Hal ini terjadi bukan karena seks hebat yang baru saja kudapatkan darinya. Namun kehangatannya, kekuatannya dan keberaniannya yang menjeratku. Dan semakin erat aku terjerat, semakin dalam aku mengenalnya, semakin ia membuka dirinya kepadaku. Mungkin itulah yang membuatku jatuh cinta kepadanya.
Aku hendak beranjak dari tempat tidurnya, dan pada saat itulah dia menahanku di pinggulku, "Kuang?"
"Ya?"
"Can I have my morning kiss?" tanyanya manja.
Aku tersenyum, dan kemudian aku mengecupnya. Dia menahanku untuk menciumku. Aku hampir tidak dapat menolaknya, apalagi saat merasakan kejantanannya yang menegang, ingatanku kembali melayang ke malam dimana kejantanannya yang begitu kuat membuatku melayang.
"I'm sorry." Aku menahannya dengan kedua tanganku didadanya."You go to work today, don't you? "
Dave menarikku mendekat, "I don't think so." suaranya terdengar lebih manja dari yang tadi."Gimana?" dia mengangkat sebelah alis matanya dan memasang wajah nakal.
"Sorry, Dear." aku memberinya satu kecupan lagi."Tapi semalam aku sudah berjanji akan pulang pagi sekali kepada kakakku dengan menyeretmu untuk minta maaf. Aku tidak ingin membuatnya lebih cemas daripada semalam."
"Oh!" Dave tersadar."I'm sorry." ia segera beranjak dari tempat tidurnya. Ketelanjangannya membuatku tersayat kembali, mungkin kenyataan bahwa dia tidak lagi merasa bahwa aku orang luar yang membuat kesopanannya terlupakan."Ayo." dia menungguku di depan pintu kamar mandinya."No seks, aku janji." ia tertawa nakal.
Aku tersenyum kalah dan menuruti ajakannya. Dave sudah menyalakan kerannya. Airnya hangat. Dia menungguku di bawah pancuran. Aku menghampirinya. Namun aku tidak menatap langsung wajahnya. Aku tidak ingin segala perasaanku yang tergambar dimataku terlihat olehnya. Dia merangkulku dan mengusap punggungku. Dadaku kembali berdebar kencang. Aku agak menjauh darinya.
"Kuang?"
"Biar kusabuni tubuh depanmu ya?"
"Ok." tawanya terdengar begitu renyah.
Kami saling membersihkan diri. Sentuhan-sentuhan kecil yang amat berarti kembali menyalakan kejutan-kejutan listrik kecil pada diriku. Dave menyentuh daguku dan mengangkat wajahku. Tidak, jangan tatap matanya. Aku memejamkan mataku perlahan-lahan. Sebagian karena aku tidak ingin ia mengetahui perasaanku, sebagian lagi karena air pancurannya memasuki mataku. Sesaat kemudian aku merasakan bibirnya yang hangat menciumku. Secara naluriah aku menyambutnya. Kami bermesraan! Dia bercinta dengan mulutku dan seluruh isinya!
Aku memejamkan mataku kuat-kuat. Terasa panas membara. Aku tetap tidak kuasa menolaknya. Dia terlalu kuat dan berani dan menantang, sementara aku serapuh lilin dihadapan nyala api dirinya. Mencair begitu tersentuh. Sangat menyakitkan. Apakah aku menangis? Atau hanya terharu yang tanpa airmata? Seandainya aku menangispun, airmataku akan menyatu dengan air pancurannya dan lenyap tak bersisa. Seperti suatu saat nanti kami akan berpisah.
Kami tidak banyak berbicara selama ia mengantarku pulang kerumah kakakku di daerah Yuen Long. Ia memang berusaha mengajakku berbicara selama beberapa saat. Ia memang berusaha memancing pembicaraan dengan bercerita tentang dirinya. Namun setelah beberapa lama berbicara dengan jawaban yang hanya "Yeah." dan "Oh." dan "Ok." dariku, dia menyerah. Kami membisu selama sisa 15 menit yang menyiksa.
Dave meminta maaf langsung kepada kakakku. Berkali-kali setiap ia punya kesempatan mengucapkannya. Dia berusaha menjelaskan situasinya, tentunya tanpa detail-detail yang dapat membuat kakakku curiga bahwa aku adalah seorang gay. Aku tentu saja sudah memberi tahunya bahwa di dalam keluargaku, tidak ada seorangpun yang tahu tentang homoseksualitasku.
"Aku mau antar dia sebentar." kataku datar kepada kakakku saat Dave pamitan untuk pulang.
Aku mengantarnya sampai ketempat ia memarkir mobilnya."Hati-hati."
