Ellen
Imron adalah karyawan penjaga kampus sebuah perguruan tinggi swasta berusia pertengahan limapuluh. Sosoknya sedang dengan body lumayan berisi, wajahnya jauh dari tampan, hitam dan agak bopengan, matanya pun cekung ke dalam berkesan ngantuk. Masa lalunya bisa dibilang kelam, dulunya dia adalah seorang penjahat yang ditakuti dan beberapa kali keluar masuk penjara, bekas luka sepanjang sejengkal di dadanya adalah hasil pertarungan antar geng dulu. Tampangnya yang seram dan tidak bersahabat itu, ditambah masa lalunya yang seram plus sifat penyendirinya membuatnya seringkali dipandang rendah oleh mahasiswa, dosen, maupun sesama rekan karyawan di kampus itu.
Dia tetap menjalankan tugasnya dengan rapi tanpa mempedulikan omongan orang-orang di sekitarnya. Bekerja di lingkungan itu membuatnya sering menelan ludah melihat tingkah polah para mahasiswi cantik dan dosen-dosen muda yang berpakaian seksi memperlihatkan paha mulus, pusar, maupun belahan dada mereka dengan pakaian berleher rendah, juga sesekali dia memergoki beberapa diantaranya berhubungan badan di areal kampus seperti mobil, toilet, ruang kuliah, dan lain-lain. Semua itu dia anggap sebagai hiburan semata sampai suatu ketika naluri jahat dalam dirinya kembali muncul ketika dia menemukan sebuah cameraphone yang yang tertinggal di kelas. Benda itu diambil dan dipelajarinya, sebentar saja dia sudah paham penggunaannya terutama cara pengambilan gambar dan merekam video klip. Dari sinilah terbesit niat jahat untuk membalas segala perlakuan yang selama ini dia terima dan mewujudkan angan-angannya menikmati tubuh para wanita cantik di kampus dengan cara memeras mereka dengan foto-foto memalukan yang bisa dia ambil dengan alat itu.

Chapter I : Ellen’s Tragedy
Hari itu, Imron mulai menyeleksi siapa yang akan dijadikan mangsa pertamanya. Dia bingung menentukan pilihan karena begitu banyak gadis-gadis cantik disana baik dari kalangan mahasiswi maupun dosen, dan kesempatan untuk mengambil gambar pun perlu momen yang tepat. Keberuntungan berpihak padanya ketika sore jam limaan dimana kampus mulai sepi, dia menemukan sepasang muda-mudi yang sedang berasyik-masyuk di ruang senat. Jendela ruangan itu dicat sebagian, tapi jika berjinjit sedikit maka kita akan bisa mengintip ke dalam melalui bagian yang tidak bercat. Di atas sofa nampak Ellen dan Leo (keduanya mahasiswa fakultas ekonomi) sedang beradegan panas saling melepas hasrat birahinya. Pakaian keduanya sudah tersingkap sana-sini, Leo sudah melepaskan celana panjangnya dan menindih tubuh Ellen yang sudah setengah bugil dengan kaos dan bra tersingkap dan tinggal memakai celana dalam saja, celana panjang Ellen sudah tergeletak di lantai.
“Mmhhh…eenngghhh !” desah Ellen sambil meremasi rambut Leo ketika pemuda itu mengisapi payudaranya.
Tangan Leo merayap ke bawah dan menyusup ke balik celana dalamnya sehingga pada celana dalam itu nampak gumpalan yang bergerak-gerak. Dengan gemetaran, Imron mengeluarkan cameraphone itu dari saku celananya dan mulai mengarahkan lensanya ke arah pasangan yang sedang bermesraan itu. Dengan sabar dan hati-hati, direkamnya adegan demi adegan dalam bentuk foto maupun video klip. Sambil mengambil gambar, tangan satunya tidak bisa menahan diri mengocok penisnya yang sudah mengeras dari luar celana. Ketika mereka sudah mau selesai dan hendak keluar dari ruang itu, Imron pun segera pergi dari situ, rencananya dia akan segera menjalankan aksinya setelah itu, tapi sayangnya kedua muda-mudi itu pulang bersama, lagi pula lebih baik sabar menunggu besok agar gadis itu sudah bersih dan segar kembali dari sisa-sisa persetubuhannya, demikian pikirnya.
