Rania


Hari itu jam sebelas kurang di gedung administrasi pusat Universitas ******. Nampak beberapa orang sedang berdiri di depan pintu lift. Tak lama kemudian pintu lift sebelah kiri yang menuju ke atas membuka, lima orang masuk sedangkan sisanya menunggu lift berikut karena berlawanan jurusan.
“Tunggu-tunggu, sori tahan bentar !” kata seorang wanita dari luar sambil berlari-lari kecil menuju lift yang pintunya sudah mau menutup itu.
Seorang pria dari dalam yang dekat tombol lift menahan tombol open sehingga wanita muda itu tidak ketinggalan lift. Setelah pintu menutup lift pun bergerak ke atas. Di lantai tiga seorang wanita 30an dan seorang pria yang berseragam staff administrasi keluar. Lift naik lagi hingga berhenti di lantai lima dimana pria yang menahan pintu lift tadi turun dan di tingkat berikutnya seorang mahasiswi turun, sepertinya dia hendak mengurus biaya kuliah karena di tingkat itu adalah ruang bagian keuangan. Maka kini di lift tinggal dua orang saja, yaitu wanita muda tadi dan seorang pria tambun.
“Emmm…Bu Rania yah !” sapa pria tambun itu sehingga si wanita menoleh ke belakang dan agak kaget bagimana pria ini mengenal dirinya.
Rania memang mengenal pria ini sebagai Pak Dahlan, kepala fakultas arsitektur, tapi hanya sekedar tahu saja karena mereka tidak pernah berhubungan karena jurusan berbeda dan Rania juga hanya dosen muda dan hubungannya dengan dosen fakultas lain tidak terlalu luas. Sekarang ini dirinya sedang hendak mewakili kepala jurusaannya yang berhalangan hadir untuk mengikuti rapat umum di ruang rapat lantai 12.
“Mau rapat Bu ?” tanya pria itu.
“Eengg…iya…iya Pak” Rania tersenyum kecil menjawabnya lalu berbalik lagi menatap indikator lift.
Walaupun bersikap sopan, namun Rania merasa tidak nyaman berada satu lift dengan pria ini, entah mengapa instingnya mengatakan demikian, dia merasa lift berjalan lambat sekali. Firasat tidak baik itu terbukti ketika tiba-tiba ada tangan dari belakang menepuk pantatnya dan meremasnya. Spontan Rania pun kaget dan membalikkan badan.
“Kurang ajar ! apa-apaan sih Pak !” bentaknya dengan marah.

“Hehehe…memangnya kenapa Bu, Pak Imron aja boleh kan ?” ujar Pak Dahlan enteng.
Rania tertegun seperti disambar petir mendengar perkataaan pria itu.
“A-apa, apa…Bapak ngomong apa ?” suaranya terasa berat karena terkejut.
“Nah kan bener, dari reaksinya aja saya tau tuh”
“Gimana mungkin dia tau ?” Rania bertanya dalam hati dan menyesal karena tidak bisa menahan rasa nervousnya.
“Maksud Bapak apa…saya peringatkan jangan macam-macam Pak !” gertaknya menutupi rasa gugup.
“Ah, Ibu ini masa gak ngerti sih maksud saya apa ? kita kan sudah sama-sama dewasa Bu” katanya sambil mendekat dan meraih lengan Rania “saya sudah tau semua Bu, masa sih ada dosen main lesbian sama mahasiswinya hehehe…!”
“Bapak mengancam saya ya !” bentak Rania sambil menyentak tangannya.
‘Ting !’ lift sampai ke lantai 12 yang dituju sehingga keduanya menjaga sikap agar tidak terlihat mencurigakan.
“Pikirkan lagi yah Bu, saya dengar keputusannya setelah rapat” katanya pelan sambil berjalan keluar dari lift dan sempat mencolek pantat Rania.
“Huh…bangsat nih orang !” makinya dalam hati.
Disana sudah cukup banyak orang berkumpul, sebagian sudah menempati kursinya di ruang rapat, sebagian lainnya masih di luar ngobrol-ngobrol dengan rekannya atau merokok. Walau hatinya galau, Rania berusaha agar dapat tersenyum dan berbasa-basi bila ada orang menyapanya. Rapat pun akhirnya dimulai, Rania tidak bisa sepenuhnya berkonsentrasi pada hal yang dibahas karena terganggu oleh yang satu itu. Dia membalas senyum Pak Dahlan yang duduk berseberangan dengannya itu dengan pandangan tajam, rasanya ingin melempar botol air mineral mejanya ke wajah pria itu kalau saja emosinya meledak. Hatinya makin membara ketika Pak Dahlan angkat bicara, pria itu jelas sedang menyindirnya di depan dosen-dosen lain dengan berlagak sok bermoral.
“Hhh…saya rasa kampus kita ini perlu merevisi tata-tertib agar lebih ketat, soalnya belakangan ini saya dengar mahasiswa-mahasiswa kita ini makin nggak karuan tingkah lakunya, mau jadi apa bangsa kita kalau moralnya begini…yang lebih gila saya pernah dengar…ini nggak tau benar atau nggak ya…dosen juga ada yang kebawa-bawa”
Rania menjaga sikapnya senormal mungkin agar para peserta rapat tidak curiga, padahal dalam hatinya ia benar-benar marah pada pria itu, atas sikapnya yang kurang ajar dan kemunafikannya yang memuakkan.
Jam 12.15 rapat dihentikan sementara untuk jam makan siang dan akan dilanjutkan jam 1.00. Rania buru-buru keluar dari ruang itu bersama dua dosen wanita lainnya yang mengajaknya makan siang bersama. Dia berharap dengan begitu dapat terhindar dari Pak Dahlan sementara pria itu juga masih berbincang-bincang dengan seorang dosen lain di ruang rapat.
“Aduh lama banget sih ! cepetan dong !” serunya dalam hati karena merasa cemas pria itu akan menyusulnya.
Lift makin naik, namun ketika baru menunjukkan tiba di lantai 10, tiba-tiba terdengar dari belakang namanya dipanggil, suara itu dikenalnya dan tidak diharapkannya.
“Bu…Bu Rania tunggu sebentar, saya harus bicara dengan ibu sebentar !” panggil Pak Dahlan, “Eh…maaf ngeganggu bentar yah…udah pada pengen makan yah ?” sapanya pada dua dosen wanita yang bersama Rania.
Rania tidak mungkin bersikap judes padanya disitu karena justru akan mengundang kecurigaan orang.
