Bergandengan tangan dan sesekali berpelukan, kami diajak untuk mengunjungi ruangan-ruangan dalam Versailles. Istana itu memang sungguh indah. Satu ruangan yang menarik perhatianku adalah Galerie des Glaces (Ruangan Kaca). Terdapat 17 jendela di satu sisi dan di sisi lainnya ada 17 cermin besar. Ruangan itu nampak seolah-olah lebih besar dari ukuran aslinya berkat tipuan kaca itu. Lampu kristal mewah bergantung di langit-langit yang dihiasi lukisan-lukisan.
Di ruangan inilah, Perjanjian Versailles ditandatangani oleh pihak Sekutu dan Jerman di tahun 1919. Saat rombongan sudah berpindah ke ruangan lain, Veri dan saya tetap berada di Ruangan Kaca. Kami suka memandangi refleksi kaca yang memperlihatkan kami berdua sedang berpelukan dan berciuman. Veri menciumku dengan penuh nafsu. Suara ciumannya bergema ke mana-mana. Badan kami bergesekan dan dapat kurasakan tonjolan besar di balik celananya.
"Nanti malam, kita akan melakukan sesuatu hal yang gila. Tapi aku yakin kamu pasti suka," bisik Veri, memelukku. Tentu saja saya penasaran sekali namun Veri tak mau membeberkan rencana rahasianya.
"Ayo, cepat. Nanti kita ketinggalan rombongan," seru Veri, menarik tanganku. Seperti anak ABG yang sedang jatuh cinta, kami berlari melewati Ruangan Kaca sambil tertawa-tawa. Ah, indahnya cinta..
Sepulang dari Versailles, Veri masih saja mengajakku mengelilingi kota Paris bersama-sama. Veri tak ragu-ragu memeluk dan mendekapku di jalan yang penuh orang. Kebanyakan memang tidak heran melihat tingkah kami, walaupun ada beberapa yang melihat kami dengan pandangan aneh. Tapi Veri tidak merasa terganggu. Aku pun tak menolak dipeluk di depan umum. Kami mengelilingi kota Paris dengan bis Double Decker yang terkenal itu. Sengaja kami duduk di tingkat atas yang terbuka, tanpa atap, agar bisa melihat keindahan Paris.
Sesekali Veri menciumku. Tangannya dilingkarkan di bahuku seolah mengumumkan pada semua orang bahwa aku adalah miliknya. Aku suka sekali diperlakukan romantis seperti itu olehnya. Kusandarkan kepalaku di dadanya tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar kami. Malam mulai turun, kota Paris mulai bermandikan cahaya lampu di mana-mana. Bis kami berhenti tepat di depan menara Eiffel. Lampu-lampu kecil menghiasi setiap rangkanya sehingga dari jauh kita dapat menyaksikan kegemerlapan menara itu. Berdiri di kaki menara tinggi itu, aku merasa seperti seekor semut.
Aku pernah membaca di ensiklopedia Britannica bahwa pada mulanya pemerintahan Perancis ingin menyelenggarakan pameran untuk mengenang 100 tahun Revolusi Perancis. Agar lebih semarak, mereka mengadakan kontes desain. Dari 100 lebih desain yang didaftarkan, desain karya Gustav Eiffel-lah yang diterima. Menara Eiffel, setinggi 300 meter, pun dibangun sejak tahun 1887 dan dijadikan sebagai gerbang masuk pameran itu di tahun 1889. Menara itu dibangun di atas dasar setinggi 5 meter dan dilengkapi antena pemancar televisi, sehingga total tinggi menara itu adalah 322 meter.
"Jangan kelamaan berdiri di sini, sayang. Ayo, kita naik," ajak Veri, membimbingku masuk. Suasana ruangan di bawah Eiffel sudah sepi karena hari sudah malam.
"Kamu tunggu di sini dulu, yach," pesan Veri sebelum dia menghampiri petugas penjaga elevator menara.
Kulihat Veri berbicara serius dengannya, sesekali Veri menunjuk ke arahku. Aku tak mengerti apa yang sedang dibicarakannya. Tapi belakangan kulihat Veri menyelipkan segepok uang ke dalam saku celana penjaga lift. Saat Veri menghampiriku, dia berkata..
"Ayo, sayang. Kita naik."
