat itu Song Min sudah mulai dekat-dekat aku. Dia duduk di sebelahku dan menuangkan bir kedalam gelasku, meski dia sendiri tidak minum. Sayang sekali Lee, anak yang aku lihat bermain basket waktu itu tidak ada bersama kami. Dia bekerja di bagian lain sehingga dia tidak termasuk dari teman-teman yang diajak minum malam ini. Sejak melihatnya saat itu aku langsung menyukainya.
Petang itu dari jendela asrama aku melihat dia bermain seorang diri di lapangan basket. Melihatnya bercucuran keringat, membuatku ingin mengusapnya. Pipinya yang putih tampak sudah kemerahan. Namun dia masih meneruskan permainan bolanya. Badannya cukup tegap meski tidak dapat di sebut kekar.
Saat aku keluar dari asrama untuk melihatnya lebih dekat, tatapan mata yang bulat dari balik kacamatanya membuatku semakin ingin memilikinya. Walaupun belum sempat berkenalan dengannya, aku sudah mencari info tentangnya. Teman-teman yang lain masih meneruskan acara minumnya, bahkan berencana untuk karaoke. Maka aku memutuskan untuk pulang ke asrama.
Aku sudah mabuk. Aku tidak ingin sampai muntah dan merepotkan orang lain. Meski berjalan sambil terhuyung-huyung akhirnya sampai juga aku di gerbang asrama. Kudengar ada suara langkah di belakangku. Mungkin ada teman lain yang juga pulang pikirku. Kuteruskan langkahku untuk menaiki tangga menuju asrama di lantai dua.
Aku mengumpat keras tatkala rasa pening di kepalaku membuat mataku kabur dan aku terpeleset. Ku geleng-gelengkan kepala untuk mengusir pening itu, tapi hal itu malah membuat kepalaku makin pusing tujuh keliling. Saat kucoba untuk kembali naik, ada seseorang memegang lenganku dan membantuku naik. Aku reflek menoleh. Dan kudapati seorang pemuda yang menatapku dengan pandangan kuatir. Pemuda yang telah mencuri hatiku di lapangan basket hari itu. Dengan pelan-pelan dia membantuku untuk menaiki tangga hingga kami sampai ke pintu asrama.
"Jangan minum terlalu banyak. Tidak baik untuk tubuhmu" Ujarnya sambil membawaku masuk asrama.
Aku yang sudah mabuk tidak lagi dapat banyak berkata dan berpikir. Begitu sampai di kamar, aku langsung berbaring dan tertidur. Sejak malam itu kami cepat menjadi akrab. Setiap ada kesempatan selalu aku lewatkan bersama Lee. Tidak pernah lupa aku belikan dia permen karet yang selalu sepotong kami bagi berdua. Kami juga sering bercanda gila-gilaan. Kadang aku diam-diam mendatanginya saat dia sedang kencing lalu kudorong pantatnya, dan kemudian dia mengejarku untuk mengacak-acak rambutku.
Juga sering waktu istirahat dia melompat naik ke punggungku. Saat bersamanya aku menikmati setiap debaran aneh yang berdegup di dadaku. Ketika menatap mata indah yang tersembunyi di balik kaca matanya, aku seolah tenggelam dalam keteduhan pandangannya.
Setuhan jemari Lee saat mengacak rambutku, kurasakan menimbulkan debaran yang melenakan. Debaran yang indah. Kadang debaran itu bagaikan gemersik dedaun musim gugur yang mengecup bumi. Kadang juga terasa bagai kepakan sayap burung kecil yang gelisah. Dan bila belum berjumpa dengan Lee, burung kecil itu terasa lemas dan tidak bernyawa.
Dalam asrama juga aku berusaha untuk selalu bersamanya. Saat sedang menonton TV, aku berusaha menolak bila teman-teman yang lain mendekatiku untuk memeluk ataupun di peluk. Dan apabila Lee datang, dengan tatapanku saja dia sudah tahu bahwa aku mengharapkan dia bersandar dalam pelukanku. Aku nikmati kehangatan tubuhnya setiap kali memeluknya. Tanpa malu-malu aku hirup keharuman rambutnya. Aku gesekan hidungku di rambutnya sampai dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Dan tanpa aku pinta penisku turut berdiri kala tubuh Lee yang hangat menindihnya. Sengaja kubiarkan penisku menekan punggung Lee. Dan akhirnya kulihat dia menoleh sekilas padaku dengan rona merah di wajahnya yang membuatku gemas menahan keinginan untuk mengecupnya.
