"Aarrgghh.." desahku saat jarinya kembali menyiksaku dengan kenikmatan. Kain seprei di bawah kontolku sudah basah, ternoda dengan cairan pra-ejakulasiku.
"Enak ya?" tanyanya. Suaranya terdengar memabukkan, membuatku semakin horny saja. Dokter itu malah semakin giat menyodomi anusku dengan jarinya.
"Aarrgghh.. Oohh.. Aahh.." desahku, kepalaku berputar-putar dengan nafsu.
"Aahh.. Iya, dokter.. Oohh.. Enak banget.. Aahh.."
"Lebih enak mana? Jariku atau kontol cowok yang menyodomimu hingga begini?" tanyanya lagi, kali ini lebih menjurus.
Dalam hati, aku bertanya, 'Kok pertanyaannya begitu? Apa maksudnya? Apa dia juga homo kayak gue?' Namun kuputuskan untuk menjawab saja secara jujur.
"Aahh.. Jari dokter enak.. Oohh.. Kayak kontol.. Aahh.. Lebih enak lagi kalo dokter bisa.. Aahh.. Sodomi aku ama.. Hhoohh.. Kontol dokter.. Aahh.."
Urat maluku mendadak putus begitu saja. Aku tak peduli apakah perkataanku bakal memancing masalah atau tidak. Yang kutahu adalah aku terlalu bergairah akibat digoda si dokter itu dan aku harus memuaskan gairahku.
"Kamu yang minta, loh," ujarnya.
Dan tiba-tiba saja jarinya mundur keluar. Lubangku seketika itu juga terasa kosong dan menganga lebar. Aku mengerang dengan penuh rasa putus asa, ingin dikerjai lagi. Namun saat aku menoleh ke belakang, aku melihat dokter itu sudah bertelanjang bulat. Kontolnya ngaceng dan panjang, mungkin sekitar 18 sentimeter, bersunat. Kepala kontolnya yang berwarna kemerahan basah dengan precum. Rupanya dari tadi dia juga sudah terangsang.
"Kaget, ya? Sebelum tadi aku memeriksa anusmu, aku sudah telanjang duluan. Kamu saja yang tidak sadar," katanya penuh senyum.
Mataku menjalari tubuhnya, dari puncak kepala sampai ke jempol kaki. Badannya sungguh sempurna. Memang tidak sebesar binaragawan, namun lumayan berotot seperti petinju. Lehernya kokoh menyangga kepalanya. Di dasar lehernya, tersambung badan yang luar biasa seksi. Bahunya lebar dan kekar. Dadanya bidang, padat, dan hampir bengkak dengan otot. Di bawah dada seksi itu ada otot six-pack yang lumayan. Sekilas dia sama sekali tak tampak seperti dokter jika sedang bertelanjang bulat seperti itu. Sungguh, pria sempurna dengan badan yang sempurna pula. Ketika dia mendekatiku, aku nyaris kehabisan napas karena tegang! Selama ini aku hanya bisa mebayangkan bercinta dengan pria atletis seperti dia di dalam benakku, namun tak pernah menyangka bahwa fantasiku itu akan terwujud.
"Bagaimana? Suka dengan badanku?" tanyanya menggodaku. Aku hanya mengangguk-nganguk seperti orang bodoh.
"Kamu cakep sekali. Aku paling suka pemuda seusia kamu. Muda, boyish, langsing, putih dan mulus. Aku tahu apa yang kamu pikirkan sekarang. Aku bukan homo, kok. Tapi aku juga sangat doyan cowok." Aku bingung mendengar penjelasannya. Bagaimana mungkin dia bukan homo jika dia menyatakan bahwa dia suka cowok. Dokter itu membuatku pusing.
"Hampir semua pasien cowokku, kalau aku suka, telah kugagahi. Tentu saja aku sengaja memilih pasien yang tak terlalu sakit dan masih agak kuat. Kalau homo, mereka langsung jatuh berlutut di bawah kakiku. Walaupun ada yang protes karena mereka hanya mau menyodomi dan tak mau disodomi. Tapi akhirnya, dengan keseksianku, mereka jatuh juga. Sedangkan, kalau yang straight, biasanya kuiming-imingi biaya berobat gratis. Karena kamu homo, kamu mau 'kan kugagahi? Ditanggung puas," katanya.