Malamnya, Imron menikmati gambar-gambar dan video klip yang diambilnya barusan sambil mengocok penisnya, selain itu dia juga memikirkan saat yang tepat untuk mengerjai Ellen besoknya. Keesokan harinya, setelah beberapa saat mencari orang yang ditunggu, Imron akhirnya menemukan gadis itu sedang mengikuti kuliah di sebuah kelas. Tidak mau kehilangan buruannya, dia terus membuntuti diam-diam dan menunggu waktu untuk berbicara dengannya. Ellen nampak begitu cantik hari itu, dia memakai kaos ketat warna merah yang mencetak bentuk tubuhnya dipadu dengan rok jeans selutut, rambutnya yang hitam sedada itu diikat ke belakang memperlihatkan lehernya yang jenjang dan putih mulus. Tahun ini dia memasuki usianya yang ke-21, anak seorang pemilik toko emas ini selalu berdandan modis tapi tidak norak, sehingga termasuk salah satu bunga di kampus ini. Leo, pemuda yang kemarin bercinta dengannya adalah senior satu angkatan diatasnya, belum sampai sebulan Leo menyatakan cintanya dan diterima dengan mulus.
Saat itu adalah jam satu siang di basement parkir, Ellen baru saja melemparkan tas dan diktat kuliahnya ke dalam mobil dan hendak masuk ke kemudi ketika terdengar Imron, si penjaga kampus itu muncul dan menyapanya dari belakang.

“Siang Non !! Sudah mau pulang ya !” sapanya dengan suara pelan
“Haduh…ngagetin aja bapak ini, ada apa sih Pak !” jawabnya agak ketus sambil mengelus dada.
“Hehe…anu non, bapak cuma mau ngasih liat sesuatu buat non yang sepertinya penting” jawabnya dengan terkekeh.
“Apan sih Pak, cepetan deh saya mau pulang nih !”
Imron pun mengeluarkan HP-nya dan memperlihatkan file-file gambar itu kepada Ellen. Betapa kagetnya gadis itu, ekspresi wajahnya seperti melihat setan, pucat dengan mulut ternganga begitu melihat gambar pertama yang ditunjukkan yaitu dirinya sedang mengulum penis Leo kemarin sore, disusul gambar-gambar berikutnya yang semua berisi adegan syur dirinya bersama kekasihnya itu.
“A-a-apa-apaan ini Pak, apa…apa maksudnya semua ini !?” tanyanya terbata-bata dengan ekspresi kebingungan bercampur kaget.
“Hehehe…bagus yah non ? kalo saya cetak fotonya gimana non ?” wajah Imron menyeringai mesum
“Kurang ajar, apa sebenernya mau Bapak ?” Ellen menjadi geram sehingga hampir berteriak, keringat mulai menetes di dahinya.
“Ssttt…ssssttt…jangan keras-keras dong non, nanti yang lain denger gimana” Imron mengacungkan telunjuk di depan hidungnya dengan tetap cengengesan, “nah, gimana kalau kita bicarakan di gudang sana aja deh, biar lebih enak !” katanya lagi dengan pandangan ke arah sebuah pintu di salah satu pojok basement itu. Ellen tidak bisa berkata-kata lagi, jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya panas dingin, namun karena tidak ada jalan lain dia terpaksa mengikuti saja Imron yang terlebih dahulu berjalan ke ruang itu.
Ruang itu tidak begitu besar, diterangi lampu neon 10 watt, sebuah tangga lipat tersandar di dinding diantara setumpuk barang bekas, juga terdapat sebuah rak yang berisi kaleng-kaleng cat, tiner, dan macam-macam peralatan. Setelah keduanya masuk, Imron menyalakan lampu dan menggeser slot pintu membuatnya terkunci dari dalam. Ellen begitu terkejut dan tersentak kaget begitu merasakan pantatnya diraba dari belakang, dia langsung berbalik dan menepis tangan Imron.