“Oh…iya Pak ada apa yah ?” tanyanya dengan sikap ramah dibuat-buat.
“Hhmm…kalau Bu Nia buru-buru ya udah nggak apa-apa deh, hanya masalah yang terlewat saja kok, saya pikir bisa dibahas sekarang supaya Ibu lebih nyantai, nggak repot lagi ntar !” nada bicara Pak Dahlan begitu kebapakan dan berwibawa bila di depan umum seperti ini, sungguh pandai dia menutupi tabiat mesumnya.
Rania tahu apa yang dimaksud ‘repot’ oleh pria tambun itu sehingga dengan terpaksa dia memilih berbicara dulu dengan pria itu dan menyuruh kedua rekannya pergi makan siang tanpa dirinya.
“Maaf yah…saya ada urusan sebentar, kalian duluan aja deh ga usah nunggu saya, ini ada urusan dikit. Biasalah kalau mewakili orang jadi banyak yang harus diomongin hehehe…!” katanya pada kedua dosen itu.
“Ya udah deh Bu Nia, kita duluan deh kalau sempat nyusul saja yah di seberang !” kata dosen wanita yang gemuk itu sebelum masuk ke lift.
Begitu pintu lift menutup senyum di wajah Rania langsung berganti dengan wajah masam yang diarahkan pada pria itu.
“Ada apa sih Pak ?” tanyanya ketus.
“Hehe…jangan galak gitu Bu, nggak enak kalau ada yang liat, gimana nih jadi keputusannya ?” tanyanya kalem.
“Saya benar-benar ga nyangka kalau anda itu begitu menjijikkan !” Rania melipat tangan dengan memandang jijik padanya.
“Jadi menurut Ibu kalau ada dosen main lesbian sama mahasiswinya itu ga menjijikkan” balas Pak Dahlan.
Rania sudah mau menjerit dan menampar pria ini kalau saja dia tidak ingat di ruang rapat sana masih ada orang sehingga dia hanya bisa mengepalkan tangan dan menggigit bibir untuk melampiaskan kekesalan.
“Ya itu sih terserah sama Ibu saja kok, saya nggak suka maksa orang, paling akibatnya Ibu tanggung saja nanti” kata pria itu dengan tenang, “ah…sekarang saya mau ke toilet dulu nih, kalau Ibu mau nyusul aja yah ke lantai 14″
Pria itu lalu melangkahkan kaki menuju ke tangga. Rania diam terpaku, hatinya gelisah tidak tahu apa yang harus diperbuat.
“Lho…Bu lagi ngapain sendirian ? Kok belum turun ?” sebuah suara dari belakang membuyarkan lamunannya.
Pak Budi, si rektor universitas menyapanya dengan ramah, bersamanya juga ada dua orang staff rektorat dan seorang dekan yang keluar belakangan.
“Oh, ini Pak baru nelepon ke rumah, jadi belum sempat turun !” balasnya menyapa dengan senyum dipaksa.
“O gitu, ya udah kita turun bareng sekarang !” ajak Pak Budi pas ketika lift membuka.
“Eehh…saya nanti aja Pak, kalian duluan aja, saya masih harus nelepon lagi, ada masalah keluarga” kata Rania terbata-bata seraya mengambil ponselnya pura-pura mau menelepon.
“Ibu baik-baik aja kan ? masalahnya tidak serius kan ?” tanya staff rektorat, seorang wanita paruh baya.
“Nggak, nggak apa-apa kok, biasa masalah di rumah, ntar juga bisa selesai kok. Iya…gak apa-apa !” jawabnya.
“Ya udah Bu, semoga cepat selesai deh, kita duluan ya !” pamit Pak Budi sebelum masuk lift.
Setelah lift menutup tinggallah dia sendirian di lantai itu dan kembalilah kegelisahan itu melandanya. Sepertinya tidak ada pilihan lain baginya selain menuruti apa yang diminta si dosen bejat itu, lagipula dirinya toh sudah ternoda dan dua bulan terakhir ini sudah beberapa kali terlibat hubungan seks dengan Imron, si penjaga kampus, apa bedanya bila melakukannya dengan Pak Dahlan daripada pria itu nanti ‘bernyanyi’ dalam rapat yang malah mempermalukannya di depan umum. Maka Rania melangkahkan kakinya menuju tangga ke atas ke lantai 14. Lantai 13 gedung itu kosong belum terpakai, sementara ini hanya berfungsi sebagai gudang. Lantai 14 adalah lantai teratas sebelum atap gedung, disana terdapat teater yang biasanya dipakai untuk acara seminar, drama, atau pertunjukkan. Namun dihari-hari biasa tempat itu sepi hampir tidak ada yang mengunjungi sampai suara langkah kakinya yang memakai sepatu hak terdengar. Rania menuju ke toilet di lantai itu yang tadi disebutkan oleh Pak Dahlan. Semakin mendekati tempat itu, langkahnya terasa makin berat dan detak jantungnya semakin cepat. Di lorong itu terdapat tempat rias dan cermin-cermin besar tempat make-up, biasanya dipakai untuk persiapan drama. Pada salah satu sisi lorong tersebut nampak sebuah toilet pria yang lampunya menyala. Ia membuka pintu toilet itu dengan tangan bergetar.
“Ah…Bu Nia, hampir saja saya pergi, kirain Ibu nggak jadi datang” sapa Pak Dahlan yang sedang mencuci muka di wastafel, dia hanya melihat dari cermin tanpa membalikkan badan.
“Sudahlah Pak nggak usah basa-basi lagi, saya gak ada banyak waktu untuk anda !” ujar Rania ketus.
“Santai aja Bu, masih ada waktu setengah jam-an kok” pria itu membalik badan dan berjalan menghampirinya.
Rania nampak tegang sekali, beberapa kali dia menelan ludah, punggungnya bersandar pada tembok karena kakinya agak gemetar. Pak Imron meraih saklar yang terletak di sebelah Rania dan mematikan lampu. Ruang dengan dengan dua toilet bersekat itu kini hanya diterangi oleh sinar matahari dari ventilasi di atasnya.
“Nah…begini lebih romantis suasanya, biar lebih enak” katanya sambil menyandarkan telapak tangan kiri di sebelah kepala Rania.
Jarak mereka kini begitu dekat sehingga Rania bisa merasakan hembusan nafas Pak Dahlan pada wajahnya, pria itu lebih pendek sedikit darinya.
Rania menepis tangan pria itu ketika hendak meraba dadanya.