Kontolnya yang keras ditempelkan di bibir anusku yang bengkak. Aku hanya bisa mendesah sebagai jawaban ya. Hanya satu yang kumau, kontolnya! Dengan lembut namun bertenaga, dokter itu memposisikan tubuhku sehingga kini aku berdiri di lantai dengan badan membungkuk di atas ranjang. Pantatku terekspos untuk dia entot. Tanpa dapat ditahan, anusku berkedut-kedut dengan tak sabar.
"Kamu yakin mau kontolku? Kontolku gede, loh. Kamu pasti akan kesakitan. Sekarang saja anusmu sudah bengkak begitu. Setelah kuentot, anusmu bakal lebih bengkak dan perih lagi."
"Gak 'pa-pa. Asal bisa merasakan hajaran kontol dokter, saya sudah senang. Aahh.. Cepat, dok. Entot pantatku. Saya mau kontol dokter. Ayo.." rengekku.
Tentu saja kata-kataku saat itu terlontar karena aku sedang di bawah pengaruh nafsu birahi sesaat. Begitu aku mencapai klimaks, aku yakin aku akan sangat menyesalinya karena anusku akan menjadi jauh lebih perih lagi. Namun jika kontol sudah mengambil alih pikiran, apa yang dapat kuperbuat?
"Oohh.. Fuck me.. entot pantatku.. Oohh.. Ayolah, dok.. Aahh.."
Kudorong pantatku ke belakang berharap agar kontol sang dokter akan menyambutnya namun dokter itu rupanya masih mau mempermainkanku dulu. Dokter itu hanya membenamkan kontolnya di dalam belahan pantatku kemudian menggesek-gesekkannya, membuatku gila dengan nafsu. Aku terus memohonnya untuk segera mengentot duburku namun dia hanya tertawa mesum saja.
"Nanti dulu donk. Saya mau merasakan tubuhmu dulu."
Dia memelukku dari belakang dan langsung saja melarikan tangannya di sekujur tubuhku. Dadaku dibelai-belai, diremas-remas dan diraba-raba. Perlakuannya membuat kedua putingku berdiri menegang. Dadaku sangat sensitif sehingga aku tak dapat menahan diri untuk tidak menggeliat-geliat. Rasanya sungguh geli tapi juga nikmat.
"Oh, badanmu halus dan lembut. Saya suka banget.. Oohh.. Saya plintir putingmu.. Aahh.. Kuremas dadamu.. Aahh.. Yyeaahh.. Kucumbu kamu sampai kamu kehabisan napas.. Hhoohh.." Napasnya menderu-deru di telingaku.
"Hhoohh.. Dok.. Fuck me.. Aahh.. Ngentot donk.. Aahh.. Aku butuh kontolmu, dokter.. Aahh.. Hhoohh.."
Aku mendesah-desah dan memohon-mohon seperti gigolo homo murahan. Tapi aku memang sungguh tak dapat menahan gejolak birahiku. Dokter itu terlalu menyiksaku. Rupanya dia senang mendengarku memohon kontolnya.
"Hhoohh.. Fuck me.. Aahh.."
Kuarahkan tanganku ke belakang, kuraba-raba badannya. Oh, setiap lekuk otot atletisnya sungguh terasa. Seperti kataku tadi, badan si dokter itu lebih mirip badan seorang petinju. Alangkah bahagianya aku bisa menjadi pasien dokter yang seksi seperti itu.
Tiba-tiba, benda keras dan kenyal mulai menusuk masuk ke dalam pantatku. Aku mengerang kesakitan saat anusku dipaksa membuka untuk membiarkan benda itu masuk. Rasa sakit itu semakin bertambah dikarenakan anusku masih terluka akibat disodomi teman gayku beberapa waktu yang lalu. Saat kutolehkan kepalaku ke belakang, ternyata sang dokter itu sedang menyodomiku! Kontolnya yang besar dan panjang itu sedang memasuki diriku.
"Oohh.. Sempit banget.. Aahh.. Bagaimana kalau pantatmu nggak perih.. Aahh.. Pasti lebih sempit lagi.. Uugghh.. Kamu suka kontolku? Hhuuhh.." Sambil mengerang-ngerang keenakan, dokter itu akhirnya berhasil juga menancapkan kontolnya masuk dalam-dalam.