“Ahhh…kurang ajar, jangan keterlaluan ya Pak !!” bentaknya marah
“Ahahaha…ayolah Non, kemarin juga Non nafsu banget kan ?” seringainya “lagian apa Non punya pilihan lain buat ngejaga rahasia ini” mimiknya mulai serius.
“Ok…ok Pak, gimana kalau Bapak bilang aja mau berapa, pasti saya kasih” Ellen sudah demikian panik sampai-sampai suaranya gemetaran.
“Ooohh…uang, dasar orang kaya, saya selama kerja disini ngerasa cukup-cukup aja kok Non, tanpa anak istri yang perlu dibiayai, yang susah didapat itu ya kesempatan untuk mencicipi cewek seperti Non ini” sambil menatapnya dalam.
Ellen benar-benar kehabisan akal, dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia merasa jijik untuk melayani lelaki yang seumuran ayahnya ini yang juga dari status dan ras yang berbeda, tapi nampaknya tidak ada pilihan lain untuk menutupi skandalnya ini, jangankan foto, beritanya yang tersebar saja sudah cukup membuatnya jadi bahan gunjingan sekampus, kedua tangannya terkepal keras menahan emosi.
“Sekarang ya terserah Non aja, bapak ga mau maksa kok, kalo non ga mau silakan pergi, kalau setuju silakan non duduk disini biar kita bisa berunding lagi”kata Imron sambil mengambil kursi lipat yang lapisan kulitnya telah sobek, dibentangkannya kursi itu di dekat Ellen yang masih tertegun.
Akhirnya dengan berat hati, Ellen pun menghempaskan pantatnya ke kursi itu.
“Nah gitu dong baru anak manis, pokoknya asal Non nurut, saya jamin rahasia ini aman”
Kemudian Imron membuka resulting celananya dan menyembullah penis yang sudah mengeras itu di depan wajah Ellen. Matanya melotot melihat penisnya yang hitam berurat dengan ujungnya disunat menyerupai jamur serta jauh lebih besar daripada milik kekasihnya.
“Gede kan Non, pasti punya pacar Non ga segede gini kan !” katanya dengan bangga memamerkan senjatanya itu. “Nah, ayo Non sekarang servisnya mana !”
Dengan tangan gemetar, dia mulai meraih penis itu dan mengocoknya pelan.
“Servis mulutnya mana Non, masa cuma tangan doang sih !” suruhnya tak sabar
Pelan-pelan, Ellen memajukan wajahnya sambil memandangnya jijik, dia melanjutkan kocokannya sambil menyapukan lidahnya pada kepala penis itu dengan ragu-ragu, sehingga Imron jadi gusar.
“Heh, apa-apaan sih, disuruh pake mulut malah cuma pake lidah disentil-sentil gitu !” bentaknya “gini nih yang namanya pake mulut !” seraya menjambak kuncir rambut Ellen dan menjejalkan penisnya ke dalam mulutnya.
“Mmmhhppphh…!!” hanya itu yang keluar dari mulut Ellen yang telah dijejali penis, air mata menetes dari sudut matanya.
Mulut Ellen yang mungil itu membuatnya tidak bisa menampung seluruh batang itu, ditambah lagi bau yang keluar dari benda itu menambah siksaannya.
“Ayo, yang bener nyepongnya, kemaren kan hebat ke pacarnya, kalau gak muasin rahasianya ga Bapak jamin loh !”
Imron mendesah merasakan belaian lidah Ellen pada penisnya serta kehangatan yang diberikan oleh ludah dan mulutnya. Pertama kalinya sejak dipenjara belasan tahun yang lalu dia kembali menikmati kehangatan tubuh wanita. Ellen sendiri walaupun merasa jijik dan kotor, tanpa disadari mulai terangsang dan mulai mengulum benda itu dalam mulutnya.
“Uuhhh…gitu Non, enak…mmmm !” gumamnya sambil memegangi kepala Ellen dan memaju-mundurkan pinggulnya.