“Kenapa Bu ? bukannya udah biasa, kalau berubah pikiran ya udah kita keluar aja”
“Bajingan !” umpatnya dalam hati.
Dengan berat hati diapun membiarkan dadanya dipegang oleh Pak Dahlan. Pria itu juga mengendusi daerah leher yang tertutup sedikit oleh rambut panjangnya. Bau badan Rania yang bercampur parfum menaikkan birahinya sehingga bibir tebalnya langsung menciumi pipi dosen muda itu. Rania memejamkan mata menahan jijik, kumis pria itu menyapu wajahnya yang mulus. Dia memalingkan muka ke arah lain ketika bibir pria itu makin merambat ke bibirnya.
“Jangan…emmhh !” baru mau memalingkan wajah kedua kalinya, Pak Dahlan sudah melumat bibirnya dan meredam protesnya.
Spontan bulu kuduk Rania berdiri karena jijik, dia meronta berusaha melepaskan diri, namun entah mengapa ada hasrat menggebu-gebu yang menginginkan tubuhnya dimanja sehingga perlawanannya pun hanya setengah tenaga. Bibirnya yang tadinya dikatupkan rapat-rapat mulai mengendur sehingga lidah pria itu masuk dan bermain-main dalam mulutnya. Perasaan Rania campur aduk antara marah, jijik dan terangsang, apalagi Pak Dahlan terus menggerayangi tubuhnya dari luar pakaian. Berangsur-angsur rontaannya berkurang hingga akhirnya pasrah menerima apapun yang dilakukan pria itu. Rania mulai membalas cumbuan pria itu, lidahnya kini bertautan dengan lidahnya. Desahan tertahan terdengar di antara percumbuan yang makin panas itu. Merasa lawannya telah takluk, pria itu mempergencar serangannya. Blazer krem itu dilucutinya, Rania sendiri secara refleks menggerakkan tangannya membiarkan blazer itu terlepas dari tubuhnya sehingga tinggal tank-top ungu yang membalut tubuh atasnya. Pak Dahlan menggantungkan blazer itu pada gagang pintu tanpa melepas ciumannya. Tubuh mereka berdekapan begitu ketat, Rania dapat merasakan benda keras dari balik celana Pak Dahlan mengganjal selangkangannya. Tangan Pak Dahlan yang tadinya cuma meremas payudara dari luar mulai menyusup masuk lewat bawah tank topnya langsung menyusupi cup branya dan tangan satunya masih tetap meremasi pantatnya.
“Eennghh !” Rania makin mendesah merasakan jari-jari besar itu menyentuh putingnya serta memencetnya.
Lidahnya semakin aktif membalas lidah Pak Dahlan hingga masuk ke mulut pria itu menyapu rongga mulutnya, tangannya pun tanpa disadari memeluk tubuh tambunnya. Nafasnya makin memburu dan gairahnya makin naik. Mulut Pak Dahlan turun ke dagunya, bawah telinga, dan leher. Rania agak lega bisa mengambil udara segar walau dengan nafas putus-putus. Pak Dahlan memutar tubuh Rania menghadap tembok sehingga wanita itu bertumpu disana dengan kedua lengannya. Ia juga menyibakkan rambut Rania ke sebelah kiri sehingga mulutnya dapat dengan leluasa menciumi leher, pundak, dan bahunya yang terbuka. Tangan pria itu yang satu lagi ikut menyusup lewat bawah tank topnya sehingga kini pakaian itu setengah tersingkap. Sambil mempermainkan kedua payudara wanita itu, Pak Dahlan menciumi leher jenjangnya. Dengan penuh penghayatan disedotnya kulit leher samping yang putih mulus itu.
“Sshhh…jangan terlalu depan Pak…eeemm…ntar bekasnya keliatan” Rania mengingatkannya dengan suara lirih.
“Gak usah kuatir Bu, saya juga ngerti kok, lagian Ibu kan rambutnya panjang bisa buat nutupin” katanya.
Rania semakin mendesah, pipinya bersemu merah ketika merasakan lidah pria itu yang basah pada telinganya, menggelitik dan memancing gairahnya.
“Sudah Pak…jangan disitu !” Rania semakin mendesah waktu Pak Dahlan hendak merogohkan tangannya lewat atas celana panjangnya..
Rania menggerakkan tangannya menahan tangan pria itu yang ingin masuk. Namun penolakan itu dilakukannya hanya dengan setengah hati karena walaupun merasa dilecehkan di saat yang sama dia juga sudah terhanyut dalam pemanasan yang dilakukan dengan cemerlang oleh Pak Dahlan. Gaya Pak Dahlan yang gentle sangat membuatnya terbuai, berbeda dengan gaya permainan Imron, si penjaga kampus, yang cenderung kasar. Pak Dahlan memang berpengalaman dan tahu persis bagaimana menundukkan wanita secara seksual sehingga Rania yang seorang dosen terhormat pun ingin menikmati buaiannya lebih jauh. Setelah menyentakkan perlahan tangannya pegangan Rania pun lepas dan langsung ia menyusupkan langannya ke balik celana wanita itu. Pak Dahlan merasakan bulu-bulu lebat yang tumbuh pada permukaan vaginanya juga sedikit basah pada bagian belahannya.
“Oohh…mmmhh…tolong hentikan !” desahnya antara mau dan tidak.
Desahan itu membuat Pak Dahlan semakin bernafsu, dengan nakal jari-jari besarnya menggerayangi daerah sensitif itu. Mulutnya mencaplok bahu kanan wanita itu sambil menjilat dan mengisapnya dan tangannya yang sejak tadi bercokol di payudara makin gencar menyerang. Payudara 34B itu diremas-remas, putingnya dipilin-pilin atau kadang digesek-gesekan dengan jarinya sehingga benda itu makin keras saja.
Pak Dahlan melebarkan kedua paha Rania dengan menggeserkan telapak kakinya sehingga dapat lebih menjelajahi vaginanya lebih luas. Tubuh Rania tersentak saat jari pria itu memasuki liang vaginanya dan mulai mengorek-ngoreknya. Digesek-geseknya klentitnya dengan jari sehingga membuat wanita itu semakin seperti cacing kepanasan.
“Aahh…aahh…saya mohon…nngghh….jangan teruskan” desahnya.
“Hehehe…Ibu ini masih pura-pura aja, udah becek gini masih sok suci” ejek Pak Dahlan.
