Setelah beberapa menit hanya melihat pertunjukan tersebut dari jauh, aku mulai tidak sabar dan berencana untuk sedikit lebih mendekat. Akhirnya dengan hati-hati, aku mencoba untuk mendekat ke tempat Mbah Karyo melakukan kegiatannya tersebut. Dan di saat itu, Mbah Karyo membuka matanya dan sedikit kaget melihat keberadaanku. Tapi hal tersebut tidak berlangsung lama setelah dia tahu siapa yang datang. Meskipun begitu, kedua tangannya sudah mulai diam. Tangan kirinya dia turunkan perlahan, sedangkan tangan kanannya dia coba gerakkan untuk menutupi penisnya. Tampak bahwa penisnya masih tetap tegak berdiri meskipun sebelumnya sudah kaget dengan kedatanganku. Mbah Karyo tampak hanya tersenyum melihat aku datang.
"Sudah lama, Yan?" tanya Mbah Karyo.
"Eh.. Baru saja kok Mbah," kataku tergagap dan sedikit bohong.
"Oh," hanya itu saja, setelah itu terdiam lagi beberapa saat.
"Mau nyuci ya?" tanya Mbah Karyo lagi setelah melihat aku mulai mengeluarkan beberapa baju kotorku.
"Iya Mbah, sudah banyak baju kotor nih," jawabku.
"Kok siang-siang gini tho nyucinya, kenapa nggak tadi pagi?" lanjutnya kemudian.
"Iya Mbah, saya kesiangan bangunnya, jadi baru bisa nyuci jam segini," kataku (bohong lagi).
"Mbah sendiri kok mandi jam segini, kan tanggung?" tanyaku.
"Iya nih, habis dari sawah, gerah, jadi langsung mandi saja." jawabnya.
"Tapi biasanya banyak yang mandi sebelum dhuhur kan Mbah?"
"Yah, Mbah lagi ingin jam sekian aja, lebih sepi, jadi bisa sedikit santai," jawabnya sambil tersenyum dan mengedipkan matanya.
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban dari Mbah Karyo, tahu apa yang dimaksud. Tapi dengan senyum dan kedipan matanya membuatku jadi salah tingkah dibuatnya.
"O ya Mbah, Mbah tahu tidak sih kenapa tembok di tempat ini cukup tinggi, katanya dulu digunakan pemiliknya sebagai tempat untuk berselingkuh ya?" tanyaku.
"Wah, ngaco kamu, itu kan cuma berita yang tidak benar. Mbah sendiri tidak begitu tahu kenapa tembok ini begitu tinggi, waktu Mbah kecil tempat ini sudah seperti ini. Tapi kalau masalah sebagai tempat untuk berselingkuh, itu jelas tidak benar. Bahkan katanya tempat ini terlarang untuk wanita. Jadi tidak boleh ada wanita yang boleh masuk ke tempat ini, meskipun dia masuk dengan suami atau anaknya sekalipun. Ada yang bilang kalau sampai ada wanita yang masuk ke tempat ini, maka mata air di tempat ini akan kering."
"Mosok sih Mbah, tahayul itu." ujarku.
"Tentang kebenarannya Mbah sendiri kurang begitu tahu, tapi kata ayah si Mbah, dulu pernah ada sepasang suami istri yang baru pulang dari sawah dan kemudian mereka berdua mandi di tempat ini. Tidak tahu apa yang merasuki mereka, tapi konon acara mandi itu berlanjut menjadi acara berhubungan suami istri. Setelah mereka selesai melakukannya, tiba-tiba saja air di tempat ini mulai menyusut, mulai mengering. Bahkan konon bukan hanya di tempat ini saja, tapi juga di seluruh desa. Akhirnya setelah satu bulan mata air tetap mengering, mereka melakukan upacara sesajen di tempat ini. Dan katanya waktu itu ada suara gaib yang mengatakan bahwa tidak boleh ada pria dan wanita yang mandi bersama-sama di tempat ini lagi. Makanya kalau kamu cermati, hanya tempat pemandian ini saja yang tempatnya tidak dibagi untuk wanita dan laki-laki. Itu karena legenda tersebut masih dipercaya oleh beberapa orang di desa ini, bahwa tempat ini tidak boleh digunakan oleh wanita."
"Memangnya yang nunggu tempat ini tidak suka sama wanita ya Mbah?" tanyaku tersenyum menggoda.
"Nggak tahu juga sih, tapi mungkin saja."
Setelah itu kami terdiam lagi beberapa saat. Aku mulai mencuci pakaianku, dan Mbah Karyo juga mulai mandi. Ketika Mbah Karyo kembali muncul dari dalam air, dan duduk kembali di pinggir kolam, Mbah Karyo mulai menyabuni seluruh tubuhnya. Dan di saat Mbah Karyo menyabuni selangkangannya, tampak Mbah Karyo memberikan perhatian ekstra di tempat tersebut.