"Thanks." katanya agak sedikit lebih kaku. Ia kembali menjadi semakin seperti dirinya yang penuh sopan santun. Mungkin karena aku menarik diri darinya."Benarkah kamu enggak ingin kita ketemu malam ini?"
"Sebaiknya jangan." aku membuang wajahku. Jangan sampai menatap matanya."Mungkin lusa. Hp ke aku aja, ya." Aku berusaha sebisa mungkin menyembunyikan perasaan yang tergambar dimataku dan menatapnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Ok." ia semakin mengambil jarak. Sesaat ia terlihat tidak tahu harus berbuat apa."Bye."
"Bye."
Seharian penuh aku memikirkan tentang aku dan kami berdua. Yah, mungkin memang hanya akan menjadi holiday relationship yang menyenangkan. Mungkin aku bisa menganggapnya seperti itu. Bukankah Dave juga begitu? Bukankah ia hanya menganggapku sebagai teman yang menyenangkan yang bisa diajak tidur bersama?
Namun aku masih bisa mengingat kata-kata yang ia ucapkan: 'Aku tahu kau suka. Semenjak pertama kali bertemu. ' Apakah maksudnya itu? Apakah hanya suka sebagai daya tarik fisik, atau yang lebih ke dalam lagi?
Mungkin seharusnya aku tidak melibatkan perasaan dalam hal ini. Mungkin masih belum terlambat. Anggap saja kami berdua bertemu dalam liburan ini dan merasa cocok, lalu kami tidur bersama, saling memuaskan hasrat kami masing-masing. Mungkin lebih baik begitu.
Walaupun sudah berpikiran demikian, perasaanku tidak terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Mungkin aku butuh waktu bagi diriku sendiri.
Aku menatap jauh kedepan, ke arah sungai besar yang memisahkan aku dengan Central Distric. Beberapa ferry melintas sesekali membawa penumpang dari Tsim Sha Tsui ke seberang. Angin semilir membelaiku dengan lembut, aku sangat menikmatinya. Hp ku yang tiba-tiba berbunyi membawaku kembali ke kenyataan, "Hallo?"
"Hey, Honey." suara merdu Dave terdengar."Dimana nih?"
"Tsim Sha Tsui Harbor. Cultural Museum Building, dekat Clock Tower."
"Sedang ngapain di situ?"
"Looking at views?" Aku kembali memandang jauh kedepan."Merasakan hembusan angin."
"Ok." tawanya terdengar renyah."Aku ke sana bentar lagi, ok?"
"I'm going nowhere. Bye." aku memberikan satu kecupan kepadanya. Terdengar tawanya sebelum teleponnya terputus.
Yah, mungkin ada baiknya seperti ini. Hanya berkenalan dan jatuh cinta pada saat-saat ini saja. Dimana saatnya akan berpisah, dia pasti akan melupakanku. Karena itu aku juga harus bisa melupakannya.
Dave merangkulku saat dia datang. Aku menatap matanya dan memberikan senyuman yang lembut sebelum kembali menatap jauh kedepan. Dave mengikutiku, menatap jauh kedepan.
"Aku enggak tahu apa yang bisa dilihat atau dirasakan kalau seperti ini."
Aku tersenyum, "Abis kamu cowok, kan?"
"Hey!" dia tertawa."Emangnya kamu bukan cowok?"
"Aku cowok," aku memandangnya. Ada ketegasan dalam suaraku."tapi dengan tingkat kepekaan yang lebih seperti cewek." kataku sambil lalu."We leave?"
"Can't wait for it." Kami berjalan beberapa saat sebelum ia bertanya, "Gimana kakakmu? Dia tahu kamu keluar ama aku?"
"Hanya untuk dinner." aku memandangnya dengan wajah permintaan maaf."Sorry, enggak bisa nginap ke tempatmu lagi secepat ini. Bisa jadi curiga ntar."
"Well, aku ngerti." ia merangkulku lebih erat."Walk faster. Hargai waktu yang kita punya."
"Or," aku menyeringai nakal padanya, "Run!"
15 menit kemudian kami sampai ke flatnya. Kami agak sedikit terburu-buru. Mungkin masih sempat berseks ria sedikit setelah makan malam.
"Mau pesan makanan apa nih?" tanya Dave.
Aku langsung memeriksa dapurnya, "Apa yang kamu punya di kulkas." aku melihat-lihat."Ok, aku yang masak."
"Ok. Jadi tidak pesan makanan luar. Bagus, sudah lama enggak makan masakan rumahan." ujarnya setengah sadar. Saat aku sudah mulai memasak, wajah terkejutnya muncul dipintu dapur, "Kamu bisa masak?!"
"Apa aku belum bilang?" aku tertawa.
"That's great!" dia mendatangiku."Aku enggak pernah bisa ngerjain pekerjaan rumah."