Rania yang sudah pasrah hanya bisa mendesah saja merasakan jari-jari pria itu mengaduk vaginanya. Lima menit Pak Dahlan merogoh-rogoh celana dalam Rania dengan diselingi beberapa ciuman lalu dia mengeluarkan tangannya dari sana. Nampak lendir kewanitaan Rania membasahi jari-jari besar itu.
“Hhhmm…enak, lendir yang enak !” katanya sambil mengemut jari tengahnya, “lihat ini Bu, banyak gini cairannya” didekatkannya tangannya ke wajah wanita itu.
Rania yang merasa tanggung karena hampir mencapai orgasme menurut saja ketika pria itu meletakkan jarinya yang belepotan itu di bibirnya untuk diemut. Diemutnya jari itu dan dirasakannya lendir kewanitaannya sendiri, ini bukan yang pertama kali baginya karena Imron pun pernah menyuruhnya demikian sehingga tidak ada rasa ragu ataupun risih lagi dalam melakukannya.
“Wah…wah…pinter juga Ibu nyenengin laki-laki, baru emut jari aja udah enak gini, gimana kalau emut kontol” kata Pak Dahlan.
Kata-kata itu membuat Rania merasa dilecehkan namun juga membuatnya bergairah.
Kemudian Pak Dahlan menyuruh dosen muda itu berlutut di hadapannya. Dengan agak buru-buru dia membuka sabuknya dan menurunkan resletingnya. Setelah celananya melorot jatuh dia menurunkan celana dalamnya mengeluarkan penisnya yang telah tegang. Rania terperangah melihat penis hitam yang berdiameter lumayan besar itu, pangkalnya ditumbuhi bulu-bulu lebat, kepalanya seperti jamur kemerahan menyembul dari kulupnya yang bersunat.
“Ayo Bu jangan bengong gitu, waktunya mepet nih !” sahut pria itu membuyarkan lamunannya.
Dia menggenggam batangnya dan menyodorkannya ke wajah wanita itu. Dengan ragu-ragu Rania menggerakkan tangannya memegang batang itu. Dia tahu pria itu menginginkan dirinya melakukan oral pada penisnya, maka tanpa menunggu perintah lagi dia mengocok perlahan batang itu dan membuka mulut menjilati permukaan batang itu. Pria itu menarik nafas panjang dan melenguh merasakan sapuan lidah Rania pada penisnya. Sejak menjadi budak seks, kemampuan Rania dalam berhubungan seks termasuk oral semakin meningkat dari hari ke hari. Dia semakin menikmati seks walaupun hubungan itu bertentangan dengan hati nuraninya karena dilakukan dengan paksaan, dengan tunangannya saja dia baru pernah sebatas petting bahkan melihat penisnya saja belum pernah, namun dengan lelaki yang dibencinya telah berbuat sejauh ini, ironisnya malah terbuai dalam kenikmatan terlarang itu.
Setelah menjilati penis Pak Dahlan hingga basah oleh liurnya, Rania mulai memasukkan benda itu ke mulutnya.
“Uuuhh…iya, gitu Bu…isap terus !” Pak Dahlan mendesah keenakan.
Rania bekerja keras mengulum dan memainkan lidahnya pada batang itu yang terasa sesak di mulutnya yang mungil. Benda itu bergetar setiap lidah Rania menyapu kepalanya. Pak Dahlan yang merasa nikmat itu memaju-mundurkan pinggulnya secara perlahan seperti gerakan menyetubuhi.
“Mmmm…enak sekali Bu, ga salah kata si Imron !” lenguhnya sambil meremasi rambut Rania.
“Iyah Bu…dikit lagi…terus aaahh…saya mau keluar di mulut Ibu !” erang pria itu setelah sepuluh menitan Rania mengoral penisnya.
Tak lama kemudian, Pak Dahlan mencapai puncak kenikmatannya dengan mengeluarkan cairan putih kental dari penisnya. Cairan hangat itu menyemprot di dalam mulut Rania yang langsung ditelannya agar tidak terlalu terasa di mulut. Cairan itu meleleh sedikit di ujung bibirnya karena mulutnya terasa sesak sehingga tidak bisa menelan dengan sempurna. Penis itu semakin menyusut seiring semprotannya yang semakin lemah. Akhirnya dia melepaskan penisnya dari mulut wanita itu. Rania merasa pegal pada mulutnya karena sesak dan harus bekerja keras sejak tadi, dia juga nampak terengah-engah mengambil udara segar.
“Bagus Bu, awal yang bagus…kita akan lanjutkan setelah rapat” kata Pak Dahlan sambil membenahi celananya, “yuk kita turun, sudah mau mulai lagi !”
“What…lagi ? jadi ini baru awal ?” kata Rania dalam hatinya.
“Saya turun duluan yah Bu, Ibu beres-beres aja dulu, masih lima menit lagi kok” katanya, “dan…kalau masih mau terus saya tunggu di ruang saya setelah rapat” sambungnya lagi sebelum menutup pintu meninggalkannya sendirian di ruang itu.
Rania berdiri dan merapikan lagi pakaiannya yang tersingkap sana-sini, dipakainya kembali blazernya. Kemudian dia berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan dan berkumur-kumur. Setelah memoles kembali bibirnya dengan lipstik dan menyisir rambutnya, diapun keluar dari sana dan kembali ke ruang rapat. Perasaan kesal sekaligus terangsang melingkupi dirinya. Untuk sementara hal tersebut terabaikan karena di sesi kedua rapat ini ia harus mencatat beberapa hal penting yang harus dia sampaikan pada kepala jurusannya. Rapat baru bubar pada pukul setengah dua.
“Saya tunggu di ruang saya yah Bu, lantai tiga gedung arsitektur” kata Pak Dahlan yang menghampirinya yang sedang membereskan barang-barangnya.
“Gak bisa sekarang Pak saya masih ada urusan !” jawab Rania ketus namun pelan agar tidak memancing pelan.
“Jadi jam berapa Bu ?”
“Gak tau ah, sejam lagi aja, saya sibuk, permisi !” jawabnya sambil bangkit berdiri dan melengos begitu saja dengan sikap judes.