Seperti orang kebingungan, saya mengikutinya. Kami berdua masuk ke dalam lift bersama si penjaga lift itu. Perjalanan ke puncak menara membutuhkan beberapa menit. Setelah tiba di puncak, sang penjaga pamit dan turun ke bawah dengan lift itu. Kami ditinggalkan berdua saja di sana.
Suasana di puncak Eiffel hampir sama dengan suasana di puncak Monas. Sejauh mata memandang, hanya terlihat hamparan kerlap-kerlip lampu kota. Udara malam yang dingin menerpa tubuhku namun aku tidak merasa kedinginan. Aku tahu, inilah yang dimaksud Veri. Kupandang wajahnya seraya berkata..
"Veri, ini hadiah terindah. Terima kasih banyak, sayang." Kukecup pipinya, kiri dan kanan. Dan diakhiri dengan sebuah ciuman mesra dan panas di bibirnya.
Veri terbawa suasana dan mulai menciumiku dengan penuh nafsu. Tangannya meraba-raba wajahku dan turun ke badan. Bibirnya lapar, mencari-cari bibirku. Kami berciuman dengan liar dan panas. Namun buru-buru kudorong dia, takut ada orang yang melihat. Tapi Veri berkata..
"Jangan takut, sayang. Penjaga tadi sudah kusuap. Dia takkan mengganggu kita. Percayalah. Aku ingin memberimu pengalaman berkesan yang tak terlupakan. Jika Jack dan Rose hanya berciuman di anjungan Titanic, maka kita akan berciuman dan bahkan bercinta di puncak menara Eiffel." Veri terdiam dan menatapku saja. Namun pelan-pelan bibirnya mendekat, mendekat, dan akhirnya lengket dengan bibirku. Aku terhanyut dan kucium balik dia. Tanpa mempedulikan apapun, aku bercinta dengannya.
Sambil berciuman, kami saling melucuti pakaian kami. Meskipun suhu udara malam itu agak dingin, tapi tubuh kami berdua dipanaskan oleh api cinta dan birahi. Pelan-pelan, kaos dan celana panjang kami sudah terlepas. Kulihat celana dalam Veri sudah basah sekali dengan noda precum. Kondisi celana dalamku pun tak berbeda jauh. Dan kami berdua sama-sama tegang. Namun, tanpa malu, kami menelanjangi diri kami sebulat-bulatnya. Batang kemaluannya menegang dan berdenyut-denyut. Kupandangi wajahnya yang ganteng itu. Mataku beralih turun, menyapu tubuhnya dan baru berhenti tepat di batangnya. Tanpa perlu disuruh, saya berlutut dan memasukkan batang kejantanannya ke dalam mulutku.
Cita rasa precum yang khas langsung menyambutku. Dengan rakus, kujilat habis cairan yang menempel di kepala penisnya itu. Sungguh kepala penis yang indah dan aku bahagia dapat memilikinya karena Veri adalah pacarku. Lidahku kuputar-putar di sekeliling kepala penisnya, merangsang setiap sel di permukaan kulit penisnya yang sensitif. Air liurku yang hangat menyelubungi kepala penis itu, menambah sensasi tersendiri. Veri hanya mampu merem-melek seraya mendesah-desah. Tubuhnya bergetar, menahan kenikmatan. Kedua putingnya mengeras, nampak seksi sekali. SLURP! SLURP! SLURP! Aku asyik menghisap penisnya. Mm.. Nikmat sekali. Veri meremas rambutku dan mengendalikan kepalaku. Hisapanku menguat, kusedot sekuatku. SLURP! Cairan precumnya bocor keluar dan langsung kujilati. Terasa licin dan agak asin di lidah, namun aku sangat menyukainya.
"Aahh.. Oohh.. Hisap terus, Endy.. Oohh.. Sayang, enak banget.. Aarrgghh.. Ayo, sayang.. Lebih kuat.. Aarrgghh.."
Veri terus saja mengerang seraya mendorong kemaluannya keluar masuk mulutku. Namun aku hampir tak dapat mendengar kata-katanya sebab suaranya dibawa pergi oleh hembusan angin keras. Campuran precum Veri dan air liurku mnegalir dari sudut bibirku.
"Aarrgghh.. Enak sekali.. Aahh.." Sesekali aku sampai tersedak karena batangnya menjelajahi mulutku terlalu dalam.