"Aarrgghh.." bblleess..
Badanku bergetar menahan sakit, kakiku hampir tak kuat menopang berat badanku. Entah mengapa, aku menjadi lemas, seakan-akan kontol dokter itu menyedot energiku. Tanganku berpegangan erat-erat pada ranjang, takut terjatuh. Di dalam tubuhku, kurasakan kehangatan menyebar dari batang kontol itu. Bibir anusku yang bengkak terasa semakin sakit saja. Tak tahan menahan perih, aku menangis terisak-isak, air mataku mengalir keluar. Namun rasa sakit itu malah menaikkan libidoku. Kontolku menegang, berdenyut-denyut. Precum mulai mengalir keluar dari lubang kontolku yang menganga.
"Hhoohh.. Sakit, dok.. Aahh.. Sakit.. Aarrgghh.."
Beberapa kali, secara refleks, aku berusaha menghindarkan diri dari hajaran kontolnya. Namun dokter itu menahan pinggulku kuat-kuat sehingga aku tak dapat kabur. Aku dipaksa untuk menerima kontolnya tanpa protes.
"Aahh.. Fuck me.. Oohh.." Sakit bercampur nikmat mendera tubuhku bergantian.
Kontol yang hebat itu menghajar prostatku berkali-kali, membuatku melonjak-lonjak. Di sela-sela acara ngentot itu, dokter itu berbisik..
"Aahh.. Enak 'kan kontolku? Aahh.. Aku bakal mengentot kamu sampai pantatmu sobek.. Aahh.. Rasakan kontolku.. Uugghh.. Dasar homo.. Aahh.. Fuck you.. Aahh.."
Kontol itu keluar-masuk lubang anusku dengan kecepatan tinggi. Aku hanya bisa mengerang-ngerang kesakitan. Keringat mmebanjiri tubuh kami. Aroma kejantanannya menyebar di ruangan itu. Kepalaku pusing dengan gairah yang tak tertahankan. Di satu sisi, aku ingin berhenti disodomi, namun di sisi lain kontolnya memberikan begitu banyak kenikmatan. Aku hanya bisa mengerangkan rasa nikmat dan sakitku.
"Aarrgghh!! Oohh!! Aahh!!"
Sambil tetap membor pantatku, dokter itu mengoleskan gel dingin di bibir anusku. Gel itu terasa begitu dingin dan menyejukkan. Selama sesaat, rasa sakit itu hilang. Gel itu juga berfungsi sebagai pelumas sehingga mengurangi pergesekan. Kontol itu pun menjadi lebih mudah menyodomiku. Precum sang dokter mengalir dalam jumlah banyak, melumasi kanal duburku. Kurasakan bagian dalam pantatku menjadi lengket, terlumuri gel dan precum.
"Aahh.. Pantatmu enak banget.. Hhoohh.. Aku suka negntot ama kamu.. Aahh.. Fuck you.. Aahh.. Aku bakal nge-fuck kamu terus.. Terus.. Dan terus.. Hhoohh.."
Deraan kenikmatan demi kenikmatan menghujani tubuhku. Prostatku serasa lembek, dihajar habis-habisan oleh kepala kontol dokter itu. Tekanan dalam bola pelirku sudah hampir mencapai puncaknya. Sebentar lagi, spermaku akan muncrat berhamburan.
"Hhoohh.. Dok.. Mau keluar.. Aarrgghh.." Kontolku sudah mengalirkan precum seperti air ledeng dan kini sudah hampir akan menyemburkan pejuh.
"Aarrgghh.."
"Hhoohh.. Aku juga hampir sampai.. Aarrgghh.. Fuck! Terima ini.. Aahh.. Spermaku.. Hhoohh.."
Gerakan ngentotnya menjadi semakin bertenaga dan cepat. Anusku hampir sobek, disodomi dengan sekasar itu. Dokter itu mengerang-ngerang dan badannya yang atletis itu terguncang-guncang. Sebentar lagi, 'gunung berapi' itu akan meletus! Namun tepat di saat kami berdua sedang hampir berada di puncak kenikmatan, pintu ruangan praktek tiba-tiba terbuka lebar. Dan sesosok pria berdiri di ambang pintu!
Bersambung . . . .