Rania turun ke kantin bawah dan membeli makan. Perutnya terasa lapar sekali karena jam makan siangnya tertunda gara-gara dosen bejat itu. Setelah selesai makan dia kembali ke ruang dosen fakultasnya untuk menyelesaikan tugasnya yaitu membereskan sisa koreksian hari itu. Setelah pekerjaan itu beres dalam waktu duapuluh menit, hal yang mengganjal pikirannya itu datang lagi. Benar-benar bingung memikirkannya, kok rasanya dirinya yang terpelajar ini sudah tidak beda dari pelacur, apa yang akan dikatakan pada tunangannya nanti setelah pria itu kembali dari studinya di luar negeri, apakah dia masih sanggup menatap wajah kekasihnya itu dengan keadaan sudah ternoda seperti sekarang. Pikiran-pikiran seperti itu seringkali mengusiknya, namun ketika harus menunaikan kewajibannya sebagai budak seks dia justru terlarut di dalamnya, tidak bisa untuk tidak menikmati, bahkan terkadang hasrat liar itu muncul sendiri dari dalam dirinya.
“Hai Nia…kamu nggak enak badan ?” tanya seorang dosen pria melihatnya melamun dengan menyandarkan kepala pada kedua telapak tangan.
“Eehh…nggak…ga papa kok Ton, baru nyelesaiin koreksian aja, capek dikit hehe !” jawabnya berkelit.
Merasa tidak ada lagi yang perlu dikerjakan akhirnya Rania membereskan barang-barangnya untuk pulang, tentunya sebelumnya ia harus menyelesaikan tugas terakhirnya…melayani Pak Dahlan. Dia pun berpamitan pada beberapa rekan dosen yang masih ada di ruang itu dan keluar dari situ.
Dengan jantung deg-degan dan langkah berat ia berjalan menuju ke ruang kerja pria itu di gedung fakultas arsitektur. Diketuknya pintu ruang itu sesampainya di sana.
“Iya…masuk aja !” terdengar suara dari dalam yang dikenalnya.
“Bu Nia…saya sudah lama menunggu” sapa pria itu dari balik meja kerjanya “tolong ya Bu pintunya sekalian dikunci dan tirainya tutup yah, supaya nyaman !”
Rania membanting pantatnya ke sofa setelah menutup tirai. Pak Dahlan tersenyum dan menghampirinya, dia duduk di sebelah Rania dan melingkarkan tangannya ke bahu dosen muda itu.
“Minum dulu Bu !” katanya menawarkan segelas air yang sebelumnya diambil dari dispenser, “sebelumnya saya ingin mengenal Ibu lebih dalam dulu, eehhmm…apa Ibu sudah punya pacar ? selama ini saya lihat Ibu selalu datang dan pulang sendiri”
“Itu bukan urusan Bapak, apa kita bisa cepat dikit ? saya capek, mau pulang !” sahut Rania dengan hambar sambil meletakkan gelasnya di meja.
“Aduh, Ibu ini kok ketus banget ke saya ? Oh…iya gimana Bu hubungannya sama si Imron, gimana kesan-kesan Ibu ?” tanyanya lagi.
Rania benar-benar kesal dengan sikapnya yang menyebalkan itu, apalagi ketika mengungkit-ungkit tentang yang terakhir itu. Dia menoleh menatap wajah pria itu.
“Pak please yah, saya udah bilang saya nggak banyak waktu, kenapa sih gak to the point aja !” sehabis berkata dia langsung mendorong dada pria itu dengan kedua tangannya hingga tubuh tambun itu terjungkal ke belakang.
Sebelum Pak Dahlan sempat bangun, Rania sudah berada diatas tubuhnya dan memeluknya. Bibirnya langsung menempel di bibir tebal pria itu menciuminya dengan ganas. Rasa kesal bercampur gairah yang masih tersisa dari pemanasan tadi siang membuatnya nekad mengambil inisiatif memulai duluan. Yang diinginkan pria ini toh hanya tubuhnya, kenapa sih harus buang-buang waktu sampai mengungkit-ungkit masalah pribadi segala, demikian pikirnya. Entah setan apa yang merasukinya sehingga menjadi seliar itu, mungkin dengan cara demikianlah ia melampiaskan kekesalannya. Sambil terus berciuman ia menggesekkan dadanya yang menempel dengan dada pria itu, bukan itu saja, ia juga menggerakkan tangannya menjamah selangkangan serta mengelus-elusnya. Perlahan benda di balik celananya itu makin mengeras.
“Hoo…ho…ga usah nafsu gitu Bu, santai saja !” gumamnya perlahan.
“Sudahlah Pak, nikmati saja atau tidak sama sekali” bisik Rania dengan suara sedikit mendesah di dekat telinganya.
Di bawah sana Rania telah membuka resleting celana pria itu dan mengeluarkan penisnya yang sudah tegang dari lubang resleting itu. Wajah pria itu menunjukkan ekspresi nikmat akibat belaian tangan Rania pada penisnya. Rania menegakkan tubuhnya sejenak untuk melepaskan blazernya. Setelah melempar blazer itu ke sofa pendek di samping, dia menggeser tubuhnya ke bawah, disana ia membungkuk dan memasukkan penis itu ke mulutnya. Di dalam mulut benda lidahnya bermain-main memanjakan benda itu, sesekali disertai hisapan.
“Ooohh…Bu Nia, anda ngapain…uughh !” erang Pak Dahlan yang masih bengong dengan perubahan sikap Rania.
Rania sendiri tidak tahu kenapa dirinya menjadi senekad ini, yang jelas dia merasa gairahnya menggebu-gebu. Hal yang sering dialaminya sejak menjadi budak seks, kadang pelecehan dan kata-kata yang merendahkannya justru memancing gairahnya. Benci dan birahi bercampur membentuk gairah yang liar seperti yang sekarang ini. Ia mengisapi kepala penis Pak Dahlan yang bersunat itu tanpa canggung, kadang lidahnya menjilati ujungnya sehingga pria tambun itu belingsatan keenakan.
“Aarghh…saya…mau keluar, stop dulu Bu…stop !” erang pria itu.
Pak Dahlan bangkit dan mengangkat tubuh Rania yang sedang mengoralnya serta mendorongnya ke belakang hingga terbaring di sofa. Kini pria itu berada di atas tubuhnya, wajah mereka saling bertatapan dalam jarak kurang dari sejengkal.
“Itu yang anda mau kan ? bangsat !” ujar Rania dengan sinis.
“Hehehe, Ibu memang pintar, saya yakin kita bakal sama-sama puas, saya sudah sering main sama mahasiswi, tapi baru kali ini sama dosen” katanya sambil mengelus pipi wanita itu.
“Dasar serigala berbulu domba, anda tidak malu dengan kelakuan anda hah !?”