Ellen merasakan wajahnya makin tertekan ke selangkangan dan buah pelir Imron yang berbulu lebat itu, penis di dalam mulutnya semakin berdenyut-denyut dan sesekali menyentuh kerongkongannya. Sekitar sepuluh menit lamanya dia harus melakukan hal itu, sampai Imron menekan kepalanya sambil melenguh panjang.
“Ooohh…keluar nih Non, isep…awas kalo dimuntahin, sekalian bersihin kontolnya !” perintahnya dengan nafas memburu.
Cairan putih kental itu menyembur deras di dalam mulutnya dan mau tidak mau, Ellen harus menelannya, rasanya yang asin dan kental itu membuatnya hampir muntah sehingga tersedak. Beberapa saat kemudian barulah semprotannya melemah dan berhenti. Ellen langsung terbatuk-batuk begitu Imron mencabut penis itu dari mulutnya. Nafasnya terengah-engah mencari udara segar, air mata telah mengalir membasahi wajah cantiknya.
“Sudah…cukup ya Pak, saya mohon lepaskan saya !” Ellen memohon.
“Cukup apanya Non, baru juga pemanasannya, pokoknya dijamin puas deh Non !” ujar Imron sambil berjongkok di depannya, tangannya meraih ujung baju Ellen hendak menyingkapnya.
“Jangan…jangan Pak, saya mohon !” ucapnya mengiba sambil menahan tangan Imron yang akan menaikkan bajunya.
Namun tenaganya tentu saja kalah dari pria setengah baya itu yang menepis tangannya dan langung menyingkap kaos sekaligus bra hitam di baliknya. Kini mulut Imron dengan rakus menjilat dan menyedot puting Ellen yang merah dadu itu, setelah beberapa saat tangannya yang menggerayangi payudara yang lain mulai turun ke bawah mengelus paha mulusnya lalu menyusup masuk ke roknya. Di dalam rok, tangan kasar itu menjejahi kemulusan paha dalam Ellen sebelum akhirnya menjamah selangkangannya yang masih tertutup celana dalam.
Ellen hanya bisa pasrah menerima perlakuan itu, dia mendesah dan sesekali terisak saat tangan itu mulai meraba-raba kemaluannya dari luar. Rasa geli membuatnya mengatupkan kedua belah pahanya sehingga tangan Imron terjepit diantara kemulusan kulitnya. Hal ini membuatnya semakin bernafsu, dia mulai menyusupkan jari-jarinya melalui pinggiran celana dalam itu dan menyentuh bibir vaginanya yang telah becek.
“Hehehe…nangis-nangis tapi ikut konak juga !” ejeknya sambil nyengir lebar ketika merasakan daerah kewanitaan Ellen yang basah itu.
Kemudian dengan mengaitkan dua jari, ditariknya lepas celana dalamnya yang juga warna hitam itu, lalu diangkatnya juga roknya sehingga kini angin menerpa tubuh bagian bawah yang telah terbuka itu.
“Buka kakinya Non !” perintahnya pada Ellen yang merapatkan pahanya dengan rasa malu yang mendalam.
“Buka ga…atau fotonya saya sebarin !” katanya lagi dengan lebih keras.
Dengan amat terpaksa, Ellen mulai membuka pahanya perlahan-lahan memperlihatkan kemaluannya yang berbulu cukup lebat kepada Imron yang berjongkok di depannya. Dia menggigit bibir dan memejamkan mata, tak pernah terbayang olehnya akan melakukan hal ini di depan lelaki seperti itu.
“Wah…udah lama sekali Bapak gak ngerasain yang satu ini !” katanya sambil menatapi daerah pribadi itu dan mengelusnya.
Tak lama kemudian Imron pun melumat vaginanya dengan ganas, diserangnya setiap sudut vagina itu mulai dari bibir hingga klitorisnya disertai gigitan-gigitan kecil, tangan kanannya meraih payudaranya dan meremasinya, sedangkan yang kiri menelusuri kemulusan pahanya.