Tampaknya Mbah Karyo lupa, atau mungkin juga tidak peduli dengan keberadaanku di sana. Soalnya tampak olehku kalau penis Mbah Karyo mulai sedikit mengeras. Melihat hal tersebut, aku mulai terangsang kembali dan tenggorokanku menjadi kering karena nafsuku. Aku dengan terburu-buru menelan ludahku yang justru membuat aku tersedak, dan hal tersebut menyadarkan Mbah Karyo dari apa yang dia lakukan. Dia memandangku dan tersenyum kepadaku. Akupun membalas senyumnya dengan agak kikuk.
"Memangnya Mbah Karyo masih suka melakukannya ya?" tanyaku mencoba mencairkan suasana, meskipun dengan suara yang sedikit parau.
"Melakukan apa?" tanya Mbah Karyo menggodaku.
"Ya itu.." kataku tanpa meneruskan kata-kataku. Mbah Karyo tertawa.
"Memangnya hanya anak muda saja yang masih suka melakukannya?" ujarnya.
"Tapi saya cuma tidak tahu saja kalau orang seusia si Mbah masih senang melakukannya. Memangnya Mbah Karyo putri tidak marah?" jawabku sambil tersenyum.
"Ya ini juga karena istri si Mbah sudah tidak terlalu ingin melakukannya, katanya sih sudah terlalu tua untuk hal semacam itu. Jadi terpaksa si Mbah melakukan hal seperti ini." paparnya.
"Memangnya seminggu berapa kali Mbah Karyo ingin begituan?"
"Kalau dulu sih hampir setiap hari si Mbah ingin, tapi setelah istri si Mbah mulai tidak menyukainya si Mbah paling melakukanya 3 kali seminggu."
"Wah sering juga ya untuk orang seusia si Mbah."
"Ah, hal itu terjadi sekitar 10 tahun yang lalu. Setelah itu dalam satu bulan istri si Mbah ngasih dua kali saja sudah untung. Makanya si Mbah melakukan onani lagi."
"Kalau onani juga masih sama Mbah?"
"Ya begitulah, si Mbah bersyukur karena si Mbah masih bisa membuat milik si Mbah tegang. Jadi kenapa disia-siakan."
"Hehehe, benar juga, saya juga agak terkejut karena si Mbah masih bisa membangkitkan milik si Mbah sedemikian keras. Mungkin karena produksi sperma si Mbah cukup bagus. Saya lihat kantung si Mbah besar banget." Mbah Karyo melihatku, dan kembali tersenyum menggodaku.
"Kamu benar juga, mungkin produksi sperma si Mbah cukup banyak, jadi milik si Mbah masih tetap bisa tegang karena produksi spermanya masih cukup berlebih."
Aku terdiam, tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan, tapi aku hanya bisa melihat apa yang dilakukan oleh Mbah Karyo. Tampak Mbah Karyo sudah tidak segan-segan lagi kepadaku. Saat ini Mbah Karyo dengan cukup terbuka memulai kembali kegiatannya seperti saat aku pertama kali datang ke tempat ini. Dia mulai menggerak-gerakkan tangan kanannya di batang penisnya, sementara saat ini tangan kirinya mulai meraba-raba kantungnya yang besar sambil melihat-lihat kantung tersebut, seolah-olah sedang memikirkan apa yang aku katakan, atau mungkin juga bangga dan kagum dengan apa yang dia miliki.
Perasaan itu muncul lagi dalam diriku, aku terangsang hebat dengan apa yang dilakukan oleh Mbah Karyo di depanku. Akhirnya aku sudah memutuskan, aku harus memulai petualanganku hari ini. Hari ini adalah awal dari diriku untuk menjadi apa yang sebenarnya aku pendam. Aku ingin mencoba merasakan berhubungan seks dengan laki-laki lain. Setidaknya aku ingin mengulum milik Mbah Karyo. Aku tidak peduli apakah Mbah Karyo akan melakukannya balik kepadaku atau tidak, tapi aku hanya ingin mencoba penis laki-laki lain di dalam mulutku. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana aku harus memulainya. Tampaknya aku harus juga mulai sedikit menggoda Mbah Karyo.
"Memangnya enak mana sih kalau melakukannya sendiri dengan melakukannya dengan Mbah Karyo putri?"
Mbah Karyo tampak terdiam sebentar, sepertinya dia tidak terlalu mendengar dengan apa yang aku tanyakan tadi. Pasti konsentrasinya sedang pada batang penis dan kantung yang besar tersebut. Meskipun begitu Mbah Karyo mulai menghentikan kegiatannya dan menoleh kepadaku.
"Kamu ngomong apa, Yan?" tanyanya.
"Saya bilang, enak mana kalau si Mbah ingin gituan, onani atau melakukannya dengan Mbah Karyo putri?" tanyaku kembali.
"Kamu itu gimana tho, ya jelas enak kalau ada yang membantu melakukannya," kembali Mbah Karyo tersenyum kepadaku dan juga mengedipkan mata kirinya menggodaku.