“Kenapa harus malu, toh mereka yang datang pada saya, saya hanya menyetujui tawaran saja, lagipula mereka juga enjoy kok” jawabnya santai, “jangan munafik Bu, manusia butuh seks, toh Ibu sendiri juga menikmati kan, apakah bercumbu dengan mahasiswi dan terlibat seks dengan penjaga kampus tidak memalukan bagi Ibu”
“Lebih baik cepat selesaikan nafsu iblis anda” tidak ingin mendengar ocehan pria itu lebih panjang, Rania langsung melumat bibir tebal pria itu begitu menyelesaikan kata-katanya.
Sambil berciuman pria itu menyingkap tank-top Rania beserta bra tanpa tali bahunya. Desahan tertahan terdengar dari mulutnya ketika jari-jari besar itu memencet putingnya. Pak Dahlan menggeser bibirnya menciumi leher jenjang itu terus turun hingga ke payudaranya. Sebelum menikmati kedua gunung kembar itu, dia melepaskan terlebih dulu kait bra itu lalu menjatuhkannya ke lantai. Mata pria itu memandang nanar pada payudara 34B dengan puting kemerahan itu. Kedua tangannya langsung meremas sepasang daging kenyal itu, lidahnya menjilati melingkar di daerah areolanya lalu menyentil-nyentil benda mungil yang sensitif itu sehingga pemiliknya tidak bisa menahan desahan. Tangannya yang satu merayap ke bawah melepaskan sabuk Rania, lalu melepaskan kancing celananya disusul resletingnya.
“Aaahh…aahhh…Pak !” desah Rania dengan nikmatnya ketika pria itu mengenyoti putingnya sambil merogohkan tangannya ke balik celana dalamnya.
Kedua matanya terpejam sambil menggigit bibir bawah, tangannya meremas-remas rambut Pak Dahlan yang sedang asyik menyusu darinya. Dengan penuh perasaan Pak Dahlan meremas, menciumi dan menjilati kedua payudara Rania secara bergantian. Hal ini membuat birahi Rania bergolak hebat, dia tak bisa menyangkal bahwa pria yang dibencinya ini telah sanggup membuatnya serasa terbang. Setelah puas menyusu, Pak Dahlan bangkit sebentar untuk melepaskan pakaiannya sendiri. Rania memandangi tubuhnya yang gempal hitam dengan sedikit bulu di dadanya itu, penisnya mengacung tegak diantara kedua pahanya.
Setelah membuka pakaiannya pria itu melepaskan sepatu yang dipakai Rania lalu melepaskan celana panjangnya. Sepasang pahanya yang panjang dan putih mulus itu kini tidak tertutup apa-apa lagi, yang masih tersisa di tubuhnya hanya tank-top yang sudah tersingkap dan celana dalam pink berenda. Pak Dahlan memandang tubuh seksi itu dengan bernafsu dan mengelusinya.
“Paha yang indah, benar-benar indah !” pujinya sambil mengelus paha itu dengan tangan bergetar.
Darah Rania berdesir seiring dengan sentuhan erotis itu dan terpaan AC yang langsung mengenai tubuhnya. Pria itu juga memberi kecupan-kecupan ringan dan jilatan pada kulit pahanya yang mulus. Perlahan-lahan ia memeloroti celana dalam itu hingga lepas. Tangan pria itu terus menggerayangi tubuh Rania dengan lihainya, memberinya sensasi nikmat pada setiap daerah sensitif. Kemudian didorongnya tubuh dosen muda itu ke belakang hingga mentok ke sandaran tangan pada sofa itu. Rania kini duduk menyamping di sofa itu. Pak Dahlan melebarkan sepasang pahanya lalu merunduk serta mengarahkan wajahnya ke selangkangan wanita itu.
“Aakkhh” desah Rania sambil menggeliat begitu lidah Pak Dahlan menyapu bibir vaginanya.
Lidah itu terus bergerak masuk menyentuh bagian lebih dalam dari vaginanya. Kenikmatan makin menjalari tubuhnya membuat wajahnya memerah dan nafasnya makin memburu.
Setelah lima menitan menikmati vagina Rania, Pak Dahlan memintanya melakukan posisi 69, yaitu saling mengoral kelamin pasangan dalam saat bersamaan. Rania yang sudah horny itu menurut saja disuruh naik ke wajah pria itu. Pak Dahlan meneruskan lagi jilatannya pada vagina wanita itu, kali ini sambil merasakan nikmatnya kuluman Rania pada penisnya. Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati vagina Rania, tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda SMS masuk. Ia mengambil ponsel itu dari kantong celananya yang diletakkan tidak jauh dari situ sementara tangan satunya tetap mengorek-ngorek vagina Rania. Hanya SMS dari sesama dosen ternyata yang memberitahukan masalah pekerjaan. Setelah selesai membaca SMS itu, Pak Dahlan memencet nomor lagi untuk menghubungi seseorang.
“Hoi, Ron pakabar nih ?” sapanya pada orang disana.”saya sekarang lagi sama Bu Rania nih, itu tuh dosen yang lu kasih tau Rabu kemaren”
Ternyata dia menghubungi Imron untuk memberitahukan keberhasilannya menggaet dosen muda itu.
“Enak banget loh Ron sepongannya, wuih…yahud !” katanya di telepon.
“Bener kan Pak apa kata saya juga, dosen juga manusia kalau udah terangsang ya ga beda sama lonte hahaha !” kata Imron di telepon.
“Dasar dua bajingan tengik !” maki Rania dalam hati, dia memperkuat hisapannya sebagai pelampiasan.
“Uooh…gila nih Ron, kontol gua lagi diisep, enak banget !” katanya “eh, mau bergabung ga, udah jam segini nyantai kan ?” tawarnya.
“Ohh, ga deh Pak, enjoy aja dulu, saya juga lagi sibuk nih” jawab Imron “Uuhhh !” Pak Dahlan samar-samar mendengar suara desahan wanita di seberang sana.
“Wahaha…lagi asyik juga toh lu Ron, itu suara apa tuh, hayo !”
“Iyalah Pak biasa abis jam sibuk gini kan enaknya cari penyegaran dikit” jawab Imron yang saat itu sedang berbaring di dipan di ruangannya menikmati Joane yang sedang melakukan woman on top posisi memunggungi di atas penisnya.
“Ya udah selamat bersenang-senang yah !”
“Yok Pak sama-sama salam buat Bu Rania yah, hehe” balas Imron lalu dia menutup ponselnya.
“Ayo manis, kita ganti gaya !” perintahnya sambil mendekap tubuh Joane yang pakaiannya telah tersingkap sana-sini.