“Uh…uhh…jangan…sudah, ahhh… !” desah Ellen dengan tubuh menggeliat-geliat menahan rasa geli yang bercampur nikmat luar biasa itu, suatu perasaan yang tidak bisa ditahannya lagi.
Tubuh Ellen telah basah oleh keringat, wajahnya memerah dan nafasnya makin memburu. Mendadak dia merasakan bulu kuduknya merinding semua, secara reflek dia merapatkan kedua pahanya mengapit kepala Imron karena sebuah sensasi dahsyat, ternyata Imron membenamkan lidahnya pada bagian yang lebih dalam dari vaginanya, dia merasakan dinding vaginanya menjepit lidah Imron. Selain itu dia juga merasakan putingnya makin mengeras karena terus dipilin dan dipencet-pencet oleh Imron. Puas bermain-main dengan vagina itu, Imron mengangkat tubuh Ellen bangkit berdiri, kini posisi mereka berhadap-hadapan. Tanpa perlawanan berarti Imron melucuti kaos dan bra-nya. Yang tersisa di tubuhnya tinggal rok yang telah tersingkap ke atas dan sepatu haknya, sementara Imron masih memakai kaos dan seragam karyawannya yang kancingnya terbuka sebagian tetapi tanpa celana. Diangkatnya wajah Ellen yang tertunduk, ditatapnya sejenak dan disekanya air mata yang mengalir sebelum dengan tiba-tiba melumat bibir mungil itu dengan ganas.
Mata gadis itu membelakak menerima serangan kilat itu, dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendorong dada Imron, namun sia-sia karena Imron memeluknya begitu kuat dengan tangan satunya memegangi kepalanya. Lidahnya mendorong-dorong dan menjilati bibirnya, ditambah lagi tangannya merabai kulit punggung dan pantatnya menyebabkan Ellen makin terangsang sehingga bibirnya mulai membuka membiarkan lidah Imron masuk menyerbu rongga mulutnya. Beberapa saat kemudian Imron merasakan badan Ellen sudah lebih rileks dan tidak meronta lagi, maka diapun melepaskan pegangannya pada kepala Ellen agar bisa menjamah daerah lainnya. Tanpa sadar. Ellen pun merespon permainan lidah Imron walaupun awalnya bau mulut Imron terasa tak nyaman baginya, sekalipun nuraninya mengatakan tidak, dia tidak bisa menahan gelombang birahi yang menerpanya, terlebih saat itu tangan Imron sedang menggerayangi segenap penjuru tubuhnya.
Kedua telapak tangan kasar itu berhenti di pantatnya dan masing-masing mencaplok satu sisi. Dirasakannya kedua bongkahan daging itu, bentuknya padat berisi dan bulat indah karena memang sebagai anak dari kalangan berada, Ellen merawat benar tubuhnya dengan fitness dan diet. Ciuman Imron makin merambat turun ke leher jenjangnya lalu dia membungkukkan badan agar bisa menciumi payudaranya. Ellen sudah tidak bisa menahan diri lagi, birahi telah membuyarkan akal sehatnya. Lagipula yang pernah menikmati tubuhnya bukan cuma bajingan tua ini dan Leo, kekasihnya, sebelumnya dirinya pernah terlibat one night stand dengan beberapa pria dan juga mantan pacarnya semasa SMA, yang membedakannya dengan pria-pria lain cuma status sosial, ras, dan perbedaan usia yang mencolok. Jadi untuk apa lagi menahan diri dan jaga image, toh sudah telanjur basah, jadi sebaiknya tuntaskan saja agar masalah selesai, demikian yang terlintas di benaknya.
Dari leher mulut Imron turun lagi ke dadanya, dia membungkuk agar bisa menyusu dari payudara berukuran 32B yang montok itu. Dijilatinya dengan liar hingga permukaan payudara itu basah oleh ludahnya, terkadang dia juga menggigiti putingnya memberikan sensasi tersendiri bagi Ellen. Tangan satunya turun meraba-raba kemaluannya dan memainkan jarinya disitu menyebabkan daerah itu makin berlendir.