"Yeah, tapi ngerjain anak orang bisa." gumamku.
"What?"
"Nothing." aku berbalik memandangnya, "mau makan apa nih?"
"Well, apa ya?" ia kelihatan berpikir sejenak."Fresh salad, beacon or pork sounds delicious. Or.."
"Whoo..!" aku menghentikannya, "Look at your freezer, Mr. When the last time you go for shopping?"
Ia tersenyum lembut, "Masak apa saja yang bisa kau masak. Akan kumakan, kok." Ia melipat kedua tangannya di depan dadanya."Boleh kan aku melihatmu di sini?"
"Whatever." aku kembali melanjutkan masakku.
"Oh," katanya seperti tiba-tiba teringat sesuatu."Pastikan semuanya enak."
"Ok."
Aku terus memasak. Perlu upaya yang cukup keras untuk mengabaikan bahwa dia sedang memperhatikanku, bahwa sekarang ini aku adalah seekor kelinci yang sedang diintas seekor elang. Dan bahwa aku sedang bemain-main dengan api dan akan segera terbakar. Beberapa saat kemudian, sang elang terbang mendekat ke arah mangsanya.
Dave memelukku dari belakang. Dia mendaratkan kecupan-kecupan kecil di tengkukku dan menggigit serta menjilat telingaku. "Apakah aku mengganggu?" godanya.
Bak kelinci yang telah tertangkap cakar sang elang, aku menjawab "Tidak."
Aku terus berpura-pura masih memasak, padahal seluruh tubuhku telah terjalar api asmaranya. Dave terus mencintaiku begitu rupa.
Setiap inci tubuhku tidak terlewatkan oleh sentuhannya yang selembut angin semilir yang bertiup. Dave membuka kemejaku dan menyelipkan tangannya untuk membelai dadaku. Sentuhannya yang ringan bak kepakan sayap kupu-kupu di puting susuku membuatku menggeram.
"Aku.. Tidak akan selesai.. Ka-lo kamu begini." kataku terengah.
"Biarkan saja." bisiknya di telingaku. "Lupakan makan malamnya." dia membalikkan tubuhku sehingga berhadapan dengannya. Lalu bibirnya yang hangat menempel pada bibirku. Sang elang sudah mulai menyantap mangsanya, dan si kelinci, tidak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan dirinya dimangsa.
Dan tiba-tiba saja, seperti ledakan bom, sesuatu meledak dalam diri kami berdua. Dan kami berdua mengganas, seperti terburu-buru ingin tiba di suatu tempat. Entah bagaimana caranya kami keluar dari dapurnya dan sudah berada di sofa di ruang tamunya dengan meninggalkan jejak kemeja dan celana panjang kami dimana-mana.
Terengah-engah, Dave menjauh dariku. Masing-masing hanya dengan pakaian dalam. Dave yang pertama membuka miliknya dengan anggun namun gagah. Pertama kalinya aku melihatnya dalam keadaan telanjang. Dia begitu indah. Bahunya yang bidang dengan dada yang kekar dan berotot. Perut yang rata dan kejantanannya yang menegang indah. Sosok sempurna seorang pria. Ia tetap berdiri di sana, membiarkanku memandangnya sepuas mungkin, menikmati pandanganku yang penuh rasa takjub."Biarkan aku melihatmu." bisiknya.
Wajahku terasa panas. Aku belum pernah bahkan bertelanjang dada di depan keluargaku sendiri sekalipun. Namun entah bagaimana aku mempunyai keberanian untuk itu. Perlahan aku menanggalkan pakaian terakhir yang tertinggal di tubuhku, dan kemudian menegakkan tubuhku. Dia melihatku, seluruhnya.
"You're beautiful." bisiknya. Aku tahu dia berusaha keras untuk terlihat sabar. Nada mendesak dalam suaranya tidak dapat disembunyikan.
"You too." kataku parau.
"Mendekatlah."
Aku berjalan ke arahnya. Perlahan. Lalu aku jatuh ke dalam pelukannya. Entah bagaimana rasanya aku sangat pas sekali berada di dalam pelukannya. Dadanya dengan dadaku, perutnya dan perutku, pinggulnya dan pinggulku, serta kejantanannya dan kejantananku. Mulut dan lidahnya bermain-main di telingaku, leherku dan kembali menciumku dengan panas. Lidah kami saling bertaut, berkutat dan mencicipi satu sama lain.
Setelah lama menciumku, Dave kembali mencumbui leherku. Terus turun dan semakin turun ke dadaku. Punggungku melengkung penuh kenikmatan. Aku memanggil-panggil namanya saat mulut dan lidahnya berada pada puting susuku, namun suara yang terdengar olehku sendiri adalah suara yang sama sekali tidak kukenal.
Bersambung . . . . . .