*****
airmata hapuskan jejak cintaku
aku terpaku dalam putaran waktu
di jalanan panjang tanpa arah di tuju
dalam pilu kubawa rindu berlalu
masih adakah tempat buat mengadu
meratapi malam yang nyalakan rindu
Dalam sepi terdengar lagu cintamu
cinta yang hilang dari genggamanku
*****
Seperti biasa aku datang ke tempat Jin Yong setiap malam minggu. Tidak lupa aku bawa soju dan beberapa makanan kecil. Tapi aku terkejut saat kulihat Tony pun ada di sana. Aku bersikap seperti biasa meskipun jantungku berdebar-debar. Aku masih malu karena peristiwa malam itu di mana mereka mencumbu aku yang sedang mabuk. Tapi terus terang aku suka juga dengan Tony karena orangnya yang ramah dan keren.
Lalu kami mengobrol sambil menonton TV sampai akhirnya Tony mengajak memutar video yang di bawanya. Seperti yang sudah kuduga, ternyata itu film gay. Untuk pertama kali aku menyaksikan film gay. Dan aku sangat terangsang melihatnya. Menyaksikan dua orang pria bule saling menghisap batang penis yang besar membuat adikku di dalam celana mulai menggeliat. Di sebelah aku lihat Tony dengan cuek mengusap-usap dan memijat penisnya yang membengkak di balik celananya. Aku coba meliriknya dan rupanya dia juga melihat ke arahku sambil melemparkan senyuman.
Aku masukan tanganku kedalam celana untuk membetulkan penisku yang terasa sakit karena celanaku yang agak ketat. Tony yang duduk di sampingku tiba-tiba mendekat dan mulai mengusap-usap punggungku, membuat aku semakin horny. Aku diam saja dan menikmati sentuhannya. Melihat reaksiku, Tony semakin berani. Aku mengutuki diriku sendiri yang membiarkan saja Tony bergeser ke belakangku dan mulai mencumbuiku.
Tangannya membelai kudukku dan menghembuskan nafas hangatnya di leherku. Aku memejamkan mata menikmati gairah yang mulai membakar diriku. Tony menelusupkan tangan kirinya kedalam kausku dan merambah dadaku dengan kelincahan jemarinya sementara tangan kanannya mendekap bahuku dan membawaku dalam pelukannya. Tangannya yang hangat merambah dadaku dan meremasnya dengan lembut. Jemarinya mengusap kulit tubuhku hingga terasa geli yang menyenangkan. Aku terlena dalam cumbuannya. Dia mulai melumat dan menjilati leherku. Aku mendesah dan menggeliat dalam pelukannya yang hangat.
"Euhh.." Desisku saat jemari Tony bermain di putingku.
Aku seperti kena setrum. Kepalaku mendongak sambil mataku terpejam keenakan. Tanpa sadar jemariku merayap di celananya sampai kutemukan batang hangat yang sudah keras dan berdenyut. Kuremas dan kupijat dengan gemas sambil aku mendesah oleh kecupan dan permainan tangannya di puting dadaku. Dengan mata terpejam aku menurut saja saat dia melepas kaus yang kupakai. Aku lihat Jin Yong cuma memandangi kami berdua.
Aku hanya menggeliat sambil mendesah ketika Tony menjilat dan mengigiti bahu dan punggungku yang terbuka di hadapannya. Sembari mengerjai belakangku, tangannya dengan lihai merangsang titik-titik peka di dadaku. Putaran dan usapannya di putingku menimbulkan getaran yang menjalar sampai ke penisku. Kehangatan nafasnya dan gelitik basah lidahnya membuatku mengigil dalam gairah. Panas dingin badanku dibuatnya. Aku berbalik badan. Dan kini kami saling berhadapan. Aku raih Tony dalam pelukanku dan kudekatkan mukaku untuk mencium bibirnya.
Dengan bernafsu aku melumat-lumat bibir Tony yang meski tipis tapi cukup seksi dan menggairahkan untuk di kulum. Sambil kulumat bibirnya, aku gigiti dan kuhisap cairan mulutnya. Tanganku membelai sembari sesekali meremas rambutnya. Kami berciuman bagaikan orang kelaparan. Sampai menimbulkan bunyi kecipak yang menambah rangsangan. Tangan Tony tidak tinggal diam. Mulai meremas-remas batang kemaluanku yang sudah berdiri dari tadi. Ciuman kami terlepas dan aku mendesah di dekat telinganya. Bibirku melumat batang lehernya sambil kudekap kepalanya erat-erat.
Bersambung . . . . .