Dia lalu menindih tubuh gadis itu dan memasukkan kembali penisnya bersiap untuk gaya misionaris. Tapi agaknya kita harus meninggalkan Imron dan Joane karena episode ini bukanlah porsinya mereka. Yah, sebaiknya kita kini kembali pada Rania dan Pak Dahlan yang juga sedang berasyik-masyuk.
Rania sedang menaik-turunkan kepalanya melayani penis Pak Dahlan. Dia merasakan jari Pak Dahlan bergerak memutar-mutar dalam vaginanya dan juga lidahnya yang nakal itu terus saja menjilati daerah kewanitaannya sehingga makin menaikkan birahinya. Vagina Rania makin berlendir karena terus-menerus dirangsang sedemikian rupa dan nampaknya pria itu sangat menikmati cairan itu yang dijlatinya dengan bernafsu. Ketika di ambang orgasme, sekali lagi dia menyuruh Rania berhenti mengulum, ia ingin menikmati tubuh wanita itu sepenuhnya sehingga tidak mau cepat-cepat keluar. Kini diperintahkannya Rania menaiki penisnya. Tidak terlalu sulit penisnya memasuki vagina itu karena sudah basah dan licin. Erangan Rania turut mengiringi proses penetrasi itu hingga akhirnya penis itu tertancap seluruhnya.
“Mmhhh…enak Bu, memek Ibu legit sekali !” gumam Pak Dahlan merasakan himpitan dinding vagina Rania terhadap penisnya.
Tanpa menghiraukan ocehan Pak Dahlan, Rania mulai menggoyangkan tubuhnya naik-turun. Sesekali ia meliukkan pinggulnya sehingga Pak Dahlan merasa penisnya seperti dipelintir. Secara refleks tangannya yang saling genggam dengan tangan pria itu membimbingnya ke salah satu payudaranya seolah meminta pria itu meremasinya. Pak Dahlan mulai memainkan payudaranya dan tangan satunya menelusuri tubuh yang molek itu, merasakan kulitnya yang halus dan lekuk tubuhnya yang indah. Rania sudah semakin hanyut dalam persetubuhan itu walaupun pada awalnya dilakukannya dengan terpaksa.
“Yah…terus Bu, enak…terushh !” desah pria itu seiring genjotan Rania yang semakin liar karena semakin dikuasai birahi.
Kemudian Rania menegakkan tubuhnya sejenak untuk melepaskan tank topnya yang tersingkap, satu-satunya pakaian yang masih tersisa, sehingga kini keduanya telanjang bulat. Dari bawah Pak Dahlan juga ikut menggerakkan pinggulnya, tumbukkan mereka yang saling berlawanan arah itu menyebabkan penis itu menusuk lebih dalam. Rania tidak menghiraukan yang lain lagi selain birahinya yang menuntut pemuasan, rasio, hati nurani, dan perasaan-perasaan lainnya untuk sementara terkubur.
“Gimana Bu Nia ? Enak ga kontol saya ?” tanya Pak Dahlan yang merasa telah menaklukkannya.
“Aahh…ahhh…enak Pak…terus…goyang terus Pak !” erang Rania tanpa malu-malu lagi.
Tidak sampai sepuluh menit setelahnya, Rania mulai sampai ke puncak, otot-otot vaginanya berkontraksi dengan cepat dan makin basah. Dia menambah kecepatan goyangannya sehingga pria itu juga makin mendesah.
“Oohhh !” Rania menggelinjang dahsyat di atas tubuh tambun Pak Dahlan.
Selama beberapa saat tubuhnya menegang tak terkendali, dinding vaginanya makin meremasi penis pria itu sehingga diapun tak mampu menahan ejakulasinya.
“Ooohh…saya juga keluar Bu !” erangnya menyambut gelombang orgasme, spermanya menyemprot deras mengisi vagina Rania.
Tubuh mereka berangsur-angsur melemas kembali. Rania ambruk diatas tubuh Pak Dahlan dengan nafas tesenggal-senggal dan bersimbah keringat, penis itu masih menancap di vaginanya. Senyuman puas terlihat pada wajah pria itu karena berhasil menikmati dosen cantik bertubuh molek ini.
“Hebat, enak sekali Bu, Ibu memang pintar memuaskan pria” kata Pak Dahlan sambil mengelus rambut panjang Rania yang agak bergelombang.
“Persetan lah !” omel Rania dalam hati.
Rania yang kesadarannya mulai pulih merasakan dirinya benar-benar kotor, dia ingin melawan namun tidak sanggup apalagi dalam keadaan seperti ini dan dibawah tekanan. Namun dia juga harus mengakui dirinya sangat menikmati persetubuhan dengan pria tambun yang umurnya dua kali lipat dirinya itu.
“Misi bentar Bu, saya mau ambil minum dulu” sahut Pak Dahlan seraya menurunkan tubuh Rania hingga terbaring di sofa, lalu berjalan ke arah dispenser.
Setelah minum seteguk, dia menyodorkan gelas yang tinggal setengah isinya itu pada Rania. Rania mengambil gelas itu lalu menggeser tubuhnya agak bersandar pada sandaran tangan. Air itu memberinya sedikit kesegaran pada tenggorokkannya yang terasa kering karena mendesah juga mengembalikan sedikit tenaganya.
Pak Dahlan terus memperhatikan Rania sementara dia sedang meneguk minumannya, diperhatikannya lehernya yang jenjang itu berdenyut-denyut karena meneguk air, tubuh telanjangnya dengan payudara putih montok, perut rata, dan paha yang panjang dan mulus, semua itu membuat birahi Pak Dahlan kembali naik.
Setelah air dalam gelas itu habis, Pak Dahlan mengambilnya dan meletakkannya kembali di atas meja. Didekapnya tubuh Rania dengan tangannya yang kokoh dan tangan yang satunya menyeka keringat di dahinya. Rania dengan ketus menepis tangan pria itu.
“Gak usah sok sayang gitu, Bapak bukan siapa-siapa saya !” katanya ketus sambil menyeka sendiri keringat di dahinya.
Pak Dahlan hanya senyum-senyum saja melihat reaksi Rania, karena dia malah senang dengan korban yang reaksinya sok jual mahal seperti ini. Kemudian dia meraih salah satu payudara wanita itu dan menundukkan kepala.
“Oouucchh !” rintih Rania dengan wajah meringis karena Pak Dahlan menggigiti putingnya.