"Hhohh.. Hhoohh.." Veri mendadak mencabut batangnya keluar.
"Hhoosshh.. Hampir mau keluar.. Aahh.. Aku belum mau keluar karena aku belum menyodomimu. Kamu mau 'kan kusodomi?" Veri membelai-belai wajahku.
Kulihat Veri berjalan mendekati onggokan celana panjangnya dan sedang sibuk mencari sesuatu. Saat kulihat Veri mengeluarkan kondom, aku segera mendekat dan mencegahnya. Saya berkata..
"Tak usah pakai kondom, Veri. Aku mau kamu memasukiku tanpa kondom. Aku cinta kamu dan aku percaya akan cintamu. Jika aku masih memaksa kamu memakai kondom, itu berarti aku tidak mempercayaimu. Tapi aku percaya, kamu tak pernah bermain sembarangan setelah kita jadian. Maka dari itu, aku percaya kamu bersih dari AIDS. Lagipula, dulu kita berdua pernah mengetes diri kita dan terbukti kalau kita berdua bebas AIDS. Jadi, simpan saja kondommu. Aku mau bercinta denganmu tanpa penghalang. Aku mau kamu merasakan tubuhku seutuhnya."
"Oh, Endy sayang," balas Veri, menjatuhan kondom dan celana panjangnya ke lantai. Ciuman mesra kembali kuterima. Oh, aku tak pernah bosan dengan ciumannya.
Cairan precumku mengalir keluar dari lubang kencingku. Precum itu jatuh menempel di lantai dan tertarik bagaikan lem elastis namun segera putus. Veri mendekapku lagi sambil membisikkan kata-kata yang merangsang nafsu birahiku. Tangannya meraba-raba sekujur tubuhku dan merasakan kehalusan kulitku. Aku merasa sangat rapuh di dalam pelukannya, namun pelukannya yang hangat juga menimbulkan perasaaan aman.
Veri membimbingku menuju tepian puncak Eiffel. Aku berpegangan pada pegangan tangan di tepian itu. Tanpa mengeluh, aku membungkuk dan merenggangkan kakiku lebar-lebar. Lubang pantatku terekspos dan berkedut-kedut, disapa angin malam. Di depanku, dan juga di bawahku, terbentang pemandangan malam kota Paris yang menakjubkan. Aku tak takut jatuh sebab aku yakin Veri pasti akan melindungiku. Di belakangku, Veri bersiap-siap untuk membor anusku dengan kemaluannya.
"Aarrgghh.. Ketat banget.. Aahh.." racau Veri, merem-melek saat kepala penisnya dipaksa masuk untuk menembus pantatku.
"Hhoohh.. Oohh.."
"Aarrgghh.. Oohh.. Aahh.."
Aku juga ikutan mengerang akibat rasa sakit yang dialami anusku karena dipaksa untuk membukakan jalan bagi penis Veri. Namun aku menyukai rasa sakit akibat disodomi, apalagi jika rasa sakit itu datang dari penis pria yang aku cintai. Terasa sangat erotis. Bblleess.. Dan kepala penis Veri pun masuk. Kami berdua mengerang karena lega. Oh, penis Veri terasa hangat sekali dan berkedut-kedut di dalam duburku. Selanjutnya, Veri mendorong batang penisnya masuk seluruhnya.
"Oohh.." erangku, merasakan setiap jengkal dari pergerakannya. Astaga, benda itu sungguh terasa hidup, seolah-olah penis itu sedang bergerak masuk atas kemauan dan pikirannya sendiri.
"Hhohh.. Terus, Veri.. Aahh.. Enak sekali.. Hhoohh.. Lagi.. Lebih dalam lagi.. Aahh.. Terus, sayang.." racauku.
Sengaja kudorong pantatku mundur agar bisa menyarungkan batang penisnya dengan anusku. Akhirnya seluruh batang itu sudah masuk. Kami berdua bernapas lega dan beristirahat sejenak. Kurasakan kedutan-kedutan marah dari batang kejantanannya jauh di dalam liang pembuanganku. Veri memeluk tubuhku dari belakang. Hidungnya sibuk mengendus-ngendus punggung dan merasakan aroma cologne yang kupakai. Aku memang suka sekali dengan wewangian, berguna sebagai aroma terapi.

Bersambung . . . .