“Pak…Pak…ga mau…ahh-ah !” desahnya antara menolak dan menerima.
Sambil terus memainkan jarinya Imron mendorong tubuh Ellen hingga punggungnya bersandar di tembok. Sekali lagi dia menyergap bibir Ellen, sambil berciuman tangannya menempelkan kepala penisnya ke bibir vagina Ellen. Gesekan kepala penis dengan bibir vagina itu membuat Ellen merasa geli sehingga tubuhnya menggelinjang. Lalu pelan-pelan Imron menekan penisnya ke liang senggama Ellen.
“Sshhh…sakit, aawhhh…!!” rintih Ellen ketika penis Imron yang besar itu menerobos vaginanya.
Ellen meringis dan merintih menahan rasa sakit pada vaginanya, meskipun sudah tidak perawan tapi kemaluannya masih sempit, lagipula penis para pria yang pernah kencan dengannya tidak ada yang sebesar ini. Sementara Imron terus berusaha memasukkan senjatanya sambil melenguh-lenguh. Setelah beberapa saat menarik dan mendorong akhirnya masuklah seluruh penis itu ke vaginanya, walaupun nafsu sudah di ubun-ubun, Imron masih berhati-hati agar korbannya tidak menjerit dan suaranya terdengar keluar, maka itu dia lebih memilih pelan-pelan daripada memakai sodokan mautnya untuk melakukan penetrasi. Saat itu airmata Ellen meleleh lagi merasakan sakit pada vaginanya.
“Huhh…masuk juga akhirnya, memeknya seret banget Non, Bapak suka yang kaya gini” katanya dekat telinga Ellen.
Sesaat kemudian, Imron sudah menggoyangkan pinggulnya, mula-mula gerakannya perlahan, tapi makin lama kecepatannya makin meningkat. Ellen benar-benar tidak kuasa menahan erangan setiap kali Imron penis Imron menghujam sambil berharap tidak ada orang lewat yang mendengar suara persenggamaan mereka. Saat itu adalah hari Sabtu, jam-jam seperti ini memang kegiatan kuliah sedikit sehingga yang parkir di basement itu pun tak banyak, tapi tidak menutup kemungkinan kalau seseorang lewat situ dan mengetahui yang terjadi di ruang ini. Gesekan demi gesekan yang timbul dari gesekan alat kelamin mereka menimbulkan rasa nikmat yang menjalari seluruh tubuh Ellen sehingga matanya membeliak-beliak dan mulutnya mengap-mengap mengeluarkan rintihan. Imron lalu mengangkat paha kirinya sepinggang agar bisa mengelusi paha dan pantat Ellen sambil terus menggenjot.
Menit demi menit berlalu, Imron masih bersemangat menggenjot Ellen. Sementara Ellen sendiri sudah mulai kehilangan kendali diri, dia kini sudah tidak terlihat sebagai seseorang yang sedang diperkosa lagi, melainkan nampak hanyut menikmati ulah bajingan tua itu. Kemudian tanpa melepas penisnya, dia mengangkat paha Ellen yang satunya dan digendongnya menuju kursi dimana dia mendaratkan pantatnya. Anehnya, tanpa disuruh, Ellen memacu dan menggoyangkan pinggulnya pada pangkuan Imron karena kini bukan lagi pikiran dan perasaannya yang bekerja melainkan naluri seksnya. Ketika memandang ke depan, dilihatnya wajah tua gelap pria itu sedang menatapnya dengan takjub, segaris senyum terlihat pada bibirnya, senyum kemenangan karena telah berhasil menaklukkan korbannya. Dengan posisi demikian, Imron dapat mengenyot payudara Ellen sambil menikmati goyangan pinggulnya. Kedua tangannya meraih sepasang gunung kembar itu, mulutnya lalu mencium dan mengisap putingnya secara bergantian.