Tubuh Rania menggeliat sambil tangannya mendorong-dorong kepala pria itu karena dia terus menggigiti putingnya dengan menggetarkan giginya, rasanya ngilu dan sakit, tapi juga…enak.
“Aduh…aah…jangan terlalu keras Pak…aahh…sakit !” rintihnya sambil meremas-remas rambut pria itu.
Pak Dahlan akhirnya melepaskan juga gigitannya pada puting Rania setelah beberapa saat kepalanya didorong-dorong hingga rambutnya agak acak-acakan. Dia tersenyum nakal melihat wajah Rania yang bersemu merah karena terangsang oleh gigitannya.
Kemudian pria itu menundukkan kepalanya hendak mengarah ke payudaranya lagi.
“Sudah Pak, jangan lagi…eeengghh !” ternyata kali ini bukan gigitan melainkan sapuan lidah yang diterimanya.
Kali ini Rania merasa lebih nyaman setelah tadi putingnya sempat panas nyut-nyutan akibat gigitan pria itu. Jilatan-jilatan itu membuatnya kembali bergairah. Memang Pak Dahlan sangat lihai mempermainkan nafsu korban-korbannya sehingga mereka takluk padanya. Sambil terus menjilati putting itu, tangan Pak Dahlan merambat ke bawah menyentuh kemaluannya. Rania makin mendesah dan menggeliat saat jari-jari besar itu mengelusi bibir vaginanya. Pria itu naik ke sofa menindih tubuhnya, kali ini mulutnya naik mencupangi leher jenjangnya sambil tangannya terus mengorek-ngorek vaginanya. Tak lama kemudian Rania merasakan benda tumpul didorong-dorong hendak memasuki vaginanya. Dia mendesah menahan sakit saat penis itu menyeruak masuk ke dalam vaginanya. Penis itu tidak terlalu sulit melakukan penetrasi karena vagina Rania sudah becek sekali.
“Uhhh…enaknya, memek Ibu emang seret banget !” dengus pria itu.
Pak Dahlan mulai menggerakkan pinggulnya menyodoki vagina Rania dengan penisnya. Terdengar suara seperti tepukan setiap kali selangakangan mereka bertumbukkan. Pompaan Pak Dahlan kadang keras tapi kadang juga lembut sehingga membuat Rania larut menikmati persetubuhan itu.
Setelah lewat seperempat jam Rania tidak mampu lagi menahan orgasme. Dia mendesah panjang dan mengeluarkan banyak sekali cairan dari vaginanya. Tubuhnya mengejang dan memeluk erat-erat tubuh Pak Dahlan yang menindihnya. Pak Dahlan sendiri masih belum mencapai puncak, dia terus menggenjoti Rania semakin ganas karena sensasi nikmat yang didapat dari kontraksi dinding vagina wanita itu ketika orgasme yang semakin erat menghimpit penisnya. Tak lama kemudian ketika di ambang orgasme, pria itu mencabut penisnya dari vagina Rania. Cairan lendir meleleh-leleh dari batang itu dan membuatnya terlihat mengkilap ketika baru saja ditarik lepas dari liang vaginanya. Kemudian pria itu naik ke dada Rania dan menjepitkan penisnya dengan kedua payudara montok itu. Rania yang masih lelah pasca orgasme hanya pasrah saja membiarkan pria itu melakukan breast-fucking terhadapnya. Penis yang sudah licin itu maju mundur dengan lancar diantara kedua gunung kembarnya. Dia sedikit merintih karena Pak Dahlan terkadang meremas payudaranya terlalu keras. Tidak sampai lima menit, pria itu mengerang nikmat dan menyemprotkan spermanya. Cairan seperti susu kental itu mengenai wajah Rania, terutama daerah dagu dan mulut, juga menciprati leher dan dadanya. Tubuh gempal itu berkelejotan meresapi gelombang orgasme yang melandanya. Setelah spermanya tidak keluar lagi, pria itu turun dari dada Rania dan duduk di sofa itu. Sambil beristirahat tangannya iseng mengolesi cipratan spermanya di dada wanita itu hingga merata.
Rania, dengan tenaga yang sudah mulai terkumpul, menggerakkan tangannya dan menepis tangan pria itu dari dadanya.
“Jangan gitu dong Pak, lengket tau gak !?” bentaknya lemas.
“Hehehe…puas banget saya Bu, lain kali lagi yah” pria itu berkata dengan nafas berat kelelahan.
Rania memutuskan untuk secepatnya angkat kaki dari tempat itu sebelum pria itu pulih dan mengerjainya lagi. Maka dia buru-buru turun dari sofa dan memunguti pakaiannya lalu memakainya kembali, sebelumnya dia mengelap ceceran sperma di tubuhnya dengan tisue yang dibasahi air. Tanpa memberi salam selain tatapan marah dia keluar dari ruangan itu dan menutup kembali pintunya dengan setengah dibanting.
“Dasar bajingan ga bermoral, munafik !” makinya dalam hati sambil terus berjalan.
Detak jantung Rania tertahan sejenak ketika dilihatnya sesosok tubuh yang dikenalnya muncul dari arah tangga lantai bawah, seseorang yang dikenalnya.
Di koridor lantai dua yang sudah sepi itu dia berpapasan dengan Imron yang baru saja naik dari lantai satu.
“Woo…hoo…Bu Nia, baru beres sama Pak Dahlan yah, gimana acara gininya Bu ?” sapanya sambil menunjukkan jempol yang diselipkan antara telunjuk dan jari tengahnya.
Rania terus saja melengos tanpa menjawabnya, sungguh benci dia pada pria yang telah merenggut kesuciannya dan menjerumuskannya dalam lembah nista.
“Yee…ditanya diem aja, dasar dosen lonte !” kata Imron seraya menepuk pantat Rania yang berlalu sambil mengacuhkannya.
Rania menengok dan memelototinya, namun ia tidak bisa lebih berbuat lebih selain mempercepat langkahnya agar menjauh dari pria itu, untunglah Imron tidak macam-macam karena dia baru menuntaskan hajatnya dengan Joane beberapa saat lalu.
“Gimana Pak barang barunya, sedap gak ?” tanya Imron yang menemui Pak Dahlan di ruangannya.
“Ya sedap toh, puas banget nih saya, hebat lu Ron bisa dapetin dosen, kalau mahasiswi bispak sih saya udah biasa, tapi kalau dosen bispak baru luar biasa, hahaha” katanya berkelakar.
Kedua penjahat kelamin itu pun tertawa-tawa penuh kemenangan.
###########################






© Karya Shusaku