Aku jadi kembali kikuk dengan apa yang dilakukan oleh Mbah Karyo. Perasaanku mulai tidak karuan. Mbah Karyo yang tampaknya terang-terangan menggodaku sepertinya ingin mengajak aku untuk melakukannya dengan dirinya. Cuma mungkin sih, habis Mbah Karyo tidak mengatakan kalau dia lebih senang melakukannya dengan Mbah Karyo putri, tapi hanya mengatakan kalau Mbah Karyo lebih senang kalau ada yang membantu melakukannya. Mungkin ini merupakan undangan buatku agar mau membantunya.
"O iya Mbah, saya ingin tanya tentang cerita Mbah yang tadi, memangnya yang membuat mata air di tempat ini kering karena wanitanya atau karena hubungan suami istri yang mereka lakukan?"
"Wah, kalau itu si Mbah kurang tahu. Tapi kalau hubungan suami istri bisa disamakan dengan onani, maka seharusnya mata air di tempat ini sudah kering dari dulu," Mbah Karyo menjawab dengan masih tersenyum kepadaku.
Dengan senyum itu, aku menjadi semakin kikuk, tapi sekaligus menumbuhkan rasa keyakinanku bahwa Mbah Karyo memang ingin aku bantu.
"Kalau yang melakukannya sama-sama laki-laki gimana Mbah?" tanyaku sedikit gugup dan agak serak karena menahan gejolak nafsu yang sudah begitu membara di dadaku.
"Kalau yang itu si Mbah nggak tahu, soalnya si Mbah belum pernah tahu ada laki-laki yang melakukannya dengan laki-laki di tempat ini. Memangnya kenapa, kamu mau melakukannya?" Aku jadi semakin gugup dengan jawaban Mbah Karyo.
"Ah nggak juga, saya juga belum pernah melakukannya dengan laki-laki kok."
"Atau mungkin kamu mau mencoba, kalau memang mau si Mbah juga nggak keberatan, mumpung ada yang membantu, bagi si Mbah sih tidak peduli siapa yang melakukannya, pokoknya asal si Mbah bisa enak. Lagian mungkin bisa kita buktikan apakah karena wanita yang memang tidak diperbolehkan masuk ke tempat ini, ataukah karena hubungan yang mereka lakukan."
Hah, mataku sedikit melotot dengan jawaban Mbah Karyo tersebut. Tidak aku sangka kalau Mbah Karyo akan mengatakan hal itu. Aku pikir Mbah Karyo ini orang yang tidak suka dengan hal-hal seperti itu. Tapi mungkin juga karena Mbah Karyo benar-benar sudah terangsang, sehingga akal sehatnya hilang entah ke mana. Aku masih terdiam karena kaget, dan mungkin mulutku juga melongo dengan jawaban Mbah Karyo, sampai akhirnya aku mendengar Mbah Karyo berkata..
"Bagaimana Yan, kamu mau melakukannya atau tidak? Kalau memang ingin sebaiknya kamu cepat lakukan sebelum ada orang yang pulang dari sawah dan mandi di tempat ini."
Dengan ucapan Mbah Karyo itu, aku seolah-olah terhipnotis dan segera mendekati Mbah Karyo. Perfect, inilah yang aku butuhkan untuk pertama kali melakukan hal ini. Seorang pria yang sedang terangsang hebat, berpengalaman, mampu menguasai nafsunya dan yang penting batang penisnya tidak terlalu besar.
Begitu sampai di depan Mbah Karyo aku langsung menceburkan diriku ke kolam renang, karena Mbah Karyo dari tadi memang duduk di tepi kolam dengan kakinya masih tetap berada di kolam. Sehingga dengan begitu aku sekarang berada di depan Mbah Karyo, berada di dalam air dan mukaku berada tepat di depan selangkangan Mbah Karyo. Jantungku berdetak cukup kencang dengan keadaan seperti ini. Di satu sisi aku memang benar-benar menginginkannya, tapi di sisi lain aku tidak mau melakukan hal ini karena takut kalau Mbah Karyo akan menganggapku laki-laki yang aneh.
Mungkin nanti Mbah Karyo akan bilang ke orang lain kalau aku laki-laki yang suka dengan laki-laki. Tapi mungkin juga Mbah Karyo tidak akan mengatakan hal ini karena kalau Mbah Karyo mengatakan hal ini kepada orang lain berarti Mbah Karyo juga harus bilang kalau aku melakukan hal tersebut dengan Mbah Karyo. Selain itu juga karena kutukan tempat ini tentang sebab keringnya mata air. Aku tidak bisa membayangkan apa yang harus kami katakan seandainya hal itu benar bahwa tempat ini tidak diperbolehkan untuk melakukan hubungan badan. Bisa tambah geger desa ini.
Tapi karena pada dasarnya nafsu sudah sampai di ubun-ubun, hal-hal seperti itu tidak lagi aku pikirkan. Saat ini aku hanya melihat barang yang ada di depanku. Penis yang bagus dengan kantungnya yang cukup besar yang ada di depanku benar-benar telah membuatku tidak bisa memakai akalku lagi.
Bersambung . . . .