Remasan dan gigitannya yang terkadang kasar menyebabkan Ellen merintih kesakitan. Namun dia merasakan sesuatu yang lain dari persenggamaan ini, lain dari yang dia dapat dengan pria lain yang pernah bercinta dengannya yang umumnya bersikap gentle, gaya bercinta Imron yang barbar justru menciptakan sensasi yang khas baginya yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya. Di ambang klimaks, tanpa sadar Ellen memeluki Imron dan dibalas dengan pagutan di mulutnya. Mereka berpagutan sampai Ellen mendesis panjang dengan tubuh mengejang, tangannya mencengkram erat-erat lengan kokoh Imron. Sungguh dahsyat orgasme pertama yang didapatnya, namun ironisnya hal itu bukan dia dapat dari kekasihnya melainkan dari seorang pria mesum yang memanfaatkan situasi tidak menguntungkan ini. Setelah dua menitan tubuhnya kembali melemas dan bersandar dalam pelukan Imron.
Penis Imron yang masih menancap di vaginanya belumlah terpuaskan, maka setelah jeda beberapa menit dia bangkit sehingga penis itu terlepas dari tempatnya menancap. Ellen yang belum pulih sepenuhnya disuruhnya menungging dengan tangan bertumpu pada kepala kursi.
“Oohh…udah dong Pak, saya sudah gak kuat, tolong !” Ellen memelas dengan lirih
Mendengar itu, Imron cuma nyengir saja, dia merenggangkan kedua paha Ellen dan menempelkan penisnya pada bibir kemaluannya.
“Uugghh…oohh !” desah Ellen dengan mencengkram sandaran kursi dengan kuat saat penis itu kembali melesak ke dalam vaginanya.
Tangannya memegang dan meremas pantatnya sambil menyodok-nyodokkan penisnya, cairan yang sudah membanjir dari vagina Ellen menimbulkan bunyi berdecak setiap kali penis itu menghujam. Suara desahan Ellen membuatnya semakin bernafsu sehingga dia meraih payudara Ellen dan meremasnya dengan gemas seolah ingin melumatkan tubuh sintal itu.
Limabelas menit lamanya Imron menyetubuhinya dalam posisi demikian, seluruh bagian tubuh Ellen tidak ada yang lepas dari jamahannya. Sekalipun merasa pedih dan ngilu oleh cara Imron yang barbar, namun Ellen tak bisa menyangkal dia juga merasakan nikmat yang sulit dilukiskan yang tidak dia dapatkan dari pacarnya. Akhirnya, Imron menggeram dan merasakan sesuatu akan meledak dalam dirinya, penisnya dia tekan lebih dalam ke dalam vagina Ellen, serangannya juga makin gencar sehingga Ellen dibuatnya berkelejotan dan merintih. Kemudian dia melepaskan penisnya dan cret…cret…cret, spermanya muncrat membasahi pantat Ellen. Belum cukup sampai situ, disuruhnya Ellen menjilati penisnya hingga bersih, setelahnya barulah dia merasa puas dan memakai kembali celananya. Ellen bersimpuh di lantai dengan menyandarkan kepala dan lengannya pada kursi itu, wajahnya tampak lesu berkeringat dan bekas air mata, dalam hatinya berkecamuk antara kepuasan yang sensasional ini dan rasa benci pada pria yang baru saja memperkosanya.
Imron mendekatinya dan berjongkok, lalu berkata
“Nah sekarang rahasia Non aman, tapi Non juga harus pastikan cuma kita berdua yang tau yang terjadi barusan kalau tidak, foto-foto Non ini akan saya kirim ke sembarang orang atau mungkin akan terpajang di papan penguman, ngerti !”
Setelah Ellen berpakaian kembali, dia menyuruhnya pergi setelah memastikan keadaan sekitar situ aman. Dalam perjalanan pulangnya, Ellen hampir saja menabrak mobil lain karena melamun memikirkan kejadian barusan yang membuat dirinya serasa hina, namun juga merasakan kepuasan yang lain dari biasanya. Sementara itu Imron menanti kesempatan untuk memangsa korban berikutnya. Ikuti terus petualangan Imron, the pervert janitor.
###########################





© Karya Shusaku